“Tenang, Adisatya. Kau akan langsung berguru padaku!” tandas Arya.“Hah?”Berguru kepada Ksatria Cundhamani, tak pernah terbesit di pikiran seorang pemuda desa seperti Adisatya. Tak salah ia lebih memilih panah dari pada senjata yang lain. Tak ada yang tahu takdir seseorang selain Yang Maha Kuasa.“Kau akan aku ajarkan Sasra Sayaka!” ucap Arya penuh kepercayaan.“Sasra Sayaka?” seru Adisatya, Perdana, Barata dan Atma nyaris bersamaan.“Kau serius, Arya?” tanya Legawa yang tak menemukan kepercayaan apa kah muridnya itu mampu. Sekarang saja tanpa busur Agnitama ia tak mampu selalu melepaskan Sasra Dasa.“Bukan kah Sasra Sayaka membutuhkan tenaga yang begitu banyak?” tanya Aruna. Ia yang merupakan putra dari Arya bahkan hanya melihat ayahandanya melepaskan Sasra Sayaka satu kali.“Benar, Sasra Sayaka butuh tenaga lebih besar dari pada Sasra Dasa. Tapi itu bisa dilatih,” jawab Arya. “Semua ilmu panah melibatkan busur, anak panah, dan penggunanya. Sasra Sayaka hanya bisa dilakukan jika ket
Wangi kayu gaharu yang dibakar segera menyeruak indera penciuman Arya. Seketika yang ia lihat di depan mata bukan lagi gelap malam dan ribuan bintang yang seolah mengerumuni bulan. Namun pendar cahaya dari lampu minyak di dinding. Samar-samar tampak seorang perempuan tengah tertidur di dalam pembaringan berkelambu sutera.“Ini....”“Dia lah perempuan yang selalu Ayahanda rindukan, bukan?” bisik Aruna.Pria di hadapan Pangeran Astagina itu tersenyum. Tak lagi ia pedulikan ocehan putranya tentang sebuah kerinduan yang terpendam. Arya melangkah mendekati istrinya yang terlihat begitu tenang dalam peraduan. Merendahkan tubuh jadi pilihan Arya demi dapat memandangi wajah cantik yang begitu ia rindu.“Jenar,” batin Arya. Tak ada kata yang terbesit di benak pria itu, hanya itu. Tanda begitu lama memendam kerinduan kepada istrinya itu. Tak ada pula hal yang dilakukan Arya selain bersimpuh di sisi pembaringan Jenar.Aruna memandang ayahandanya dari belakang sambil bersedekap. Setelah tiga tahu
Tiga purnama berlalu sejak kedatangan pasukan berkuda Astagina di Rakajiwa. Buah dari Baladhara milik pemuda pendiam bernama Atma, padepokan seperti berdiri di tepi jurang. Namun kini sudah ada jembatan yang menghubungkannya dengan tanah seberang. Sejauh ini tak ada tanda-tanda serangan susulan dari Astagina. Dua hari lalu Arya dan Aruna sudah kembali ke Dipa Kencana. Dan kini Perdana, Barata, Adisatya dan Atma sudah bersiap melakukan pengembaraan mencari hidup yang diinginkan.Legawa berjalan pelan menghampiri keempat muridnya di ambang gerbang padepokan. Empat pemuda yang sudah mencapai ilmu kanuragan lebih tinggi dari prajurit tingkat menengah itu siap untuk dilepas. Sudah tak ada lagi yang bisa dipelajari di Rakajiwa. Mereka sudah habis mempelajari gulungan yang diberikan sesuai dengan minat dan bakatnya.“Guru,” Perdana menyalami Legawa penuh takdzim. Sedang Legawa segera memeluk muridnya itu erat-erat. Disusul dengan pelukan pada Barata, Adisatya dan Atma.“Simpan lah ini!” Lega
“Kau saja,” ucap Atma singkat.Dua pemuda itu melangkah seperti biasa memanggul buntalan kain di pundak. Mereka mencoba mengacuhkan enam pria yang sudah tersenyum penuh intimidasi. Atma bahkan menunduk seolah-olah ia begitu takut. Sedang Perdana mencoba untuk menerobos namun juga bertindak sopan.“Permisi....” ucap Perdana sopan.“Eit, tunggu dulu, Anak Muda! Kami baru kali ini melihatmu, kau pasti bukan orang desa ini. Hmm, apa kalian dari Rakajiwa?” tanya seorang pria berkumis lebat.“Ya, kami dari Rakajiwa,” jawab Perdana tegas. “Ada perlu apa Ki Sanak semua menghalangi jalan kami?”“Hei, Anak Muda Angkuh! Harusnya kami yang bertanya padamu, ada perlu apa kalian di desa kami?” hardik seorang yang sepertinya paling muda.“Kami dalam pengembaraan, dan jalan yang kami tempuh memang harus melewati desa ini,” jawab Perdana lagi.“Tak ada gunanya menjelaskan pada mereka, Perdana!” bisik Atma. Kedua tangan pemuda itu sudah mengepal. Pengalaman pahit di masa lalu membuat siapa pun perampok
Belasan laki-laki itu menyebar. Dalam jalan setapak sejajar dengan Atma hanya terdapat lima orang berusia serupa. Sisanya berada di sisi kanan dan kiri. Ada yang masuk dalam ilalang, dahan dan balik pohon. Dari gerakan dan cara mereka bereaksi, sepertinya memburu mangsa dalam kelompok besar acap kali mereka lakukan.“Hati-hati lah, Atma!” seru Perdana. Atma menghentikan langkah dan menoleh.“Apa gunanya dirimu? Bukan kah kau adalah perlindunganku ketika aku menyerang?” ucap Atma setengah meledek. Hal itu hanya berlaku bila tak ada kata-kata meminta rekannya mundur. Kondisi seperti ini maka kepercayaan terhadap rekan adalah segalanya.“Kau ini, masih sempat bergurau!” rutuk Perdana sembari tersenyum kecil.“Kau sungguh berani maju seorang diri!” seru pemuda yang berdiri di atas batu. Dari gelagatnya, ia lah pemimpin gerombolan ini. Pasti dia bukan orang sembarangan. “Oh, atau bodoh! Hanya orang sangat pemberani atau bodoh yang bertindak sepertimu!”Tawa pemuda itu pecah di susul dengan
“Jumlah kekuatan Dipa Kencana pasti tak sebanding dengan Astagina. Dari pada fokus pada penyerangan, bukan kah lebih baik memperbaiki pertahanan, Ayahanda?” ucap Aruna mencoba mengutarakan idenya.“Hmm, kau benar. Meski tak ada lagi aku dan kakekmu, mereka tetap saja pasukan terkuat saat ini,” timpal Arya.“Kita bisa memanfaatkan karakter alam di Dipa Kencana. Kalau pun memang akan ada penyerangan dari Astagina, aku tak ingin ada korban dari kedua belah pihak,” tambah Aruna sembari menunduk. Kematian masih menjadi trauma tersendiri baginya, apa lagi kematian orang dekat.“Aruna benar, Suamiku. Bagaimana pun Astagina adalah tempatmu berasal. Lagi pula meski apa yang terjadi, Aruna tetap lah Putra Mahkota,” potong Rara Anjani yang tiba-tiba saja muncul dan ikut bergabung dalam perbincangan.“Rara,”“Jenar tetap istrimu dan ibunda Aruna. Aku mendukung segala upaya demi menghindari pertumpahan darah!” Rara Anjani sampai di hadapan suami dan putra tirinya. Ia tersenyum manis dan menepuk pu
“Kau benar-benar bedebah, Danapati! Apa yang sebenarnya kau inginkan?” hardik Jenar begitu marah. Dari sekian banyak orang sakti di Astagina, mungkin hanya Danapati yang menyadari bahwa tusuk konde emas tak lagi terpasang di kepalanya.“Yang aku inginkan?” Danapati tertawa lepas namun seketika berhenti. “Akhirnya kau mengucapkan pertanyaan itu, Jenar Candrakanti!” tandasnya tak kalah sinis. Seolah ia sudah menantikan begitu lama momen seperti ini.“Kau ... Sudah merencanakan semua ini?” tanya Jenar hampir tak percaya.Danapati kembali tertawa, namun kali ini cukup lama. Ia sampai berganti arah beberapa kali. Meski tetap berada di sekitar Raja Astagina yang baru saja menyadari kebusukan patihnya. Danapati berdiri tepat di muka Jenar, tak ada lagi penghormatan kepada seorang raja yang biasa dilakukan.“Kematian suamimu!” tandas Danapati.“Ada apa dengan Arya? Mengapa kau menginginkan kematiannya?” cecar Jenar.“Tentu kau tak merasakan bagaimana menunggu belasan tahun untuk merebut kemba
Jenar menatap nyalang patih yang juga sepupunya itu. Perempuan itu masih yakin bahwa punggawanya masih banyak yang setia. Meski pengawalnya sekali pun sudah menjadi antek-antek Danapati. Wajar saja, keenam pengawalnya yang kini tersisa lima adalah pilihan Danapati. Bahkan cucu Prabu Anarawan itu yang mengetuainya sendiri.“Tak ada lagi yang berpihak padamu, Jenar. Sadar lah! Tanpa Tuan Sanggageni, Ki Bayanaka dan suamimu itu, kau hanya lah perempuan biasa. Kau hanya simbol! Boneka!” tandas Danapati tepat di depan wajah Raja Astagina itu.Sebuah hantaman kembali menyasar ulu hati Danapati. Lelaki itu tersungkur memegangi perutnya. Pitaka hendak membantu, namun hardikan Jenar dengan tatapan mata sudah cukup untuk membuatnya mundur. Jika Danapati tak berdaya, maka keberadaannya bersama empat orang pengawal itu dalam posisi yang gamang.“P-Pitaka, bawa dia! Cepat!” titah Danapati tersengal-sengal.“Kau berani, Pitaka? Kalian? Begini balasan kalian padaku? Jika tak menjadi pengawalku, kali