Kini sudah masuk tahun ke-3 hubungan Bara dan Kiara. Selama ini semuanya baik-baik saja, Bara yang selalu mengalah, Bara yang selalu menjadi air dari setiap api di antara mereka berdua. Sedangkan Kiara masih sama seperti dulu, sederhana dan tidak neko-neko, dan itu yang membuat Bara jatuh cinta teramat dalam dari sang wanita.
Satu tahun lalu mereka harus berpisah dikarenakan Kiara tidak masuk SMA Negeri. Jangan salahkan Kiara, ia hanya menurut apa perkataan kedua orang tuanya.
Kini, mereka sama-sama sibuk, sama-sama lupa memberi kabar satu sama lain. Kadang Kiara ingin membicarakan masalah ini dengan Bara, tetapi seperti kata Kiara, Bara selalu sibuk. Kiara tidak suka diperlakukan seperti ini mengingat ia selalu dimanja sang kekasih. Hingga satu hari dimana Kiara sudah muak dengan segalanya, muak dengan sibuknya Bara.
“Bar, Bara emang sesibuk ini, ya? Maksudnya yaa, sibuk banget emang?” matanya enggan melihat lelaki disampingnya.
Bara memberhentikan mobilnya, menatap wanita disampingnya yang masih setia menatap jendela “Kok, Kiara nanya gitu? Udah gak percaya lagi ya sama Bara? Atau Kiara udah bosen sama Bara? Iya?”
“Kok jadi Kiara, sih, Bar? Atau Bara udah punya yang baru? Iya? Gak papa, Bar ngaku aj-“
“KAMU NUDUH AKU SELINGKUH, KI? ATAU JANGAN-JANGAN KAMU YANG SE-“ Kiara terkejut. Ia tak menyangka Bara akan membentaknya seperti ini. Ia tidak ingin seperti ini “Ki, Bara minta maaf, ya, sayang, Ki.. Kiar-“
Keputusan Kiara sudah bulat “Maaf, Kia mau udahan, Bar.”
Tidak, Bara tidak mau. Bara terlalu bodoh jika membiarkan Kiara pergi, ia tidak akan tahu bagaimana hidupnya tanpa ada Kiara.
“Ngga, Ki. Bara minta maaf ya. Bara janji gak akan bentak Kiara kay-“
“Kiara. Mau. Pulang.” Pipi Kiara kini basah dengan luquid bening yang sangat Bara benci.
“Kiara, sayang, Bara minta maaf, Ki. Bara bodoh bang-“
“Denger, gak, Bar? Kiara mau pulang” Pikiran Kiara kini sudah buntu, tidak ada lagi sikap Bara yang lemah lembut padanya.
Bara diam, seakan sumber akal sehatnya termakan oleh rasa bersalahnya karena membiarkan Kiara menangis “Yaudah, Bara anterin pulang, ya, Ki.” Kiara masih bungkam.
Kini dinginnya mobil tidak sebanding dengan amarah keduanya, Kiara yang masih marah atas sikap Bara padanya, dan Bara masih marah akan sikapnya pada Kiara. Semua sumber suara seakan dilahap abis oleh keadaan yang ada.
Tak terasa mobil Bara sudah sampai di depan pagar rumah Kiara. “Yang tadi Kia bilang mau udahan, itu beneran, ya, Bar” Tidak, tidak bisa, Bara langsung mengejar Kiara tetapi terlambat.
“KIA, MAAFIN BARA, KI” percuma, Kiara tak akan dengar.
Malam ini adalah malam paling dibenci 2 manusia yang pernah jatuh cinta bersama. Kesedihan meraka terlahap abis oleh gelapnya malam, diiringi dengan dinginnya malam yang menusuk kulit Bara yang masih setia ditempatnya, depan pagar rumah Kiara.
Mempertahankan Kiara adalah hal yang mustahil, pikir Bara. Mengingat bahwa Kiara adalah wanita yang susah mengubah keputusannya.
2 manusia ini hanya bisa memikirkan apa yang akan mereka lakukan tanpa satu sama lain. Mari kita doakan bahwa ini adalah keputusan yang baik untuk keduanya.
Terkadang lucu memang, mereka yang setuju bersama, mereka juga yang berpisah, mereka yang meminta berpisah, tetapi sama-sama belum bisa melupakan. Kadang semesta bingung dengan 2 anak manusia ini, apa maunya?Terlihat kini Bara yang semakin gelisah dengan ingatan-ingatannya bersama Kiara, tak terasa bibirnya tertarik keatas, ia bahagia walaupun hanya dengan mengingat kenangannya. Kita abaikan saja, biarkan Bara mencari bahagianya.Di sisi lain juga ada Kiara yang sibuk membolak-balikkan majalah yang ia baca, entah apa yang tenggelam dipikirannya, tetapi tentu saja semua gara-gara Bara. Semenjak pertemuannya dengan Bara, ingatan Kiara kini semakin menjadi-jadi tentang Bara, ya, Kiara merindukan sosok itu, sosok Bara, lagi.Teman-teman kedua anak manusia ini sebenarnya geram melihat tingkah laku keduanya yang sama-sama menepis perasaan rindunya. Seperti ini contohnya.“Senyum terus, Ki, lupain aja kalo gue sama Alya ada disini” Bagus, Kanza, lan
Kini dilubuk hati Bara yang sangat dalam ingin sekali merengkuh kembali Kiara, pujaan hatinya hingga kini. Mengingat betapa marahnya Kiara saat itu selalu saja memberikan celah negatif disetiap niat Bara untuk memperbaiki semuanya, memperbaiki hubungannya dengan Kiara.“Dicoba dulu atuh, Bar” Artha membuka suaranya.Bara kini hanya bisa bungkam, mengangkat bahunya acuh, padahal omongannya Artha ada benarnya. Toh, ia tidak akan tau respon Kiara jika tidak mencobanya.“Kelemahan nomor satu Bara adalah.. Kiara” Sambung Nevan.“Asli, ya, Tha. Susah anjing” Kini Bara angkat bicara. “Ya, nanti kalo misalkan dia masih marah sama gue, terus nolak gue, gimana?”Artha, Ezra, dan Nevan kini hanya menghela napas, bego banget Bara, pikir mereka.“Di. Co. Ba. Bara. Kalo lo gak coba, gimana lo tau apa jawaban Kiara. Emang lo mau penasaran seumur hidup?”Deg. Perkataannya Ezra ada benarnya j
Bara benar menepati janjinya, pergi kerumah Kiara, meminta maaf, dan meminta Kiara kembali padanya. Tentu saja Kiara sudah memaafkan, toh, ini salahnya juga karena sudah gegabah mengucapkan kata perpisahan padahal hatinya enggan. Oke, Bara, mari kita bawa Kiara kembali kepelukanmu.Seperti kini, Bara selalu memberi pesan ke Kiara, memberikan perhatian atau sekedar kata-kata penyemangat. Kiara merasa déjà vu kini, ia suka, ia suka diperlakukan seperti ini, lagi, oleh Bara.“Lho, ngapain tiba-tiba disini?” Terkejut, tentu saja Kiara terkejut saat melihat Bara tiba-tiba berada didepan sekolahnya.Bara suka dengan wajah Kiara yang cemberut seperti ini, lucu, katanya. “Mau jemput tuan putri”Kiara sebenarnya sudah tersenyum mengingat tuan putri yang dimaksud Bara adalah dirinya, tetapi, tidak boleh Kiara, ingat harga diri. “Yaudah, sana. Mau jemput pacarmu kan? Gak boleh parkir disini tau” Ujar Kiara sembari me
Kiara bergegas keluar kamar dan menuju pagar setelah mendengar bel rumahnya berbunyi. Agak malas memang mengingat ini hari minggu dan Kiara sedang bergelut dengan selimutnya. Ia terkejut setelah melihat tubuh yang tak asing baginya, tubuh lelaki itu sedikit bergetar, ya, itu Arkha.“Lho, Kha. Lo kenapa? Kok gemeteran gini? Masuk yuk” Wajah Arkha sangat tidak baik-baik saja.“Gak, Ki, gapapa disini aja, Cuma sebentar kok” Suara getar Arkha langsung terdengar di telinga Kiara. Ia khawatir, tentu saja. Bagaimanapun Arkha adalah temannya. “Mama Papa cerai, Ki. Arkha kesini cuma mau pamitan sama Kiara. Arkha capek, Ki kalo tetep disini, dioper mulu. Jadi Arkha mau tinggal dirumah nenek aja di Surabaya.” Arkha melihat tatapan sendu milik Kiara. Ia berusaha menahan tangisnya didepan wanita itu.“Ki, maafin Arkha, ya, kalo waktu itu kesannya maksa banget biar Kiara suka sama Ark-“ Tubuh gemetar itu direngkuh oleh Kiara, ta
“Tuh kan, gue bilang apa sama kalian, hah? Anjing”Mereka semua bungkam, menjawab Bara saat sedang marah merupakan masalah besar. Setidaknya biarkan Bara berkelut dengan pikirannya sendiri.Disisi lain, Kiara yang merasa sangat bersalah hanya bisa mengirim pesan berpuluh-puluh maaf untuk Bara, dan tentu saja tidak ada balasan untuknya, telfonnya juga tak diangkat. Kiara takut Baranya menghilang lagi, dan ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi.“Coba, Ki, lo kerumahnya, atau ketempat biasa dia nongkrong, jelasin semuanya, kalo lo diem doang gini gak akan kelar ini masalah”Benar, ucapan Kanza benar. Tetapi biarkan Kiara berpikir untuk saat ini.-Kini Bara sudah tenang, masalahnya seakan terbang begitu saja bersama kerikil yang ia lempar. Setelah ini, ia akan menemui Kiara, niatnya.“Lho, Ki. Ngapain disini? Kok tau Bara ada disini?” Kiara lagsung berlari, memeluk Bara, sambil menangis tentu saja.
Terhitung sudah seminggu semenjak salah paham diantara keduanya. Terkadang, Kiara masih merasa canggung akibat masalah itu. Tidak, Kiara canggung akibat pelukannya bersama Bara. Toh, padahal Bara pun tak apa jika Kiara ingin memeluknya setiap hari. Dasar Bara, modus.Bara dan Kiara kini sudah berada di bianglala pasar malam. Setelah menyantap berbagai makanan, lalu memberikan lolipop dan permen kapas, untuk Kiara tentu saja.“Tuan putri seneng, gak?” Kiara yang tadinya sedang melihat ramainya pasar malam kini menatap mata elang kesukaannya.“Seneng, seneng banget. Makasih, ya, Bar”“Sama-sama, tuan putri..” Kiara kembali sibuk akan pandangannya, dan Bara sibuk melihat hal yang paling menarik untuknya, Kiara.“Kenapa, sih, ngeliatin mulu” Kiara sudah tak tahan terus-menerus dibuat salah tingkah oleh Bara.“Idih, kepedean. Bara bukan lagi ngeliatin Kiara tau” Kiara memutar bola matany
Ombak lagi-lagi menabrak tepi pantai, angin sedari tadi berhamburan tak tentu arah, pasir kini hanya menjadi saksi bisu kedua anak manusia yang sedang dimabuk cinta.Seperti tak ada lagi pemandangan yang menarik menurut Bara, matanya terus-menerus memandang Kiara yang sibuk bersama buku yang ia baca. “Tuan putri lagi baca apa, sih? Serius banget” Bara yang sedari tadi hanya memandang, akhirnya angkat bicara.“Bar, Kiara capek deg-degan tiap Bara manggil Kiara tuan putri” Ia tutup buku itu, lalu memandang lelaki disampingnya.“Lho, kenapa? Bara suka manggil Kiara tuan putri. Kiara indah, Kiara cantik, Kiara baik. Aduh, Bara takut ketula sama semesta karena pamerin Kiara mulu”“Tapi emang bener, Ki. Bara sayang banget sama Kiara. Maaf ya, tuan putri, kalo dulu Bara gak ngejar tuan putri buat minta maaf karena Bara terlalu sibuk. Emang bodoh banget ni, si Bara. Bisa-bisanya nyakitin Kiara” Lanjut Bara.&
Kiara Anandita. Gadis remaja keturunan Bandung ini kerap disapa Kia. Memiliki rambut panjang hitam sebahu yang selalu ia kuncir kuda, agar tidak gerah, katanya. Kiara dikenal sebagai anak yang ceria, aktif, dan sederhana. Terbukti dengan banyak organisasi yang Kiara ikuti disekolah menengah atasnyanya sebagai ajang mengisi waktu agar tidak terbuang sia-sia.Kiara memiliki 2 sahabat yang sudah ia jumpai sewaktu sama-sama menduduki sekolah menengah pertama, enak kan kini bisa berkumpul dengan kawan lama?“Kia… Ki… Ki…” ujar Alya, salah satu sahabat Kiara.“Yah, dia ngelamun lagi, Al” timpa Kanza yang merupakan bagian dari mereka juga.“WOI KIARA ANANDITA!”“Hah? Apaan si, Za. Ngagetin tau” balas Kiara memasang muka masam.“Lagian elo, sih, dari tadi kita panggil tetep aja bengong, ya kan, Al?”“Iya, mikirin apaan, sih, lo?”“Alah pa