Hari ini Ratih membawa Hanna menemui Arimbi yang sebenarnya, tadi pagi Sultan memerintahkannya sebelum berangkat kerja. Selama kedua wanita itu dipertemukan tidak ada hal yang rumit, Hanna cukup pandai menyesuaikan diri sehingga Arimbi mudah menerimanya sekalipun mereka baru pertama kali bertemu. Berkali-kali Ratih menatap Hanna yang barangkali ingin bertanya sesuatu.
Tidak sedikitpun Hanna putus asa, meski sulit mengambil perhatian Arimbi, dia terus saja mengajaknya berbicara seperti teman mengobrol yang asyik. Ratih yang melihat kesungguhan Hanna sampai geleng-geleng kepala. Sultan tidak salah memilih Hanna untuk dijadikan Arimbi kedua, dia wanita yang sangat baik.
Wajahnya begitu sejuk dan bersahaja.
"Halo, Mba, perkenalkan aku Hanna." Ini sudah yang kesekian kali Hanna memperkenalkan diri, tapi Arimbi masih belum merespons.
Pandangan Arimbi masih tertuju pada langit mendung. Objek langit memang menjadi pemandangan kesukaannya saat duduk di taman. Entah apa yang Arimbi pikirkan? Tatapan wanita itu seolah-olah berpikir, tengah menerka sesuatu. Namun, tidak ada yang tahu.
"Hmm, Ratih, boleh aku bertanya?"
Setelah Ratih mengangguk, Hanna pun bangkit mengambil beberapa langkah ke depan. Sedikit memisahkan diri.
"Ngomong di sini, Non. Tenang saja Nyonya Arimbi tidak mengerti apa yang kita bicarakan." Ratih berkata, enggan meninggalkan Arimbi pertama walau hanya sejengkal.
"Baiklah, aku hanya berjaga-jaga." Hanna kembali mendekat pada Ratih, lalu berbisik rendah. "Kenapa Mba Arimbi terlihat sangat sombong? Aku mengajaknya berkenalan, tapi dia tidak sekalipun menanggapiku, bahkan menoleh saja tidak."
Sontak Ratih tertawa, tidak menyangka ternyata Hanna sangat polos. Hatinya masih bersih, jauh dari berpikir buruk.
"Bukan sombong, Non, beliau tidak mengerti. Sejak kecelakaan dia jadi seperti orang asing, dan maaf bodoh."
"Maaf." Hanna jadi merasa bersalah.
Ratih hanya tersenyum. Memaklumi.
Kembali pada Arimbi, dengan lembut Hanna memberanikan diri menyentuh pundaknya, saat wanita itu menoleh dia pun tersenyum. Hanna langsung memperkenalkan dirinya dengan kalimat yang sama, sambil menepuk dadanya sendiri berharap Arimbi mengerti. Butuh waktu cukup lama.
"Hanna." Dengan fasih Arimbi menyebutnya, sontak Hanna gembira.
Terlebih lagi Ratih. Perawat itu sampai membelalakkan matanya tidak menyangka. Arimbi sulit sekali mengeluarkan suara, walau sepatah kata pun. Hanna berhasil membuat Arimbi bersuara lagi, ini suatu kemajuan dan kabar menggembirakan.
"Nyonya, akhirnya ..." Ratih menatap sang nyonya dengan perasaan haru, lalu berkata. "Tuan Sultan pasti sangat senang mendengar kabar ini."
Mendengar nama Sultan, Hanna pun mengerling. Perasaan kasihan pada Arimbi berangsur menghilang. Sejak pertama kali Hanna melihat Arimbi, tidak lebih dari seorang wanita yang menyedihkan. Namun, setiap Hanna teringat kekejaman Sultan terhadap dirinya membuat hatinya sedikit iri. Arimbi mendapat perhatian khusus oleh Sultan, sementara Hanna tidak. Padahal mereka kedua istri Sultan yang sah, tapi nasib keduanya berbeda.
"Loh, Nona ..." panggil Ratih saat melihat Hanna berlari pergi.
Sesampainya di kamar Hanna menangis tersedu-sedu. Merasa sakit hati dengan perlakuan Sultan yang tidak seimbang. Tidak semestinya lelaki itu menikahi dua wanita jika tak mampu berlaku adil. Hanna juga seorang wanita yang memiliki hati dan perasaan. Dia ingin dicinta dan mencintai. Hidup berumah tangga dengan normal seperti pasangan pada umumnya, bukan menjadi orang lain.
Arimbi tidak salah. Wanita itu hanya seorang istri yang malang. Hanna juga tidak meminta banyak, cukup Sultan mengakuinya sebagai istri yang lain, bukan Arimbi istri pertamanya.
***
"Arimbi, aku pulang!" Sultan berteriak, terdengar hingga ke kamar.
Dengan penuh semangat lelaki itu menuju kamar istrinya, dengan masih berseragam lengkap. Sultan baru saja pulang, dan orang pertama yang didatanginya adalah Hanna. Kebetulan Hanna baru selesai salat magrib, saat melihat Sultan dia pun bangkit, lalu menyalim tangan kasarnya. Hubungan mereka memang sudah jauh lebih baik semenjak Sultan mempertemukan Hanna dengan bunda.
"Belum, aku ingin makan bersamamu." Sultan menyengir, lantas menyeret Hanna ke meja rias. Duduk di depan cermin.
Hanna tidak bertanya apapun saat Sultan mengeluarkan kotak kecil dari saku jasnya, lalu mengambil sebuah kalung yang cantik. Hanna tersenyum lebar, matanya sampai berkaca-kaca. Namun, perasaan bahagia itu lenyap begitu Sultan memakaikan kalung tersebut di lehernya, nama Arimbi terpampang jelas. Itu menyakitkan.
"Aku membeli hadiah untukmu sebagai permintaan maafku," kata Sultan, lalu mengecup puncak kepala Hanna.
"Kamu membelinya untuk Arimbi istrimu?" tanya Hanna, suaranya bergetar menahan tangis.
"Ya, tentu saja, kamu istriku."
Sejenak Hanna menghela napas, membiarkan air matanya menetes. Sultan memang keterlaluan, tidak berperasaan, dan egois. Berulang kali Hanna mengutarakan keengganannya terhadap bayangan Arimbi, tetapi dia tidak pernah mengerti. Sultan terus memaksa Hanna untuk menerima semua yang dia tetapkan.
"Kamu tidak menyukainya ya?" tuding Sultan, menatap Hanna bingung.
Buru-buru Hanna menghapus air matanya, dan memasang senyuman terbaik. "Aku hanya terharu."
"Ah, Sayang, ini tidak seberapa dengan apa yang telah kamu lakukan pada Bunda." Dengan lembut Sultan memeluk Hanna, meluruhkan rasa penatnya sepulang kerja.
Selepas Sultan mengganti seragam Hanna mengajaknya makan malam. Sebagai istri yang baik Hanna memasak makanan kesukaan Sultan. Sore tadi bunda bercerita banyak sekali mengenai Sultan, tentang karirnya hingga masa kecilnya yang menarik untuk didengar. Orang tua memang seperti itu, senang menceritakan hal yang paling berkesan baginya berulang-ulang, dan Hanna yakin beliau sudah bercerita pada Arimbi.
"Hmm, sepertinya enak." Sultan menghirup sepiring nasi goreng yang Hanna masak.
"Ya, aku memakai resep dari Bunda," jawab Hanna terlalu jujur.
"Haha, aku sudah tahu, kupikir kamu akan mengakuinya resep sendiri. Baru saja aku ingin menyanjungmu dengan kalimat yang romantis."
"Tidak perlu, aku lebih suka kalimat apa adanya dari suami yang pengertian. Khusus untuk diriku, bukan untuk orang lain." Hanna menyindir.
Menaruh sendoknya kembali Sultan menatap Hanna yang menuangkan air ke dalam gelas. Gejolak panas sudah mengelilingi kepalanya, tapi Sultan menahannya, enggan merusak momen yang baru saja dia perbaiki. Melihat reaksi Sultan, wanita itu pun mendengus. Semakin sering melihat Sultan emosi, ketakutan Hanna jadi berkurang karena sudah terbiasa.
"Makanlah, jangan marah terus." Bahkan, keberanian Hanna meningkat. Dia sudah berani menegur Sultan.
"Ya, baiklah. Kamu tidak makan?"
"Aku sudah kenyang. Tadi makan bareng Bunda," jawab Hanna.
Mengangguk sekali dengan begitu Sultan menyantap makanan kesukaannya itu, tidak sedikitpun dia berbicara selama makanan di piring belum habis. Begitu Sultan selesai dengan piring yang kinclong Hanna tersenyum. Bunda benar, anaknya yang aneh itu sangat menyukai nasi goreng rumahan. Maka Hanna akan sesering mungkin menyajikannya untuk sang suami.
"Ternyata masakanmu tidak jauh beda dari Arimbi." Sambil mengelap mulutnya Sultan berkomentar. Seketika senyuman Hanna redup.
Selalu Arimbi, Arimbi, dan Arimbi.
Tidak bisakah hidup Hanna berjalan apa adanya, tanpa bayangan Arimbi?
----------
Ramaikan dong! Ajak yang lain baca cerita ini. Tanpa dukungan dari kalian apalah artinya semua ini.
Sultan masih tertidur pulas, sementara Hanna bangun lebih cepat seperti biasanya. Melaksanakan salat subuh hingga membaca selembar Al-Qur'an. Semalam mereka sudah tidur berdua, dan Sultan terus memanggilnya Arimbi. Ada perasaan sedih yang menikam hati beserta pikiran Hanna, tapi dia terlalu lelah untuk menyuarakan isi hatinya. Sultan tetap memaksakan kehendaknya tanpa memikirkan perasaan Hanna."Mas bangunlah," lirih Hanna sambil mengguncang sedikit pundak Sultan.Semalam juga Sultan memintanya untuk memanggil dirinya dengan sebutan Mas Sultan, karena Arimbi biasa memanggil seperti itu. Hanna tidak menolak, dia selalu menurut apa yang Sultan perintahkan."Mas, bangun, sebentar lagi matahari terbit." Hanna tidak putus asa, meski berulang kali Sultan mengusirnya."Pergilah, aku masih mengantuk.""Sholat subuh dulu, Mas," pinta Hanna.Sontak Sultan mengernyit, dengan sebelah mata t
"Assalammu'alaikum, iya Paman ini Hanna." Suara wanita itu mengecil saat menyebut namanya. Sultan ada di belakang, jadi Hanna begitu hati-hati berbicara."Alhamdulillah, Hanna baik-baik saja. Paman ... Hanna sangat merindukan Paman. Eum, ya, Mas Sultan juga sungguh baik pada Hanna, dia selalu membuat Hanna tersenyum bahagia." Hanna tertawa pelan, sesekali melirik Sultan yang mencoba tidak peduli."Paman, kapan kita bisa bertemu?" tanyanya sedih, berharap Sultan mendengarnya dan merencenakan pertemuan mereka."Secepatnya ya, Paman? In sya Allah." Wajah Hanna pun berbinar saat sang paman juga menginginkan hal sama.Lima menit sudah berlalu, dan Hanna masih asyik berbicara pada orang di ujung telepon. Sultan mengamatinya dengan bosan. Sepuluh menit ternyata waktu yang cukup lama, sehingga dia pikir tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Tanpa berkata lelaki itu merampas teleponnya, dan mengakhirkan dengan salam.
Dengan penuh semangat Hanna membongkar isi lemari milik Arimbi. Senyuman terus terukir di bibirnya membayangkan kencan pertama mereka di luar. Beberapa saat lalu Marlina memberi kabar bahwa Sultan ingin Hanna segera bersiap-siap, dan mengenakan pakaian yang paling bagus. Sebenarnya seluruh pakaian Arimbi bagus semua, tapi tidak ada yang cocok di hati Hanna. Hingga akhirnya Hanna memegang sebuah gaun berenda yang menurutnya jauh lebih panjang daripada sebelumnya."Hmm, semoga saja Mas Sultan menyukainya," kata Hanna setelah berhasil mencobanya. Meski terlihat agak kuno dan kusam, tetapi cukup menutup tubuhnya sampai bawah."Arimbi, aku pulang!" teriak Sultan dari luar, sambil menenteng bingkisan."Ah, iya. Sebentar, Mas." Dengan cepat Hanna merapikan dan menyimpan kembali pakaian Arimbi ke lemari.Setelah itu dia berlari membuka pintu."Kenapa lama sekali?" tanyanya curiga.Di de
"Tidak bisa!" bentak Sultan untuk ke sekian kalinya.Hanna berjengit. Untung saja bunda sudah tidur setelah meminum obat.Dengan hati-hati Hanna menyelimuti bunda, lantas berlari ke luar menuju suara Sultan. Tidak biasanya lelaki itu memarahi Ratih, apalagi kehadirannya sangat berarti bagi Arimbi. Namun, sepertinya masalah satu ini amat berat."Tuan, saya mohon. Ibu saya sedang sakit parah, dan dia membutuhkan kehadiran saya. Sungguh! Jika bukan Ibu saya yang sakit, tentu saya lebih memilih tinggal merawat Nyonya." Ratih menangis sesegukan, bahkan kedua tangannya memeluk kaki sang Tuan."Harus berapa kali aku katakan? Tidak bisa! Kamu akan tetap di sini.""Tuan, saya mohon ...""Mas, tidak semestinya kamu berbuat dzolim pada Ratih." Hanna mencoba menyadarkan Sultan.Melihat keberanian Hanna darah Sultan semakin melonjak naik. Kedua mata merahnya menatap Hanna, me
Pagi-pagi sekali Hanna bangun, mengurus dirinya lebih dulu sebelum mengunjungi kamar bunda, dan kamar Arimbi. Sekarang tugasnya bertambah, jadi Hanna harus pandai membagi waktu. Seusainya membereskan kamar yang menjadi pekerjaan rutinnya, Hanna langsung beranjak menuju kamar bunda untuk memastikannya sudah bangun."Selamat pagi, Bunda," sapanya penuh kehangatan.Ningsih tersenyum lebar. Kedua matanya berputar seolah mencari sumber suara Hanna. Dengan kasih Hanna mendekati sang bunda, lalu membantunya bersandar pada dipan."Bagaimana keadaan Bunda hari ini?" tanya Hanna sembari mengusap rambut bunda yang sedikit berantakan."Bunda selalu bahagia semenjak ada kamu, Nak. Rasanya Bunda sangat beruntung memiliki menantu yang baiknya luar biasa seperti kamu.""Alhamdulillah, Arimbi senang mendengarnya." Hanna memeluk singkat wanita di depannya, dan tersenyum bahagia.Sambil mendengark
Seluruh perkataan Leo, Hanna simak dengan baik. Kepeduliannya tampak begitu nyata. Hanna tidak tahu mengapa Leo sangat peduli? Sikapnya yang bijaksana dan lembut dengan mudah meluluhkan hati keras Hanna.Menutup mata sejenak Hanna mulai gelisah dengan hidupnya. Akal dan perasaan Hanna tidak sejalan. Sejak awal membongkar makar Sultan, Leo terus meminta Hanna agar segera meninggalkan Kota. Namun, hatinya memilih tinggal. Bertahan di dalam ketidakadilan. Selain mencintai sang suami Hanna juga menyayangi bunda, beserta mengasihi Arimbi yang sakit.Mereka semua membutuhkan Hanna."Hanna, aku bisa melihat kamu wanita yang baik. Kamu juga berhak bahagia, di sini bukan tempatmu.""Tapi, aku hanya mempunyai suamiku." Hanna berkata getir."Suami hanya status, aku sungguh miris saat mengetahui wanita yang dijadikannya istri kedua adalah kamu.""Leo, aku tidak ada pilihan selain bertahan.
Setelah kepergian sang bunda untuk selamanya, Sultan semakin tidak bisa mengontrol emosinya dan bertambah parah. Apapun yang membuat Sultan marah, maka lelaki itu akan menjadi seseorang yang sangat tega. Bahkan, dia tidak sungkan menghabisi nyawa orang lain. Sudah berulang kali Sultan mendapat masalah karena membuat banyak rekannya mengalami sekarat.Sikapnya terhadap Hanna? Tentu saja semakin menjadi. Apa yang Hanna lakukan pasti selalu salah di matanya. Namun, pengecualian kepada Arimbi, dia tetap menjadi Sultan yang baik hati dan penyayang. Mereka jadi lebih sering bersama, sembari menunggu kabar baik dari Leo. Hanna sungguh mengerti dengan perasaan suaminya itu, jika hanya Arimbi satu-satunya kebahagiaan Sultan selama di dunia."Mas, apa kamu perlu bantuanku?" tanya Hanna, menatap Sultan dan Arimbi secara bergantian."Tidak." Sultan menjawab acuh.Bahkan, menoleh saja tidak. Hanna menghela napasnya, tapi t
Tidak tinggal diam Hanna juga ikut andil dan membantu Sutan mengemas barang. Meski tidak membawa banyak barang, ternyata juga membutuhkan dua ransel besar. Hanna memasukkan beberapa pakaian sehari-hari Arimbi, beserta alat yang memang sering dibutuhkan seorang wanita. Semua Hanna lakukan dengan ikhlas, hanya mengharap ridho Allah dan sang suami.Hatinya memang sakit, tapi akalnya masih sehat. Hanna tidak mungkin membenci atau membalas kejahatan seseorang padanya, apalagi orang itu adalah suaminya sendiri. Cepat atau lambat Hanna percaya kesabarannya akan berbuah manis. Suatu saat nanti."Arimbi, apa kamu melihat pakaian dalamku?" Sultan bertanya kepada Hanna yang tengah menata barang bawaan mereka."Sepertinya tidak, sebentar Mas, akan aku lihat di jemuran belakang." Hanna pun meninggalkan kerjaannya.Hanna berlari kecil agar cepat sampai, dan memberikan barang yang dicari Sultan. Tanpa berkata apapun Sultan m
Hanna bangun lebih cepat dari biasanya, dengan hati yang getir wanita itu bermunajat kepada Sang Khaliq, berdoa dan menyampaikan betapa sedih hatinya saat Sultan mengungkit masa lalu yang tidak akan pernah berubah. Lelaki itu menyesal, bahkan masih meratapi kepergian Arimbi.Ketika Hanna pikir suaminya itu telah berubah menjadi lebih baik, ternyata masih sama saja, Sultan tidak tahu bagaimana caranya menghargai sosok Hanna."Ya Allah, jika aku salah dan kau ingin menghukumku, maka aku mohon ringankanlah sedikit hukumanmu ini, rasanya aku tidak sanggup jika terus ditekan, bahkan selalu dibanding-bandingkan dengan Mbak Arimbi.""Akan tetapi, jika ini memang ujian yang kau berikan padaku, maka aku juga memohon tabahkanlah hatiku untuk menerima ketentuan-Mu dan kuatkanlah aku.""Aamiin ya Rabb."Bangkit dari duduknya, Hanna pun melakukan sujud sahwi, sebelum beranjak dari tempat sholat dilanjutkan dengan membuka mukenahnya. Hati yang sempat berkabung, kini menjadi sedikit lebih tenang. Un
Setelah melewati fase sulit yang cukup menjemukkan akhirnya Hanna bisa bernapas dengan lega, wanita itu menatap ke luar jendela yang masih terkunci rapi, dia merasa sangat bahagia. Air mata Hanna menetes, jika dirinya tidak setangguh ini, kemungkinan terbesar dia sudah meninggalkan Sultan dan mencari kebahagiaan sendiri.Tetapi, di sinilah Hanna sekarang, di kamar yang sama dengan perasaan berbeda."Nyonya Hanna," panggil Marlina dari arah luar, wanita itu semakin menghormati sosoknya, bahkan kasih sayangnya juga sangatlah luar biasa terhadap Hanna. "Ada telepon untukmu, Nyonya."Paman Hasan?"Iya, sebentar, Bu!" Hanna menyahut dari dalam, dengan cepat dia menyeka air mata yang berlinangan di pipinya.Merapikan sedikit rambutnya dengan wajah berbinar Hanna membuka pintu kamar, lalu tersenyum kepada Marlina yang tengah tersenyum lebar juga. Hubungan mereka seperti bukan pembantu dan majikan, tetapi bagaikan ibu dan anak yang saling memberikan cinta."Siapa yang menelepon, Bu?" tanya Ha
Selepas kepergian Arimbi, waktu tidur Sultan jadi tidak menentu. Terkadang Sultan bisa tidur lebih cepat, atau tidak dapat tidur semalaman. Kehilangan Arimbi seakan-akan membawa pergi sebagian hidupnya, yang belum bisa Sultan terima. Setiap kali memejamkan mata senyum manis Arimbi muncul beserta gelak tawanya yang renyah, hal itu membuat Sultan kesulitan untuk mengendalikan hidupnya seorang diri.Kehadiran Hanna yang berwajah Arimbi ternyata sama sekali tidak membantunya melupakan sang pujaan hati. Sultan terus mengingat dan membayangkan Arimbi, bahkan dia merasa bersalah pada Hanna.“Maafkan aku,” rintih Sultan di dalam remang lampu tidur, menatap Hanna yang terlelap.“Aku sudah berdosa padamu, mungkin tidak termaafkan.” Membelai sisi wajah Hanna, wanita itu mengerang rendah saat merasa terganggu.Sultan menarik tangannya kembali, menatap dalam pada wajah Hanna yang polos. Itu wajah cintanya Arimbi. “Kalian sudah memiliki wajah yang sama, cantik dan menawan hati. Tapi ... Entah kenap
Mengoleskan lipstik merah menyala, Ratih tersenyum lebar menunjukkan kebahagiaannya. Kematian Arimbi menghilangkan seluruh beban yang selama ini Ratih pikul. Dunia seakan kembali terang benderang, hidupnya yang suram telah sirna dan berganti menjadi orang paling berbahagia. Sayangnya Leo sedang kecewa berat padanya, kalau tidak Ratih ingin sekali mengajak lelaki itu merayakan kemenangannya semalaman penuh.“Oh, Leo, seandainya kamu tahu yang sebenarnya ...” Ratih terkekeh geli saat mengingat wajah marah Leo beberapa waktu lalu. “Tidak mungkin aku menyerahkan kebanggaanku dengan lelaki bodoh seperti Sultan.”Semua sudah Ratih atur sedemikian rupa, sehingga Sultan percaya atas apa yang dia lakukan. Padahal, malam itu tidak terjadi apapun, mereka hanya tidur seranjang dengan pakaian atas terbuka. Ratih mengambil beberapa pose yang panas, selebihnya dia menyerahkan dengan seseorang untuk melepas seluruh pakaiannya Sultan.“Kerja keras yang sangat baik.” Lagi, Ratih terbahak-bahak, sangat
Tanpa mendengarkan perkataan Sultan dan Marlina, Arimbi mengemasi seluruh barang-barang miliknya. Ternyata patah hati tidak sebercanda itu, dengan cepat perasaan cintanya berubah menjadi benci. Arimbi sangat muak terhadap sikap Sultan, yang seolah-olah tidak bersalah. Padahal semua sudah terlihat jelas di mata Arimbi, jika suaminya itu begitu dekat dengan Ratih dan berhubungan serius.Sebagai suami yang sangat mencintai istrinya, Sultan melarangnya, bahkan lelaki itu sampai memeluk kedua kaki Arimbi agar menghentikan semua. Di bawah kaki Arimbi dengan tangguh Sultan menahan. Tidak hanya air mata yang jatuh, tetapi juga harga dirinya. Sultan melakukan itu semua semata untuk mengambil hati Arimbi, meski istrinya tidak mudah tersentuh."Arimbi, aku mohon padamu, Sayang. Toloong! Dengarkan penjelasanku dulu, semua tidak seperti yang kamu pikirkan," kata Sultan sambil menangis."Lepaskan, Mas. Aku sudah tidak percaya lagi denga
Sudah tiga hari Arimbi mengurung diri di kamar, enggan bertemu dengan Sultan sekalipun tinggal serumah. Perasaannya sungguh sakit mengetahui pengkhianatan suami yang begitu dicintainya selama ini. Ketika Arimbi tengah berjuang keras melawan rasa sakit Sultan malah berkelana mencari wanita lain. Di tengah isakannya Arimbi menutup kedua telinga saat mendengar permohonan Sultan di luar kamar. Cinta yang telah Arimbi tanam kini berbuah pahit dan pengkhianatan."Arimbi, aku mohon, buka pintunya, dan aku akan menjelaskan semua." Rintih Sultan di sela tangisan, suara lelaki itu terdengar begitu terluka.Setelah sekian lama Sultan menunggu Arimbi sembuh, kini yang dia terima sebuah penolakan. Istri tercintanya marah kepadanya, dan tidak memberi Sultan kesempatan berbicara. Arimbi sudah termakan omongan Ratih, dan Sultan tidak mengelak jika wanita itu sangat berbahaya. Keberadaannya bagaikan ancaman untuk kehidupan Sultan dan Arimbi, karena dia sel
"Oh, hai ..." Ratih menyunggingkan senyuman terbaik yang dia punya.Arimbi membuang muka, semampunya mengatur napas yang sudah tidak stabil. Wanita itu akan semakin berani kalau melihat Arimbi ketakutan. Sejak awal mengenalnya Arimbi memang sudah merasakan ada yang tidak beres dengan tunangan Angga. Malangnya dia malah bermain-main dengan api."Mau apa kamu ke sini?" tanya Arimbi ketus, tanpa menoleh sedikitpun."Hmm, aku mencari Sultan suamimu, kita ada urusan yang sangat penting." Ratih datang mendekat, kini dirinya berdiri tepat di sebelah Arimbi."Katakan apa maumu, Wulan? Aku sudah meminta maaf padamu, tetapi kenapa kamu selalu mengusik kehidupanku?" Tidak tahan Arimbi berteriak, matanya memerah panas.Menaruh buah tangan yang dibelinya di atas meja, Ratih pun berdecak sebal. "Panggil aku Ratih, karena Wulan sudah mati."Ratih mengangkat kepalanya tinggi, merasa bangg
Mengenakan gaun terbaik miliknya, Arimbi tersenyum lebar di dalam cermin. Wajah cantiknya semakin bersinar setelah dipoles oleh perias andal. Malam ini Sultan mengajaknya kencan, sekaligus dinner dengan kedua sahabatnya Angga dan Leo. Sejak mengenal Sultan kehidupan Arimbi memang berubah drastis. Wanita itu semakin berani menonjolkan kelebihan yang ada pada dirinya, sehingga banyak lelaki tertarik dan ingin mempersunting. Angga menjadi salah satunya, sayangnya dia kalah cepat oleh Sultan."Astaga! Aku hampir tidak mengenali pacarku sendiri." Sultan bergurau, memeluk pinggang Arimbi, lalu mengecup keningnya mesra."Aku hanya ingin membahagiakanmu, Mas. Agar kamu tidak malu di saat menggandeng tanganku di hadapan banyak orang," jawab Arimbi. Wanita itu memang pandai memainkan kata."Hmm, yaa, ya. Hanya saja aku tidak suka mereka menatapmu dengan tatapan lapar, terutama sahabatku Angga." Nada suara Sultan terdengar k
Leo yang mengambil tindakan sendiri mengundang perdebatan di sepanjang lorong rumah sakit. Menurut Sultan dirinya yang lebih pantas melakukan hal tersebut, bukan Leo. Dengan ego masing-masing keduanya tetap pada pendirian. Leo sudah merasa tindakan yang diambil benar, sedangkan Sultan tidak ingin mengalah. Pihak rumah sakit sampai kebingungan mendengar perseteruan mereka, hingga Hasan dengan pak Kades datang meninjau."Aku suaminya, jadi aku yang berhak atas istriku Hanna." Tekan Sultan untuk ke sekian kalinya, Leo pun mendengus."Biarkan aku yang mengurusnya, urus saja Arimbi istri pertamamu.""Hanna juga istriku, aku yang akan mengurus semuanya, dan batalkan pengajuanmu itu." Sultan memaksa."Astaga! Sultan. Hanna sedang kritis dan membutuhkan penanganan yang cepat. Anggap saja pihak rumah sakit yang mengajukan pemindahan itu, kita berdua tinggal mengikutinya saja."Sesorang suster memij