Dengan langkah berat Hanna masuk ke dalam rumah megah yang suram. Bangunannya kokoh dan kuat, cantik, dan terawat. Akan tetapi Hanna bisa merasakan kengerian yang tersembunyi di balik mewahnya istana Sultan Bhayangkari. Seorang lelaki dewasa yang telah menjadi suaminya akibat terjebak hujan di pondok. Hanna menyusuri ruangan dengan kedua mata cokelatnya, dari sudut ke sudut. Hingga pandangannya terhenti pada sebuah foto sepasang pengantin yang tersenyum bahagia. Deg! Aliran darah Hanna berdesir saat mengetahui jika Sultan telah memiliki istri, bukan seorang lajang seperti dugaannya.
"Ayo! Akan aku tunjukkan kamarmu." Sultan berjalan di depannya dengan gagah, melewati beberapa ruangan.
Tidak ada yang bisa Hanna lakukan selain mengikutinya, meskipun rasanya dia ingin sekali melarikan diri. Namun, Hanna tidak memiliki kemampuan. Di saat Sultan berhenti tiba-tiba wanita berkerudung putih itu menabrak dadanya, Hanna langsung menunduk. Dengan perasaan takut Hanna berjengit ketika Sultan memegang kedua pundaknya yang bergetar.
"Kenapa kamu seperti orang ketakutan?" tanya Sultan, mata gelapnya menyala.
Hanna menggeleng lambat. Dia tidak kuasa menahan tangisnya di hadapan Sultan yang tampak mengerikan. Melihat Hanna menangis Sultan jadi naik darah, tanpa berkata apapun ditariknya wanita itu dengan kasar. Lalu, mengempaskannya di sebuah kamar yang bernuansa gelap. Tidak ada cahaya matahari yang masuk, karena semua jendela tertutup rapat.
"Mulai hari ini nama kamu Arimbi." Sultan berkata tegas. Sama sekali tidak ada rasa kasihan terhadap Hanna.
"Arimbi?" tanya Hanna bergetar.
"Ya, Arimbi, istriku satu-satunya. Bukankah sekarang kamu istriku?
"Tapi namaku Hanna, bukan Arimbi."
"Jangan membantah!" bentaknya.
Spontan Hanna terdiam. Sekarang Sultan Bhayangkari adalah suaminya yang wajib dia patuhi. Sekalipun itu permintaan yang di luar nalarnya, Hanna tetap tidak bisa menolak. Di sini Hanna hanya mengikuti apapun yang Sultan inginkan, termasuk mengganti namanya menjadi Arimbi.
"Kita baru saja sampai dari perjalanan yang cukup melelahkan. Tidurlah, aku akan kembali begitu kamu bangun."
Sepeninggal Sultan dengan cepat Hanna bangkit dan berjalan ke arah jendela. Hanna dapat melihat bangunan-bangunan tinggi yang tersusun. Biasanya setiap pagi Hanna sudah berada di sawah, menanam sayur mayur, umbi-umbian, dan padi. Akan tetapi kini Hanna berdiri di suatu kamar asing yang akan menjadi tempat tinggalnya sampai menua nanti.
"Paman ..." lirihnya sedih. Hanna menyeka sudut matanya, saat teringat sang paman yang tinggal di desa.
Tap! Tap! Ketukan sepatu terdengar nyaring. Untuk mendengarkan lebih Hanna pun menempel pada jendela, dan melihat seorang perempuan berambut panjang dengan gaun bewarna merah. Wanita itu berjalan sambil menunduk sehingga Hanna tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Ketika Hanna mulai menebak-nebak siapa wanita itu seseorang muncul mengejarnya dengan napas tersenggal. Mungkin pelayan.
"Nyonya Arimbi, tunggu!"
Arimbi? Batin Hanna berteriak. Sultan mengganti namanya dengan nama itu. Sudah Hanna pastikan wanita bergaun merah itu pemilik nama Arimbi. Lalu, kenapa Sultan memberi namanya pada Hanna? Masih bertanya-tanya Hanna berusaha membuka jendela kamarnya yang sepertinya telah terkunci mati.
***
Setelah membersihkan dirinya Sultan membuka kamar ibunda tercinta. Sudah seminggu lebih Sultan tidak mengunjunginya, tentu saja dia rindu. Keadaan Ningsih masih sama seperti kemarin, saat Sultan berpamitan dengannya. Lemah dan tidak berdaya. Peluang untuk sembuh memang tidak ada lagi, tapi Sultan ingin sang bunda hidup lebih lama. Sambil membelai rambut putihnya Sultan bercerita, meski ibunda masih tertidur nyenyak.
"Sultan, apa itu kamu?" tanyanya saat tersentak. Matanya mengerjap cepat.
"Iya, Bunda, ini Sultan."
"Oh, Sayang. Bunda sangat merindukan dirimu. Apa kamu juga membawa Arimbi pulang?" Ningsih bertanya lagi.
Sultan tersenyum miris. Sejak Arimbi kehilangan akalnya, Sultan memang tidak mempertemukan mereka lagi. Ningsih yang sakit-sakitan, lumpuh dan tidak dapat melihat membuat Sultan enggan menghadapi masalah baru. Cukup sudah melihat Arimbi yang gila, dan Sultan tidak ingin kehilangan bundanya. Memberitahu keadaan Arimbi yang sebenarnya tentu akan membuat Ningsih serangan jantung.
"Iya, Bunda, Sultan juga membawa Arimbi pulang," jawabnya mantap.
Sultan membayangkan wajah Hanna. Menikahi wanita itu bukan tanpa tujuan yang jelas. Dialah yang akan menjadi Arimbi. Istri satu-satunya dan menantu kesayangan bundanya.
"Syukurlah! Akhirnya Arimbi kembali. Bunda juga sangat merindukannya. Di mana Arimbi? Kenapa dia tidak datang menjenguk, Bunda?" Ningsih tampak heran. Wajahnya juga berubah sedih.
Sultan pun memakluminya. Istrinya itu memang sangat dekat dengan sang bunda. Bahkan, mereka tidak seperti mertua dan menantu, tetapi bagaikan ibu dan anak kandung. Maka dari itu hingga sekarang Arimbi mempunyai tempat di hati Sultan. Istrinya Arimbi paling bisa membuat bunda bahagia.
"Dia sedang tidur, Bun. Kita baru saja sampai, jadi Arimbi sangat lelah."
"Katakan pada Arimbi setelah bangun nanti Bunda ingin bertemu. Bunda tidak mau makan jika bukan Arimbi yang menyuapi Bunda," katanya tegas.
Untuk jawaban dari permintaan yang terakhir Sultan menahannya, karena mereka belum berbicara. Sultan tidak akan mengiyakan permintaan bunda sekarang. Sultan perlu membuat kesepakatan terlebih dulu pada Arimbi yang baru, walau kemungkinan ada penolakan dia akan tetap memaksa. Tentu saja butuh waktu yang tidak sebentar, dan Sultan berharap Hanna bukan termasuk wanita pembangkang.
"Sultan tinggal dulu ya, Bun." Sultan pun mengecup kening ibundanya. Dia ingin menemui Arimbi yang pertama.
Senyum Sultan mengembang begitu melihat Arimbi di taman belakang. Wanita cantik itu sedang menikmati senja dan langit yang mendung. Mata indahnya menengadah ke atas, dengan senyuman yang selalu tampak mempesona bagi Sultan. Melihat kedatangannya Ratih bangkit, dan sedikit membungkuk. Selama ini Sultan mempercayakan Ratih yang merawat dan mengurus Arimbi.
"Sore, Tuan." Dia menyapa ramah.
Sultan mengangguk, lalu bertanya. "Bagaimana keadaan Arimbi?"
"Seperti yang Tuan lihat, nyonya Arimbi tampak baik-baik saja, bahkan sekarang dia bertambah aktif."
Seakan mengerti Ratih menyingkir, mempersilakan Sultan duduk di sebelah Arimbi. Cukup lama Sultan tidak mendapat respons apapun. Arimbi hanya fokus memandang ke atas, tidak memedulikannya sama sekali. Dengan lembut Sultan menggenggam tangannya, mengambil perhatian Arimbi seutuhnya. Seperti biasa wanita itu tidak pernah menolak saat Sultan menyentuhnya, bahkan dia malah menatapnya dalam.
"Kamu sudah makan?" tanya Sultan sambil mengusap rambut Arimbi.
Tidak ada jawaban. Semenjak sakit jiwa Arimbi memang jadi banyak diam. Bahkan, Sultan pikir Arimbi tidak mengerti dengan pertanyaannya, tapi sebagai suami dia selalu berusaha mengajak berbicara. Sebenarnya Sultan bisa saja membawa Arimbi ke RSJ untuk perawatan ekstra, yang menjadi masalah dia tidak bisa jauh dari cintanya itu, apalagi harus bolak balik menjenguk. Itu sangat merepotkan.
"Sayang, kamu terlihat sangat cantik hari ini." Masih dengan kata-kata yang sama Sultan menangguhkannya, kemudian mengecup pipi Arimbi mesra.
----------
Next? Kasi semangat dong.
Hanna baru saja bangun dari tidurnya yang tidak nyaman. Serangan terus mengganggu alam bawah sadar Hanna, seperti petunjuk bahwa hidupnya di rumah ini tidak akan aman. Keringat mengucur deras dari dahi ke pipinya dengan napas tidak beraturan. Mimpi itu bagaikan nyata. Ya Allah! Hanna menangkup dadanya yang masih belum stabil. Keinginannya untuk melarikan diri semakin besar saat membayangkan Sultan berubah menjadi monster mengerikan seperti di dalam mimpi. Kejam dan bringas."Selamat malam, Nona Arimbi." Secara tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, menampilkan seorang wanita bertubuh gempal dengan senyuman terpaksa.Wanita itu masuk tanpa memedulikan Hanna yang bersidekap ketakutan. Dengan tajam kedua mata Marlina berputar seakan mencari sesuatu, dan tertawa saat menemukan barang yang dicari. Ransel milik Hanna. Tangannya yang tegap merengut ransel tersebut, lantas melemparnya ke luar pintu."Bu, kenapa kamu membuangnya? Itu pakaianku yang aku bawa dari desa.""Ka
"Nona ..." panggil sebuah suara, halus.Dengan berat Hanna mengangkat kepalanya yang sejak tadi tertunduk. Rambutnya yang acak-acakkan, serta wajah penuh lebam membuat Ratih merasa kasihan. Perawat itu tidak pernah mengerti dengan tingkah laku dan perasaan Sultan. Dia bisa lembut kepada Arimbi yang pertama, tetapi menyiksa Arimbi kedua begitu tega."Makanlah," pinta Ratih mendekati Hanna, lalu menaruh makanannya di lantai. Tepat di hadapannya Hanna.Menggeleng lemah Hanna mendorong piring di depannya hingga agak jauh, dan berkata. "Aku hanya ingin pulang."Mengingat kondisinya Hanna kembali menangis, terlebih merasakan rasa sakit yang hampir menyiksa seluruh tubuh. Sultan tidak hanya memboikot dirinya, tetapi juga melukai perasaan. Setelah puas menghajar tubuh Hanna, dia mengikat kakinya di kaki ranjang, seperti seekor binatang. Sungguh keji."Nona Arimbi ..." Ratih mensejajarkan diri dengan Hanna, menatapnya pilu."Tolong aku." Hanna merintih.
Dalam sujud terakhir Hanna berdoa, cukup lama dan panjang. Air matanya merembes kemana-mana saat Hanna mengadu pada sang Khaliq. Setelah salam wanita itu pun bersimpuh lagi di hadapan-Nya dengan pandangan ke atas. Hanna menceritakan berulang kali kegundahan hatinya berikut rasa tertekan yang semakin menggunung."Ya Rabb, sesungguhnya Engkau maha mendengar lagi maha mengetahui. Hamba sedang berada dalam kesulitan yang nyata, yang menyiksa jiwa raga dan batin. Kehidupan yang hamba impikan tak sesuai dengan kenyataan." Hanna menangis sesegukan, terasa sulit membicarakan semua yang di dada.Mengambil napas sejenak, Hanna pun menyeka air matanya yang terjangkau. "Ya Rabb, suamiku telah ingkar, dan dia tidak seperti yang aku bayangkan. Aku lelah, sikap dan sifatnya membuatku tertekan. Segala bentuk penyiksaannya melukai dan meremukkan tubuhku."Sekali lagi Hanna mengatur napasnya yang tidak beraturan, dengan air mata yang semakin deras mengiringi doa. "Tolong hambamu ini
Membelai lembut rambut putih yang disisirnya Hanna tersenyum lebar. Di saat Hanna menyentuhnya Ningsih juga ikut menyunggingkan senyum bahagia. Keduanya tampak begitu bersahabat dalam waktu yang singkat. Meski tahu kehadirannya bukanlah sebagai Hanna melainkan Arimbi, tapi dia bersyukur telah membuat sang bunda bahagia."Minumnya, Bun." Hanna membantu Ningsih bersandar, lalu menempelkan sedotan pada mulutnya yang kering."Kamu sudah makan, Nak?" tanyanya."Sebentar lagi, Bun, Hanna memang sengaja mendahulukan Bunda dulu. Nanti Hanna pasti makan kok, Sultan tadi sudah ngajak dinner bersama.""Hanna? Sultan?"Sontak Hanna terdiam, bingung ingin menjawab apa, sementara Bunda telah menaruh rasa curiga. Hanna lupa atas perannya, dan lupa bertanya pada Sultan yang biasa dipanggil dengan sebutan apa? Di saat Hanna tengah kesulitan, Sultan datang bak Ksatria penyelamat, dia langsung mengetahui apa yang telah terjadi pada istrinya."Hmm, maksudnya kucing y
Hari ini Ratih membawa Hanna menemui Arimbi yang sebenarnya, tadi pagi Sultan memerintahkannya sebelum berangkat kerja. Selama kedua wanita itu dipertemukan tidak ada hal yang rumit, Hanna cukup pandai menyesuaikan diri sehingga Arimbi mudah menerimanya sekalipun mereka baru pertama kali bertemu. Berkali-kali Ratih menatap Hanna yang barangkali ingin bertanya sesuatu.Tidak sedikitpun Hanna putus asa, meski sulit mengambil perhatian Arimbi, dia terus saja mengajaknya berbicara seperti teman mengobrol yang asyik. Ratih yang melihat kesungguhan Hanna sampai geleng-geleng kepala. Sultan tidak salah memilih Hanna untuk dijadikan Arimbi kedua, dia wanita yang sangat baik.Wajahnya begitu sejuk dan bersahaja."Halo, Mba, perkenalkan aku Hanna." Ini sudah yang kesekian kali Hanna memperkenalkan diri, tapi Arimbi masih belum merespons.Pandangan Arimbi masih tertuju pada langit mendung. Objek langit memang menjadi pem
Sultan masih tertidur pulas, sementara Hanna bangun lebih cepat seperti biasanya. Melaksanakan salat subuh hingga membaca selembar Al-Qur'an. Semalam mereka sudah tidur berdua, dan Sultan terus memanggilnya Arimbi. Ada perasaan sedih yang menikam hati beserta pikiran Hanna, tapi dia terlalu lelah untuk menyuarakan isi hatinya. Sultan tetap memaksakan kehendaknya tanpa memikirkan perasaan Hanna."Mas bangunlah," lirih Hanna sambil mengguncang sedikit pundak Sultan.Semalam juga Sultan memintanya untuk memanggil dirinya dengan sebutan Mas Sultan, karena Arimbi biasa memanggil seperti itu. Hanna tidak menolak, dia selalu menurut apa yang Sultan perintahkan."Mas, bangun, sebentar lagi matahari terbit." Hanna tidak putus asa, meski berulang kali Sultan mengusirnya."Pergilah, aku masih mengantuk.""Sholat subuh dulu, Mas," pinta Hanna.Sontak Sultan mengernyit, dengan sebelah mata t
"Assalammu'alaikum, iya Paman ini Hanna." Suara wanita itu mengecil saat menyebut namanya. Sultan ada di belakang, jadi Hanna begitu hati-hati berbicara."Alhamdulillah, Hanna baik-baik saja. Paman ... Hanna sangat merindukan Paman. Eum, ya, Mas Sultan juga sungguh baik pada Hanna, dia selalu membuat Hanna tersenyum bahagia." Hanna tertawa pelan, sesekali melirik Sultan yang mencoba tidak peduli."Paman, kapan kita bisa bertemu?" tanyanya sedih, berharap Sultan mendengarnya dan merencenakan pertemuan mereka."Secepatnya ya, Paman? In sya Allah." Wajah Hanna pun berbinar saat sang paman juga menginginkan hal sama.Lima menit sudah berlalu, dan Hanna masih asyik berbicara pada orang di ujung telepon. Sultan mengamatinya dengan bosan. Sepuluh menit ternyata waktu yang cukup lama, sehingga dia pikir tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Tanpa berkata lelaki itu merampas teleponnya, dan mengakhirkan dengan salam.
Dengan penuh semangat Hanna membongkar isi lemari milik Arimbi. Senyuman terus terukir di bibirnya membayangkan kencan pertama mereka di luar. Beberapa saat lalu Marlina memberi kabar bahwa Sultan ingin Hanna segera bersiap-siap, dan mengenakan pakaian yang paling bagus. Sebenarnya seluruh pakaian Arimbi bagus semua, tapi tidak ada yang cocok di hati Hanna. Hingga akhirnya Hanna memegang sebuah gaun berenda yang menurutnya jauh lebih panjang daripada sebelumnya."Hmm, semoga saja Mas Sultan menyukainya," kata Hanna setelah berhasil mencobanya. Meski terlihat agak kuno dan kusam, tetapi cukup menutup tubuhnya sampai bawah."Arimbi, aku pulang!" teriak Sultan dari luar, sambil menenteng bingkisan."Ah, iya. Sebentar, Mas." Dengan cepat Hanna merapikan dan menyimpan kembali pakaian Arimbi ke lemari.Setelah itu dia berlari membuka pintu."Kenapa lama sekali?" tanyanya curiga.Di de
Hanna bangun lebih cepat dari biasanya, dengan hati yang getir wanita itu bermunajat kepada Sang Khaliq, berdoa dan menyampaikan betapa sedih hatinya saat Sultan mengungkit masa lalu yang tidak akan pernah berubah. Lelaki itu menyesal, bahkan masih meratapi kepergian Arimbi.Ketika Hanna pikir suaminya itu telah berubah menjadi lebih baik, ternyata masih sama saja, Sultan tidak tahu bagaimana caranya menghargai sosok Hanna."Ya Allah, jika aku salah dan kau ingin menghukumku, maka aku mohon ringankanlah sedikit hukumanmu ini, rasanya aku tidak sanggup jika terus ditekan, bahkan selalu dibanding-bandingkan dengan Mbak Arimbi.""Akan tetapi, jika ini memang ujian yang kau berikan padaku, maka aku juga memohon tabahkanlah hatiku untuk menerima ketentuan-Mu dan kuatkanlah aku.""Aamiin ya Rabb."Bangkit dari duduknya, Hanna pun melakukan sujud sahwi, sebelum beranjak dari tempat sholat dilanjutkan dengan membuka mukenahnya. Hati yang sempat berkabung, kini menjadi sedikit lebih tenang. Un
Setelah melewati fase sulit yang cukup menjemukkan akhirnya Hanna bisa bernapas dengan lega, wanita itu menatap ke luar jendela yang masih terkunci rapi, dia merasa sangat bahagia. Air mata Hanna menetes, jika dirinya tidak setangguh ini, kemungkinan terbesar dia sudah meninggalkan Sultan dan mencari kebahagiaan sendiri.Tetapi, di sinilah Hanna sekarang, di kamar yang sama dengan perasaan berbeda."Nyonya Hanna," panggil Marlina dari arah luar, wanita itu semakin menghormati sosoknya, bahkan kasih sayangnya juga sangatlah luar biasa terhadap Hanna. "Ada telepon untukmu, Nyonya."Paman Hasan?"Iya, sebentar, Bu!" Hanna menyahut dari dalam, dengan cepat dia menyeka air mata yang berlinangan di pipinya.Merapikan sedikit rambutnya dengan wajah berbinar Hanna membuka pintu kamar, lalu tersenyum kepada Marlina yang tengah tersenyum lebar juga. Hubungan mereka seperti bukan pembantu dan majikan, tetapi bagaikan ibu dan anak yang saling memberikan cinta."Siapa yang menelepon, Bu?" tanya Ha
Selepas kepergian Arimbi, waktu tidur Sultan jadi tidak menentu. Terkadang Sultan bisa tidur lebih cepat, atau tidak dapat tidur semalaman. Kehilangan Arimbi seakan-akan membawa pergi sebagian hidupnya, yang belum bisa Sultan terima. Setiap kali memejamkan mata senyum manis Arimbi muncul beserta gelak tawanya yang renyah, hal itu membuat Sultan kesulitan untuk mengendalikan hidupnya seorang diri.Kehadiran Hanna yang berwajah Arimbi ternyata sama sekali tidak membantunya melupakan sang pujaan hati. Sultan terus mengingat dan membayangkan Arimbi, bahkan dia merasa bersalah pada Hanna.“Maafkan aku,” rintih Sultan di dalam remang lampu tidur, menatap Hanna yang terlelap.“Aku sudah berdosa padamu, mungkin tidak termaafkan.” Membelai sisi wajah Hanna, wanita itu mengerang rendah saat merasa terganggu.Sultan menarik tangannya kembali, menatap dalam pada wajah Hanna yang polos. Itu wajah cintanya Arimbi. “Kalian sudah memiliki wajah yang sama, cantik dan menawan hati. Tapi ... Entah kenap
Mengoleskan lipstik merah menyala, Ratih tersenyum lebar menunjukkan kebahagiaannya. Kematian Arimbi menghilangkan seluruh beban yang selama ini Ratih pikul. Dunia seakan kembali terang benderang, hidupnya yang suram telah sirna dan berganti menjadi orang paling berbahagia. Sayangnya Leo sedang kecewa berat padanya, kalau tidak Ratih ingin sekali mengajak lelaki itu merayakan kemenangannya semalaman penuh.“Oh, Leo, seandainya kamu tahu yang sebenarnya ...” Ratih terkekeh geli saat mengingat wajah marah Leo beberapa waktu lalu. “Tidak mungkin aku menyerahkan kebanggaanku dengan lelaki bodoh seperti Sultan.”Semua sudah Ratih atur sedemikian rupa, sehingga Sultan percaya atas apa yang dia lakukan. Padahal, malam itu tidak terjadi apapun, mereka hanya tidur seranjang dengan pakaian atas terbuka. Ratih mengambil beberapa pose yang panas, selebihnya dia menyerahkan dengan seseorang untuk melepas seluruh pakaiannya Sultan.“Kerja keras yang sangat baik.” Lagi, Ratih terbahak-bahak, sangat
Tanpa mendengarkan perkataan Sultan dan Marlina, Arimbi mengemasi seluruh barang-barang miliknya. Ternyata patah hati tidak sebercanda itu, dengan cepat perasaan cintanya berubah menjadi benci. Arimbi sangat muak terhadap sikap Sultan, yang seolah-olah tidak bersalah. Padahal semua sudah terlihat jelas di mata Arimbi, jika suaminya itu begitu dekat dengan Ratih dan berhubungan serius.Sebagai suami yang sangat mencintai istrinya, Sultan melarangnya, bahkan lelaki itu sampai memeluk kedua kaki Arimbi agar menghentikan semua. Di bawah kaki Arimbi dengan tangguh Sultan menahan. Tidak hanya air mata yang jatuh, tetapi juga harga dirinya. Sultan melakukan itu semua semata untuk mengambil hati Arimbi, meski istrinya tidak mudah tersentuh."Arimbi, aku mohon padamu, Sayang. Toloong! Dengarkan penjelasanku dulu, semua tidak seperti yang kamu pikirkan," kata Sultan sambil menangis."Lepaskan, Mas. Aku sudah tidak percaya lagi denga
Sudah tiga hari Arimbi mengurung diri di kamar, enggan bertemu dengan Sultan sekalipun tinggal serumah. Perasaannya sungguh sakit mengetahui pengkhianatan suami yang begitu dicintainya selama ini. Ketika Arimbi tengah berjuang keras melawan rasa sakit Sultan malah berkelana mencari wanita lain. Di tengah isakannya Arimbi menutup kedua telinga saat mendengar permohonan Sultan di luar kamar. Cinta yang telah Arimbi tanam kini berbuah pahit dan pengkhianatan."Arimbi, aku mohon, buka pintunya, dan aku akan menjelaskan semua." Rintih Sultan di sela tangisan, suara lelaki itu terdengar begitu terluka.Setelah sekian lama Sultan menunggu Arimbi sembuh, kini yang dia terima sebuah penolakan. Istri tercintanya marah kepadanya, dan tidak memberi Sultan kesempatan berbicara. Arimbi sudah termakan omongan Ratih, dan Sultan tidak mengelak jika wanita itu sangat berbahaya. Keberadaannya bagaikan ancaman untuk kehidupan Sultan dan Arimbi, karena dia sel
"Oh, hai ..." Ratih menyunggingkan senyuman terbaik yang dia punya.Arimbi membuang muka, semampunya mengatur napas yang sudah tidak stabil. Wanita itu akan semakin berani kalau melihat Arimbi ketakutan. Sejak awal mengenalnya Arimbi memang sudah merasakan ada yang tidak beres dengan tunangan Angga. Malangnya dia malah bermain-main dengan api."Mau apa kamu ke sini?" tanya Arimbi ketus, tanpa menoleh sedikitpun."Hmm, aku mencari Sultan suamimu, kita ada urusan yang sangat penting." Ratih datang mendekat, kini dirinya berdiri tepat di sebelah Arimbi."Katakan apa maumu, Wulan? Aku sudah meminta maaf padamu, tetapi kenapa kamu selalu mengusik kehidupanku?" Tidak tahan Arimbi berteriak, matanya memerah panas.Menaruh buah tangan yang dibelinya di atas meja, Ratih pun berdecak sebal. "Panggil aku Ratih, karena Wulan sudah mati."Ratih mengangkat kepalanya tinggi, merasa bangg
Mengenakan gaun terbaik miliknya, Arimbi tersenyum lebar di dalam cermin. Wajah cantiknya semakin bersinar setelah dipoles oleh perias andal. Malam ini Sultan mengajaknya kencan, sekaligus dinner dengan kedua sahabatnya Angga dan Leo. Sejak mengenal Sultan kehidupan Arimbi memang berubah drastis. Wanita itu semakin berani menonjolkan kelebihan yang ada pada dirinya, sehingga banyak lelaki tertarik dan ingin mempersunting. Angga menjadi salah satunya, sayangnya dia kalah cepat oleh Sultan."Astaga! Aku hampir tidak mengenali pacarku sendiri." Sultan bergurau, memeluk pinggang Arimbi, lalu mengecup keningnya mesra."Aku hanya ingin membahagiakanmu, Mas. Agar kamu tidak malu di saat menggandeng tanganku di hadapan banyak orang," jawab Arimbi. Wanita itu memang pandai memainkan kata."Hmm, yaa, ya. Hanya saja aku tidak suka mereka menatapmu dengan tatapan lapar, terutama sahabatku Angga." Nada suara Sultan terdengar k
Leo yang mengambil tindakan sendiri mengundang perdebatan di sepanjang lorong rumah sakit. Menurut Sultan dirinya yang lebih pantas melakukan hal tersebut, bukan Leo. Dengan ego masing-masing keduanya tetap pada pendirian. Leo sudah merasa tindakan yang diambil benar, sedangkan Sultan tidak ingin mengalah. Pihak rumah sakit sampai kebingungan mendengar perseteruan mereka, hingga Hasan dengan pak Kades datang meninjau."Aku suaminya, jadi aku yang berhak atas istriku Hanna." Tekan Sultan untuk ke sekian kalinya, Leo pun mendengus."Biarkan aku yang mengurusnya, urus saja Arimbi istri pertamamu.""Hanna juga istriku, aku yang akan mengurus semuanya, dan batalkan pengajuanmu itu." Sultan memaksa."Astaga! Sultan. Hanna sedang kritis dan membutuhkan penanganan yang cepat. Anggap saja pihak rumah sakit yang mengajukan pemindahan itu, kita berdua tinggal mengikutinya saja."Sesorang suster memij