“Ndoro Putri akan menikam jantungku bila melihat ini, tolong jangan begini…” bisik Mbayang di telinga Candrawati yang sedang memeluknya.Anak gadis Juragan Karta itu buru-buru melepas pelukan. Rona wajahnya berubah merah, dia kini baru menyadari kalau sudah terbawa perasaannya saat melihat Mbayang. Candrawati lalu menunduk, menatap ke arah lain sambil mengurai rambut panjangnya menutupi rasa malu.“Kau jangan punya pikiran macam-macam!” ancam Candrawati pura-pura sewot.“Iya, saya mengerti Ndoro,” jawab Mbayang sambil menunduk, tak berani menatap langsung wajah Candrawati.Keduanya pun berjalan beriringan menuju perkemahan dengan perasaan canggung. Bagi Mbayang, ini pertama kalinya ada seorang gadis memeluknya begitu erat, sebagai laki-laki biasa, dia dapat merasakan hasrat yang bergejolak, saat dada Candrawati menempel di tubuhnya. Bila tidak ingat begitu galaknya Ndoro Putri padanya, Mbayang ingin sekali membalas pelukan hangat dari Ndoro Ayunya itu. seperti ada dorongan kuat yang s
Dua puluh orang pemuda sudah bersiap sudah bersiap, satu diantaranya adalah Mbayang, pemuda itu terlihat gagah memakai pakaian seperti Pangeran Gardapati. Candrawati sampai ternganga melihatnya, tapi gadis ayu itu buru-buru membuang muka saat Mbayang menatap ke arahnya. Mbayang hanya tersenyum melihat kelakuan Ndoro Putrinya yang pura-pura tak peduli itu.Selain Mbayang, dianatara dua puluh pemuda itu terdapat dua senopati yang bergabung. Dia adalah senopati Ringkin, dan senopati Panuluh. Kedua senopati ini yang akan memimpin rombongan meninggalkan desa, sambil menunggu kabar gerombolan pengacau muncul. Sebelum berangkat, Mbayang turun dari kudanya berpamitan pada para junjungannya. Saat dia berpamitan pada Candrawati, terlihat jelas kalau gadis berat melepas Mbayang.“Mohon Pamit, Ndoro!”Candrawati terlihat khawatir, dengan nada ketus dia mengingatkan Mbayang untuk cepat kembali.“Jangan kira setelah memakai pakaian kebesaran kau lupa aku ini Ndoromu. Kau harus lekas pulang dengan s
Suara derap langkah dan ringkikan kuda serta teriakan –teriakan makin bergemuruh memecah keheningan malam. Para pengacau sudah tak sabar membakar dan melakukan keonaran. Sementara itu, Pangeran Gardapati sudah bersiap menyambut dengan pasukannya. Para pemuda warga desa juga sudah berjaga-jaga dengan senjata seadanya. Pangeran Gardapati melarang para pemuda desa untuk ikut langsung bertarung, mereka hanya diperintah untuk berjaga-jaga. Meski kalah jumlah, Pangeran Gardapati yakin pasukannya sanggup meringkus para pengacau.“Panah!”Dalam sekejap langit mendadak merah membara saat panah api pasukan khusus meluncur begitu mendengar aba-aba dari pangeran Gardapati. Kuda-kuda meringkik kaget melihat panah-panah api yang menyambar. Kuda-kuda banyak melompat menjatuhkan penunggang di punggungnya.“Kita terjebak!” teriak Gagak Ireng menangkis hujan anak panah yang menyerang.“Amukk!” Genta Obong kalap memberi aba-aba untuk maju. para para gerombolan pun nekat menerjang hujan panah, menerobos
Tujuh belas pemuda yang menyamar telah membubarkan diri, menyisakan Mbayang Pranaya dan dua orang senopati, Panuluh dan Ringkin. Senopati Panuluh tiduran di atas tikar menatap ke langit. Matanya terus terjaga menunggu sandi dari Pangeran Gardapati. Sementara itu, Mbayang dan Senopati Ringkin, berbincang dekat perapian. “Jadi, setelah ini kau ingin pergi berguru, di padepokan segaran?” tanya Senopati Ringkin membuka percakapan. “Benar, Paman. Saya ingin ingin bisa ilmu kanuragan agar bisa menjaga junjungan-junjungan saya, dari marabahaya,”jawab Mbayang Pranaya polos. Senopati panuluh dan Ringkin tersenyum mendengar jawaban dari Mbayang. “Ha ha, meski galak dan merepotkan, anak gadis Juragan Karta itu cukup cantik memang, untuk membuat seseorang rela jauh-jauh belajar ilmu kanurgan,” Sindir Senopati Ringkin. Mbayang langsung gelagapan mendengar ucapan itu, dia selama ini hanya menganggap Candrawati adalah majikan dan teman kecilnya, tak pernah terbersit pikiran yang lebih dari itu.
Senopati Ringkin mencabut keris dari pingggang, lalu mengayunkankan keris pusaka itu mengicar telapak Tangan Badranaya yang sudah melesat membentuk sebuah cakar ke arah pangkal leher Mbayang. Merasakan desiran angin dari senjata pusaka, buru-buru Badranaya menarik tangannya. Senopati Panuluh langsung menerjang maju, melancarkan serangan-serangan dengan keris yang membuat Badranaya harus berkelit kesana kemari, disusul Senopatii Ringkin yang ikut mendesak, membuatnya cukup kewalahan.“Bagus, maju kalian berdua. Akan aku antar kalian menemui dewa kematian!” teriak Badranaya langsung mengelar pukulan tangan berdarah.Dalam satu kesempatan, Bandranaya yang menyerang dengan hebat berhasil memukul dada Senopati panuluh, membuat Senopati berusia empat puluhan tahun itu, mundur beberrapa jengkal merasakan sesak di dadanya.“Panuluh!” jerit Senopati Ringkin mendekati Senopati Panuluh. “Kau tak apa?” tanyanya khawatir.Senopati Panuluh memegangi dadanya yang terasa sesak, terkena pukulan yang s
Perlahan Mbayang membuka mata, kepalanya masih terasa berat dan nyeri di sekujur tubuh. Mbayang kini berada di sebuah ruangan dan lamat-lamat, Mbayang melihat orang-orang yang dia kenali berada di sekilingnya, ada Candrawati, Juragan Karta dan Pangeran Gardapati.“Mbayang!” jerit Candrawati berbinar. “Ndoro… aku dimana?” tanya Mbayang berusaha bangun meski tubuhnya masih lemah.“Kau ada di rumah, Mbayang. Syukurlah, kau tak sadarkan diri berhari-hari. Aku takut sekali, hiks” terang Candrawati terbata-bata.Pangeran Gardapati dan Juragan Karta yang tadinya duduk tak jauh dari dipan, berdiri mendekat untuk melihat kondisi Mbayang yang siuman.Meski kepalanya masih terasa berat, Mbayang berusaha untuk untuk memberi hormat. Tapi dicegah oleh Candrawati. Gadis itu membantu Mbayang mengubah posisi dari tidur ke duduk.“Bagaimana kondisimu?” tanya Pangeran Gardapati.“Tubuh hamba rasanya panas sekali, Pangeran. Bagaimana dengan paman Panuluh dan paman Ringkin?”Wajah Pangeran Gardapati beru
“Anjani!” panggil Juragan Karta. Tapi Anjani terus berlalu. Dia melemparkan tanggung jawab tentang apa yang terjadi pada suaminya. Dia sudah siap kalau Juragan Karta menceritakan pada Candrawati tentang rencananya melenyapkan Mbayang. Bila itu terjadi, dia juga akan membongkar rahasia perselingkuhan suaminya hingga melahirkan Mbayang pada Candrawati. Juragan Karta menoleh ke arah putrinya yang masih bingung menunggu jawaban. Otak pria berusia lima puluhan tahun itu berpikir keras mencari-cari kata yang tepat untuk menjelaskan pertengkarannya dengan Anjani, tak mungkin baginya mengakui segala dosa masa lalunya pada Candrawati. Semua akan berantakan bila rahasia itu terungkap.“Apa yang terajadi, Romo?” Candrawati kembali bertanya tentang sikap biyung dan Romonya yang tiba-tiba nampak tak akur dan Candrawati merasa kalau semua ini ada hubungannya dengan Mbayang.“Apa kau mencintai Mbayang?” Juragan Karta balik bertanya.Wajah Candrawati langsung bersemu merah, dia buru-buru memalingkan
Candrawati berdiri melamun di dekat jendela kamar, menatap kosong halaman rumahnya yang luas. Baru dua hari Mbayang pergi, tapi rasanya sudah lama sekali. Lelaki yang selalu menemaninya kini harus benar-benar pergi ke padepokan segaran. Dia tak bisa menahan lebih lama, luka-luka Mbayang telah sembuh sepenuhnya dan dia juga sudah berjanji pada Romonya untuk tak berulah lagi. Andaikan bisa memilih, dia ingin Mbayang tetap lemah, agar dia bisa lebih lama merawatnya. Meski dia seorang Ndoro, tapi dia senang sekali bisa merawat Mbayang.“Ndoro…”Suara Ningrum mengagetkan Candrawati dari lamunan, perlahan dia berbalik menghadap ke arah Ningrum.“Ada apa, Rum!” jawab Candrawati ketus, tak senang dengan kedatangan abdinya itu.Ningrum jadi gugup mendapati jawaban ketus dari Candrawati. Ningrum pun memberanikan diri untuk maju mendekati junjungannya itu.“Ampun Ndoro,” Ningrum memberi hormat, “Ndoro Putri memanggil Ndoro Ayu ke ruang makan. Ndoro Ayu katanya belum makan sejak pagi...”“Itu bu