TUMANGGALA pacu kuda tunggangannya kencang-kencang. Hewan tersebut benar-benar tak dibolehkannya melambat sedikit pun. Teriakannya terdengar nyaris tanpa henti. Terus menggebah setiap saat.
Berlari sekencang itu membuat Tumanggala cepat sampai tujuan. Jarak sejauh lima belas ribu depa (sekitar 27 kilometer) antara Dahanapura dan Surawana, ditempuhnya hanya dalam waktu beberapa peminuman teh.
Matahari baru saja tergelincir mendekati kaki langit sebelah barat ketika kuda Tumanggala memasuki halaman rumah. Anaknya yang tengah bermain dengan sang ibu, langsung berlari menghampiri.
"Ayaaaaah!" seru bocah berusia tiga tahun tersebut dengan riang.
"Anakku," balas Tumanggala seraya menyambut tubrukan anaknya. Diangkatnya bocah tersebut, dibawa masuk ke dalam rumah.
"Syukurlah kau cepat kembali, Kakang," ujar isteri Tumanggala sembari mengekor langkah suaminya.
Tumanggala meletakkan anaknya ke atas balai-balai beralas bambu di ruang dalam. Meli
Pada masa lalu, setiap keputusan raja dituangkan dalam lembaran-lembaran rontal. Dokumen ini dibuat rangkap dua. Satu untuk arsip kerajaan dan satu lagi diberikan pada penerima anugerah, jika keputusan itu berupa pemberian anugerah. . Pemberian anugerah desa sima, atau anugerah pada seseorang yang dianggap berjasa, selalu dicatat rapi dalam dokumen-dokumen seperti ini. Jika diperlukan, penerima anugerah dapat meminta pada raja untuk dibuatkan rangkapan dalam bentuk batu atau logam agar lebih kuat dan awet. . Dokumen berbentuk rontal tadi disebut ripta prasasti. Sedangkan dokumen yang dipahat pada batu dan logam, masing-masing disebut upala prasasti dan tamra prasasti.
KEESOKAN hari, Triguna mencari-cari cara untuk dapat keluar dari asrama prajurit. Bukan hal mudah, sebab dirinya berada dalam pengawasan khusus atas perintah Senopati Arya Lembana.Triguna tak ubahnya tawanan dalam asrama tersebut. Berbeda dengan Tumanggala yang sudah terbebas dari segala masalah yang membelitnya. Namun demikian Triguna tak patah semangat.Peluang emas akhirnya datang tatkala waktu latihan tiba. Seluruh prajurit dalam asrama diperintahkan keluar mengikuti latihan. Tak terkecuali Triguna. Ia bergegas menyelipkan lempir rontal berisi petunjuk untuk menemui Kridapala ke balik angkin.Para prajurit dibawa menuju ke sebuah lapangan luas. Letaknya tak jauh dari asrama. Dalam perjalanan, Triguna berhasil menyelinap keluar dari barisan. Langsung menyuruk ke balik semak belukar di tepi jalan."Semoga tak ada yang melihat tindakanku ini," desis Triguna dengan wajah tegang. Agak cemas, ia pandangi rombongan prajurit yang tengah menuju ke tempat lati
TRIGUNA langsung meninggalkan beringin besar itu begitu berhasil membaca guratan-guratan di kulit pohon. Matahari tahu-tahu saja sudah tinggi di atas kepala. Ia musti cepat-cepat kembali ke asrama. Agar tidak memicu kecurigaan, Triguna harus masuk asrama bersama para prajurit lain. Untuk itu ia pun bergegas menuju ke lapangan tempat latihan dilangsungkan. Ia berniat mengendap-endap masuk ke dalam barisan latihan. "Sayang sekali aku tidak dapat langsung menemui Bekel Kridapala hari ini juga," gumam Triguna sembari menuju ke lapangan. Lalu terdengar desah napasnya, begitu panjang. Sebetulnya Triguna ingin langsung menuju tempat yang disebutkan dalam guratan di batang pohon tadi. Namun ketika merasakan hari sudah semakin gerah, dirinya menjadi bimbang. Jika menemui Kridapala saat itu juga, dirinya harus lebih lama lagi meninggalkan latihan. Ini bisa membuatnya mendapat masalah. Sebab, pasti akan ada yang mengetahui jika dirinya menghilang dari latihan ha
DUA lelaki bercaping lebar tampak mengendap-endap, mendekati sebuah rumah kecil dekat batas Kotaraja. Sejenak keduanya mengamati keadaan sekeliling yang mulai gelap. Setelah yakin tak ada yang melihat, mereka langsung membuka pintu.Ukuran rumah tersebut sangat kecil sekali. Berupa petak persegi, lebar keempat sisinya hanyalah satu setengah depa (kira-kira 3 meter). Dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Sementara atapnya berupa susunan daun ilalang kering.Hanya ada satu sekat di bagian dalam. Membuat rumah itu terbagi atas dua ruangan sama lebar. Begitu pintu terbuka, tampak seorang lelaki renta tengah berbaring di atas balai-balai reot."Apa kau yakin orang tua itu tidak mengetahui kedatangan kita?" tanya salah satu lelaki bercaping pada temannya.Yang ditanya kibaskan sebelah tangan ke udara."Orang tua itu buta dan tuli. Dia tidak akan tahu apa-apa," sahut lelaki tersebut.Keduanya tak mengacuhkan lelaki renta di atas balai-balai. Terus
PURNAMA sidi menggantung di langit malam Kotaraja Dahanapura. Sinarnya yang benderang membuat keadaan menjadi terang. Sayang, tak seorang pun yang menikmati suasana indah selepas dini hari itu.Ketika semua orang masih terlelap dalam alam impian, kesibukan terlihat di satu rumah petak kecil. Enam lelaki menyelinap keluar dari tempat tersebut secara bergantian. Lalu lenyap dalam bayang-bayang dedaunan menghitam.Setelah menerabas semak belukar selama sekitar dua peminuman teh, mereka berenam tiba di tepi Bengawan Sigarada. Pada lindungan sebatang pohon randu nan tinggi enam lelaki hentikan langkah."Kita berpencar di sini," kata salah seorang dari mereka. Dalam remang sorot sinar rembulan, cambang bauk lebat yang meranggas di wajah lelaki itu masih jelas terlihat."Baiklah, Ranajaya. Kita jalankan bagian masing-masing sesuai rencana," sahut lelaki satu lagi. Dari suaranya dapat diketahui jika orang itu tak lagi berusia muda."Ah, aku sebenarnya meng
MENTARI pagi belum lagi menyembul di kaki langit timur. Namun bocah berusia tiga tahun itu sudah terus merengek, mengajak Tumanggala mandi ke sungai. Sementara sang ayah masih merasa lelah usai bercinta semalaman. Setelah terus merengek, akhirnya Tumanggala mengalah juga. Diboyongnya anak kecil itu menuju sungai yang tak terlalu lebar, tak jauh di belakang rumah. Byur! Begitu mencebur ke dalam sungai, hawa dingin mencucuk tulang seketika membuat Tumanggala menggigil. Gerahamnya bergemeletak tak karuan. Tapi melihat puteranya asyik berenang tanpa sedikit pun kedinginan, dilawannya rasa itu kuat-kuat. Isteri Tumanggala ikut ke sungai pula. Hanya sebentar, sebab perempuan itu hanya mandi secukupnya. Setelah itu langsung kembali ke rumah untuk menyiapkan sarapan. "Jangan lama-lama, Kakang. Jangan sampai kulit anak kita jadi keriput seperti kemarin," pesan isteri Tumanggala sebelum meninggalkan sungai. Tapi dasar namanya anak-anak, putera T
LELAKI bercambang bauk lebat sambut serangan Tumanggala sembari ganda tertawa. Sekali gerak saja sabetan pedang si empunya rumah berhasil ia hindari. Membuat Tumanggala menggeram, semakin marah. Sebelum Tumanggala kembali menyerang, tubuh lelaki bercambang bauk melesat ke luar rumah. Agaknya ia mengajak sang wira tamtama untuk melanjutkan pertarungan di halaman yang luas. Tanpa pikir panjang Tumanggala ikut keluar. Namun begitu tiba di halaman, wajah sang wira tamtama seketika berubah. Kini tak hanya satu orang yang berdiri di hadapannya. Melainkan tiga! "Celaka! Ini alamat tidak bagus," desis Tumanggala tercekat. Sepasang matanya memandang tak berkesip pada dua orang yang baru muncul. Orang pertama memiliki wajah dipenuhi cambang bauk lebat. Begitu lebatnya rambut-rambut hitam legam itu, sampai-sampai hanya bagian pipi ke atas dari lelaki itu yang terlihat. Sedangkan yang satu lagi berbadan tegap berisi, dengan rambut ikal awut-awutan yang be
RANAJAYA dibantu Sudhatu meladeni serangan demi serangan sambil terus ganda tertawa. Sebuah tawa mengejek! Membuat darah Tumanggala semakin mendidih. Serasa hendak muncrat dari ubun-ubun.Traaangg! Traaangg!Suara berdentrangan keras sekali lagi terdengar manakala mata pedang Tumanggala menghantam golok lawan. Dua jenis senjata itu berbenturan sebanyak dua kali. Dua percikan bunga api meletup di udara pagi yang menghangat.Setiap kali pedangnya membentur golok Ranajaya, wajah Tumanggala mengernyit. Tangannya yang memegang gagang pedang terasa ngilu. Pertanda lawan mempunyai tenaga dalam yang tidak dapat dianggap main-main.Tapi sang wira tamtama Panjalu yang sudah dibakar amarah itu tidak ambil peduli. Kembali tangannya bergerak cepat mengayunkan pedang. Mengantar dua sabetan sekaligus ke muka.Sringgg! Sringgg!Diserang begitu rupa, Ranajaya dan Sudhatu hanya menyeringai. Golok besar di tangan mereka kembali digerakkan untuk menangkis sabet
DUA senjata beradu. Heningnya suasana pagi kembali terkoyak oleh suara berdentrangan keras. Percik-percik bunga api muncul dari titik-titik beradunya mata tajam golok besar dan pedang tersebut. Karena baik Tumanggala maupun Ranajaya sama-sama kerahkan tenaga dalam, benturan itu menyebabkan tangan keduanya merasakan kesemutan hebat. Dari pergelangan tangan hingga ke siku. Separuh tangan mereka seolah mati rasa. Tumanggala berdiri tergontai-gontai dengan napas memburu. Rasa geram yang memuncak ia luapkan dengan meludah ke tanah. "Kalian tidak perlu jauh-jauh mati di alun-alun, bajingan tengik! Karena aku, Tumanggala, yang akan memenggal kepala kalian semua di sini sekarang juga!" geram sang wira tamtama membentak. Tumanggala tutup ucapannya dengan satu serangan. Pedang di tangannya kembali berputar-putar sebat. Membuat senjata itu hanya terlihat sebagai sebuah gulungan keperakan memanjang. Ujung tajam pedang mengarah lurus ke dada lawan. "Hiiaaa
BEGITULAH kehidupan di dunia. Tak selamanya kegelapan nan muram menyungkupi. Selama bumi masih berputar, maka akan ada saatnya matahari muncul memancarkan sinar. Memberi terang pada seluruh makhluk. Malam yang gelap pun berganti menjadi siang nan benderang. Selubung hitam menghilang bersama menguapnya embun di dedaunan. Tumanggala sedang berada pada titik itu. Di mana kegetiran yang memayungi kehidupannya perlahan-lahan sirna. Dari keadaan terpuruk hampir mati, prajurit Panjalu tersebut memperoleh kejayaan yang tak disangka-sangka. "Lagi-lagi kau menanamkan jasa besar bagi kerajaan, Tumanggala. Gusti Prabu merasa sangat senang sekali persekongkolan jahat Agreswara terbongkar. Semua berkat dirimu," kata Rakryan Tumenggung pada Tumanggala sore itu. Yang diajak bicara tentu saja senang dipuji begitu. Namun ia pendam dalam-dalam kebanggaan itu. Kepalanya tetap ditundukkan dengan takzim. "Saya hanya menjalankan dharma bakti sebagai seorang prajurit Panjalu, Gusti Tumenggung. Sebagai se
KOTARAJA tiba-tiba saja berubah sibuk pagi itu. Pengakuan Ganaseta membuat Arya Lembana bergerak cepat. Senopati tersebut langsung menghadap Rakryan Rangga dan Rakryan Tumenggung sekaligus.Di hadapan panglima tertinggi Kerajaan Panjalu itu, kembali Ganaseta mengulangi keterangannya. Bahwa perampokan demi perampokan yang terjadi di seantero kerajaan selama ini didalangi oleh seorang berpangkat tinggi.Pejabat itulah yang mengatur tempat-tempat mana saja yang harus dikacau dengan perampokan. Dimulai dari desa-desa yang jauh. Lalu semakin lama semakin mendekat ke Kotaraja.Tujuan akhir dari rencana itu adalah menggoyang kewibawaan Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya, raja Panjalu yang tengah bertahta.Sayang, baru sampai Katang Katang dan Lusem rencana itu agaknya harus berakhir. Bermaksud membalaskan dendam pribadinya, Tumanggala secara tak sengaja justru berhadapan dengan kelompok itu dan membongkar niat jahat mereka."Berarti benar dugaan kita. Ru
SENOPATI Arya Lembana bergegas keluar kamar begitu diberi tahu ada telik sandi datang menghadap. Langkah kakinya diayunkan cepat-cepat menuju pendopo. Tamunya sudah menunggu di sana. Hari masih sangat pagi. Permukaan dedaunan masih berhias embun yang bening laksana kristal. Di langit, mendung kelabu nan tebal menghalangi sinar matahari. Membuat keadaan remang-remang. Telik sandi di pendopo langsung haturkan sembah hormat begitu melihat kedatangan Arya Lembana. Orangnya masih muda, berusia kisaran pertengahan dua puluhan. Badannya kukuh, tegap berisi selayaknya prajurit Panjalu lain. "Ada kabar apa?" tanya Arya Lembana setelah menerima haturan sembah. "Saya membawa kabar dari Lusem, Gusti Senopati," jawab telik sandi tersebut. "Hmm, Lusem?" Arya Lembana amat-amati telik sandi di hadapannya. Barulah sang senopati ingat kalau orang itu memang yang ditugaskan di kawasan barat Kotaraja. "Benar, Gusti," sahut si telik sandi. "Semalam terjadi
UCAPAN anak buah Ranajaya itu membuat Tumanggala kernyitkan kening. Raut keheranan tampak jelas pada wajah prajurit Panjalu itu. Apa lagi ini? Batinnya bertanya-tanya. Tumanggala tinggalkan Ranajaya begitu saja. Ia sama sekali tak khawatir buruannya itu kabur, sebab sudah tak mampu bergerak lagi. Sang prajurit lebih tertarik pada keterangan lelaki tadi. "Jelaskan apa maksud ucapanmu!" ujar Tumanggala begitu tiba di sebelah si lelaki. Belum sempat lelaki tadi menjawab, Ranajaya sudah menghardik anak buahnya itu. "Keparat kau, Ganaseta! Apa yang akan kau katakan?" Hal ini membuat Tumanggala semakin tertarik. Dari berdiri, kini sang prajurit jongkok di sebelah lelaki yang dipanggil Ganaseta oleh Ranajaya tadi. Dalam jarak sedekat itu Tumanggala dapat melihat lebih jelas wajah orang. Seketika parasnya berubah. Wajah itu tidak asing dalam ingatannya. Rasa-rasanya pernah bertemu, tapi entah di mana. "Tunggu! Aku rasa kita pernah bert
PERTARUNGAN satu lawan satu pun pecah. Ranajaya yang sebenarnya sudah kecut nyali berlaku nekat. Ia tak hendak menyerah begitu saja. Meski semakin lama semakin terdesak, sebisa mungkin ia ladeni serangan Tumanggala.Bisa ditebak, pertarungan itu berjalan berat sebelah. Hanya dalam tempo dua setengah jurus berselang, terlihat bagaimana Tumanggala sangat menguasai keadaan. Pukulan dan tendangannya berkali-kali mendarat di tubuh Ranajaya.Buk! Buk! Buk!Dalam satu kesempatan, Tumanggala mengirim tiga pukulan beruntun menggunakan tangan kiri. Sasaran tinju itu adalah dada Ranajaya yang sama sekali tak dapat mengelak.Tubuh lelaki bercambang bauk lebat itu tersuruk ke belakang. Terkena telaknya pukulan beruntun Tumanggala. Belum puas, sang prajurit sudah menambahkan serangan lagi. Kali ini dengan tiga tendangan berturut-turut.Des! Des! Des!"Aaaaaa!"Lagi-lagi Ranajaya tak kuasa berkelit. Hantaman tiga tendangan beruntun tersebut membuat
DIKEROYOK empat lawan bersenjata seperti itu tentulah bukan perkara mudah. Karenanya pada awal-awal pertarunganTumanggala agak keteteran. Namun setelah berjalan beberapa jurus, mulai terlihat bahwa dua dari empat lawannya tersebut sudah tak bertenaga.Dengan cerdik sang prajurit lantas pusatkan serangannya pada dua orang tersebut. Dua lelaki yang punggungnya terluka parah, dan telah kehilangan begitu banyak darah.Sembari berkelit menghindari tusukan dan sambaran golok Ranajaya serta satu anak buahnya yang lain, Tumanggala berhasil mengirim tendangan keras ke dua lelaki yang menjadi sasaran utamanya."Hiaaaat!"Des! Des!Dua lelaki tersebut terpekik. Dada mereka serasa sesak bukan main saat kaki Tumanggala singgah. Tubuh keduanya terjajar mundur. Baru berhenti saat punggung mereka yang sudah terluka menghantam dinding salah satu rumah penduduk.Setelah itu kedua lelaki tersebut jatuh duduk, lalu terguling-guling berselimut lumpur nan k
TUMANGGALA sontak batalkan niat. Pedang yang sudah teracung di atas kepala perlahan-lahan diturunkan kembali. Kepalanya berputar, memandang ke arah Ranajaya yang sudah berada tak jauh darinya."Ah, Tumanggala. Sungguh tak kusangka seorang kesatria Panjalu bisa punya pikiran serendah ini," ujar Ranajaya bermaksud mengejek."Lelaki jahanam! Kau harus mati di tanganku sebagai balasan kematian anak dan isteriku!" balas Tumanggala menggeram. Tatapan matanya berkilat-kilat.Amarah sang prajurit semakin menggelegak. Sudah sejak tadi-tadi ia ingin menghabisi Ranajaya. Namun tiga anak buah lelaki biadab itu tiba-tiba datang menghalangi."Ah, ah, kau ini sungguh lucu, Tumanggala," sahut Ranajaya, masih dengan nada mengejek. "Aku sama sekali tidak membunuh anak dan isterimu. Bagaimana mungkin kau bilang aku harus mati sebagai balasan kematian mereka?"Tumanggala kertakkan rahang. Ia hendak menanggapi ucapan lawan, namun Ranajaya sudah mendahului."Anak
TUMANGGALA dapat menduga apa yang tengah dilakukan lawan. Tentulah lelaki yang sudah terdesak itu memanggil bala bantuan.Benar saja. Tak lama berselang muncul dua lelaki yang juga bercambang bauk lebat dari arah berlainan. Setengah berlari keduanya menuju ke arena pertarungan sembari mengacungkan golok besar di tangan masing-masing.Tumanggala mendengus. Bibirnya mengukir seringai lebar."Bagus! Cepat ke sini kalian berdua, biar sekalian aku habisi!" geram Tumanggala begitu melihat dua lawan barunya tersebut."Jangan besar mulut! Kaulah yang akan mati di tangan kami!" bentak salah satu dari dua lelaki yang baru muncul.Tanpa memperpanjang kata lagi, dua lelaki yang baru muncul sudah menyerbu ke arah Tumanggala. Dua golok besar disabetkan ke depan. Satu mengarah ke ulu hati, satunya lagi mengarah ke batang leher!"Hiaaaat!"Wuuut! Wuuut!Sambaran golok menimbulkan suara menderu. Gaungnya yang terdengar jelas membuat bulu kuduk
MENDENGAR bentakan tersebut Tumanggala terkaget-kaget. Cepat sang prajurit Panjalu balikkan badan untuk melihat siapa yang berada di belakangnya. Satu tindakan seketika yang terhitung ceroboh.Rasa kaget Tumanggala kemudian bertambah-tambah. Belum sempat matanya melihat orang yang berteriak tadi dengan jelas, satu serangan deras sudah menyambut. Sebilah golok besar menyambar ke arahnya.Wuutt!Suara menderu keras terdengar bersamaan dengan datangnya sambaran golok. Tumanggala yang tak siap dengan serangan itu mengambil cara termudah untuk mempertahankan diri.Dalam satu gerak cepat pedang di tangan sang prajurit diayunkan untuk menyambut datangnya serangan. Tak lupa tenaga dalam ia kerahkan.Sriiing!Angin yang dibelah laju pedang menimbulkan suara berdesing. Cahaya kobaran api dari rumah-rumah terbakar yang jatuh di badan pedang, membuat senjata andalan Tumanggala itu terlihat berkilat-kilat.Lalu sekejap kemudian ....Trang!