MESKI Rakryan Rangga dan Senopati Arya Lembana sudah sejak tadi-tadi pergi, Rakryan Tumenggung masih duduk termenung di tempatnya. Dalam diam sang panglima kerajaan tengah berpikir-pikir apa yang sebaiknya ia lakukan.
Sama halnya Rakryan Rangga dan Arya Lembana, Rakryan Tumenggung sangat mengkhawatirkan murka dari Sri Prabu Jayabhaya. Karena itu sempat tebersit di kepalanya untuk menyimpan rapat-rapat kabar ini. Jangan sampai sang raja dan siapa pun tahu.
Namun, cepat atau lambat berita ini tentu akan menyebar juga. Pada akhirnya Sri Prabu Jayabhaya bakal tahu. Terlebih Dyah Wedasri seharusnya sudah tiba di istana sebelum gelap. Pastilah timbul pertanyaan jika sampai semalam ini sang puteri belum kembali.
"Kalau sampai Sri Prabu tahu apa yang terjadi pada Gusti Putri dari orang lain, bukan dariku, bisa-bisa kemarahannya akan jauh lebih besar lagi," pikir Rakryan Tumenggung kemudian. Hatinya jadi bimbang luar biasa.
Setelah menghela napas panjang, Rakr
MALAM sudah larut ketika pasukan yang dikirim untuk memeriksa tempat diadangnya rombongan Dyah Wedasri kembali. Suasana Kotaraja Daha yang sepi mendadak ramai oleh suara keteplak ladam kuda serta gemuruh roda kereta dan gerobak. Senopati Arya Lembana memimpin sendiri pasukan tersebut. Rombongan berkekuatan dua lusin prajurit itu melambatkan laju kuda-kuda mereka saat mendekati pintu gerbang istana. Prajurit penjaga gerbang buru-buru membukakan regol. Wajah lelah Arya Lembana tampak tegang saat membawa pasukan tersebut memasuki kawasan jerong beteng. "Kita menuju ke alun-alun!" perintah Arya Lembana. Suaranya lantang menggelegar, memecah heningnya suasana malam. Alun-alun yang dituju berjarak sekitar 110 depa (kisaran 200-an meter) dari gerbang istana. Begitu tiba di
PARAS Rakryan Rangga dan Senopati Arya Lembana langsung berubah. Kedua perwira sama-sama mengernyit keheranan. Mereka berharap telah salah mendengar ucapan Rakryan Tumenggung tadi. "G-Gusti Tumenggung, mohon maaf sebelumnya, apakah ini tidak salah?" Arya Lembana memberanikan diri bertanya. Biar bagaimana pun sang senopati tak rela melihat Tumanggala, salah satu prajurit terbaik dalam pasukannya, dipenggal begitu saja. Sementara belum tentu terbukti prajurit tersebut lalai dalam menjalankan tugas pengawalan. Rakryan Tumenggung menampakkan wajah muram. Panglima Panjalu itu juga sebetulnya merasa ragu-ragu hendak menjalankan titah Sri Prabu Jayabhaya. Terlebih ia tahu titah tersebut dikeluarkan dalam keadaan dikuasai amarah. Namun setiap ucapan raja adalah sebuah hukum. Berani melawan sama saja minta mati. Lagi pula, sebagai seorang panglima Rakryan Tumenggung berkewajiban menegakkan wibawa raja. Maka, tidak ada pilihan lain baginya kecuali bersikap patuh. "Lembana, aku tahu apa yang
HAWA pengap langsung menyergap manakala Tumanggala dan yang lain-lain dibawa memasuk ke ruangan tahanan bawah tanah. Suasana sangat hening di dalam sana, sampai-sampai langkah kaki mereka saat menuruni undak-undakan tangga terdengar sangat jelas.Begitu tiba di ujung tangga, deretan ruang-ruang tahanan menyambut mereka. Tidak ada orang hukuman yang sedang ditahan. Karena itu tidak terlihat satu pun prajurit yang berjaga-jaga di sana.Rakryan Tumenggung menghentikan langkahnya di tengah-tengah ruangan. Semua orang di belakangnya ikut berhenti pula. Semua diam menanti perintah dari panglima Kerajaan Panjalu itu."Jebloskan mereka semua ke dalam ruang tahanan," ujar Rakryan Tumenggung kemudian, sembari berbalik badan.Para prajurit yang tengah memegangi lima pengawal Dyah W
ARYA Lembana mengembuskan napas dengan kesal mendengar penolakan Tumanggala. Sepasang tangannya terkepal erat di sisi tubuh. Tampak agak bergetar karena menahan amarah yang tiba-tiba saja merambat naik.Sang senopati jadi ingat cerita Wyara dulu. Sikap keras kepala seperti ini pulalah yang sempat membawaTumanggala pada keadaan bahaya. Membuat prajurit Panjalu tersebut hampir meregang nyawa dikeroyok Ranajaya dan komplotannya di Gua Lawendra."Tumanggala, kalau saja bukan kau yang bersikap semenyebalkan ini, pastilah sudah aku kepruk batok kepalamu itu," geram Arya Lembana dengan suara bergetar.Yang diajak bicara tahu atasannya tidak senang dengan sikapnya. Ia lantas berlutut dan menyatukan kedua telapak tangan di atas kepala. Sementara kepalanya menunduk dalam-dalam."M
PARA prajurit yang baru keluar dari dalam tembok langsung menyebar. Para pembawa obor di sebelah depan, sedangkan prajurit bersenjata di bagian belakang. Derap langkah mereka yang berlari cepat terdengar sampai jauh.Di balik sebatang pohon besar, paras Arya Lembana langsung berubah mendengar seruan tersebut. Ia mengenali siapa pemilik suara tadi. Itu adalah Rakryan Tumenggung!"Gawat! Aku dan lima prajurit ini tidak boleh sampai tertangkap oleh mereka!" desis Arya Lembana dengan dada berdebar-debar."Gusti, para prajurit itu sepertinya memburu kita. Apa yang harus kita lakukan?" tanya Tumanggala setengah berbisik."Kita harus segera menjauh dari tempat ini. Mereka tidak boleh mencium keberadaan kita di sini. Sekali kita tertangkap, bisa gawat!" sahut Arya Lembana, seray
REMBULAN berada di puncak langit malam manakala Tumanggala dan Wyara tiba di kediaman Rakryan Rangga. Kedatangan mereka disambut dengan hunusan tombak oleh setengah lusin prajurit yang berjaga-jaga di gerbang paduraksa. "Siapa kalian? Mau apa malam-malam datang kemari?" bentak salah satu dari enam prajurit jaga. Sorot matanya menyiratkan kecurigaan. Tumanggala hampir saja menyebutkan siapa dirinya dan Wyara, tetapi segera ia urungkan niat tersebut. Pada pikirnya, tak ada guna menyebutkan nama. Lebih baik langsung menyebutkan apa keperluannya datang kemari. "Maafkan kami, Prajurit. Kami hanya menjalankan perintah. Kami berdua datang kemari atas perintah Gusti Senopati Arya Lembana," sahut Tumanggala kemudian. Prajurit jaga yang membentak tadi memandangi lima rekannya. Mereka sama-sama tahu jika antara Rakryan Rangga dan Arya Lembana terjalin hubungan yang sangat dekat sebagai atasan dan bawahan. Namun demikian, tentu saja para prajurit jaga tahu mereka tidak boleh bersikap gegabah.
TUMANGGALA dan Wyara meninggalkan kediaman Rakryan Rangga dengan mengendap-endap. Seorang prajurit jaga di gerbang depan mengantar mereka ke sebalik semak-semak di seberang jalan.Bertepatan pada saat mereka tiba di seberang jalan, terdengar derap kaki kuda banyak sekali. Prajurit jaga yang mengantar langsung mendorong tubuh Tumanggala dan Wyara. Kedua sahabat itu kaget dan tersuruk ke dalam semak-semak.Wyara merutuk panjang-pendek. Hampir saja dia jatuh tersuruk ke tanah andai tidak segera dipegangi oleh Tumanggala. Ingin rasanya dia mendamprat prajurit jaga yang mengantar. Namun prajurit jaga tersebut sudah memberi isyarat untuk diam."Aku yakin sekali itu utusan Gusti Rakryan Tumenggung," bisik si prajurit jaga.Dari tempat mereka berada, ketiganya dapat melihat sero
SERANGAN yang datang sangat tiba-tiba. Sama sekali tidak memberi kesempatan bagi Tumanggala dan Wyara untuk berpikir. Tak ingin mendapat celaka, kedua prajurit Panjalu itu langsung mencabut pedang masing-masing dari warangka di pinggang. Sambil menggembor marah, Tumanggala bergerak maju seraya mengayunkan pedang di tangan. Di sebelahnya, Wyara juga sudah melesat dan menyongsong datangnya serangan. Dua pedang menyambut sambaran enam golok. Traaang! Traaang! Suara berdentrangan keras memecah keheningan malam manakala delapan senjata itu beradu. Percikan api bertebaran di udara, untuk kemudian menghilang tersapu embusan angin nan dingin. "Siapa kalian? Mengapa kalian menyerang kami tanpa alasan?" tanya Tumanggala dengan suara keras membentak.
Akhirnya, setelah sempat terbengkalai selama lebih dari satu warsa, seri kedua dari kisah Arya Tumanggala ini rampung juga. Ada perasaan lega, tetapi juga sedikit tidak puas di dalam diri saya. Lega karena dengan ini saya tidak lagi menggantung pembaca dengan kisah yang tak kunjung tuntas. Juga sangat lega karena saya dapat menunaikan janji kepada editor, baik yang dulu maupun yang sekarang. Sedangkan rasa tidak puas muncul karena saya sadar sepenuhnya jalan cerita ini agak meleset dari rencana awal. Harap maklum, lebih dari sewarsa cerita ini terlantar karena satu dan lain alasan. Karena itu, saya mohon kerelaan para pembaca sekalian untuk memaklumi serta memaafkan rupa-rupa kekurangan yang mungkin berceceran dalam cerita ini. Tak ada gading yang tak retak, apatah lagi karya saya yang amat sangat sederhana ini. Dengan segala kerendahan hati, saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pembaca yang telah mengikuti Arya Tumanggala 2 sampai tamat. Sampai jumpa di cerita selanjut
"INI sudah hari keberapa sejak kakangmu itu tahu-tahu kembali kemari, tapi langsung pergi lagi?"Sambil mengajukan tanya, wanita berusia kisaran enam puluhan tahun itu menjejalkan sebatang kayu bakar ke dalam tungku. Api meredup sejenak, tetapi segera membesar lagi usai ditiup oleh si wanita tua."Seingatku baru dua hari, Bi," jawab perempuan muda yang diajak bicara. Di tangannya terpegang sebuah kipas bambu yang sesekali diipit-ipitkan ke tungku.Wanita tua yang dipanggil bibi tersenyum penuh arti. "Baru ditinggal pergi dua hari saja kau sudah sekusut ini. Sudah terlalu berat menanggung rindu agaknya....""Bibi!" tukas si perempuan muda, lalu mencebikkan bibir dengan raut muka kesal. "Aku hanya mencemaskan Kakang Tumanggala. Siapapun yang berani menculik puteri raja, pastilah bukan orang sembarangan. Aku khawatir....""Dan kakangmu itu juga bukan orang sembarangan, Citra," sergah si wanita tua pula. "Kau tak perlu terlalu mencemaskan dirinya. Dia pasti bisa menjaga diri, percayalah."
ARAK-ARAKAN pasukan tersebut memasuki Dahanapura jelang dini hari. Paling depan sebagai pemimpin adalah Rakryan Mantri Tumenggung. Di sebelahnya ada Senopati Arya Mandura bersama dua bekel.Lebih di belakang lagi, terdapat sepasukan kecil berkekuatan 20 prajurit magalah. Mereka dipimpin oleh seorang bekel dan dibantu seorang lurah prajurit.Tepat di belakang pasukan kecil itu terdapat kereta kencana yang dikawal ketat sepuluh prajurit magalah di kanan-kiri. Di dalamnya, Dyah Wedasri Kusumabuwana dan simbok emban tengah tertidur pulas.Lalu di belakang kereta kencana ada dua gerobak kayu yang terlihat dibuat secara dadakan. Gerobak pertama berisi seorang lelaki dalam keadaan luka-luka, yang tak lain adalah Senopati Arya Lembana. Sedangkan gerobak kedua dijejali pendekar-pendekar bayaran komplotan Kridapala yang dikalahkan oleh Arya Mandura.Tumanggala yang tadi diminta ikut masuk ke dalam kereta oleh Dyah Wedasri, mau tak mau menurut saja. Beruntung baginya sang puteri sudah terlelap s
USAI menerima laporan bahwa keadaan Dyah Wedasri baik-baik saja, Rakryan Tumenggung langsung mengambil beberapa tindakan. Pertama-tama, kepada semuanya sang panglima berkata ingin membawa junjungan mereka ke istana malam ini juga."Paling lambat pagi-pagi sekali besok, Gusti Puteri sudah harus tiba di istana," ujar Rakryan Tumenggung, yang langsung dipatuhi oleh seluruh pasukannya.Setelah tandu disiapkan, Dyah Wedasri dipersilakan naik untuk dibawa meninggalkan kawasan tepi jurang. Mereka kembali ke sungai, sebelum kembali ke dekat air terjun dan bergabung dengan Senopati Arya Mandura bersama anggota pasukan lainnya.Di sungai, rombongan dipecah dua. Yang pertama membawa Dyah Wedasri melalui jalur sungai, sedangkan yang kedua kembali ke kawasan air terjun lewat jalur darat.Dyah Wedasri dibawa dengan sampan bersama Rakryan Tumenggung, seorang bekel, serta dua prajurit sebagai pendayung. Sedangkan para pengawal menaiki rakit batang pisang buatan Tumanggala.Tumanggala sendiri turut me
"ORANG tua, kau ini siapa? Bagaimana kau bisa mengetahui nama kecilku?" tanya salah satu pengeroyok Tumanggala, seketika mengalihkan perhatian pada si lelaki tua yang tadi berseru.Yang ditanyai tertawa mengekeh, sembari pandangan lelaki berpakaian perwira tinggi kerajaan di hadapannya. Menilik pada kemewahan serta kelengkapan seragam orang tersebut, petapa tua itu mudah saja mengenali jika yang tengah dihadapi adalah seorang berpangkat tinggi.Sementara Tumanggala untuk kesekian kalinya dibuat kaget. Setelah berhenti bertarung, ia jadi punya kesempatan mengamat-amati wajah dua pengeroyoknya. Parasnya seketika berubah."G-Gusti Tumenggung?" seru Tumanggala tanpa sadar.Perwira tersebut memang Rakryan Mantri Tumenggung. Ia dan rombongannya jadi yang terdepan dalam mengejar arah suara Dyah Wedasri. Sayang, kedatangannya di tempat ini disuguhi pemandangan yang membuatnya berburuk sangka.Rakryan Tumenggung berbalik badan dan memandangi Tumanggala. Seolah baru menyadari siapa yang tadi ia
"ASTAGA! Bagaimana bisa begini?"Tumanggala benar-benar terkejut ketika kemudian tahu siapa sosok yang baru muncul dari dasar jurang. Ia memang belum melihat wajah orang tersebut, tetapi suara yang baru saja terdengar sudah tidak asing lagi baginya.Maka Tumanggala buru-buru bangkit dan berdiri, meski dengan wajah mengernyit menahan perih. Bertepatan dengan saat itu sosok tadi mendaratkan kakinya di permukaan cadas batu di tepi jurang.Kerutan di kening Tumanggala bertambah dalam manakala menyadari sosok tersebut tidak sendiri. Di pundak kanannya ada sesosok tubuh gadis, tampak diam saja dalam panggulan."G-Guru?" ujar Tumanggala setengah tak percaya. "Gusti Puteri? Bagaimana bisa?""Bagaimana bisa, bagaimana bisa?" sembur sosok yang baru muncul, tak lain tak bukan memang si petapa dari Teluk Secang, guru Tumanggala."Tumang, Tumang ... kau seharusnya mengucapkan terima kasih padaku, bukannya malah terlihat bingung dan heran seperti kambing congek begitu!" tambah si lelaki tua. Meski
"APA maksudmu, Keparat?" tanya Tumanggala setengah menggeram. "Apa yang telah kau perbuat pada ayah kandungku?" Genggaman Tumanggala kian erat memegangi pergelangan tangan Kridapala. Ia tak sudi melepas mantan atasannya itu sebelum mendapatkan kejelasan mengenai kedua orang tuanya. Dari apa yang diucapkan Kridapala kepadanya sejak di atas sampan tadi, Tumanggala langsung menduga kuat jika Kridapala mengenal baik ayah-ibu kandungnya. Bahkan bisa jadi mantan bekel tersebut tahu banyak apa yang menimpa dua orang tersebut. Kridapala sendiri menyeringai susah payah sebagai tanggapan. Setengah menahan sakit, setengahnya lagi sengaja mengejek Tumanggala yang tampak kian penasaran terhadap apa yang sudah ia sampaikan. "Ayahmu seorang terhormat, Tumanggala, seorang besar yang disegani semua kalangan di kerajaan ini," jawab Kridapala kemudian, meski dengan napas terengah-engah. "Andai saja nasib malang tidak menimpanya, aku pastikan masa kecilmu sangat bahagia. Kau tumbuh di puri indah lagi
SAMBIL terbungkuk-bungkuk menahan sesak di dada, hati Tumanggala seketika berdesir. Dari sini saja ia langsung tahu jika Kridapala sesungguhnya memiliki kemampuan tenaga dalam lebih tinggi.Wajar sebetulnya, sebab seorang bekel kerajaan memang haruslah menguasai setidaknya tenaga dalam tingkat menengah. Tumanggala yang belum lama naik jabatan jadi wira tamtama, serta selalu melarikan diri dari gurunya, masih belum terlalu mendalami kepandaian tersebut."Aku harus mencari akal," gumam Tumanggala kemudian.Ia paham benar, dirinya tidak boleh sering-sering beradu tenaga dalam dengan Kridapala. Jika tidak, lambat laun luka dalam yang baru saja ia derita bakal semakin parah. Bahkan dapat mengancam nyawa!Di kejauhan, Kridapala tampak berdiri tenang-tenang. Sekilas pandang sepertinya lelaki tersebut tidak merasakan apa-apa. Beradunya pukulan tenaga dalam tadi seolah tidak menimbulkan akibat buruk sedikit pun padanya.Namun itu hanyalah akal-akalan Kridapala. Ia tak sudi terlihat lebih lemah
"BAJINGAN kau, Tumanggala!" Triguna meraung setinggi langit. Diikuti mendesis-desis tak karuan.Tadi, ketika melihat pertahanan Triguna terbuka, Tumanggala langsung memanfaatkan kesempatan bagus tersebut. Ia entakkan sebelah kaki sekuat tenaga, mengirim tendangan bertenaga dalam tinggi ke dada lawan.Karena gerakannya semakin lamban, Triguna tak kuasa bergerak menghindar. Lelaki itu hanya bisa coba menangkis dengan kedua tangan, tetapi tendangan Tumanggala terlalu deras baginya.Dadanya memang terhindar dari terjangan, tetapi tapak kaki Tumanggala tanpa ampun menghajar kedua tangan Triguna. Suara berderak tadi adalah pertanda jika sepasang tangan lelaki tersebut mengalami patah tulang.Di tempatnya, Kridapala bergidik menyaksikan keadaan Triguna. Sudahlah pangkal bahunya bergeser, kini kedua tangan pun terkulai lemah karena mengalami patah tulang."Menyerahlah, Triguna. Tabib istana pasti mampu menyembuhkan luka-lukamu," ujar Tumanggala yang juga tampak mengernyit ngeri. Bagaimanapun