Tanah Rakajiwa bergetar. Dari getaran yang besar, kemungkinan pasukan berkuda Astagina yang datang berjumlah ratusan. Para pemanah tampak sudah menggenggam busur dan memasangkan anak panahnya. Keringat bercucuran di wajah mereka meski tak ada yang dilakukan selain menunggu. Usia mereka rata-rata dua puluh tahun dengan pengalaman bertarung yang minim.Debu mulai berterbangan buah dari tanah yang dipijaki ratusan pasang kaki kuda. Panji-panji Astagina berkibar di ujung-ujung tombak yang dibawa prajurit terdepan. Dalam jarak 200 depa itu pasukan Astagina melambatkan lajunya. Kini mereka seperti pemburu yang mendekati mangsanya dengan perlahan.“Minta para pemanah untuk bersiap!” titah Legawa seraya berjalan keluar pagar padepokan. Seorang pria segera berlari untuk menyampaikan titah itu pada para pemanah di balik pagar bambu itu.Legawa berjalan cepat dan segera disongsong oleh seorang berkuda. Mereka bertemu tepat di tengah-tengah antara pagar padepokan dan ratusan pasukan berkuda itu b
Teriakan seorang pria paruh baya tanpa perisai itu segera disambut oleh teriakan rekan-rekan lainnya. Mereka hanya sepuluh orang, namun menyongsong 150 prajurit Astagina yang masih sehat. Mereka tak berpelindung. Bahkan tak mengenakan alas kaki. Tak ada rasa takut di mata mereka, meski puluhan anak panah tengah terhunus di hadapan.“Guru, ayo lakukan lagi!” pinta Perdana setelah menyaksikan sepuluh pria yang biasa ia panggil paman itu berlari sambil menggenggam pedang ke arah pasukan berkuda itu.“Tidak, Perdana. Kau hanya harus melihat dan percaya mereka akan kembali dan berkumpul dengan kita lagi. Lagi pula tenagaku banyak terkuras tadi. Kerjamu bagus, sudah seratus lebih yang terkena Mandaraji-mu,” ucap Legawa begitu percaya.“Tapi, Guru, mereka tanpa perlindungan!” kilah Perdana. Pemuda itu menggenggam kuat toyanya. Ia masih tak mengerti mengapa gurunya itu membiarkan para pria paruh baya menyerang dan mengorbankan dirinya.“Diam dan saksikan!” tampik Legawa.Perdana segera diam d
Tidak ada yang lebih menyenangkan dari sebuah harapan yang terwujud. Perdana kembali berlari ke gerbang padepokan. Semangatnya telah menggelora, sama dengan para pemuda yang tadi hanya bisa menyaksikan keberanian orang-orang Baka Nirdaya. Akan sangat malu rasanya bila tingkat keberanian mereka tak setara.Dalam waktu singkat para pemuda sudah menggalang barikade di mulut gerbang padepokan. Perdana berdiri paling depan menyandang toya andalan. Pemuda itu sama sekali tak mampu memikirkan strategi khusus. Sedang menghadapi ratusan prajurit itu secara langsung, ia benar-benar tak punya nyali. Tapi sepertinya tak ada pilihan lain.“Perdana, apa rencanamu?” tanya seorang pemuda tak jauh dari tempat Perdana berdiri.“Aku hanya bisa Mandaraji. Apa ada di antara kalian yang punya kemampuan khusus?” tanya Perdana.“Kita semua masih belajar, Perdana. Tak ada yang benar-benar mahir melakukan satu ilmu saja,” kilah pemuda lain di sebelah kanan belakang Perdana.“Ya, aku bisa Ghanaswara meski tak m
“Baik lah, jika memang tak ada pilihan lain!”Sekira 30 pemuda itu segera menghunuskan senjata masing-masing. Perdana berdiri paling depan dengan toya di tangan kanan. Tubuh kurusnya nyatanya tak cukup berani menyaksikan ratusan pasukan berkuda itu. Namun kepercayaan gurunya tak bisa ia sia-siakan. Ia harus lebih berani dibanding sepuluh pria paruh baya tadi.“Apa kau takut, Perdana?” tanya Atma yang terus berusaha mengeluarkan Baladhara, namun gagal.“Takut kau bilang? Aku tak akan memaafkan diriku sendiri bila merasa takut, Atma!” pungkas Perdana sama sekali tak bergeming dari tempat. Berhasil atau tidaknya Ghanaswara, Sasra Sayaka dan Baladhara, tetap saja ia memang harus berhadapan dengan prajurit-prajurit Astagina itu.Atma begerak ke sisi Perdana, sedikit lebih maju ke depan. Pemuda itu tampak ingin menyongsong pasukan dengan suara bergemuruh yang menggetarkan bumi itu.“Apa yang akan kau lakukan?” tanya Perdana merasa aneh dengan keberadaan Atma, seorang yang amat pemalu dan pe
Seperti ada yang mengendalikan, api itu kemudian menggapai ratusan anak panah yang menukik menghampiri sasaran. Anak-anak panah itu segera berjatuhan ke dalam jurang, ada pula yang lolos namun tak sampai menemui sasaran, lalu terbakar sampai tak bersisa.Seorang pria entah dari mana datangnya, tiba-tiba mendarat di tepi jurang tepat di depan Perdana. Ia menggerakkan tangannya dan tiba-tiba kobaran api itu terbuka. Seperti daun pintu ganda yang dibuka dari dalam. Hingga tampak ratusan prajurit berkuda yang terkejut melihat sosoknya.“Katakan pada Raja kalian, jangan coba-coba berbuat onar di Padepokan Rakajiwa!” seru pria itu. Tak ada seorang pun dari prajurit Astagina yang mencoba menyahut atau bereaksi padanya.Pria itu meraih sebuah busur yang tergantung di punggung. Lalu mencabut sebuah anak panah dan memasangkannya. Tangan kanannya menarik tali busur hingga maksimal. Seketika mata anak panah menyala jingga, sama seperti warna kobaran api di hadapannya.“Itu Cundhamani! Aku yakin s
“Ini ... Pasukan Udara Astagina! Bedebah! Mereka menggunakan temuan ayahandaku untuk menyerang Rakajiwa!” umpat Arya. Siapa yang tak marah diperlakukan demikian. Sudah terus diburu untuk dibunuh, kini menyerang dengan pasukan bentukan Sanggageni.“Ya, aku pernah mendengarnya. Tapi baru kali ini aku melihatnya sendiri,” ucap Legawa sambil terus menengadah.Prajurit-prajurit khusus mengenakan pakaian berangka besi itu berputar-putar di langit Rakajiwa. Sayap selebar tombak itu dahulu pernah digunakan mendiang Sanggageni untuk menghalau penyerang di Pantai Selatan. Arya bahkan tak tahu kalau Jenar dan Danapati mengaktifkan lagi bahkan memperbanyak pasukan itu.Anak-anak panah mulai ditembakkan dari udara. Pasukan udara itu sepertinya memang ditugaskan untuk membunuh, bukan menghancurkan tempat itu. Pasalnya mereka tak menggunkan minyak dan api, hanya anak panah.Dengan Lembat Brabat, Legawa dan Aruna segera memindahkan orang-orang yang masih dalam pengobatan ke dalam. Orang-orang yang se
Tak mengapa harus kehilangan banyak tenaga. Asalkan seluruh yang terluka mampu diselamatkan. Bahkan dua orang prajurit udara Astagina tak luput dari pengobatan yang dilakukan Aruna. Dua orang itu tampak mengurai air mata melihat pangerannya dan orang-orang yang mereka serang justru membantu menyembuhkan luka akibat anak panah.“Gusti Pangeran, hamba tak ingin lagi kembali ke Astagina. Ijinkan hamba tinggal di sini,” pinta salah satu prajurit udara yang sudah diobati dan tinggal menjalani pemulihan.“Benar, Gusti. Hamba juga tak mau kembali,” lirih seorang lagi yang tengah ditangani Aruna.“Kalian tanyakan sendiri kepada Guru Legawa. Aku tak punya hak untuk mengijinkan atau tidak,” ucap Aruna mencoba diplomatis.Dua prajurit itu terdiam. Mereka ragu apakah pemilik padepokan ini akan mengijinkan mereka tinggal padahal sudah mengancam keselamatan padepokan dan semua penghuninya.“Atau kami akan mengembara, asalkan tak kembali ke Astagina,” ucap seorang prajurit sendu.“Hmm, sebenarnya ap
“Tenang, Adisatya. Kau akan langsung berguru padaku!” tandas Arya.“Hah?”Berguru kepada Ksatria Cundhamani, tak pernah terbesit di pikiran seorang pemuda desa seperti Adisatya. Tak salah ia lebih memilih panah dari pada senjata yang lain. Tak ada yang tahu takdir seseorang selain Yang Maha Kuasa.“Kau akan aku ajarkan Sasra Sayaka!” ucap Arya penuh kepercayaan.“Sasra Sayaka?” seru Adisatya, Perdana, Barata dan Atma nyaris bersamaan.“Kau serius, Arya?” tanya Legawa yang tak menemukan kepercayaan apa kah muridnya itu mampu. Sekarang saja tanpa busur Agnitama ia tak mampu selalu melepaskan Sasra Dasa.“Bukan kah Sasra Sayaka membutuhkan tenaga yang begitu banyak?” tanya Aruna. Ia yang merupakan putra dari Arya bahkan hanya melihat ayahandanya melepaskan Sasra Sayaka satu kali.“Benar, Sasra Sayaka butuh tenaga lebih besar dari pada Sasra Dasa. Tapi itu bisa dilatih,” jawab Arya. “Semua ilmu panah melibatkan busur, anak panah, dan penggunanya. Sasra Sayaka hanya bisa dilakukan jika ket