Beranda / Pendekar / Arya Tumanggala 2 / Pertempuran Celaka

Share

Pertempuran Celaka

Penulis: Kebo Rawis
last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-03 09:05:12

TUMANGGALA sempat dibuat bingung melihat Ki Bekel Wikutama malah menyerang musuh. Bukankah tadi atasannya itu sudah membagi tugas? Dan menghadapi keempat lelaki bercadar di hadapan mereka menjadi tanggung jawab Tumanggala.

Amarah yang membuncah agaknya membuat sang bekel lupa pada segala-galanya. Termasuk ucapannya sendiri. Alih-alih menunggu lawan melakukan serangan, lelaki tersebut justru terlebih dahulu menyerbu.

Namun  sudah terlanjur. Serangan Ki Bekel Wikutama sedikit lagi sampai. Maka Tumanggala cepat mengambil  tindakan. Ia pun memberi isyarat tangan pada Wyara, meminta sahabatnya itu untuk mengamankan kereta.

"Lindungi kereta! Mereka menginginkan yang kita bawa!" seru Tumanggala. Sengaja ia mengatakan ‘yang kita bawa’ agar tidak tegas-tegas menyebut nama Dyah Wedasri yang tengah diincar para pengadang.

Wyara cepat mengangguk, lalu tampak memberi perintah pada beberapa prajurit lain. Mereka memusatkan kekuatan di sekitar pintu kereta.

Sementara serangan Ki Bekel Wikutama kian dekat. Pedang di tangan lelaki ini menyabet dua kali. Satu terarah pada batang leher lawan, sedangkan satu lagi mengincar perut. Sungguh serangan berganda yang sangat mematikan.

Sring! Sring!

Toh, lelaki bercadar hitam yang diserang justru keluarkan tawa gelak-gelak. Tawa yang membuat darah Ki Bekel Wikutama semakin mendidih.

"Ah, kau ini rupanya sebangsa kesatria yang cepat marah, Orang Tua," ujar si lelaki bercadar. Lagi-lagi sengaja membakar amarah Ki Bekel Wikutama.

Usai berkata begitu, lelaki tersebut cabut golok besar yang sedari tadi tergantung di pinggang. Sret! Alih-alih menunggu serangan lawan mendekat, ia justru merangsek ke depan. Bergerak menyongsong dengan golok diputar-putar di depan dada.

Trang! Trang!

Sabetan pedang Ki Bekel Wikutama menghantam badan golok lawan. Suara berdentrang keras pun memecah udara. Tak terima serangan pertamanya digagalkan dengan mudah, sang bekel langsung susulkan serangan kedua.

"Makan ini!" geram Ki Bekel Wikutama sembari mengirim sambaran ke arah dada.

Lelaki pengadang keluarkan dengusan. Lalu tidak disangka-sangka ia malah lentingkan tubuh ke atas. Kejap berikutnya kedua kaki si lelaki bercadar sudah mendarat di batang pedang Ki Bekel Wikutama. Seolah-olah dirinya seekor capung saja!

Sang bekel berseru kaget. Demikian pula dengan Tumanggala yang sejauh itu masih tetap di atas punggung kudanya. Apa yang dilakukan lelaki bercadar tersebut menandakan kemampuan peringan tubuhnya tidak bisa dianggap main-main.

"Kau yang makan ini, Orang Tua Besar Mulut!" bentak lelaki tersebut, bersamaan dengan gerak kakinya mengirim satu tendangan cepat.

Ki Bekel Wikutama yang masih ternganga kaget tak sempat menghindar. Tendangan itu pun mendarat telak di rahang kiri sang bekel. Menimbulkan suara berderak seperti tulang bergeser atau patah.

"Aaaaa!"

Kerasnya tendangan itu tak hanya membuat leher Ki Bekel Wikutama terpelintir. Tubuhnya juga ikut terpental beberapa langkah ke belakang. Hampir saja lelaki paruh baya itu jatuh duduk di tanah, andai tak dapat segera menyeimbangkan diri.

Jeritan Ki Bekel Wikutama terdengar sampai kereta. Baik Dyah Wedasri maupun simbok emban hapal betul suara itu. Tak urung mereka merasa perlu mengintip dari balik tirai untuk memastikan.

"Ki Bekel kena hantam!" seru simbok emban sembari tutup mulut dengan kedua tangan. Wajahnya benar-benar pucat.

"Oh!" Dyah Wedasri tak dapat berkata apa-apa. Hanya sepasang matanya yang membelalak ngeri, dengan paras tegang ketakutan.

Di tempatnya, wajah Ki Bekel Wikutama sudah berubah merah kehitaman seluruhnya. Pertanda amarah benar-benar telah menguasai lelaki tersebut.

"Setan haram jadah!" geram sang bekel dengan suara bergetar. Kepalan tangannya menggenggam gagang pedang erat-erat.

Melihat itu Tumanggala buru-buru melompat turun dari kudanya. Segera ditahannya gerakan sang bekel yang sudah bersiap hendak melakukan serangan lagi.

"Tahan, Ki Bekel! Biar aku saja yang mengurus cecunguk kurang ajar ini," seru Tumanggala.

"Bunuh dia, Tumanggala! Kelancangannya harus ditebus dengan nyawa!" sahut Ki Bekel Wikutama menggeram.

"Serahkan dia padaku, Ki Bekel. Aku pastikan dia akan menyesali perbuatannya ini," kata Tumanggala pula. Setelah itu, sret! Pedang andalannya tahu-tahu saja sudah keluar dari warangka.

Lelaki bercadar menyeringai sinis. Tangannya yang kosong sekali lagi ditelusupkan ke balik cadar. Lalu terdengar suitan panjang lagi keras.

Tumanggala dan Ki Bekel Wikutama tercekat. Tadi suitan seperti itu adalah isyarat bagi serangan panah. Apakah sekarang juga demikian?

Tak mau menduga-duga, Ki Bekel Wikutama langsung meloncat ke arah kereta. Bergabung bersama Wyara dan prajurit lain. Agaknya sang bekel sudah ingat pada pengaturan tugas yang tadi dibuatnya.

Sring! Sring! Sring!

Pada saat bersamaan terdengar suara berdesing ramai. Disusul munculnya belasan anak panah dari balik semak-semak. Tapi kali ini para prajurit Panjalu sudah bersiaga. Pedang di tangan mereka cepat bergerak menghalau serangan.

Tring! Tring! Tring!

Sekali lagi tempat itu dipenuhi oleh suara berdentringan nan ramai. Anak-anak panah yang terkena sabetan pedang berjatuhan ke tanah dalam keadaan terpotong dua.

Namun agaknya para pengadang tak mau memberi kesempatan. Belum sempat para prajurit Panjalu bernapas lega, kembali belasan anak panah melesat ke arah mereka.

"Keparat!" maki Ki Bekel Wikutama dengan geraham bergemeletuk. Sambil memutar-mutar pedangnya untuk menghalau lesatan anak panah, lelaki paruh baya itu melompat ke arah semak-semak.

Di lain pihak, Tumanggala menggembor keras sembari buka serangan pada empat lelaki bercadar di hadapannya.

"Jangan diam saja! Serang mereka!" serunya memberi perintah pada para prajurit lain.

Sret! Sret!

Sepuluh prajurit di bagian depan kereta kuda mencabut pedang masing-masing. Lalu bersamaan dengan gerakan Tumanggala, mereka ikut melesat pula ke arah para pengadang.

Sebelas pedang berkiblat di udara. Empat lelaki bercadar yang diserang sama menggeram. Masing-masing cabut golok dari warangka di pinggang, lalu bergerak menyongsong datangnya serangan.

"Hiaaaattt!"

Wuuttt! Wuuttt! Wuuttt!

Lelaki bercadar yang paling depan terlihat hendak mengeluarkan satu suitan lagi. Namun Tumanggala bergerak sigap, merangsek ke arah orang itu sembari babatkan pedang ke perut yang terbuka lebar.

Yang diserang mau tak mau urungkan niat. Cepat-cepat tangannya kembali diturunkan. Bersamaan dengan itu tangannya yang memegang golok disabetkan untuk menghalau serangan.

Traaanggg!

Pertempuran pun pecah setelahnya. Tumanggala menghadapi lelaki yang sedari tadi menjadi juru bicara para pengadang. Sementara sepuluh prajurit mengurung tiga anggota komplotan bercadar lainnya.

Di sebelah belakang, empat lelaki bercadar hitam menyerbu para prajurit yang berjaga-jaga di sekitar pintu kereta. Wyara memberi isyarat pada empat rekannya untuk menghadapi serangan. Sementara tiga lainnya tetap pada posisi semula.

Sayang, Wyara dan empat prajurit lain langsung dibuat keteteran oleh lawan mereka. Belum lagi tiga jurus berlalu, korban jiwa sudah jatuh dari pihak pengawal kereta. Seorang prajurit roboh bersimbah darah. Jeritannya menyayat hati.

"Sial dangkalan!" maki Wyara. Kalau lima lawan empat saja mereka kalah, apalagi sekarang empat lawan empat. Maka ia pun berseru ke depan, "Tumanggala, bantu kami!"

Kejadian tersebut sebenarnya tak luput dari amatan Tumanggala. Meski tengah sibuk meladeni serangan lawan, sudut mata sang arya masih dapat menangkap adanya ketimpangan jumlah prajurit dengan gerombolan pengadang.

Tumanggala tak mau keselamatan Dyah Wedasri terancam. Begitu mendengar seruan Wyara, di sela-sera gerakannya menyerang dan menghindar ia keluarkan perintah.

"Empat orang cepat pindah ke belakang!" serunya pada sepuluh prajurit di bagian depan.

Tanpa mengurangi ancaman pada tiga lelaki bercadar yang tengah mereka keroyok, empat dari sepuluh prajurit tersebut keluar dari kalangan pertempuran. Mereka langsung bergabung ke bagian belakang.

Sekilas, kini pertarungan terlihat lebih seimbang. Setiap anggota gerombolan pengadang dihadapi oleh setidaknya dua-tiga prajurit Panjalu. Namun Tumanggala mungkin lupa jika keunggulan jumlah tidak selalu berarti keunggulan dalam hal kemampuan.

Berjalan empat-lima jurus lagi, jeritan menyayat terdengar susul-menyusul. Diikuti rebahnya dua-tiga prajurit Panjalu dengan tubuh bersimbah darah.

"Aaaaaa!"

***

Bab terkait

  • Arya Tumanggala 2   Pembantaian

    SUARA-suara jeritan yang saling susul membuat suasana bertambah mencekam. Lebih-lebih bagi dua perempuan di dalam kereta. Pelukan Dyah Wedasri Kusumabuwana pada simbok emban semakin erat saja. Di kaki langit sebelah barat, matahari telah berubah menjadi bulatan jingga nan sempurna. Siap berlabuh di peraduannya. Gelap sebentar lagi datang. Sementara pertarungan berlangsung semakin tak seimbang. Para prajurit Panjalu boleh saja masih unggul dalam jumlah. Tapi kemampuan rata-rata mereka nyata sekali berada di bawah lelaki bercadar. Alhasil, dikeroyok dua-tiga pun tidak menyulitkan bagi komplotan pengadang. Crasss! Crasss! “Aaaaaaa!” Dua lagi prajurit Panjalu di sebelah belakang kereta roboh ke tanah. Luka lebar tampak menganga di dada dan perut mereka. Darah segera saja membasahi sekujur tubuh keduanya, lalu mengalir turun ke permukaan tanah. Kini jumlah pasukan pengawal kereta tinggal sepuluh orang. Empat di depan menghadapi tiga lawan, enam lagi di belakang menghadapi empat orang.

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-03
  • Arya Tumanggala 2   Sang Puteri Diculik

    KAGET Tumanggala bukan alang kepalang. Pedangnya yang nyaris menghabisi lawan dibuat mental oleh sabetan sebilah golok. Diiringi suara berdentrang nyaring menusuk telinga. Belum usai kekagetan Tumanggala, dua sosok hitam sudah muncul di hadapannya. Lalu dua bilah golok terayun, mengancam dada dan lehernya sekaligus! “Mati kau, prajurit keparat!” bentak salah seorang dari dua lelaki bercadar sembari ayunkan golok. Tumanggala tak sempat berpikir lebih jauh. Tanpa senjata di tangan, ia memilih melompat menghindar. Namun lawan tak memberinya kesempatan. Belum lagi kakinya kembali menjejak tanah, dua lelaki di hadapannya sudah menyambut. Wuuuttt! Wuuttt! Suara menderu dahsyat mengiringi sambaran dua golok. Tumanggala menggeram marah. Ia tak mau kakinya buntung kena babat. Tapi keadaan dirinya tidak memungkinkan untuk bergerak menghindari serangan. “Bedebah!” Tumanggala hanya dapat memaki geram. Ia pasrah pada apa pun yang bakal menimpa. Tapi alih-alih merasakan tajamnya sambaran golo

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-05
  • Arya Tumanggala 2   Kridapala Linglung

    DUA pekan berlalu sejak kematian Agreswara di tangan algojo istana. Pihak-pihak yang selama ini mencurigai niat busuk bekas senopati itu menyambut tindakan Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya dengan suka cita. Sebaliknya, orang-orang yang merasa dirinya terkait dengan rencana jahat senopati tersebut menjadi ketar-ketir. Salah satu di antaranya adalah Kridapala. Sejak Agreswara dipenggal di alun-alun, bekel paruh baya itu tak berani menampakkan diri. Ia lebih banyak mengurung diri di rumah. Belum sekali pun ia menginjakkan kaki ke istana lagi. Juga ke kediaman Senopati Arya Lembana, karena dalam dua pekan ini dirinya belum pernah mendapatkan penugasan. "Untung saja Wipaksa dan Ranajaya juga sudah modar di tangan Tumanggala. Jadi tak akan ada yang bisa memberi kesaksian kalau aku terlibat dalam rencana senopati gemuk sialan itu," desis Kridapala, lalu mendesah panjang. Saat itu si bekel tengah termangu-mangu di halaman belakang rumah. Kegiatan yang sejak dua pekan terakhir lebih seri

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-30
  • Arya Tumanggala 2   Pengakuan Triguna

    JANTUNG Kridapala serasa mau copot saking kagetnya. Kakinya yang semula hendak melangkah maju, sontak berbalik surut ke belakang beberapa tindak. Ia langsung bersiaga penuh, memasang kuda-kuda siap tempur. Seorang lelaki bertelanjang dada berdiri berkacak pinggang tepat di hadapan Kridapala. Wajah orang itu tertutup cadar hitam dari bawah mata hingga ke dagu. Sebuah luka lebar memanjang tampak melintang dari dada atas sebelah kiri, hingga ke pertengahan perut. Kridapala kernyitkan kening melihat luka tersebut. Ada dua orang dengan luka seperti itu yang ia kenal. Sayang, bekel paruh baya tersebut tak ingat persis apa perbedaan luka keduanya. "Keparat rendah! Siapa gerangan dirimu yang telah berani lancang masuk ke rumah orang tanpa permisi?" bentak Kridapala dengan wajah garang. "Ah, Ki Bekel. Kau rupanya sudah tidak lagi mengenali aku," sahut lelaki bercadar hitam, diiringi tawa mengekeh. "Bangsat! Wajahmu ditutupi cadar hitam, bagaimana mungkin aku dapat mengenalimu!" maki Kridap

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-01
  • Arya Tumanggala 2   Rencana Jahat

    KRIDAPALA tersentak. Benar-benar kaget mendengar penuturan Triguna barusan. Ia jadi berpikir Triguna agaknya sudah lupa siapa Dyah Wedasri, sampai-sampai berani menculik puteri Panjalu tersebut. "Kau sepertinya terkejut, Ki Bekel?" tanya Triguna sembari tersenyum lebar. Satu senyum puas karena berhasil mengagetkan Kridapala. "Kau sudah gila, Triguna!" desis Kridapala sembari geleng-gelengkan kepala. "Kau tentu tahu Dyah Wedasri salah satu putri kesayangan Gusti Prabu. Kau baru saja mencari mati karena telah berani-berani menculiknya!" Triguna malah tertawa mendengar ucapan bekas atasannya tersebut. "Singkirkan jauh-jauh kekhawatiranmu itu, Ki Bekel. Kalau memang ada yang bakal mati sebagai buntut dari penculikan Dyah Wedasri, aku yakinkan padamu orang itu bukanlah aku. Tapi Tumanggala!" sahut Triguna dengan penuh percaya diri. Kridapala masih geleng-gelengkan kepalanya. Benar-benar tak percaya ada seorang buronan kerajaan berani berlaku seneka

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-01
  • Arya Tumanggala 2   Dahanapura Gempar

    ISTANA Dahanapura dilanda kegemparan. Kabar mengenai penyerangan yang dialami rombongan Dyah Wedasri Kusumabuwana sampai di telinga para pembesar kerajaan petang itu juga.Adalah kusir kereta kencana yang membawa kabar buruk ke istana. Sebelumnya, lelaki tua tersebut langsung bersembunyi di balik semak-semak saat pertarungan pecah. Ia tak mau mendapat luka, apalagi sampai mati konyol terkena serangan nyasar.Begitu melihat komplotan lelaki bercadar yang mengadang berada di atas angin, tanpa berpikir panjang lagi si kusir melarikan diri ke Kotaraja. Beruntung para pengadang tidak mengetahui pelariannya. Jika tidak, bisa-bisa kusir itu sudah tewas dengan punggung tertancap anak panah.Si kusir tua benar-benar berlari menuju Kotaraja. Sampai akhirnya ia bertemu sebuah pedati yang berbaik hati mau mengantar hingga ke kediaman Senopati Arya Lembana."Apa yang terjadi?" tanya Arya Lembana begitu si kusir tua dihadapkan padanya. Rona kecemasan tampak jelas pada

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-03
  • Arya Tumanggala 2   Murka Raja

    MESKI Rakryan Rangga dan Senopati Arya Lembana sudah sejak tadi-tadi pergi, Rakryan Tumenggung masih duduk termenung di tempatnya. Dalam diam sang panglima kerajaan tengah berpikir-pikir apa yang sebaiknya ia lakukan. Sama halnya Rakryan Rangga dan Arya Lembana, Rakryan Tumenggung sangat mengkhawatirkan murka dari Sri Prabu Jayabhaya. Karena itu sempat tebersit di kepalanya untuk menyimpan rapat-rapat kabar ini. Jangan sampai sang raja dan siapa pun tahu. Namun, cepat atau lambat berita ini tentu akan menyebar juga. Pada akhirnya Sri Prabu Jayabhaya bakal tahu. Terlebih Dyah Wedasri seharusnya sudah tiba di istana sebelum gelap. Pastilah timbul pertanyaan jika sampai semalam ini sang puteri belum kembali. "Kalau sampai Sri Prabu tahu apa yang terjadi pada Gusti Putri dari orang lain, bukan dariku, bisa-bisa kemarahannya akan jauh lebih besar lagi," pikir Rakryan Tumenggung kemudian. Hatinya jadi bimbang luar biasa. Setelah menghela napas panjang, Rakr

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-06
  • Arya Tumanggala 2   Hukuman Pancung

    MALAM sudah larut ketika pasukan yang dikirim untuk memeriksa tempat diadangnya rombongan Dyah Wedasri kembali. Suasana Kotaraja Daha yang sepi mendadak ramai oleh suara keteplak ladam kuda serta gemuruh roda kereta dan gerobak. Senopati Arya Lembana memimpin sendiri pasukan tersebut. Rombongan berkekuatan dua lusin prajurit itu melambatkan laju kuda-kuda mereka saat mendekati pintu gerbang istana. Prajurit penjaga gerbang buru-buru membukakan regol. Wajah lelah Arya Lembana tampak tegang saat membawa pasukan tersebut memasuki kawasan jerong beteng. "Kita menuju ke alun-alun!" perintah Arya Lembana. Suaranya lantang menggelegar, memecah heningnya suasana malam. Alun-alun yang dituju berjarak sekitar 110 depa (kisaran 200-an meter) dari gerbang istana. Begitu tiba di

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-06

Bab terbaru

  • Arya Tumanggala 2   Kata Penutup

    Akhirnya, setelah sempat terbengkalai selama lebih dari satu warsa, seri kedua dari kisah Arya Tumanggala ini rampung juga. Ada perasaan lega, tetapi juga sedikit tidak puas di dalam diri saya. Lega karena dengan ini saya tidak lagi menggantung pembaca dengan kisah yang tak kunjung tuntas. Juga sangat lega karena saya dapat menunaikan janji kepada editor, baik yang dulu maupun yang sekarang. Sedangkan rasa tidak puas muncul karena saya sadar sepenuhnya jalan cerita ini agak meleset dari rencana awal. Harap maklum, lebih dari sewarsa cerita ini terlantar karena satu dan lain alasan. Karena itu, saya mohon kerelaan para pembaca sekalian untuk memaklumi serta memaafkan rupa-rupa kekurangan yang mungkin berceceran dalam cerita ini. Tak ada gading yang tak retak, apatah lagi karya saya yang amat sangat sederhana ini. Dengan segala kerendahan hati, saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pembaca yang telah mengikuti Arya Tumanggala 2 sampai tamat. Sampai jumpa di cerita selanjut

  • Arya Tumanggala 2   Rindu Citrakara

    "INI sudah hari keberapa sejak kakangmu itu tahu-tahu kembali kemari, tapi langsung pergi lagi?"Sambil mengajukan tanya, wanita berusia kisaran enam puluhan tahun itu menjejalkan sebatang kayu bakar ke dalam tungku. Api meredup sejenak, tetapi segera membesar lagi usai ditiup oleh si wanita tua."Seingatku baru dua hari, Bi," jawab perempuan muda yang diajak bicara. Di tangannya terpegang sebuah kipas bambu yang sesekali diipit-ipitkan ke tungku.Wanita tua yang dipanggil bibi tersenyum penuh arti. "Baru ditinggal pergi dua hari saja kau sudah sekusut ini. Sudah terlalu berat menanggung rindu agaknya....""Bibi!" tukas si perempuan muda, lalu mencebikkan bibir dengan raut muka kesal. "Aku hanya mencemaskan Kakang Tumanggala. Siapapun yang berani menculik puteri raja, pastilah bukan orang sembarangan. Aku khawatir....""Dan kakangmu itu juga bukan orang sembarangan, Citra," sergah si wanita tua pula. "Kau tak perlu terlalu mencemaskan dirinya. Dia pasti bisa menjaga diri, percayalah."

  • Arya Tumanggala 2   Kembali ke Daha

    ARAK-ARAKAN pasukan tersebut memasuki Dahanapura jelang dini hari. Paling depan sebagai pemimpin adalah Rakryan Mantri Tumenggung. Di sebelahnya ada Senopati Arya Mandura bersama dua bekel.Lebih di belakang lagi, terdapat sepasukan kecil berkekuatan 20 prajurit magalah. Mereka dipimpin oleh seorang bekel dan dibantu seorang lurah prajurit.Tepat di belakang pasukan kecil itu terdapat kereta kencana yang dikawal ketat sepuluh prajurit magalah di kanan-kiri. Di dalamnya, Dyah Wedasri Kusumabuwana dan simbok emban tengah tertidur pulas.Lalu di belakang kereta kencana ada dua gerobak kayu yang terlihat dibuat secara dadakan. Gerobak pertama berisi seorang lelaki dalam keadaan luka-luka, yang tak lain adalah Senopati Arya Lembana. Sedangkan gerobak kedua dijejali pendekar-pendekar bayaran komplotan Kridapala yang dikalahkan oleh Arya Mandura.Tumanggala yang tadi diminta ikut masuk ke dalam kereta oleh Dyah Wedasri, mau tak mau menurut saja. Beruntung baginya sang puteri sudah terlelap s

  • Arya Tumanggala 2   Kejutan Dyah Wedasri

    USAI menerima laporan bahwa keadaan Dyah Wedasri baik-baik saja, Rakryan Tumenggung langsung mengambil beberapa tindakan. Pertama-tama, kepada semuanya sang panglima berkata ingin membawa junjungan mereka ke istana malam ini juga."Paling lambat pagi-pagi sekali besok, Gusti Puteri sudah harus tiba di istana," ujar Rakryan Tumenggung, yang langsung dipatuhi oleh seluruh pasukannya.Setelah tandu disiapkan, Dyah Wedasri dipersilakan naik untuk dibawa meninggalkan kawasan tepi jurang. Mereka kembali ke sungai, sebelum kembali ke dekat air terjun dan bergabung dengan Senopati Arya Mandura bersama anggota pasukan lainnya.Di sungai, rombongan dipecah dua. Yang pertama membawa Dyah Wedasri melalui jalur sungai, sedangkan yang kedua kembali ke kawasan air terjun lewat jalur darat.Dyah Wedasri dibawa dengan sampan bersama Rakryan Tumenggung, seorang bekel, serta dua prajurit sebagai pendayung. Sedangkan para pengawal menaiki rakit batang pisang buatan Tumanggala.Tumanggala sendiri turut me

  • Arya Tumanggala 2   Rahasia Petapa Tua

    "ORANG tua, kau ini siapa? Bagaimana kau bisa mengetahui nama kecilku?" tanya salah satu pengeroyok Tumanggala, seketika mengalihkan perhatian pada si lelaki tua yang tadi berseru.Yang ditanyai tertawa mengekeh, sembari pandangan lelaki berpakaian perwira tinggi kerajaan di hadapannya. Menilik pada kemewahan serta kelengkapan seragam orang tersebut, petapa tua itu mudah saja mengenali jika yang tengah dihadapi adalah seorang berpangkat tinggi.Sementara Tumanggala untuk kesekian kalinya dibuat kaget. Setelah berhenti bertarung, ia jadi punya kesempatan mengamat-amati wajah dua pengeroyoknya. Parasnya seketika berubah."G-Gusti Tumenggung?" seru Tumanggala tanpa sadar.Perwira tersebut memang Rakryan Mantri Tumenggung. Ia dan rombongannya jadi yang terdepan dalam mengejar arah suara Dyah Wedasri. Sayang, kedatangannya di tempat ini disuguhi pemandangan yang membuatnya berburuk sangka.Rakryan Tumenggung berbalik badan dan memandangi Tumanggala. Seolah baru menyadari siapa yang tadi ia

  • Arya Tumanggala 2   Penolong Tak Terduga

    "ASTAGA! Bagaimana bisa begini?"Tumanggala benar-benar terkejut ketika kemudian tahu siapa sosok yang baru muncul dari dasar jurang. Ia memang belum melihat wajah orang tersebut, tetapi suara yang baru saja terdengar sudah tidak asing lagi baginya.Maka Tumanggala buru-buru bangkit dan berdiri, meski dengan wajah mengernyit menahan perih. Bertepatan dengan saat itu sosok tadi mendaratkan kakinya di permukaan cadas batu di tepi jurang.Kerutan di kening Tumanggala bertambah dalam manakala menyadari sosok tersebut tidak sendiri. Di pundak kanannya ada sesosok tubuh gadis, tampak diam saja dalam panggulan."G-Guru?" ujar Tumanggala setengah tak percaya. "Gusti Puteri? Bagaimana bisa?""Bagaimana bisa, bagaimana bisa?" sembur sosok yang baru muncul, tak lain tak bukan memang si petapa dari Teluk Secang, guru Tumanggala."Tumang, Tumang ... kau seharusnya mengucapkan terima kasih padaku, bukannya malah terlihat bingung dan heran seperti kambing congek begitu!" tambah si lelaki tua. Meski

  • Arya Tumanggala 2   Kejutan Terbesar

    "APA maksudmu, Keparat?" tanya Tumanggala setengah menggeram. "Apa yang telah kau perbuat pada ayah kandungku?" Genggaman Tumanggala kian erat memegangi pergelangan tangan Kridapala. Ia tak sudi melepas mantan atasannya itu sebelum mendapatkan kejelasan mengenai kedua orang tuanya. Dari apa yang diucapkan Kridapala kepadanya sejak di atas sampan tadi, Tumanggala langsung menduga kuat jika Kridapala mengenal baik ayah-ibu kandungnya. Bahkan bisa jadi mantan bekel tersebut tahu banyak apa yang menimpa dua orang tersebut. Kridapala sendiri menyeringai susah payah sebagai tanggapan. Setengah menahan sakit, setengahnya lagi sengaja mengejek Tumanggala yang tampak kian penasaran terhadap apa yang sudah ia sampaikan. "Ayahmu seorang terhormat, Tumanggala, seorang besar yang disegani semua kalangan di kerajaan ini," jawab Kridapala kemudian, meski dengan napas terengah-engah. "Andai saja nasib malang tidak menimpanya, aku pastikan masa kecilmu sangat bahagia. Kau tumbuh di puri indah lagi

  • Arya Tumanggala 2   Tumanggala Unggul

    SAMBIL terbungkuk-bungkuk menahan sesak di dada, hati Tumanggala seketika berdesir. Dari sini saja ia langsung tahu jika Kridapala sesungguhnya memiliki kemampuan tenaga dalam lebih tinggi.Wajar sebetulnya, sebab seorang bekel kerajaan memang haruslah menguasai setidaknya tenaga dalam tingkat menengah. Tumanggala yang belum lama naik jabatan jadi wira tamtama, serta selalu melarikan diri dari gurunya, masih belum terlalu mendalami kepandaian tersebut."Aku harus mencari akal," gumam Tumanggala kemudian.Ia paham benar, dirinya tidak boleh sering-sering beradu tenaga dalam dengan Kridapala. Jika tidak, lambat laun luka dalam yang baru saja ia derita bakal semakin parah. Bahkan dapat mengancam nyawa!Di kejauhan, Kridapala tampak berdiri tenang-tenang. Sekilas pandang sepertinya lelaki tersebut tidak merasakan apa-apa. Beradunya pukulan tenaga dalam tadi seolah tidak menimbulkan akibat buruk sedikit pun padanya.Namun itu hanyalah akal-akalan Kridapala. Ia tak sudi terlihat lebih lemah

  • Arya Tumanggala 2   Dendam di Atas Dendam

    "BAJINGAN kau, Tumanggala!" Triguna meraung setinggi langit. Diikuti mendesis-desis tak karuan.Tadi, ketika melihat pertahanan Triguna terbuka, Tumanggala langsung memanfaatkan kesempatan bagus tersebut. Ia entakkan sebelah kaki sekuat tenaga, mengirim tendangan bertenaga dalam tinggi ke dada lawan.Karena gerakannya semakin lamban, Triguna tak kuasa bergerak menghindar. Lelaki itu hanya bisa coba menangkis dengan kedua tangan, tetapi tendangan Tumanggala terlalu deras baginya.Dadanya memang terhindar dari terjangan, tetapi tapak kaki Tumanggala tanpa ampun menghajar kedua tangan Triguna. Suara berderak tadi adalah pertanda jika sepasang tangan lelaki tersebut mengalami patah tulang.Di tempatnya, Kridapala bergidik menyaksikan keadaan Triguna. Sudahlah pangkal bahunya bergeser, kini kedua tangan pun terkulai lemah karena mengalami patah tulang."Menyerahlah, Triguna. Tabib istana pasti mampu menyembuhkan luka-lukamu," ujar Tumanggala yang juga tampak mengernyit ngeri. Bagaimanapun

DMCA.com Protection Status