ARAK-ARAKAN pasukan tersebut memasuki Dahanapura jelang dini hari. Paling depan sebagai pemimpin adalah Rakryan Mantri Tumenggung. Di sebelahnya ada Senopati Arya Mandura bersama dua bekel.Lebih di belakang lagi, terdapat sepasukan kecil berkekuatan 20 prajurit magalah. Mereka dipimpin oleh seorang bekel dan dibantu seorang lurah prajurit.Tepat di belakang pasukan kecil itu terdapat kereta kencana yang dikawal ketat sepuluh prajurit magalah di kanan-kiri. Di dalamnya, Dyah Wedasri Kusumabuwana dan simbok emban tengah tertidur pulas.Lalu di belakang kereta kencana ada dua gerobak kayu yang terlihat dibuat secara dadakan. Gerobak pertama berisi seorang lelaki dalam keadaan luka-luka, yang tak lain adalah Senopati Arya Lembana. Sedangkan gerobak kedua dijejali pendekar-pendekar bayaran komplotan Kridapala yang dikalahkan oleh Arya Mandura.Tumanggala yang tadi diminta ikut masuk ke dalam kereta oleh Dyah Wedasri, mau tak mau menurut saja. Beruntung baginya sang puteri sudah terlelap s
"INI sudah hari keberapa sejak kakangmu itu tahu-tahu kembali kemari, tapi langsung pergi lagi?"Sambil mengajukan tanya, wanita berusia kisaran enam puluhan tahun itu menjejalkan sebatang kayu bakar ke dalam tungku. Api meredup sejenak, tetapi segera membesar lagi usai ditiup oleh si wanita tua."Seingatku baru dua hari, Bi," jawab perempuan muda yang diajak bicara. Di tangannya terpegang sebuah kipas bambu yang sesekali diipit-ipitkan ke tungku.Wanita tua yang dipanggil bibi tersenyum penuh arti. "Baru ditinggal pergi dua hari saja kau sudah sekusut ini. Sudah terlalu berat menanggung rindu agaknya....""Bibi!" tukas si perempuan muda, lalu mencebikkan bibir dengan raut muka kesal. "Aku hanya mencemaskan Kakang Tumanggala. Siapapun yang berani menculik puteri raja, pastilah bukan orang sembarangan. Aku khawatir....""Dan kakangmu itu juga bukan orang sembarangan, Citra," sergah si wanita tua pula. "Kau tak perlu terlalu mencemaskan dirinya. Dia pasti bisa menjaga diri, percayalah."
Akhirnya, setelah sempat terbengkalai selama lebih dari satu warsa, seri kedua dari kisah Arya Tumanggala ini rampung juga. Ada perasaan lega, tetapi juga sedikit tidak puas di dalam diri saya. Lega karena dengan ini saya tidak lagi menggantung pembaca dengan kisah yang tak kunjung tuntas. Juga sangat lega karena saya dapat menunaikan janji kepada editor, baik yang dulu maupun yang sekarang. Sedangkan rasa tidak puas muncul karena saya sadar sepenuhnya jalan cerita ini agak meleset dari rencana awal. Harap maklum, lebih dari sewarsa cerita ini terlantar karena satu dan lain alasan. Karena itu, saya mohon kerelaan para pembaca sekalian untuk memaklumi serta memaafkan rupa-rupa kekurangan yang mungkin berceceran dalam cerita ini. Tak ada gading yang tak retak, apatah lagi karya saya yang amat sangat sederhana ini. Dengan segala kerendahan hati, saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pembaca yang telah mengikuti Arya Tumanggala 2 sampai tamat. Sampai jumpa di cerita selanjut
SENJA menjelang manakala kesunyian di sepanjang tepian Bengawan Sigarada pecah. Suara keteplak ladam dan ringkikan kuda seketika memenuhi udara. Burung-burung yang hinggap pada pucuk-pucuk perdu rendah kaget, lalu terbang berserabutan ke langit. Serombongan prajurit berkuda tampak melaju di jalan tanah tak jauh dari tepi sungai. Diiringi kepulan debu tebal di belakang mereka. "Heeyyaa! Heeyyaa!" teriak para prajurit menggebah kuda masing-masing. Rombongan itu berderap dalam kecepatan sedang. Mereka mengiringkan satu kereta kuda berhias bagus. Dari bentuk ukiran serta hiasan-hiasan di sekujur badannya, mudah dikenali jika kendaraan tersebut merupakan kereta istana. Artinya, siapa pun yang berada di dalam kereta pastilah kerabat dekat raja. Ini dapat terlihat pula dari banyaknya prajurit yang mengawal. Berjumlah tak kurang dari dua puluh orang. Dibagi dalam dua kelompok, masing-masing sepuluh di depan dan sepuluh di belakang. Namun ada keanehan. Tak lama setelahnya terlihat pula sek
TUMANGGALA baru saja mencapai deretan kuda-kuda penarik kereta saat tiba-tiba saja telinganya mendengar satu bentakan keras dari arah depan. Disusul munculnya beberapa sosok tubuh dari balik semak-semak di kanan-kiri jalan. "Berhenti!" Seruan itu terdengar menggelegar, bak hantaman petir di siang bolong. Seluruh anggota rombongan pengawal Dyah Wedasri Kusumabuwana sontak kaget. Dari tempatnya berada Tumanggala dapat menyaksikan Ki Bekel Wikutama langsung menarik tali kekang kuda. Kusir tua yang mengendalikan kereta tak kalah kaget. Untung saja lelaki itu sudah berpengalaman. Dalam sekali gerak saja ia berhasil menghentikan empat ekor kuda penarik kendaraan yang membawa junjungannya. Jika tidak, pastilah hewan-hewan yang kaget tersebut bakal menyeruduk para prajurit di depan. Tumanggala mendengar jeritan perempuan dari dalam kereta. Naluri kelelakiannya mendorong agar ia mendekati kendaraan tersebut. Namun sang arya memilih terus menuju ke arah Ki Bekel Wikutama. "Jagad dewa bathar
TUMANGGALA sempat dibuat bingung melihat Ki Bekel Wikutama malah menyerang musuh. Bukankah tadi atasannya itu sudah membagi tugas? Dan menghadapi keempat lelaki bercadar di hadapan mereka menjadi tanggung jawab Tumanggala. Amarah yang membuncah agaknya membuat sang bekel lupa pada segala-galanya. Termasuk ucapannya sendiri. Alih-alih menunggu lawan melakukan serangan, lelaki tersebut justru terlebih dahulu menyerbu. Namun sudah terlanjur. Serangan Ki Bekel Wikutama sedikit lagi sampai. Maka Tumanggala cepat mengambil tindakan. Ia pun memberi isyarat tangan pada Wyara, meminta sahabatnya itu untuk mengamankan kereta. "Lindungi kereta! Mereka menginginkan yang kita bawa!" seru Tumanggala. Sengaja ia mengatakan ‘yang kita bawa’ agar tidak tegas-tegas menyebut nama Dyah Wedasri yang tengah diincar para pengadang. Wyara cepat mengangguk, lalu tampak memberi perintah pada beberapa prajurit lain. Mereka memusatkan kekuatan di sekitar pintu kereta. Sementara serangan Ki Bekel Wikutama k
SUARA-suara jeritan yang saling susul membuat suasana bertambah mencekam. Lebih-lebih bagi dua perempuan di dalam kereta. Pelukan Dyah Wedasri Kusumabuwana pada simbok emban semakin erat saja. Di kaki langit sebelah barat, matahari telah berubah menjadi bulatan jingga nan sempurna. Siap berlabuh di peraduannya. Gelap sebentar lagi datang. Sementara pertarungan berlangsung semakin tak seimbang. Para prajurit Panjalu boleh saja masih unggul dalam jumlah. Tapi kemampuan rata-rata mereka nyata sekali berada di bawah lelaki bercadar. Alhasil, dikeroyok dua-tiga pun tidak menyulitkan bagi komplotan pengadang. Crasss! Crasss! “Aaaaaaa!” Dua lagi prajurit Panjalu di sebelah belakang kereta roboh ke tanah. Luka lebar tampak menganga di dada dan perut mereka. Darah segera saja membasahi sekujur tubuh keduanya, lalu mengalir turun ke permukaan tanah. Kini jumlah pasukan pengawal kereta tinggal sepuluh orang. Empat di depan menghadapi tiga lawan, enam lagi di belakang menghadapi empat orang.
KAGET Tumanggala bukan alang kepalang. Pedangnya yang nyaris menghabisi lawan dibuat mental oleh sabetan sebilah golok. Diiringi suara berdentrang nyaring menusuk telinga. Belum usai kekagetan Tumanggala, dua sosok hitam sudah muncul di hadapannya. Lalu dua bilah golok terayun, mengancam dada dan lehernya sekaligus! “Mati kau, prajurit keparat!” bentak salah seorang dari dua lelaki bercadar sembari ayunkan golok. Tumanggala tak sempat berpikir lebih jauh. Tanpa senjata di tangan, ia memilih melompat menghindar. Namun lawan tak memberinya kesempatan. Belum lagi kakinya kembali menjejak tanah, dua lelaki di hadapannya sudah menyambut. Wuuuttt! Wuuttt! Suara menderu dahsyat mengiringi sambaran dua golok. Tumanggala menggeram marah. Ia tak mau kakinya buntung kena babat. Tapi keadaan dirinya tidak memungkinkan untuk bergerak menghindari serangan. “Bedebah!” Tumanggala hanya dapat memaki geram. Ia pasrah pada apa pun yang bakal menimpa. Tapi alih-alih merasakan tajamnya sambaran golo
Akhirnya, setelah sempat terbengkalai selama lebih dari satu warsa, seri kedua dari kisah Arya Tumanggala ini rampung juga. Ada perasaan lega, tetapi juga sedikit tidak puas di dalam diri saya. Lega karena dengan ini saya tidak lagi menggantung pembaca dengan kisah yang tak kunjung tuntas. Juga sangat lega karena saya dapat menunaikan janji kepada editor, baik yang dulu maupun yang sekarang. Sedangkan rasa tidak puas muncul karena saya sadar sepenuhnya jalan cerita ini agak meleset dari rencana awal. Harap maklum, lebih dari sewarsa cerita ini terlantar karena satu dan lain alasan. Karena itu, saya mohon kerelaan para pembaca sekalian untuk memaklumi serta memaafkan rupa-rupa kekurangan yang mungkin berceceran dalam cerita ini. Tak ada gading yang tak retak, apatah lagi karya saya yang amat sangat sederhana ini. Dengan segala kerendahan hati, saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pembaca yang telah mengikuti Arya Tumanggala 2 sampai tamat. Sampai jumpa di cerita selanjut
"INI sudah hari keberapa sejak kakangmu itu tahu-tahu kembali kemari, tapi langsung pergi lagi?"Sambil mengajukan tanya, wanita berusia kisaran enam puluhan tahun itu menjejalkan sebatang kayu bakar ke dalam tungku. Api meredup sejenak, tetapi segera membesar lagi usai ditiup oleh si wanita tua."Seingatku baru dua hari, Bi," jawab perempuan muda yang diajak bicara. Di tangannya terpegang sebuah kipas bambu yang sesekali diipit-ipitkan ke tungku.Wanita tua yang dipanggil bibi tersenyum penuh arti. "Baru ditinggal pergi dua hari saja kau sudah sekusut ini. Sudah terlalu berat menanggung rindu agaknya....""Bibi!" tukas si perempuan muda, lalu mencebikkan bibir dengan raut muka kesal. "Aku hanya mencemaskan Kakang Tumanggala. Siapapun yang berani menculik puteri raja, pastilah bukan orang sembarangan. Aku khawatir....""Dan kakangmu itu juga bukan orang sembarangan, Citra," sergah si wanita tua pula. "Kau tak perlu terlalu mencemaskan dirinya. Dia pasti bisa menjaga diri, percayalah."
ARAK-ARAKAN pasukan tersebut memasuki Dahanapura jelang dini hari. Paling depan sebagai pemimpin adalah Rakryan Mantri Tumenggung. Di sebelahnya ada Senopati Arya Mandura bersama dua bekel.Lebih di belakang lagi, terdapat sepasukan kecil berkekuatan 20 prajurit magalah. Mereka dipimpin oleh seorang bekel dan dibantu seorang lurah prajurit.Tepat di belakang pasukan kecil itu terdapat kereta kencana yang dikawal ketat sepuluh prajurit magalah di kanan-kiri. Di dalamnya, Dyah Wedasri Kusumabuwana dan simbok emban tengah tertidur pulas.Lalu di belakang kereta kencana ada dua gerobak kayu yang terlihat dibuat secara dadakan. Gerobak pertama berisi seorang lelaki dalam keadaan luka-luka, yang tak lain adalah Senopati Arya Lembana. Sedangkan gerobak kedua dijejali pendekar-pendekar bayaran komplotan Kridapala yang dikalahkan oleh Arya Mandura.Tumanggala yang tadi diminta ikut masuk ke dalam kereta oleh Dyah Wedasri, mau tak mau menurut saja. Beruntung baginya sang puteri sudah terlelap s
USAI menerima laporan bahwa keadaan Dyah Wedasri baik-baik saja, Rakryan Tumenggung langsung mengambil beberapa tindakan. Pertama-tama, kepada semuanya sang panglima berkata ingin membawa junjungan mereka ke istana malam ini juga."Paling lambat pagi-pagi sekali besok, Gusti Puteri sudah harus tiba di istana," ujar Rakryan Tumenggung, yang langsung dipatuhi oleh seluruh pasukannya.Setelah tandu disiapkan, Dyah Wedasri dipersilakan naik untuk dibawa meninggalkan kawasan tepi jurang. Mereka kembali ke sungai, sebelum kembali ke dekat air terjun dan bergabung dengan Senopati Arya Mandura bersama anggota pasukan lainnya.Di sungai, rombongan dipecah dua. Yang pertama membawa Dyah Wedasri melalui jalur sungai, sedangkan yang kedua kembali ke kawasan air terjun lewat jalur darat.Dyah Wedasri dibawa dengan sampan bersama Rakryan Tumenggung, seorang bekel, serta dua prajurit sebagai pendayung. Sedangkan para pengawal menaiki rakit batang pisang buatan Tumanggala.Tumanggala sendiri turut me
"ORANG tua, kau ini siapa? Bagaimana kau bisa mengetahui nama kecilku?" tanya salah satu pengeroyok Tumanggala, seketika mengalihkan perhatian pada si lelaki tua yang tadi berseru.Yang ditanyai tertawa mengekeh, sembari pandangan lelaki berpakaian perwira tinggi kerajaan di hadapannya. Menilik pada kemewahan serta kelengkapan seragam orang tersebut, petapa tua itu mudah saja mengenali jika yang tengah dihadapi adalah seorang berpangkat tinggi.Sementara Tumanggala untuk kesekian kalinya dibuat kaget. Setelah berhenti bertarung, ia jadi punya kesempatan mengamat-amati wajah dua pengeroyoknya. Parasnya seketika berubah."G-Gusti Tumenggung?" seru Tumanggala tanpa sadar.Perwira tersebut memang Rakryan Mantri Tumenggung. Ia dan rombongannya jadi yang terdepan dalam mengejar arah suara Dyah Wedasri. Sayang, kedatangannya di tempat ini disuguhi pemandangan yang membuatnya berburuk sangka.Rakryan Tumenggung berbalik badan dan memandangi Tumanggala. Seolah baru menyadari siapa yang tadi ia
"ASTAGA! Bagaimana bisa begini?"Tumanggala benar-benar terkejut ketika kemudian tahu siapa sosok yang baru muncul dari dasar jurang. Ia memang belum melihat wajah orang tersebut, tetapi suara yang baru saja terdengar sudah tidak asing lagi baginya.Maka Tumanggala buru-buru bangkit dan berdiri, meski dengan wajah mengernyit menahan perih. Bertepatan dengan saat itu sosok tadi mendaratkan kakinya di permukaan cadas batu di tepi jurang.Kerutan di kening Tumanggala bertambah dalam manakala menyadari sosok tersebut tidak sendiri. Di pundak kanannya ada sesosok tubuh gadis, tampak diam saja dalam panggulan."G-Guru?" ujar Tumanggala setengah tak percaya. "Gusti Puteri? Bagaimana bisa?""Bagaimana bisa, bagaimana bisa?" sembur sosok yang baru muncul, tak lain tak bukan memang si petapa dari Teluk Secang, guru Tumanggala."Tumang, Tumang ... kau seharusnya mengucapkan terima kasih padaku, bukannya malah terlihat bingung dan heran seperti kambing congek begitu!" tambah si lelaki tua. Meski
"APA maksudmu, Keparat?" tanya Tumanggala setengah menggeram. "Apa yang telah kau perbuat pada ayah kandungku?" Genggaman Tumanggala kian erat memegangi pergelangan tangan Kridapala. Ia tak sudi melepas mantan atasannya itu sebelum mendapatkan kejelasan mengenai kedua orang tuanya. Dari apa yang diucapkan Kridapala kepadanya sejak di atas sampan tadi, Tumanggala langsung menduga kuat jika Kridapala mengenal baik ayah-ibu kandungnya. Bahkan bisa jadi mantan bekel tersebut tahu banyak apa yang menimpa dua orang tersebut. Kridapala sendiri menyeringai susah payah sebagai tanggapan. Setengah menahan sakit, setengahnya lagi sengaja mengejek Tumanggala yang tampak kian penasaran terhadap apa yang sudah ia sampaikan. "Ayahmu seorang terhormat, Tumanggala, seorang besar yang disegani semua kalangan di kerajaan ini," jawab Kridapala kemudian, meski dengan napas terengah-engah. "Andai saja nasib malang tidak menimpanya, aku pastikan masa kecilmu sangat bahagia. Kau tumbuh di puri indah lagi
SAMBIL terbungkuk-bungkuk menahan sesak di dada, hati Tumanggala seketika berdesir. Dari sini saja ia langsung tahu jika Kridapala sesungguhnya memiliki kemampuan tenaga dalam lebih tinggi.Wajar sebetulnya, sebab seorang bekel kerajaan memang haruslah menguasai setidaknya tenaga dalam tingkat menengah. Tumanggala yang belum lama naik jabatan jadi wira tamtama, serta selalu melarikan diri dari gurunya, masih belum terlalu mendalami kepandaian tersebut."Aku harus mencari akal," gumam Tumanggala kemudian.Ia paham benar, dirinya tidak boleh sering-sering beradu tenaga dalam dengan Kridapala. Jika tidak, lambat laun luka dalam yang baru saja ia derita bakal semakin parah. Bahkan dapat mengancam nyawa!Di kejauhan, Kridapala tampak berdiri tenang-tenang. Sekilas pandang sepertinya lelaki tersebut tidak merasakan apa-apa. Beradunya pukulan tenaga dalam tadi seolah tidak menimbulkan akibat buruk sedikit pun padanya.Namun itu hanyalah akal-akalan Kridapala. Ia tak sudi terlihat lebih lemah
"BAJINGAN kau, Tumanggala!" Triguna meraung setinggi langit. Diikuti mendesis-desis tak karuan.Tadi, ketika melihat pertahanan Triguna terbuka, Tumanggala langsung memanfaatkan kesempatan bagus tersebut. Ia entakkan sebelah kaki sekuat tenaga, mengirim tendangan bertenaga dalam tinggi ke dada lawan.Karena gerakannya semakin lamban, Triguna tak kuasa bergerak menghindar. Lelaki itu hanya bisa coba menangkis dengan kedua tangan, tetapi tendangan Tumanggala terlalu deras baginya.Dadanya memang terhindar dari terjangan, tetapi tapak kaki Tumanggala tanpa ampun menghajar kedua tangan Triguna. Suara berderak tadi adalah pertanda jika sepasang tangan lelaki tersebut mengalami patah tulang.Di tempatnya, Kridapala bergidik menyaksikan keadaan Triguna. Sudahlah pangkal bahunya bergeser, kini kedua tangan pun terkulai lemah karena mengalami patah tulang."Menyerahlah, Triguna. Tabib istana pasti mampu menyembuhkan luka-lukamu," ujar Tumanggala yang juga tampak mengernyit ngeri. Bagaimanapun