Mandaraji - sebuah Ajian yang memungkinkan korbannya merasakan sakit yang luar biasa pada bagian tubuh yang disentuh sebelumnya. Jarak antara sentuhan dan ajian hanya 7 detik agar Mandaraji berhasil dilakukan
Pria besar itu tampak gusar. Seekor kuda sudah berdiri dengan gagah dan siap ditunggangi. Sepertinya kuda itu memang disembuhkan agar dapat ia gunakan untuk pergi. Empat belas rekannya masih bergelimpangan mengaduh memegangi anggota tubuhnya yang sakit. Pria itu merasa tak tega meninggalkan mereka.“Kau akan pergi atau hanya berdiri di situ?” sindir Perdana. “Oh, aku tahu!” Perdana mengatupkan tangannya dan seolah merapalkan sesuatu.“Baik! Aku akan pergi!” seru pria besar itu dan segera melompat ke punggung kuda. Sekali sentak dan kuda hitam itu segera melesat diiringi tawa murid-murid Padepokan Rakajiwa.Perdana tersenyum menyaksikan pria besar itu meninggalkan padepokan dan meninggalkan rekan-rekannya yang masih kesakitan. Namun ia juga menyimpan kekhawatiran. Sebentar lagi pasti ada pasukan dalam jumlah lebih besar akan segera datang.“Perdana! Apa yang terjadi?” seru Legawa yang baru saja datang dari rumahnya. Lelaki itu berjalan cepat menghampiri Perdana dan menyaksikan empat be
Tanah Rakajiwa bergetar. Dari getaran yang besar, kemungkinan pasukan berkuda Astagina yang datang berjumlah ratusan. Para pemanah tampak sudah menggenggam busur dan memasangkan anak panahnya. Keringat bercucuran di wajah mereka meski tak ada yang dilakukan selain menunggu. Usia mereka rata-rata dua puluh tahun dengan pengalaman bertarung yang minim.Debu mulai berterbangan buah dari tanah yang dipijaki ratusan pasang kaki kuda. Panji-panji Astagina berkibar di ujung-ujung tombak yang dibawa prajurit terdepan. Dalam jarak 200 depa itu pasukan Astagina melambatkan lajunya. Kini mereka seperti pemburu yang mendekati mangsanya dengan perlahan.“Minta para pemanah untuk bersiap!” titah Legawa seraya berjalan keluar pagar padepokan. Seorang pria segera berlari untuk menyampaikan titah itu pada para pemanah di balik pagar bambu itu.Legawa berjalan cepat dan segera disongsong oleh seorang berkuda. Mereka bertemu tepat di tengah-tengah antara pagar padepokan dan ratusan pasukan berkuda itu b
Teriakan seorang pria paruh baya tanpa perisai itu segera disambut oleh teriakan rekan-rekan lainnya. Mereka hanya sepuluh orang, namun menyongsong 150 prajurit Astagina yang masih sehat. Mereka tak berpelindung. Bahkan tak mengenakan alas kaki. Tak ada rasa takut di mata mereka, meski puluhan anak panah tengah terhunus di hadapan.“Guru, ayo lakukan lagi!” pinta Perdana setelah menyaksikan sepuluh pria yang biasa ia panggil paman itu berlari sambil menggenggam pedang ke arah pasukan berkuda itu.“Tidak, Perdana. Kau hanya harus melihat dan percaya mereka akan kembali dan berkumpul dengan kita lagi. Lagi pula tenagaku banyak terkuras tadi. Kerjamu bagus, sudah seratus lebih yang terkena Mandaraji-mu,” ucap Legawa begitu percaya.“Tapi, Guru, mereka tanpa perlindungan!” kilah Perdana. Pemuda itu menggenggam kuat toyanya. Ia masih tak mengerti mengapa gurunya itu membiarkan para pria paruh baya menyerang dan mengorbankan dirinya.“Diam dan saksikan!” tampik Legawa.Perdana segera diam d
Tidak ada yang lebih menyenangkan dari sebuah harapan yang terwujud. Perdana kembali berlari ke gerbang padepokan. Semangatnya telah menggelora, sama dengan para pemuda yang tadi hanya bisa menyaksikan keberanian orang-orang Baka Nirdaya. Akan sangat malu rasanya bila tingkat keberanian mereka tak setara.Dalam waktu singkat para pemuda sudah menggalang barikade di mulut gerbang padepokan. Perdana berdiri paling depan menyandang toya andalan. Pemuda itu sama sekali tak mampu memikirkan strategi khusus. Sedang menghadapi ratusan prajurit itu secara langsung, ia benar-benar tak punya nyali. Tapi sepertinya tak ada pilihan lain.“Perdana, apa rencanamu?” tanya seorang pemuda tak jauh dari tempat Perdana berdiri.“Aku hanya bisa Mandaraji. Apa ada di antara kalian yang punya kemampuan khusus?” tanya Perdana.“Kita semua masih belajar, Perdana. Tak ada yang benar-benar mahir melakukan satu ilmu saja,” kilah pemuda lain di sebelah kanan belakang Perdana.“Ya, aku bisa Ghanaswara meski tak m
“Baik lah, jika memang tak ada pilihan lain!”Sekira 30 pemuda itu segera menghunuskan senjata masing-masing. Perdana berdiri paling depan dengan toya di tangan kanan. Tubuh kurusnya nyatanya tak cukup berani menyaksikan ratusan pasukan berkuda itu. Namun kepercayaan gurunya tak bisa ia sia-siakan. Ia harus lebih berani dibanding sepuluh pria paruh baya tadi.“Apa kau takut, Perdana?” tanya Atma yang terus berusaha mengeluarkan Baladhara, namun gagal.“Takut kau bilang? Aku tak akan memaafkan diriku sendiri bila merasa takut, Atma!” pungkas Perdana sama sekali tak bergeming dari tempat. Berhasil atau tidaknya Ghanaswara, Sasra Sayaka dan Baladhara, tetap saja ia memang harus berhadapan dengan prajurit-prajurit Astagina itu.Atma begerak ke sisi Perdana, sedikit lebih maju ke depan. Pemuda itu tampak ingin menyongsong pasukan dengan suara bergemuruh yang menggetarkan bumi itu.“Apa yang akan kau lakukan?” tanya Perdana merasa aneh dengan keberadaan Atma, seorang yang amat pemalu dan pe
Seperti ada yang mengendalikan, api itu kemudian menggapai ratusan anak panah yang menukik menghampiri sasaran. Anak-anak panah itu segera berjatuhan ke dalam jurang, ada pula yang lolos namun tak sampai menemui sasaran, lalu terbakar sampai tak bersisa.Seorang pria entah dari mana datangnya, tiba-tiba mendarat di tepi jurang tepat di depan Perdana. Ia menggerakkan tangannya dan tiba-tiba kobaran api itu terbuka. Seperti daun pintu ganda yang dibuka dari dalam. Hingga tampak ratusan prajurit berkuda yang terkejut melihat sosoknya.“Katakan pada Raja kalian, jangan coba-coba berbuat onar di Padepokan Rakajiwa!” seru pria itu. Tak ada seorang pun dari prajurit Astagina yang mencoba menyahut atau bereaksi padanya.Pria itu meraih sebuah busur yang tergantung di punggung. Lalu mencabut sebuah anak panah dan memasangkannya. Tangan kanannya menarik tali busur hingga maksimal. Seketika mata anak panah menyala jingga, sama seperti warna kobaran api di hadapannya.“Itu Cundhamani! Aku yakin s
“Ini ... Pasukan Udara Astagina! Bedebah! Mereka menggunakan temuan ayahandaku untuk menyerang Rakajiwa!” umpat Arya. Siapa yang tak marah diperlakukan demikian. Sudah terus diburu untuk dibunuh, kini menyerang dengan pasukan bentukan Sanggageni.“Ya, aku pernah mendengarnya. Tapi baru kali ini aku melihatnya sendiri,” ucap Legawa sambil terus menengadah.Prajurit-prajurit khusus mengenakan pakaian berangka besi itu berputar-putar di langit Rakajiwa. Sayap selebar tombak itu dahulu pernah digunakan mendiang Sanggageni untuk menghalau penyerang di Pantai Selatan. Arya bahkan tak tahu kalau Jenar dan Danapati mengaktifkan lagi bahkan memperbanyak pasukan itu.Anak-anak panah mulai ditembakkan dari udara. Pasukan udara itu sepertinya memang ditugaskan untuk membunuh, bukan menghancurkan tempat itu. Pasalnya mereka tak menggunkan minyak dan api, hanya anak panah.Dengan Lembat Brabat, Legawa dan Aruna segera memindahkan orang-orang yang masih dalam pengobatan ke dalam. Orang-orang yang se
Tak mengapa harus kehilangan banyak tenaga. Asalkan seluruh yang terluka mampu diselamatkan. Bahkan dua orang prajurit udara Astagina tak luput dari pengobatan yang dilakukan Aruna. Dua orang itu tampak mengurai air mata melihat pangerannya dan orang-orang yang mereka serang justru membantu menyembuhkan luka akibat anak panah.“Gusti Pangeran, hamba tak ingin lagi kembali ke Astagina. Ijinkan hamba tinggal di sini,” pinta salah satu prajurit udara yang sudah diobati dan tinggal menjalani pemulihan.“Benar, Gusti. Hamba juga tak mau kembali,” lirih seorang lagi yang tengah ditangani Aruna.“Kalian tanyakan sendiri kepada Guru Legawa. Aku tak punya hak untuk mengijinkan atau tidak,” ucap Aruna mencoba diplomatis.Dua prajurit itu terdiam. Mereka ragu apakah pemilik padepokan ini akan mengijinkan mereka tinggal padahal sudah mengancam keselamatan padepokan dan semua penghuninya.“Atau kami akan mengembara, asalkan tak kembali ke Astagina,” ucap seorang prajurit sendu.“Hmm, sebenarnya ap
“Sendika, Tuanku!” sahut Lokawigna yang segera muncul dengan tampilan paling tampan. Makhluk itu tampak terkejut dengan keadaan di sekitarnya. Apa lagi setelah melihat Arya hanya memiliki satu tangan saja.“Lokawigna.”“Tuanku, apa yang terjadi dengan lengan Tuan?” tanya Lokawigna khawatir. Apa lagi terdapat banyak berkas darah di tubuh Arya.“Lupakan tentang aku. Aku butuh bantuanmu!” tandas Arya.“Sampaikan titahmu, Tuan,” ucap Lokawigna begitu patuh.“Kau lihat perempuan di atas kuda itu?” tanya Arya sambil menunjuk Rara Anjani.“Maksud Tuan, Gusti Rara Anjani?” tanya Lokawigna. Arya mengangguk cepat.“Pindahkan dia ke sini!” titah Arya.“Sendika, Tuan!”Lokawigna berkedip dan Rara Anjani beserta kudanya sudah berpindah tempat di belakang Arya. Perempuan itu tampak terkejut. Namun setelah melihat suaminya, ia paham bahwa lelaki itu lah yang telah memindahkannya, entah bagaimana caranya.“Apa ada lagi tugas untuk hamba, Tuan?” tanya Lokawigna. Selama ini Arya hanya meminta satu kali
“Kaki kanannya itu palsu. Sedang kaki kirinya tak menyentuh air. Alas kaki Raja Astagina terbuat dari kulit berkualitas tinggi hingga ia tahan air!” terang Arya menyampaikan analisanya.“Dia cukup cerdik. Pantas saja ibunda terpedaya hingga bisa dikudeta,” gumam Aruna. Entah Perdana mendengarnya atau tidak.“Oh, jadi bocah itu lah penyebab pasukanku kesakitan meski sama sekali tak terluka. Dan air ini menjadi penghantarnya,” batin Danapati. “Artinya aku harus melumpuhkan bocah itu dulu!”Danapati mengangguk dalam riuh suara erangan pasukannya. Ia memahami bahwa Perdana adalah pemilik ajian yang mampu menyebabkan rasa sakit meski tak terluka. Keadaan kini berbalik. Danapati harus menghadapi empat orang, meski ia sudah memilih siapa yang harus ia kalahkan lebih dulu.Danapati melompat ke dataran yang lebih tinggi. Tujuannya untuk menghindari air beku yang diciptakan Rara Sati. Meski belum tentu Mandaraji milik Perdana masih berguna, ia tetap harus hati-hati. Empat kepala lebih baik dari
Arya mendekat, bisa ia pastikan bahwa pria yang menyerupai Danapati memang lah Sakuntala. Pria itu pengguna Wikararupa meski Arya tak bisa menemukan alasan mengapa ia tak mati dalam pertarungan di menara utama Astagina.“Jika dia hanya menyerupai Danapati, lantas dimana Danapati yang asli?” gumam Arya.Lelaki itu mencari kemungkinan posisi Danapati mengingat Brajawidya Jatiwungu sudah memberi batas antara dirinya dan pasukan Astagina. Arya mendongak ke atas, ke arah Jatiwungu terakhir kali terlihat. Namun senopati itu tak ada di sana.“Tunggu, Jatiwungu tak ada di sana. Lantas bagaimana dengan Brajawidya-nya?” batin Arya. “Jika tak ada lagi Brajawidya mengapa mereka tak menyerangku?”“Arya sang Ksatria Cundhamani yang kehilangan lengannya,” sapa seorang yang muncul dari balik pasukan berkuda Astagina. “Apa benar karena tertebas salah satu istrimu yang tengah berkelahi, hah?” ledeknya.“Danapati,” lirih Arya. “Dimana Jatiwungu?”“Siapa? Jati ... Ah, maaf aku tak bisa menyebutkan nama m
“Aruna, urus jasad ibundamu!” titah Arya. Lelaki itu meraih tusuk konde emas dari genggaman lemah istrinya. Ia merasa sudah saatnya bertindak. Ia punya kepentingan dengan pelaku pembunuhan Jenar.“Apa yang akan kau lakukan, Ayahanda? Biar aku saja yang menghadapinya!” tolak Aruna.“Tidak, Aruna. Ayah yakin orang ini bukan Danapati. Biarkan Ayah menuntaskan dendam ini. Dia telah membunuh nenek dan ibundamu. Tak akan Ayah biarkan dia masih bernapas malam ini!” tandas Arya.Lelaki itu bangkit dan menghampiri Senopati Jatiwungu yang tertunduk lesu menyaksikan junjungannya tewas mengenaskan. Ia merasa gagal menyandang gelar Senopati. Tugasnya untuk melindungi Jenar kandas. Senopati macam apa yang tetap hidup sedang rajanya tewas.“Kuatkan hatimu, Jatiwungu. Sekarang tunjukkan padaku pelakunya!” pinta Arya sambil menepuk pundak Senopati Jatiwungu.“Sendika, Gusti!”Kedua lelaki itu melompat dan mendarat di atas dinding pagar istana. Mata Senopati Jatiwungu mengedar mencari keberadaan pria y
Tak ada yang lebih menggembirakan bagi Danapati selain melihat buruannya di depan mata. Jenar menggenggam tusuk konde emas yang berlumuran darah. Menatapnya penuh kebencian. Rambut hitamnya berkibar di tiup angin. Ia jauh lebih dingin dan kejam dari pada saat duduk di singgasana emasnya.Tak akan ada gerakan yang dilakukan Jenar selain berdiri di tempatnya. Selebihnya pun bila Suji Pati sudah dilepaskan, maka ia akan menari di atas dinding pagar istana. Ilmu jarak jauhnya itu akan sangat berisiko bila musuh cukup dekat. Sekali waktu ia pernah menggunakan Suji Pati di jarak dekat, itu pun dibantu dan dilindungi oleh mendiang Sanggageni dan Ki Bayanaka.“Ini sulit. Suji Pati membutuhkan jarak, sedang aku pasti akan kesulitan untuk didekati,” batin Danapati. Matanya terus mengedar mencari orang-orang yang berpotensi melindungi Jenar. Tak mungkin perempuan itu berdiri di atas dinding tanpa perlindungan.Danapati bergerak menjauh. Ia sendiri tak mengerti mengapa Jenar tak segera menyerang.
Berakhir sudah hidup Putra Mahkota Astagina. Itu lah hal yang diyakini Danapati. Lelaki itu begitu gembira melebihi kejumawaannya. Ia bahkan sempat memperhatikan lagi jasad Aruna untuk membuatnya yakin putra Arya itu sudah benar-benar mati. Kini ia merasa lebih mudah untuk menghancurkan Dipa Kencana.“Mulai saat ini, aku yang memimpin peperangan! Maju dengan kekuatan penuh! Serang!” seru Danapati seraya mengacungkan sebilah pedang yang tadi menebas leher Aruna.Teriakan Raja Astagina itu disambut dengan teriakan serupa oleh pasukannya. Meski sudah berkurang banyak, dua ratus ribu adalah jumlah yang luar biasa. Dengan asumsi pasukan Duwana dan Andanu semuanya gugur saja, ia masih memiliki pasukan berkuda dan pasukan udara yang melebihi kekuatan Dipa Kencana.Pasukan berkuda dan sedikit pasukan Andanu maju serentak. Mayoritas pasukan Duwana sudah masuk lebih dulu dan kini sedang mendesak pasukan Dipa Kencana yang terus mundur hingga nyaris sampai di pagar istana. Pasukan udara Astagina
Dua ratus prajurit Dipa Kencana semakin terdesak. Sekuat dan setangguh apa pun mereka, jumlah pasukan musuh terlampau banyak untuk ditahan menggunakan perisai. Mereka dipimpin Senopati Jatiwungu terpaksa mundur demi menjaga keselamatan mereka.“Ibunda, sepertinya kita harus mundur!” seru Rara Sati.Jenar tak menjawab namun segera mengakhiri Suji Pati-nya. Sasaran serangannya memang tak habis-habis, namun rupanya prajurit Astagina yang sudah masuk ke dalam dinding sudah terlampau banyak. Melindungi Dipa Kencana adalah prioritas utama mengalahkan kepentingan lain.“Ayo, Sati!” ajak Jenar.Dua perempuan itu segera meninggalkan perbatasan untuk bergabung dengan Senopati Jatiwungu dan pasukan Dipa Kencana. Mungkin lebih mudah untuk membalas serangan daripada hanya menahannya. Begitu lah yang dirasakan para prajurit pimpinan Senopati Jatiwungu. Seorang dari mereka tak tahan dan menurunkan perisai untuk membalas serangan, meski komando untuk itu belum diterima.“Sial, mereka tak bisa bertaha
Aruna menancapkan pedang Sanggageni ke puncak pelontar yang terbuat dari balok kayu. Pelontar itu segera hancur dan kandas sampai ke tanah. Menghempaskan puing-puing benda besar itu ke segala arah. Bahkan prajurit yang bertugas mengoperasikan pelontar ikut terpental.Selesai dengan satu pelontar, pemuda itu berpindah dengan cepat ke pelontar lainnya. Dalam waktu singkat lima belas pelontar itu hancur lebur dan puluhan prajurit menemui ajalnya. Putra Mahkota Astagina itu kini dikepung oleh pasukan Astagina dari berbagai divisi pasukan. Tak ada satu pun dari prajurit itu yang pernah berpengalaman menangani api Cundhamani.Tak ada yang berani menghalangi langkah Aruna. Pemuda itu melangkah cepat dengan pedang Sanggageni yang diseret hingga meninggalkan jejak api di tanah. Tujuannya hanya satu, Danapati. Sebagai seorang raja tak mungkin Danapati berada di garis depan.“Dia pasti bersembunyi di balik ratusan ribu prajurit ini. Dasar pengecut sampah!” maki Aruna dalam hati.Kedua mata pemud
Tak ada jawaban dari Atma. Pemuda itu maju dan berdiri di atas reruntuhan dinding tanah buatannya. Kedua tangannya mengepal ke atas. Ia akan memulai Baladhara. Namun tanah bagian mana yang akan ia sasar, hanya Atma yang tahu.“Lindungi dia, Senopati!” seru Aruna.Kedua lelaki itu segera meraih busur dan mulai melepaskan anak panah pada prajurit Astagina yang berusaha menyerang Atma. Dua, tiga, empat, lima prajurit Duwana tertembus anak panah sebelum mampu menyentuh pengguna Baladhara itu. Aruna dan Senopati Jatiwungu berhenti manakala merasakan tanah mulai bergetar.Atma menyasar tanah tempat pasukan Andanu berpijak. Pemikiran yang praktis dan efisien. Baginya risiko memang harus ditempuh. Meski kadang mengalihkan pertimbangan dan perhitungan matang. Tanah di bawah ribuan pasukan Andanu itu amblas dan membuat mereka terperosok ke dalamnya. Pasukan berkuda di belakangnya segera memutar balik, sedang pasukan Duwana tampak kebingungan.“Baru kali ini hamba melihat Baladhara. Sungguh luar