SERANGAN yang datang sangat tiba-tiba. Sama sekali tidak memberi kesempatan bagi Tumanggala dan Wyara untuk berpikir. Tak ingin mendapat celaka, kedua prajurit Panjalu itu langsung mencabut pedang masing-masing dari warangka di pinggang.
Sambil menggembor marah, Tumanggala bergerak maju seraya mengayunkan pedang di tangan. Di sebelahnya, Wyara juga sudah melesat dan menyongsong datangnya serangan. Dua pedang menyambut sambaran enam golok.
Traaang! Traaang!
Suara berdentrangan keras memecah keheningan malam manakala delapan senjata itu beradu. Percikan api bertebaran di udara, untuk kemudian menghilang tersapu embusan angin nan dingin.
"Siapa kalian? Mengapa kalian menyerang kami tanpa alasan?" tanya Tumanggala dengan suara keras membentak.
TUMANGGALA dan Wyara saling berpandangan sesaat, untuk kemudian sama berseru keras dan bergerak menyongsong datangnya serangan. Pedang di tangan kedua prajurit Panjalu itu berkiblat di udara. Siap menyambut datangnya sambaran lima golok.Sriiing! Sriiing!Dua pertempuran segera pecah. Yang satu pertempuran tiga lawan satu yang melibatkan Tumanggala. Sedangkan yang satu lagi pertarungan satu lawan dua antara Wyara dan sisa anggota kelompok bercadar.Diiringi suara menderu kencang, tiga golok besar nan tajam terayun cepat. Semuanya mengarah pada tiga titik mematikan di tubuh Tumanggala: perut, ulu hati, dan batang leher.Hal ini membuat Tumanggala menggeram marah. Jelaslah sudah, gerombolan bercadar ini muncul untuk mengincar nyawanya. Sang prajurit Panjalu tahu dirinya ha
SEMENTARA di gelanggang lain, Wyara tengah berada di atas angin. Satu dari dua lawan yang tadi mengeroyok sahabat Tumanggala itu sudah tergeletak di tanah. Sebuah luka besar menganga di punggung si korban. Darah menggenang di dekat tubuh terluka yang sudah tidak lagi bergerak itu. Tinggal berhadapan satu lawan satu, tampak sekali lelaki bercadar yang dihadapi Wyara keteteran. Dalam dua jurus terakhir lelaki tersebut hanya menghindari setiap serangan Wyara, tanpa sekali pun dapat balas menyerang. Tidak mungkin itu disengaja. Sebaliknya, hal ini menunjukkan jika kemampuan Wyara lebih tinggi dari lawan. Tinggal menunggu waktu saja sampai Wyara mendapat kesempatan emas untuk melumpuhkan lelaki bercadar itu. "Awas pedang!" seru Wyara, sembari kibaskan senjata di tangan. Sriiing! Pedang panjang berkelebat cepat. Angin sabetannya menimbulkan suara berkesiuran tajam nan meruntuhkan nyali. Lelaki bercadar yang jadi sasaran serangan tampak mengkerut dengan paras pucat ketakutan. Sepasang
KETIKA kembali ke tempat Wyara tadi berada, Tumanggala menyaksikan sahabatnya itu terbujur lemah di tanah dalam keadaan miring. Tak bergerak sama sekali. Batang anak panah masih menancap di pangkal bahu Wyara. Kulit di sekeliling luka terlihat telah berubah warna menjadi kehitaman. Paras Tumanggala langsung berubah melihat itu. “Wyara!" seru Tumanggala, sambil bergegas mendekat. Ia sungguh tak dapat menyembunyikan rasa khawatir di dalam dada. Buru-buru sang prajurit berjongkok di sisi tubuh Wyara. Napasnya seketika tertahan saat menyentuh bahu sahabatnya itu. Bagian tubuh Wyara terasa sangat panas, serupa rebusan air di tungku. Terutama di sekitar tempat tertancapnya anak panah. “Gawat! Racun di mata anak panah ini pasti sudah menyebar!” desis Tumanggala dengan suara bergetar. Tangan sang prajurit lantas menyentuh batang anak panah di punggung Wyara. Mulanya ia berniat mencabut benda panjang tersebut, tetapi segera dibatalkannya niat tersebut. Sebagai gantinya, dengan perlahan Tu
KITA kembali sejenak ke semak-semak tak jauh dari tembok belakang istana. Ke tempat di mana Senopati Arya Lembana dan lima pengawal Dyah Wedasri Kusumabhuwana berpencar usai melarikan diri dari ruang tahanan bawah tanah. Keputusan untuk berpencar itu diambil Arya Lembana dengan pertimbangan sederhana tetapi masuk akal. Sebuah keputusan cepat yang sudah ditimbang baik-buruknya secara masak-masak. Tepat seperti dugaan Tumanggala, Arya Lembana menyadari jika dirinya dikenali para prajurit penjaga gerbang belakang istana. Mau melarikan diri ke mana saja, Rakryan Tumenggung pasti akan tetap tahu jika senopati itulah yang membawa lima prajurit pengawal Dyah Wedasri kabur dari tahanan. Begitu tubuh Tumanggala dan Wyara menghilang di sebalik semak-semak dan menjauh, Arya Lembana memberi isyarat kepala pada tiga prajurit yang bersamanya. "Ayo!" serunya dengan suara agak berbisik. Kemudian tanpa menunggu tanggapan, sang senopati sudah mendahului bergerak. Tiga prajurit saling berpandangan.
MALAM mulai merangkak naik. Hawa dingin semakin mencucuk tulang. Embun mulai turun, membentuk bayangan-bayangan keputihan di beberapa tempat. Sementara rembulan di langit memancarkan cahaya benderang dengan anggun. Suasana tahanan bawah tanah istana sangat senyap. Para penjaga yang sudah terkantuk-kantuk, terkesiap dan buru-buru melebarkan kelopak mata saat Rakryan Tumenggung dan pasukannya tiba membawa empat tawanan. "Gusti Tumenggung …" Para penjaga tahanan serentak menyembah hormat. "Antar aku membawa pengkhianat-pengkhianat ini ke dalam," ujar Rakryan Tumenggung pada para penjaga tahanan bawah tanah, tanpa basa-basi sama sekali. "Sendika, Gusti," sahut para prajurit penjaga tahanan, lalu mengambil alih empat tawanan dari tangan prajurit anggota pasukan pengejar. Rakryan Tumenggung mendahului masuk. Suara tapak kakinya saat meniti anak tangga batu satu demi satu ke bawah, terdengar menggema di segenap ruangan yang hening. Delapan prajurit penjaga ruang tahanan mengikuti di bel
BANGUNAN berbentuk persegi terdiri atas beberapa tingkat itu tampak kelam dalam gelapnya malam menjelang pagi. Hanya beberapa bagian saja yang diterangi nyala api kecil pada obor yang nyaris padam. Matahari belum lagi terbit di kaki langit sebelah timur. Hari masih gelap menghitam. Hawa dingin menusuk tulang masih menyungkupi seantero wilayah Kerajaan Panjalu. Di beberapa tempat bahkan tampak kabut mengambang di udara dini hari. Tak terkecuali di sekitar bangunan yang terletak di kawasan selatan Panjalu itu. Tepatnya di perbatasan Lodoyong dengan wilayah Kotaraja. "Yang mana kamarnya?" gumam satu bayangan hitam yang mengendap tak jauh dari bangunan tersebut. Sepasang matanya yang merah tampak nyalang mengamati keseluruhan gedung. Sosok berupa bayangan hitam itu mendekam tak jauh dari gerbang masuk bangunan. Pada papan nama yang ada di dekat gapura paduraksa, terpampang satu nama, Penginapan Jatiwangi. "Aku tidak mungkin bertanya. Jangan sampai keberadaanku di sini diketahui orang,
DALAM keadaan berbaring telentang di atas tilam, sepasang mata Citrakara jadi menatap ke atap. Pada saat itulah pandangannya menangkap satu sosok hitam di langit-langit kamar.Seolah melihat hantu, setengah melompat Citrakara kembali bangkit dan duduk di tepi pembaringan. Sementara sosok hitam yang berpegangan pada kayu-kayu atap melenting turun.Tap! Tap!Sepasang kaki bayangan hitam itu mendarat tepat di hadapan Citrakara. Membuat jalir itu menjerit sekali lagi, lalu meringkuk ketakutan di sudut pembaringan. Kedua tangannya menutupi wajah rapat-rapat."Sssh! Kara, ini aku!" Sosok tersebut berkata setengah berbisik, sembari mendekati Citrakara.Mendengar suara itu jantung Citrakar
CITRAKARA tak mau membiarkan orang berlama-lama menunggu. Terlebih ia hafal betul suara itu. Pastilah Ki Juru Jalir yang membawa para prajurit tersebut naik ke atas. Dugaan Citrakara tidak salah. Ketika pintu kamar ia buka, wajah Ki Juru Jalir langsung tersembul masuk. Meski sudah menduga, tak urung Citrakara kaget juga dibuatnya. "Oh! Kau membuatku kaget, Ki," seru Citrakara, seraya tersurut mundur satu langkah. Ki Juru Jalir menggerendeng, entah mengucapkan apa tidak jelas di telinga Citrakara. Tatapan mata lelaki paruh baya tersebut penuh selidik. Memandangi seisi kamar dengan saksama. Di depan kamar, tidak kurang dari sepuluh prajurit bersenjata lengkap berdiri. Sikap mereka tampak waspada, dengan beberapa di antaranya mengamati sepanjang lorong dan sekitar kamar Citrakara. "Ada apa, Ki? Kenapa banyak sekali prajurit kemari?" tanya Citrakara lagi. Tentu saja perempuan itu hanya berpura-pura tidak mengerti apa yang terjadi. Wajahnya menampakkan air muka keheranan. Dengan kedua
Akhirnya, setelah sempat terbengkalai selama lebih dari satu warsa, seri kedua dari kisah Arya Tumanggala ini rampung juga. Ada perasaan lega, tetapi juga sedikit tidak puas di dalam diri saya. Lega karena dengan ini saya tidak lagi menggantung pembaca dengan kisah yang tak kunjung tuntas. Juga sangat lega karena saya dapat menunaikan janji kepada editor, baik yang dulu maupun yang sekarang. Sedangkan rasa tidak puas muncul karena saya sadar sepenuhnya jalan cerita ini agak meleset dari rencana awal. Harap maklum, lebih dari sewarsa cerita ini terlantar karena satu dan lain alasan. Karena itu, saya mohon kerelaan para pembaca sekalian untuk memaklumi serta memaafkan rupa-rupa kekurangan yang mungkin berceceran dalam cerita ini. Tak ada gading yang tak retak, apatah lagi karya saya yang amat sangat sederhana ini. Dengan segala kerendahan hati, saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pembaca yang telah mengikuti Arya Tumanggala 2 sampai tamat. Sampai jumpa di cerita selanjut
"INI sudah hari keberapa sejak kakangmu itu tahu-tahu kembali kemari, tapi langsung pergi lagi?"Sambil mengajukan tanya, wanita berusia kisaran enam puluhan tahun itu menjejalkan sebatang kayu bakar ke dalam tungku. Api meredup sejenak, tetapi segera membesar lagi usai ditiup oleh si wanita tua."Seingatku baru dua hari, Bi," jawab perempuan muda yang diajak bicara. Di tangannya terpegang sebuah kipas bambu yang sesekali diipit-ipitkan ke tungku.Wanita tua yang dipanggil bibi tersenyum penuh arti. "Baru ditinggal pergi dua hari saja kau sudah sekusut ini. Sudah terlalu berat menanggung rindu agaknya....""Bibi!" tukas si perempuan muda, lalu mencebikkan bibir dengan raut muka kesal. "Aku hanya mencemaskan Kakang Tumanggala. Siapapun yang berani menculik puteri raja, pastilah bukan orang sembarangan. Aku khawatir....""Dan kakangmu itu juga bukan orang sembarangan, Citra," sergah si wanita tua pula. "Kau tak perlu terlalu mencemaskan dirinya. Dia pasti bisa menjaga diri, percayalah."
ARAK-ARAKAN pasukan tersebut memasuki Dahanapura jelang dini hari. Paling depan sebagai pemimpin adalah Rakryan Mantri Tumenggung. Di sebelahnya ada Senopati Arya Mandura bersama dua bekel.Lebih di belakang lagi, terdapat sepasukan kecil berkekuatan 20 prajurit magalah. Mereka dipimpin oleh seorang bekel dan dibantu seorang lurah prajurit.Tepat di belakang pasukan kecil itu terdapat kereta kencana yang dikawal ketat sepuluh prajurit magalah di kanan-kiri. Di dalamnya, Dyah Wedasri Kusumabuwana dan simbok emban tengah tertidur pulas.Lalu di belakang kereta kencana ada dua gerobak kayu yang terlihat dibuat secara dadakan. Gerobak pertama berisi seorang lelaki dalam keadaan luka-luka, yang tak lain adalah Senopati Arya Lembana. Sedangkan gerobak kedua dijejali pendekar-pendekar bayaran komplotan Kridapala yang dikalahkan oleh Arya Mandura.Tumanggala yang tadi diminta ikut masuk ke dalam kereta oleh Dyah Wedasri, mau tak mau menurut saja. Beruntung baginya sang puteri sudah terlelap s
USAI menerima laporan bahwa keadaan Dyah Wedasri baik-baik saja, Rakryan Tumenggung langsung mengambil beberapa tindakan. Pertama-tama, kepada semuanya sang panglima berkata ingin membawa junjungan mereka ke istana malam ini juga."Paling lambat pagi-pagi sekali besok, Gusti Puteri sudah harus tiba di istana," ujar Rakryan Tumenggung, yang langsung dipatuhi oleh seluruh pasukannya.Setelah tandu disiapkan, Dyah Wedasri dipersilakan naik untuk dibawa meninggalkan kawasan tepi jurang. Mereka kembali ke sungai, sebelum kembali ke dekat air terjun dan bergabung dengan Senopati Arya Mandura bersama anggota pasukan lainnya.Di sungai, rombongan dipecah dua. Yang pertama membawa Dyah Wedasri melalui jalur sungai, sedangkan yang kedua kembali ke kawasan air terjun lewat jalur darat.Dyah Wedasri dibawa dengan sampan bersama Rakryan Tumenggung, seorang bekel, serta dua prajurit sebagai pendayung. Sedangkan para pengawal menaiki rakit batang pisang buatan Tumanggala.Tumanggala sendiri turut me
"ORANG tua, kau ini siapa? Bagaimana kau bisa mengetahui nama kecilku?" tanya salah satu pengeroyok Tumanggala, seketika mengalihkan perhatian pada si lelaki tua yang tadi berseru.Yang ditanyai tertawa mengekeh, sembari pandangan lelaki berpakaian perwira tinggi kerajaan di hadapannya. Menilik pada kemewahan serta kelengkapan seragam orang tersebut, petapa tua itu mudah saja mengenali jika yang tengah dihadapi adalah seorang berpangkat tinggi.Sementara Tumanggala untuk kesekian kalinya dibuat kaget. Setelah berhenti bertarung, ia jadi punya kesempatan mengamat-amati wajah dua pengeroyoknya. Parasnya seketika berubah."G-Gusti Tumenggung?" seru Tumanggala tanpa sadar.Perwira tersebut memang Rakryan Mantri Tumenggung. Ia dan rombongannya jadi yang terdepan dalam mengejar arah suara Dyah Wedasri. Sayang, kedatangannya di tempat ini disuguhi pemandangan yang membuatnya berburuk sangka.Rakryan Tumenggung berbalik badan dan memandangi Tumanggala. Seolah baru menyadari siapa yang tadi ia
"ASTAGA! Bagaimana bisa begini?"Tumanggala benar-benar terkejut ketika kemudian tahu siapa sosok yang baru muncul dari dasar jurang. Ia memang belum melihat wajah orang tersebut, tetapi suara yang baru saja terdengar sudah tidak asing lagi baginya.Maka Tumanggala buru-buru bangkit dan berdiri, meski dengan wajah mengernyit menahan perih. Bertepatan dengan saat itu sosok tadi mendaratkan kakinya di permukaan cadas batu di tepi jurang.Kerutan di kening Tumanggala bertambah dalam manakala menyadari sosok tersebut tidak sendiri. Di pundak kanannya ada sesosok tubuh gadis, tampak diam saja dalam panggulan."G-Guru?" ujar Tumanggala setengah tak percaya. "Gusti Puteri? Bagaimana bisa?""Bagaimana bisa, bagaimana bisa?" sembur sosok yang baru muncul, tak lain tak bukan memang si petapa dari Teluk Secang, guru Tumanggala."Tumang, Tumang ... kau seharusnya mengucapkan terima kasih padaku, bukannya malah terlihat bingung dan heran seperti kambing congek begitu!" tambah si lelaki tua. Meski
"APA maksudmu, Keparat?" tanya Tumanggala setengah menggeram. "Apa yang telah kau perbuat pada ayah kandungku?" Genggaman Tumanggala kian erat memegangi pergelangan tangan Kridapala. Ia tak sudi melepas mantan atasannya itu sebelum mendapatkan kejelasan mengenai kedua orang tuanya. Dari apa yang diucapkan Kridapala kepadanya sejak di atas sampan tadi, Tumanggala langsung menduga kuat jika Kridapala mengenal baik ayah-ibu kandungnya. Bahkan bisa jadi mantan bekel tersebut tahu banyak apa yang menimpa dua orang tersebut. Kridapala sendiri menyeringai susah payah sebagai tanggapan. Setengah menahan sakit, setengahnya lagi sengaja mengejek Tumanggala yang tampak kian penasaran terhadap apa yang sudah ia sampaikan. "Ayahmu seorang terhormat, Tumanggala, seorang besar yang disegani semua kalangan di kerajaan ini," jawab Kridapala kemudian, meski dengan napas terengah-engah. "Andai saja nasib malang tidak menimpanya, aku pastikan masa kecilmu sangat bahagia. Kau tumbuh di puri indah lagi
SAMBIL terbungkuk-bungkuk menahan sesak di dada, hati Tumanggala seketika berdesir. Dari sini saja ia langsung tahu jika Kridapala sesungguhnya memiliki kemampuan tenaga dalam lebih tinggi.Wajar sebetulnya, sebab seorang bekel kerajaan memang haruslah menguasai setidaknya tenaga dalam tingkat menengah. Tumanggala yang belum lama naik jabatan jadi wira tamtama, serta selalu melarikan diri dari gurunya, masih belum terlalu mendalami kepandaian tersebut."Aku harus mencari akal," gumam Tumanggala kemudian.Ia paham benar, dirinya tidak boleh sering-sering beradu tenaga dalam dengan Kridapala. Jika tidak, lambat laun luka dalam yang baru saja ia derita bakal semakin parah. Bahkan dapat mengancam nyawa!Di kejauhan, Kridapala tampak berdiri tenang-tenang. Sekilas pandang sepertinya lelaki tersebut tidak merasakan apa-apa. Beradunya pukulan tenaga dalam tadi seolah tidak menimbulkan akibat buruk sedikit pun padanya.Namun itu hanyalah akal-akalan Kridapala. Ia tak sudi terlihat lebih lemah
"BAJINGAN kau, Tumanggala!" Triguna meraung setinggi langit. Diikuti mendesis-desis tak karuan.Tadi, ketika melihat pertahanan Triguna terbuka, Tumanggala langsung memanfaatkan kesempatan bagus tersebut. Ia entakkan sebelah kaki sekuat tenaga, mengirim tendangan bertenaga dalam tinggi ke dada lawan.Karena gerakannya semakin lamban, Triguna tak kuasa bergerak menghindar. Lelaki itu hanya bisa coba menangkis dengan kedua tangan, tetapi tendangan Tumanggala terlalu deras baginya.Dadanya memang terhindar dari terjangan, tetapi tapak kaki Tumanggala tanpa ampun menghajar kedua tangan Triguna. Suara berderak tadi adalah pertanda jika sepasang tangan lelaki tersebut mengalami patah tulang.Di tempatnya, Kridapala bergidik menyaksikan keadaan Triguna. Sudahlah pangkal bahunya bergeser, kini kedua tangan pun terkulai lemah karena mengalami patah tulang."Menyerahlah, Triguna. Tabib istana pasti mampu menyembuhkan luka-lukamu," ujar Tumanggala yang juga tampak mengernyit ngeri. Bagaimanapun