Bab 2

Janice tidak pulang ke apartemennya, melainkan pergi ke hotel di dekat rumah sakit.

Dia menggosok kulitnya yang putih hingga merah di kamar mandi sebelum naik ke atas ranjang.

Lampu di kepala ranjang memancarkan cahaya kuning yang hangat. Sambil meringkuk di bawah selimut yang tipis, kegelisahan dalam hati Janice perlahan-lahan menghilang, sehingga dia akhirnya tertidur.

Namun, tidurnya tidak nyenyak.

Dia terus bermimpi yang aneh-aneh.

Dalam mimpinya, Jordan yang masih muda melindungi dirinya sambil berkata, "Ke depannya, aku akan melindunginya. Nggak ada yang boleh mengganggunya."

Kemudian, Janice bermimpi bahwa dia sedang berada di tangga yang gelap, di mana seorang pria asing memeluknya erat-erat sambil mencium wangi tubuhnya dengan mesum.

Akhirnya, Janice memimpikan wajah Angela yang polos.

Wanita itu bersandar dalam pelukan Jordan dan memegang pakaian Jordan sambil menatap Janice dengan tatapan mengejek.

"Janice, kamu benar-benar menyedihkan," kata wanita itu.

Janice tidak bisa tidur nyenyak hingga pagi hari, saat dia dibangunkan oleh sebuah panggilan telepon.

Dia menerima panggilan itu dan mendengar suara seorang pria yang dingin.

"Masak bubur, bawa ke perusahaan."

Janice masih agak linglung.

"Sudah jam segini, sudah nggak sempat masak bubur," kata Janice.

"Aku nggak akan memotong gajimu. Kamu bisa datang terlambat," kata Jordan pula.

Setelah panggilan ini diakhiri, Janice sudah terbangun sepenuhnya.

Jordan memiliki penyakit lambung. Saat penyakit ini kambuh, dia terbiasa makan bubur yang dimasak oleh Janice.

Janice turun dari ranjang. Setelah bersih-bersih, dia pergi membeli bubur di lantai bawah dan membawa bubur itu ke perusahaan.

Perusahaan Felix terletak di pusat kota, dengan harga tanah yang sangat mahal.

Bangunan kantor pusatnya menjulang tinggi, kantor presiden direktur berada di lantai 26. Sebagai asisten khususnya Jordan, Janice bisa pergi ke kantornya Jordan dengan mata terpejam.

Hari ini, saat dia berjalan masuk, dia merasakan suasana di perusahaan yang tidak seperti biasanya.

Saat para rekan kerja melihatnya, mereka tiba-tiba berhenti bersuara dan menatapnya dengan tatapan rumit.

Janice pun merasa aneh.

Seorang rekan kerja yang biasanya berhubungan baik dengannya diam-diam menghampirinya dan berkata, "Janice, ada seorang karyawan wanita baru di kantornya Pak Jordan. Katanya dia sekretaris magang yang baru direkrut ...."

Janice mengernyit. Dia seketika menyadari sesuatu.

Dia berjalan cepat ke kantornya Jordan dan membuka pintu ruangan.

Ruangan yang luas ini sangat terang.

Cahaya matahari masuk melalui jendela ruangan dan menyinari pria dan wanita yang sedang bersandar pada satu sama lainnya di depan meja kerja.

Angela duduk di kursi presiden direktur sambil memainkan laptop di hadapannya.

Jordan berdiri di belakang Angela sambil memegang kursi yang diduduki Angela dengan satu tangannya. Dengan tangannya yang lainnya, dia menunjuk ke layar laptop dan sedang mengucapkan sesuatu pada Angela dengan suara rendah.

Saat Jordan melihat Janice, dia hanya mengangkat tatapannya sambil bertanya, "Mana buburnya?"

Janice berjalan menghampiri pria itu dan meletakkan bubur itu di hadapannya.

Jordan mengernyit sambil bertanya, "Bukan kamu yang masak?"

"Aku nggak punya waktu," jawab Janice.

"Besok, masakkan lagi satu porsi," kata Jordan.

Jordan membuka bungkusan bubur itu dan menyodorkannya ke hadapan Angela sambil berkata, "Makanlah, supaya perutmu terasa lebih nyaman."

Angela mengambil sendok dan berkata, "Terima kasih, Pak Jordan."

"Kenapa kamu tiba-tiba memanggilku dengan panggilan seasing ini?" tanya Jordan.

"Di perusahaan, aku tetap harus memperhatikan panggilanku padamu," kata Angela sambil tersipu malu. "Sekarang, aku adalah sekretarismu."

"Baiklah," kata Jordan.

Kedua orang ini berbicara seakan-akan mereka berada di dunia mereka sendiri.

Angela memakan dua suap bubur, lalu tiba-tiba mengangkat kepalanya dan menatap Janice yang berada tidak jauh darinya dengan tatapan hati-hati.

Tanpa mengangkat kepalanya, Jordan langsung berkata, "Janice, pergilah. Angela nggak nyaman kalau kamu ada di sini."

Janice juga tidak ingin berlamaan di tempat ini dengan orang-orang yang menjijikkan ini, jadi dia langsung berbalik dan meninggalkan ruangan.

Begitu dia keluar, dia kebetulan bertemu dengan Calvin James yang sedang berjalan keluar dari lift dengan kedua tangan di dalam kantong celananya.

Calvin tumbuh besar dengan Jordan. Bisnis Keluarga James dikelola oleh putra tertua mereka, sehingga Calvin sebagai putra kedua pun menjadi santai dan malas. Biasanya, dia sering datang mencari Jordan di perusahaan.

Saat Calvin melihat Janice, dia mengulurkan tangannya dan menyapa Janice. "Kak ... Janice."

Beberapa teman dekatnya Jordan juga sangat akrab dengan Janice. Entah sejak kapan, mereka mulai memanggil Janice dengan panggilan "kakak ipar".

Jordan juga tidak pernah menolak panggilan ini.

Seiring dengan berjalannya waktu, posisi Janice sebagai "calon istrinya Jordan" pun menjadi makin jelas.

Calvin tidak berpikir panjang, dia selalu memanggil Janice dengan panggilan "kakak ipar".

Ini pertama kalinya Calvin memanggil Janice dengan namanya.

Janice menghentikan langkahnya dan menatap Calvin dengan matanya yang besar.

Dengan ekspresi canggung, Calvin berkata, "Aku pergi cari Kak Jordan, ya."

Dia seperti sedang melarikan diri dari Janice.

Janice mengerutkan bibirnya, lalu pergi ke tempat kerjanya sendiri.

Melihat layar gelap di hadapannya, pikirannya melayang sejenak.

Dia sudah kenal dengan Jordan selama 19 tahun.

Janice adalah teman masa kecilnya Jordan, asisten khususnya, sahabatnya dan juga calon istrinya di mata semua orang.

Semua orang tahu bahwa Janice sangat menyukai Jordan.

Awalnya, Janice mengira bahwa Jordan juga menyukainya.

Selama bertahun-tahun, Jordan sering dikelilingi oleh wanita, tetapi kebanyakan dari mereka adalah lawan skandalnya dan tidak pernah berada di sisinya lebih dari tiga hari.

Setiap kalinya, Jordan akan menjelaskan pada Janice dengan santai.

"Semuanya hanya sandiwara. Kalau bukan karena ada nilai gunanya, siapa yang akan menyia-nyiakan waktu pada mereka? Janice, kamu nggak sama dengan mereka."

Namun, kali ini, Angela sudah berada di sisi Jordan selama dua bulan.

Jordan malah tidak memberikan penjelasan apa pun pada Janice.

Janice mengepalkan tangannya.

Sejak kecil, dia sudah hidup bergantung pada orang lain, sehingga dia memiliki sifat yang sensitif dan sering menahan diri. Saat dia menemui masalah, dia tidak akan berinisiatif untuk menyelesaikan masalah tersebut, melainkan akan menunggu sebuah hasil.

Hanya saja, kali ini, dia sepertinya tidak perlu menunggu lagi.

Janice berdiri dan berjalan kembali ke kantornya Jordan.

Entah apa yang sedang dibicarakan oleh Jordan dan Calvin, keduanya sedang tersenyum.

Angela duduk di satu sisi sambil menatap kedua pria itu dengan tatapan berkilau.

Kedatangan Janice agak mendadak.

Jordan pun mengernyit sambil bertanya, "Aku nggak memanggilmu, kenapa kamu masuk ke sini?"

"Pak Jordan, sebagai asisten khususmu, aku ingin mengingatkan sesuatu padamu," kata Janice sambil membanting pintu ruangan.

"Kualifikasi dan pendidikan Angela nggak memenuhi syarat, dia nggak bisa menduduki posisi sekretaris presiden direktur dan sama sekali nggak berkualifikasi untuk magang di perusahaan. Jadi, pengaturanmu nggak masuk akal."

Angela berdiri dengan takut-takut. Matanya seketika memerah.

"Kak Janice, aku tahu aku punya banyak kekurangan. Tapi, aku akan belajar dengan sungguh-sungguh ..." kata Angela.

Namun, Jordan langsung menyela, "Janice, baik dia memenuhi syarat atau nggak, itu bukan urusanmu."

Tatapan Jordan menggelap. "Dia pacarku. Jadi, jangankan sekretaris, dia bahkan memenuhi syarat untuk menjadi istriku!"

Janice merasa seakan-akan sebuah palu menghantam jantungnya.

Dia pun tidak bisa menahan tawa.

Pacar, istri ....

Kalau begitu, bagaimana dengan dirinya?

Saat pikirannya sedang kacau, dia tiba-tiba teringat akan sesuatu.

Selama bertahun-tahun, meskipun Jordan tidak pernah menolak Calvin dan yang lainnya memanggil Janice dengan panggilan "kakak ipar", Jordan juga tidak pernah mengakui Janice sebagai pacarnya.

Janice baru menyadari hal ini.

Setelah merasa sedih untuk sejenak, rasa frustrasi yang terpendam dalam hatinya tiba-tiba mereda.

"Kalau begitu, selamat ya! Kalau kalian akan menikah, jangan lupa beri tahu aku," kata Janice.

Kemudian, Janice tertawa dengan sinis sambil berbalik dan berjalan ke luar.

Calvin yang berdiri di satu sisi merasa agak serbasalah.

"Janice, kamu baik-baik saja, 'kan?" tanya Calvin.

Namun, Janice sudah langsung meninggalkan ruangan.

Saat pintu tertutup, dia mendengar suara Calvin yang cemas.

"Kak Jordan, dari ekspresi Janice barusan, dia benar-benar marah. Cepat panggil dia, deh."

Jordan malah berkata dengan dingin dan sombong, "Biarkan saja dia pergi."

"Dia lebih patuh daripada anjing peliharaan. Tanpa kupanggil pun dia akan kembali dan memohon padaku."