Home / Pendekar / Arya Tumanggala 2 / Serangan Panah

Share

Serangan Panah

Author: Kebo Rawis
last update Last Updated: 2021-10-02 01:57:22

TUMANGGALA baru saja mencapai deretan kuda-kuda penarik kereta saat tiba-tiba saja telinganya mendengar satu bentakan keras dari arah depan. Disusul munculnya beberapa sosok tubuh dari balik semak-semak di kanan-kiri jalan.

"Berhenti!"

Seruan itu terdengar menggelegar, bak hantaman petir di siang bolong. Seluruh anggota rombongan pengawal Dyah Wedasri Kusumabuwana sontak kaget. Dari tempatnya berada Tumanggala dapat menyaksikan Ki Bekel Wikutama langsung menarik tali kekang kuda.

Kusir tua yang mengendalikan kereta tak kalah kaget. Untung saja lelaki itu sudah berpengalaman. Dalam sekali gerak saja ia berhasil menghentikan empat ekor kuda penarik kendaraan yang membawa junjungannya. Jika tidak, pastilah hewan-hewan yang kaget tersebut bakal menyeruduk para prajurit di depan.

Tumanggala mendengar jeritan perempuan dari dalam kereta. Naluri kelelakiannya mendorong agar ia mendekati kendaraan tersebut. Namun sang arya memilih terus menuju ke arah Ki Bekel Wikutama.

"Jagad dewa bathara! Apa yang kau lakukan di sini, Tumanggala? Tempatmu di belakang sana!" desis Ki Bekel Wikutama begitu menyadari keberadaan Tumanggala. Jelas sekali lelaki tersebut kesal.

Tumanggala buru-buru bungkukkan badan sedikit, seraya anggukkan kepala memberi hormat.

"Maafkan saya, Ki Bekel. Saya tadi kemari hendak menyampaikan kecurigaan mengenai kemunculan sekelompok penguntit di belakang. Para pengadang ini agaknya komplotan penguntit-penguntit itu," sahut Tumanggala, tetap bersikap tenang meski kewaspadaannya sudah ditingkatkan.

Ki Bekel Wikutama tak berkata-kata lagi. Bukan waktu yang tepat untuk berdebat. Ia kemudian alihkan pandangan pada empat lelaki berpakaian hitam-hitam yang mengadang di depan.

Agaknya dugaan Tumanggala tepat. Empat lelaki tersebut berpakaian sama persis seperti para penguntit di belakang tadi. Masing-masing mereka juga mengenakan sehelai cadar hitam. Dilengkapi caping bambu lebar menutupi kepala.

Satu-satunya perbedaan adalah, orang-orang asing di belakang menunggang kuda. Sedangkan empat lelaki ini datang dengan meloncat dari balik semak.

"Siapa kalian? Berani mati sekali kalian mengadang rombongan prajurit Panjalu," bentak Ki Bekel Wikutama dengan wajah garang.

Empat lelaki yang dibentak saling pandang, lalu sama tertawa gelak-gelak. Kedua tangan mereka tertekuk di pinggang, bersikap menantang. Sebatang golok besar dalam warangka kayu terselip di balik angkin masing-masing.

"Prajurit Panjalu, heh? Memangnya kenapa kalau kalian prajurit Panjalu?" sahut salah seorang dari empat lelaki tersebut, bertanya dengan nada mengejek.

Ucapan itu disambut dengan tawa bergelak oleh tiga orang lainnya. Sedangkan Tumanggala kernyitkan kening. Suara itu tidak asing di telinganya. Namun ia tak dapat mengingat siapa saja orang yang pernah dikenalnya yang memiliki suara seperti itu.

Di atas kudanya, Ki Bekel Wikutama kertakkan rahang. Ia paham benar, keempat pengadang di hadapannya itu pastilah membekal maksud tidak baik.

"Bedebah rendah! Apa pun yang kalian inginkan dari kami, jangan harap bakal terwujud. Jadi, aku sarankan kalian agar lekas-lekas angkat kaki dari sini. Kami harus melanjutkan perjalanan menuju Kotaraja," kata sang bekel lagi.

Lelaki pengadang yang tadi berbicara maju selangkah. Kepalanya mendongak, menatap tepat-tepat pada Ki Bekel Wikutama. Sorot mata lelaki itu begitu tajam menusuk.

"Huh, sombong betul lagakmu, Orang Tua. Aku tidak tahu seberapa tinggi pangkatmu sampai-sampai mudah sekali mulutmu berbicara sepongah itu," ujarnya, lalu diikuti dengusan keras.

"Keparat tengik, jaga mulutmu! Kau sedang berhadapan dengan seorang perwira kerajaan!" hardik salah seorang prajurit dengan marah.

Mendengar itu lelaki bercadar hitam tadi sunggingkan seringai dengan sikap meremehkan. Sebelum siapa pun sempat berkata lagi, ia sudah mendahului bicara.

"Dengar oleh kalian, wahai para prajurit Panjalu. Kami datang dengan niat baik, jadi aku harap kalian juga menanggapi maksud kami dengan baik-baik. Sungguh, kami sangat tidak suka pertumpahan darah...."

"Tidak usah bertele-tele!" tukas Ki Bekel Wikutama yang sudah tidak sabar. "Cepat katakan, apa mau kalian mengganggu perjalanan kami?"

"Ah, harap maafkan jika kemunculan kami ternyata mengganggu perjalanan kalian," sahut si lelaki pengadang dengan nada menyesal yang dibuat-buat. Membuat Ki Bekel Wikutama bertambah memuncak amarahnya.

"Kami hanya punya satu permintaan sederhana lagi mudah...." Lelaki tadi sengaja potong kalimatnya sampai di sana. Sejenak ia edarkan pandangan ke sekeliling, lalu melanjutkan, "Serahkan Dyah Wedasri!"

Mengelam wajah Ki Bekel Wikutama mendengar ucapan tersebut. Tadinya ia menduga para pengadang menginginkan harta benda. Sebangsa perampok rendah yang rakus kekayaan. Tetapi rupanya yang diincar sang puteri.

Sedangkan Tumanggala jadi bertanya-tanya siapa sebenarnya gerombolan berpakaian hitam ini? Kalau yang diinginkan sang puteri, artinya mereka bukanlah sebangsa perampok-perampok kacangan. Kenyataan bahwa mereka tahu orang di dalam kereta adalah Dyah Wedasri Kusumabuwana menimbulkan pertanyaan tersendiri.

"Bersiaplah, Tumanggala. Jika mereka menyerang, kau pimpin pasukan kita untuk melawan. Gusti Puteri menjadi tanggung jawabku," ujar Ki Bekel Wikutama setengah berbisik.

Tumanggala hanya mengangguk samar sebagai jawaban. Sekilas ia melirik ke arah kereta dengan sudut mata. Tampak Wyara dan prajurit lain telah mengelilingi kendaraan tersebut dengan tangan siap mencabut pedang.

"Kalian yang harus mendengar, wahai kunyuk-kunyuk tak tahu diri. Aku Bekel Wikutama, dan tugasku adalah memastikan Gusti Puteri kembali ke istana dengan selamat. Kalau kalian masih berkeras dengan keinginan tadi, bersiaplah merasakan tajamnya mata pedangku ini," kata Ki Bekel Wikutama tegas.

Belum lagi gema suaranya hilang, sang bekel sudah gerakkan tangannya dengan cepat. Sret! Pedang yang sedari tadi tergantung di pinggangnya tahu-tahu saja sudah terhunus ke depan.

Terdengar dengusan dari arah depan. "Baik, tantanganmu kami penuhi," sahut lelaki bercadar seraya gerakkan sebelah tangan.

Baik Ki Bekel Wikutama maupun Tumanggala mengira lelaki tersebut akan mencabut senjata pula. Namun rupanya telapak tangan si lelaki masuk ke balik cadar. Lalu kejap berikutnya terdengar satu suitan nyaring.

Tindakan tersebut membuat Ki Bekel Wikutama dan Tumanggala saling pandang. Seolah bertanya satu sama lain melalui sorot mata. Menduga-duga apa maksud suitan tersebut. Di saat itulah Tumanggala tiba-tiba teringat satu kejadian.

"Waspada serangan panah!" seru sang arya mengingatkan.

Dugaan Tumanggala tepat. Belum sampai ia kembali mengatupkan bibir, dari semak-semak di sebelah kiri jalan berhamburan bebatang-batang anak panah. Terarah pada para prajurit yang tengah mengelilingi kereta.

Sring! Sring! Sring!

Sigap para prajurit Panjalu cabut pedang masing-masing. Lalu senjata di tangan mereka disabetkan dengan sebat untuk menghalau datangnya serangan.

Tring! Tring! Tring!

Suara berdentringan memenuhi pendengaran ketika sabetan pedang para prajurit Panjalu memapas luncuran anak panah. Namun tak urung ada dua orang yang terlambat bergerak, sehingga terkena serangan mendadak tersebut.

Jleb! Jleb!

"Aaaaaa!"

Dua prajurit yang tertembus panah menjerit tertahan. Tubuh mereka terpental dan jatuh dari punggung kuda masing-masing. Begitu menyentuh tanah, keduanya berkelojotan sebentar meregang nyawa. Untuk kemudian diam selama-lamanya.

Mendengar jeritan itu Dyah Wedasri mengintip keluar dari balik tirai jendela kereta. Kebetulan sekali tatapan sang puteri langsung tertuju tepat pada mayat kedua prajurit. Darah mengalir deras dari leher keduanya yang ditancapi sebatang anak panah.

Dyah Wedasri cepat-cepat tutup mulutnya. Tak mau suara jeritan yang kemudian ia pekikkan terdengar keluar. Lalu sang puteri berpelukan dengan simbok emban yang juga sangat ketakutan.

Sementara di luar kereta, suasana tegang segera menyungkupi para prajurit Panjalu. Masing-masing sudah bersiaga penuh menghunus pedang. Pandangan mata mereka mengawasi semak belukar dan pepohonan dari arah mana anak-anak panah tadi berasal.

"Bedebah! Kalian benar-benar mencari mati!" geram Ki Bekel Wikutama, tak dapat lagi menahan amarah.

Usai berkata begitu sang bekel melesat dari atas punggung kuda. Dibarengi satu bentakan keras tangannya bergerak menyabetkan pedang ke arah lelaki bercadar hitam di hadapannya.

"Hiaaaat!"

***

Related chapters

  • Arya Tumanggala 2   Pertempuran Celaka

    TUMANGGALA sempat dibuat bingung melihat Ki Bekel Wikutama malah menyerang musuh. Bukankah tadi atasannya itu sudah membagi tugas? Dan menghadapi keempat lelaki bercadar di hadapan mereka menjadi tanggung jawab Tumanggala. Amarah yang membuncah agaknya membuat sang bekel lupa pada segala-galanya. Termasuk ucapannya sendiri. Alih-alih menunggu lawan melakukan serangan, lelaki tersebut justru terlebih dahulu menyerbu. Namun sudah terlanjur. Serangan Ki Bekel Wikutama sedikit lagi sampai. Maka Tumanggala cepat mengambil tindakan. Ia pun memberi isyarat tangan pada Wyara, meminta sahabatnya itu untuk mengamankan kereta. "Lindungi kereta! Mereka menginginkan yang kita bawa!" seru Tumanggala. Sengaja ia mengatakan ‘yang kita bawa’ agar tidak tegas-tegas menyebut nama Dyah Wedasri yang tengah diincar para pengadang. Wyara cepat mengangguk, lalu tampak memberi perintah pada beberapa prajurit lain. Mereka memusatkan kekuatan di sekitar pintu kereta. Sementara serangan Ki Bekel Wikutama k

    Last Updated : 2021-10-03
  • Arya Tumanggala 2   Pembantaian

    SUARA-suara jeritan yang saling susul membuat suasana bertambah mencekam. Lebih-lebih bagi dua perempuan di dalam kereta. Pelukan Dyah Wedasri Kusumabuwana pada simbok emban semakin erat saja. Di kaki langit sebelah barat, matahari telah berubah menjadi bulatan jingga nan sempurna. Siap berlabuh di peraduannya. Gelap sebentar lagi datang. Sementara pertarungan berlangsung semakin tak seimbang. Para prajurit Panjalu boleh saja masih unggul dalam jumlah. Tapi kemampuan rata-rata mereka nyata sekali berada di bawah lelaki bercadar. Alhasil, dikeroyok dua-tiga pun tidak menyulitkan bagi komplotan pengadang. Crasss! Crasss! “Aaaaaaa!” Dua lagi prajurit Panjalu di sebelah belakang kereta roboh ke tanah. Luka lebar tampak menganga di dada dan perut mereka. Darah segera saja membasahi sekujur tubuh keduanya, lalu mengalir turun ke permukaan tanah. Kini jumlah pasukan pengawal kereta tinggal sepuluh orang. Empat di depan menghadapi tiga lawan, enam lagi di belakang menghadapi empat orang.

    Last Updated : 2021-10-03
  • Arya Tumanggala 2   Sang Puteri Diculik

    KAGET Tumanggala bukan alang kepalang. Pedangnya yang nyaris menghabisi lawan dibuat mental oleh sabetan sebilah golok. Diiringi suara berdentrang nyaring menusuk telinga. Belum usai kekagetan Tumanggala, dua sosok hitam sudah muncul di hadapannya. Lalu dua bilah golok terayun, mengancam dada dan lehernya sekaligus! “Mati kau, prajurit keparat!” bentak salah seorang dari dua lelaki bercadar sembari ayunkan golok. Tumanggala tak sempat berpikir lebih jauh. Tanpa senjata di tangan, ia memilih melompat menghindar. Namun lawan tak memberinya kesempatan. Belum lagi kakinya kembali menjejak tanah, dua lelaki di hadapannya sudah menyambut. Wuuuttt! Wuuttt! Suara menderu dahsyat mengiringi sambaran dua golok. Tumanggala menggeram marah. Ia tak mau kakinya buntung kena babat. Tapi keadaan dirinya tidak memungkinkan untuk bergerak menghindari serangan. “Bedebah!” Tumanggala hanya dapat memaki geram. Ia pasrah pada apa pun yang bakal menimpa. Tapi alih-alih merasakan tajamnya sambaran golo

    Last Updated : 2021-10-05
  • Arya Tumanggala 2   Kridapala Linglung

    DUA pekan berlalu sejak kematian Agreswara di tangan algojo istana. Pihak-pihak yang selama ini mencurigai niat busuk bekas senopati itu menyambut tindakan Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya dengan suka cita. Sebaliknya, orang-orang yang merasa dirinya terkait dengan rencana jahat senopati tersebut menjadi ketar-ketir. Salah satu di antaranya adalah Kridapala. Sejak Agreswara dipenggal di alun-alun, bekel paruh baya itu tak berani menampakkan diri. Ia lebih banyak mengurung diri di rumah. Belum sekali pun ia menginjakkan kaki ke istana lagi. Juga ke kediaman Senopati Arya Lembana, karena dalam dua pekan ini dirinya belum pernah mendapatkan penugasan. "Untung saja Wipaksa dan Ranajaya juga sudah modar di tangan Tumanggala. Jadi tak akan ada yang bisa memberi kesaksian kalau aku terlibat dalam rencana senopati gemuk sialan itu," desis Kridapala, lalu mendesah panjang. Saat itu si bekel tengah termangu-mangu di halaman belakang rumah. Kegiatan yang sejak dua pekan terakhir lebih seri

    Last Updated : 2021-10-30
  • Arya Tumanggala 2   Pengakuan Triguna

    JANTUNG Kridapala serasa mau copot saking kagetnya. Kakinya yang semula hendak melangkah maju, sontak berbalik surut ke belakang beberapa tindak. Ia langsung bersiaga penuh, memasang kuda-kuda siap tempur. Seorang lelaki bertelanjang dada berdiri berkacak pinggang tepat di hadapan Kridapala. Wajah orang itu tertutup cadar hitam dari bawah mata hingga ke dagu. Sebuah luka lebar memanjang tampak melintang dari dada atas sebelah kiri, hingga ke pertengahan perut. Kridapala kernyitkan kening melihat luka tersebut. Ada dua orang dengan luka seperti itu yang ia kenal. Sayang, bekel paruh baya tersebut tak ingat persis apa perbedaan luka keduanya. "Keparat rendah! Siapa gerangan dirimu yang telah berani lancang masuk ke rumah orang tanpa permisi?" bentak Kridapala dengan wajah garang. "Ah, Ki Bekel. Kau rupanya sudah tidak lagi mengenali aku," sahut lelaki bercadar hitam, diiringi tawa mengekeh. "Bangsat! Wajahmu ditutupi cadar hitam, bagaimana mungkin aku dapat mengenalimu!" maki Kridap

    Last Updated : 2021-11-01
  • Arya Tumanggala 2   Rencana Jahat

    KRIDAPALA tersentak. Benar-benar kaget mendengar penuturan Triguna barusan. Ia jadi berpikir Triguna agaknya sudah lupa siapa Dyah Wedasri, sampai-sampai berani menculik puteri Panjalu tersebut. "Kau sepertinya terkejut, Ki Bekel?" tanya Triguna sembari tersenyum lebar. Satu senyum puas karena berhasil mengagetkan Kridapala. "Kau sudah gila, Triguna!" desis Kridapala sembari geleng-gelengkan kepala. "Kau tentu tahu Dyah Wedasri salah satu putri kesayangan Gusti Prabu. Kau baru saja mencari mati karena telah berani-berani menculiknya!" Triguna malah tertawa mendengar ucapan bekas atasannya tersebut. "Singkirkan jauh-jauh kekhawatiranmu itu, Ki Bekel. Kalau memang ada yang bakal mati sebagai buntut dari penculikan Dyah Wedasri, aku yakinkan padamu orang itu bukanlah aku. Tapi Tumanggala!" sahut Triguna dengan penuh percaya diri. Kridapala masih geleng-gelengkan kepalanya. Benar-benar tak percaya ada seorang buronan kerajaan berani berlaku seneka

    Last Updated : 2021-11-01
  • Arya Tumanggala 2   Dahanapura Gempar

    ISTANA Dahanapura dilanda kegemparan. Kabar mengenai penyerangan yang dialami rombongan Dyah Wedasri Kusumabuwana sampai di telinga para pembesar kerajaan petang itu juga.Adalah kusir kereta kencana yang membawa kabar buruk ke istana. Sebelumnya, lelaki tua tersebut langsung bersembunyi di balik semak-semak saat pertarungan pecah. Ia tak mau mendapat luka, apalagi sampai mati konyol terkena serangan nyasar.Begitu melihat komplotan lelaki bercadar yang mengadang berada di atas angin, tanpa berpikir panjang lagi si kusir melarikan diri ke Kotaraja. Beruntung para pengadang tidak mengetahui pelariannya. Jika tidak, bisa-bisa kusir itu sudah tewas dengan punggung tertancap anak panah.Si kusir tua benar-benar berlari menuju Kotaraja. Sampai akhirnya ia bertemu sebuah pedati yang berbaik hati mau mengantar hingga ke kediaman Senopati Arya Lembana."Apa yang terjadi?" tanya Arya Lembana begitu si kusir tua dihadapkan padanya. Rona kecemasan tampak jelas pada

    Last Updated : 2022-02-03
  • Arya Tumanggala 2   Murka Raja

    MESKI Rakryan Rangga dan Senopati Arya Lembana sudah sejak tadi-tadi pergi, Rakryan Tumenggung masih duduk termenung di tempatnya. Dalam diam sang panglima kerajaan tengah berpikir-pikir apa yang sebaiknya ia lakukan. Sama halnya Rakryan Rangga dan Arya Lembana, Rakryan Tumenggung sangat mengkhawatirkan murka dari Sri Prabu Jayabhaya. Karena itu sempat tebersit di kepalanya untuk menyimpan rapat-rapat kabar ini. Jangan sampai sang raja dan siapa pun tahu. Namun, cepat atau lambat berita ini tentu akan menyebar juga. Pada akhirnya Sri Prabu Jayabhaya bakal tahu. Terlebih Dyah Wedasri seharusnya sudah tiba di istana sebelum gelap. Pastilah timbul pertanyaan jika sampai semalam ini sang puteri belum kembali. "Kalau sampai Sri Prabu tahu apa yang terjadi pada Gusti Putri dari orang lain, bukan dariku, bisa-bisa kemarahannya akan jauh lebih besar lagi," pikir Rakryan Tumenggung kemudian. Hatinya jadi bimbang luar biasa. Setelah menghela napas panjang, Rakr

    Last Updated : 2022-02-06

Latest chapter

  • Arya Tumanggala 2   Kata Penutup

    Akhirnya, setelah sempat terbengkalai selama lebih dari satu warsa, seri kedua dari kisah Arya Tumanggala ini rampung juga. Ada perasaan lega, tetapi juga sedikit tidak puas di dalam diri saya. Lega karena dengan ini saya tidak lagi menggantung pembaca dengan kisah yang tak kunjung tuntas. Juga sangat lega karena saya dapat menunaikan janji kepada editor, baik yang dulu maupun yang sekarang. Sedangkan rasa tidak puas muncul karena saya sadar sepenuhnya jalan cerita ini agak meleset dari rencana awal. Harap maklum, lebih dari sewarsa cerita ini terlantar karena satu dan lain alasan. Karena itu, saya mohon kerelaan para pembaca sekalian untuk memaklumi serta memaafkan rupa-rupa kekurangan yang mungkin berceceran dalam cerita ini. Tak ada gading yang tak retak, apatah lagi karya saya yang amat sangat sederhana ini. Dengan segala kerendahan hati, saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pembaca yang telah mengikuti Arya Tumanggala 2 sampai tamat. Sampai jumpa di cerita selanjut

  • Arya Tumanggala 2   Rindu Citrakara

    "INI sudah hari keberapa sejak kakangmu itu tahu-tahu kembali kemari, tapi langsung pergi lagi?"Sambil mengajukan tanya, wanita berusia kisaran enam puluhan tahun itu menjejalkan sebatang kayu bakar ke dalam tungku. Api meredup sejenak, tetapi segera membesar lagi usai ditiup oleh si wanita tua."Seingatku baru dua hari, Bi," jawab perempuan muda yang diajak bicara. Di tangannya terpegang sebuah kipas bambu yang sesekali diipit-ipitkan ke tungku.Wanita tua yang dipanggil bibi tersenyum penuh arti. "Baru ditinggal pergi dua hari saja kau sudah sekusut ini. Sudah terlalu berat menanggung rindu agaknya....""Bibi!" tukas si perempuan muda, lalu mencebikkan bibir dengan raut muka kesal. "Aku hanya mencemaskan Kakang Tumanggala. Siapapun yang berani menculik puteri raja, pastilah bukan orang sembarangan. Aku khawatir....""Dan kakangmu itu juga bukan orang sembarangan, Citra," sergah si wanita tua pula. "Kau tak perlu terlalu mencemaskan dirinya. Dia pasti bisa menjaga diri, percayalah."

  • Arya Tumanggala 2   Kembali ke Daha

    ARAK-ARAKAN pasukan tersebut memasuki Dahanapura jelang dini hari. Paling depan sebagai pemimpin adalah Rakryan Mantri Tumenggung. Di sebelahnya ada Senopati Arya Mandura bersama dua bekel.Lebih di belakang lagi, terdapat sepasukan kecil berkekuatan 20 prajurit magalah. Mereka dipimpin oleh seorang bekel dan dibantu seorang lurah prajurit.Tepat di belakang pasukan kecil itu terdapat kereta kencana yang dikawal ketat sepuluh prajurit magalah di kanan-kiri. Di dalamnya, Dyah Wedasri Kusumabuwana dan simbok emban tengah tertidur pulas.Lalu di belakang kereta kencana ada dua gerobak kayu yang terlihat dibuat secara dadakan. Gerobak pertama berisi seorang lelaki dalam keadaan luka-luka, yang tak lain adalah Senopati Arya Lembana. Sedangkan gerobak kedua dijejali pendekar-pendekar bayaran komplotan Kridapala yang dikalahkan oleh Arya Mandura.Tumanggala yang tadi diminta ikut masuk ke dalam kereta oleh Dyah Wedasri, mau tak mau menurut saja. Beruntung baginya sang puteri sudah terlelap s

  • Arya Tumanggala 2   Kejutan Dyah Wedasri

    USAI menerima laporan bahwa keadaan Dyah Wedasri baik-baik saja, Rakryan Tumenggung langsung mengambil beberapa tindakan. Pertama-tama, kepada semuanya sang panglima berkata ingin membawa junjungan mereka ke istana malam ini juga."Paling lambat pagi-pagi sekali besok, Gusti Puteri sudah harus tiba di istana," ujar Rakryan Tumenggung, yang langsung dipatuhi oleh seluruh pasukannya.Setelah tandu disiapkan, Dyah Wedasri dipersilakan naik untuk dibawa meninggalkan kawasan tepi jurang. Mereka kembali ke sungai, sebelum kembali ke dekat air terjun dan bergabung dengan Senopati Arya Mandura bersama anggota pasukan lainnya.Di sungai, rombongan dipecah dua. Yang pertama membawa Dyah Wedasri melalui jalur sungai, sedangkan yang kedua kembali ke kawasan air terjun lewat jalur darat.Dyah Wedasri dibawa dengan sampan bersama Rakryan Tumenggung, seorang bekel, serta dua prajurit sebagai pendayung. Sedangkan para pengawal menaiki rakit batang pisang buatan Tumanggala.Tumanggala sendiri turut me

  • Arya Tumanggala 2   Rahasia Petapa Tua

    "ORANG tua, kau ini siapa? Bagaimana kau bisa mengetahui nama kecilku?" tanya salah satu pengeroyok Tumanggala, seketika mengalihkan perhatian pada si lelaki tua yang tadi berseru.Yang ditanyai tertawa mengekeh, sembari pandangan lelaki berpakaian perwira tinggi kerajaan di hadapannya. Menilik pada kemewahan serta kelengkapan seragam orang tersebut, petapa tua itu mudah saja mengenali jika yang tengah dihadapi adalah seorang berpangkat tinggi.Sementara Tumanggala untuk kesekian kalinya dibuat kaget. Setelah berhenti bertarung, ia jadi punya kesempatan mengamat-amati wajah dua pengeroyoknya. Parasnya seketika berubah."G-Gusti Tumenggung?" seru Tumanggala tanpa sadar.Perwira tersebut memang Rakryan Mantri Tumenggung. Ia dan rombongannya jadi yang terdepan dalam mengejar arah suara Dyah Wedasri. Sayang, kedatangannya di tempat ini disuguhi pemandangan yang membuatnya berburuk sangka.Rakryan Tumenggung berbalik badan dan memandangi Tumanggala. Seolah baru menyadari siapa yang tadi ia

  • Arya Tumanggala 2   Penolong Tak Terduga

    "ASTAGA! Bagaimana bisa begini?"Tumanggala benar-benar terkejut ketika kemudian tahu siapa sosok yang baru muncul dari dasar jurang. Ia memang belum melihat wajah orang tersebut, tetapi suara yang baru saja terdengar sudah tidak asing lagi baginya.Maka Tumanggala buru-buru bangkit dan berdiri, meski dengan wajah mengernyit menahan perih. Bertepatan dengan saat itu sosok tadi mendaratkan kakinya di permukaan cadas batu di tepi jurang.Kerutan di kening Tumanggala bertambah dalam manakala menyadari sosok tersebut tidak sendiri. Di pundak kanannya ada sesosok tubuh gadis, tampak diam saja dalam panggulan."G-Guru?" ujar Tumanggala setengah tak percaya. "Gusti Puteri? Bagaimana bisa?""Bagaimana bisa, bagaimana bisa?" sembur sosok yang baru muncul, tak lain tak bukan memang si petapa dari Teluk Secang, guru Tumanggala."Tumang, Tumang ... kau seharusnya mengucapkan terima kasih padaku, bukannya malah terlihat bingung dan heran seperti kambing congek begitu!" tambah si lelaki tua. Meski

  • Arya Tumanggala 2   Kejutan Terbesar

    "APA maksudmu, Keparat?" tanya Tumanggala setengah menggeram. "Apa yang telah kau perbuat pada ayah kandungku?" Genggaman Tumanggala kian erat memegangi pergelangan tangan Kridapala. Ia tak sudi melepas mantan atasannya itu sebelum mendapatkan kejelasan mengenai kedua orang tuanya. Dari apa yang diucapkan Kridapala kepadanya sejak di atas sampan tadi, Tumanggala langsung menduga kuat jika Kridapala mengenal baik ayah-ibu kandungnya. Bahkan bisa jadi mantan bekel tersebut tahu banyak apa yang menimpa dua orang tersebut. Kridapala sendiri menyeringai susah payah sebagai tanggapan. Setengah menahan sakit, setengahnya lagi sengaja mengejek Tumanggala yang tampak kian penasaran terhadap apa yang sudah ia sampaikan. "Ayahmu seorang terhormat, Tumanggala, seorang besar yang disegani semua kalangan di kerajaan ini," jawab Kridapala kemudian, meski dengan napas terengah-engah. "Andai saja nasib malang tidak menimpanya, aku pastikan masa kecilmu sangat bahagia. Kau tumbuh di puri indah lagi

  • Arya Tumanggala 2   Tumanggala Unggul

    SAMBIL terbungkuk-bungkuk menahan sesak di dada, hati Tumanggala seketika berdesir. Dari sini saja ia langsung tahu jika Kridapala sesungguhnya memiliki kemampuan tenaga dalam lebih tinggi.Wajar sebetulnya, sebab seorang bekel kerajaan memang haruslah menguasai setidaknya tenaga dalam tingkat menengah. Tumanggala yang belum lama naik jabatan jadi wira tamtama, serta selalu melarikan diri dari gurunya, masih belum terlalu mendalami kepandaian tersebut."Aku harus mencari akal," gumam Tumanggala kemudian.Ia paham benar, dirinya tidak boleh sering-sering beradu tenaga dalam dengan Kridapala. Jika tidak, lambat laun luka dalam yang baru saja ia derita bakal semakin parah. Bahkan dapat mengancam nyawa!Di kejauhan, Kridapala tampak berdiri tenang-tenang. Sekilas pandang sepertinya lelaki tersebut tidak merasakan apa-apa. Beradunya pukulan tenaga dalam tadi seolah tidak menimbulkan akibat buruk sedikit pun padanya.Namun itu hanyalah akal-akalan Kridapala. Ia tak sudi terlihat lebih lemah

  • Arya Tumanggala 2   Dendam di Atas Dendam

    "BAJINGAN kau, Tumanggala!" Triguna meraung setinggi langit. Diikuti mendesis-desis tak karuan.Tadi, ketika melihat pertahanan Triguna terbuka, Tumanggala langsung memanfaatkan kesempatan bagus tersebut. Ia entakkan sebelah kaki sekuat tenaga, mengirim tendangan bertenaga dalam tinggi ke dada lawan.Karena gerakannya semakin lamban, Triguna tak kuasa bergerak menghindar. Lelaki itu hanya bisa coba menangkis dengan kedua tangan, tetapi tendangan Tumanggala terlalu deras baginya.Dadanya memang terhindar dari terjangan, tetapi tapak kaki Tumanggala tanpa ampun menghajar kedua tangan Triguna. Suara berderak tadi adalah pertanda jika sepasang tangan lelaki tersebut mengalami patah tulang.Di tempatnya, Kridapala bergidik menyaksikan keadaan Triguna. Sudahlah pangkal bahunya bergeser, kini kedua tangan pun terkulai lemah karena mengalami patah tulang."Menyerahlah, Triguna. Tabib istana pasti mampu menyembuhkan luka-lukamu," ujar Tumanggala yang juga tampak mengernyit ngeri. Bagaimanapun

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status