Perlahan, Mbayang mulai siuman, mencium aroma tumbuhan yang ada di sekitar tubuhnya. Lamat lamat dia melihat sosok tua sedang terbatuk-batuk bersemedi tak jauh dari tempatnya. Kapala Mbayang masih terasa berat, saat dia coba bangun. Dia memegangi kepala, mencoba mengumpulkan kesadaran, sambil tertatih mencoba berdiri.“Uhuk! Uhuk!”Suara batuk itu mengagetkan Mbayang, dia mengamati sekeliling. Dia kini berada di dalam sebuah gua yang cukup dalam. Sekujur tubuhnya yang luka telah dibubuhi ramuan-ramuan obat. Mbayang mulai berjalan mendekati pendekar tua yang bersemedi.“Dimana aku? Ndoro Ayu bagaimana?” tanya Mbayang mengkhawatirkan Ndoro Ayunya, meski kondisinya juga masih lemah.Pendekar tua itu menarik nafas panjang, diam beberapa saat hingga perlahan membuka matanya. Menoleh ke arah Mbayang. Pendekar tua itu tersenyum melihat Mbayang sudah mulai membaik.“Beruntung orang-orang yang mengeroyokmu hanya orang-orang biasa yang tak memiliki tenaga dalam. Kalau tidak, mungkin kau sekaran
Pangeran Gardapati terus mengikuti jejak-jejak yang tercecer, untuk mencari Mbayang. Dengan sangat jeli, dia mengamati setiap petunjuk yang mengarah pada sebuah gua. Pangeran pun bersiap memasuki gua dengan penuh waspada, pukulan tangan berdarah pendekar tua itu sungguh luar biasa, Pangeran Gardapati tak berani sembarangan lagi. Melihat bekas jejak langkah di sekitar gua, Pangeran Gardapati bisa menduga kalau tenaga dalam pendekar tua itu cukup tinggi, dan bukan lawan yang enteng.Dari dalam gua, Mbayang mulai menggali tanah dengan alat seadanya untuk menguburkan mayat Ki Barada. Setelah di rasa cukup dalam, Mbayang mengubur Ki Barada sebagai bentuk penghormatan. Mbayang termenung cukup lama di depan pusara pendekar tua itu. sempat terpikir untuk menguburkan kitab pusaka yang di wasiatkan kepadanya, tapi dia urungkan karena takut arwah Ki Barada akan menghantuinya nanti.“Ki, aku tak tahu bisa atau tidak menjalankan wasiatmu. Tapi aku akan mencoba untuk menghentikan ilmumu, dipakai un
“Jangan pergi, Nduk! Kita tunggu Pangeran di sini!” cegah Juragan Karta mencengkram tangan Candrawati yang hendak pergi mencari Mbayang.Candrawati yang sudah sejak tadi gelisah, berusaha melepaskan tangannya yang di pegang kuat Juragan Karta. Dia benar-benar khawatir dengan kondisi Mbayang yang babak belur tak sadarkan diri kena hajar. Bujukan dari Juragan Karta sudah tak mempan lagi. Dia ingin pergi mencari Mbayang, abdi sekaligus temannya sejak kecil itu.“ Lepaskan, Romo! Mbayang terluka, bagaimana mungkin Pangeran yang hanya seorang diri berhasil menemukannya.”“Lancang sekali kau! Merendahkan Junjungan kami!” bentak salah seorang perwira yang kupingnya langsung panas mendengar ucapan Candrawati.Dua puluh pasukan yang dibawa oleh Pangeran Gardapati yang lain ikut terpancing emosi, sedari tadi mereka sudah menahan sabar, mendirikan kemah dan tempat istirahat untuk Juragan Karta dan Candrawati. Tapi sikap wanita muda itu sungguh sudah melewati batas, berani meremehkan junjungan y
Meski sudah berada di dalam tenda Pangeran Gardapati, hati dan pikiran Juragan Karta masih gelisah memikirkan Mbayang dan Candrawati. Lelaki paruh baya bertubuh sedikit gembul dengan kumis melintang itu mulai membayangkan hal-hal liar terjadi antara dua orang yang sebanarnya masih terikat hubungan darah. Dosa masa lalu yang pernah dia lakukan terbayang, dia kembali teringat bagaimana dengan ganas, memaksakan hasratnya pada Lastri, yang bisa jadi akan menjadi karma buruk bagi kedua anaknya.Sikap yang ditunjukan Candrawati sudah mengisyaratkan jelas, kalau anak gadisnya itu punya perasaan khusus pada Mbayang. Dia tak bisa menebak bagaimana perasaan Mbayang pada Candrawati. Tapi mereka baru saja berpisah, tentu pertemuan setelah perpisahan akan beda rasanya. Juragan Karta benar-benar Khawatir Mbayang dan Candrawati akan terlarut dan melakukan hal-hal di luar batas. Juragan Karta memang mengenal baik Mbayang, tapi bagaimanapun, Mbayang adalah seorang laki-laki yang mungkin sekali berbuat
“Ndoro Putri akan menikam jantungku bila melihat ini, tolong jangan begini…” bisik Mbayang di telinga Candrawati yang sedang memeluknya.Anak gadis Juragan Karta itu buru-buru melepas pelukan. Rona wajahnya berubah merah, dia kini baru menyadari kalau sudah terbawa perasaannya saat melihat Mbayang. Candrawati lalu menunduk, menatap ke arah lain sambil mengurai rambut panjangnya menutupi rasa malu.“Kau jangan punya pikiran macam-macam!” ancam Candrawati pura-pura sewot.“Iya, saya mengerti Ndoro,” jawab Mbayang sambil menunduk, tak berani menatap langsung wajah Candrawati.Keduanya pun berjalan beriringan menuju perkemahan dengan perasaan canggung. Bagi Mbayang, ini pertama kalinya ada seorang gadis memeluknya begitu erat, sebagai laki-laki biasa, dia dapat merasakan hasrat yang bergejolak, saat dada Candrawati menempel di tubuhnya. Bila tidak ingat begitu galaknya Ndoro Putri padanya, Mbayang ingin sekali membalas pelukan hangat dari Ndoro Ayunya itu. seperti ada dorongan kuat yang s
Dua puluh orang pemuda sudah bersiap sudah bersiap, satu diantaranya adalah Mbayang, pemuda itu terlihat gagah memakai pakaian seperti Pangeran Gardapati. Candrawati sampai ternganga melihatnya, tapi gadis ayu itu buru-buru membuang muka saat Mbayang menatap ke arahnya. Mbayang hanya tersenyum melihat kelakuan Ndoro Putrinya yang pura-pura tak peduli itu.Selain Mbayang, dianatara dua puluh pemuda itu terdapat dua senopati yang bergabung. Dia adalah senopati Ringkin, dan senopati Panuluh. Kedua senopati ini yang akan memimpin rombongan meninggalkan desa, sambil menunggu kabar gerombolan pengacau muncul. Sebelum berangkat, Mbayang turun dari kudanya berpamitan pada para junjungannya. Saat dia berpamitan pada Candrawati, terlihat jelas kalau gadis berat melepas Mbayang.“Mohon Pamit, Ndoro!”Candrawati terlihat khawatir, dengan nada ketus dia mengingatkan Mbayang untuk cepat kembali.“Jangan kira setelah memakai pakaian kebesaran kau lupa aku ini Ndoromu. Kau harus lekas pulang dengan s
Suara derap langkah dan ringkikan kuda serta teriakan –teriakan makin bergemuruh memecah keheningan malam. Para pengacau sudah tak sabar membakar dan melakukan keonaran. Sementara itu, Pangeran Gardapati sudah bersiap menyambut dengan pasukannya. Para pemuda warga desa juga sudah berjaga-jaga dengan senjata seadanya. Pangeran Gardapati melarang para pemuda desa untuk ikut langsung bertarung, mereka hanya diperintah untuk berjaga-jaga. Meski kalah jumlah, Pangeran Gardapati yakin pasukannya sanggup meringkus para pengacau.“Panah!”Dalam sekejap langit mendadak merah membara saat panah api pasukan khusus meluncur begitu mendengar aba-aba dari pangeran Gardapati. Kuda-kuda meringkik kaget melihat panah-panah api yang menyambar. Kuda-kuda banyak melompat menjatuhkan penunggang di punggungnya.“Kita terjebak!” teriak Gagak Ireng menangkis hujan anak panah yang menyerang.“Amukk!” Genta Obong kalap memberi aba-aba untuk maju. para para gerombolan pun nekat menerjang hujan panah, menerobos
Tujuh belas pemuda yang menyamar telah membubarkan diri, menyisakan Mbayang Pranaya dan dua orang senopati, Panuluh dan Ringkin. Senopati Panuluh tiduran di atas tikar menatap ke langit. Matanya terus terjaga menunggu sandi dari Pangeran Gardapati. Sementara itu, Mbayang dan Senopati Ringkin, berbincang dekat perapian. “Jadi, setelah ini kau ingin pergi berguru, di padepokan segaran?” tanya Senopati Ringkin membuka percakapan. “Benar, Paman. Saya ingin ingin bisa ilmu kanuragan agar bisa menjaga junjungan-junjungan saya, dari marabahaya,”jawab Mbayang Pranaya polos. Senopati panuluh dan Ringkin tersenyum mendengar jawaban dari Mbayang. “Ha ha, meski galak dan merepotkan, anak gadis Juragan Karta itu cukup cantik memang, untuk membuat seseorang rela jauh-jauh belajar ilmu kanurgan,” Sindir Senopati Ringkin. Mbayang langsung gelagapan mendengar ucapan itu, dia selama ini hanya menganggap Candrawati adalah majikan dan teman kecilnya, tak pernah terbersit pikiran yang lebih dari itu.