Membelai lembut rambut putih yang disisirnya Hanna tersenyum lebar. Di saat Hanna menyentuhnya Ningsih juga ikut menyunggingkan senyum bahagia. Keduanya tampak begitu bersahabat dalam waktu yang singkat. Meski tahu kehadirannya bukanlah sebagai Hanna melainkan Arimbi, tapi dia bersyukur telah membuat sang bunda bahagia.
"Minumnya, Bun." Hanna membantu Ningsih bersandar, lalu menempelkan sedotan pada mulutnya yang kering.
"Kamu sudah makan, Nak?" tanyanya.
"Sebentar lagi, Bun, Hanna memang sengaja mendahulukan Bunda dulu. Nanti Hanna pasti makan kok, Sultan tadi sudah ngajak dinner bersama."
"Hanna? Sultan?"
Sontak Hanna terdiam, bingung ingin menjawab apa, sementara Bunda telah menaruh rasa curiga. Hanna lupa atas perannya, dan lupa bertanya pada Sultan yang biasa dipanggil dengan sebutan apa? Di saat Hanna tengah kesulitan, Sultan datang bak Ksatria penyelamat, dia langsung mengetahui apa yang telah terjadi pada istrinya.
"Hmm, maksudnya kucing yang baru saja Sultan beli, Bun, namanya Hanna." Dengan santai Sultan mensiasatinya, tanpa memedulikan wajah Hanna yang menegang. Kaget mendengarnya.
"Oh, kucing, Bunda kirain siapa." Sang Bunda pun terkikik geli, mungkin lucu.
"Bagaimana keadaan Bunda hari ini? Maaf, Sultan baru jenguk, tadi mandi sambil berpikir mau makan apa." Dia mendekati bundanya, lalu mengecup mesra keningnya. Anak yang romantis.
"Sudah jauh lebih baik, Nak, semua ini berkat Arimbi. Istrimu merawat Bunda dengan baik, menyisir rambut Bunda, menyuapi Bunda makan, sampai rela mengesampingkan isi perutnya demi menemani Bunda." Ningsih bercerita.
Hanna memang baru saja selesai memberikan Ningsih makan, bahkan dia juga yang menyuapinya sampai habis sepiring. Marlina yang bertugas merawat sang Nyonya sampai takjub, pasalnya sejak Arimbi pertama kecelakaan beliau berat sekali menghabiskan dua sendok makanan.
Sambil mengajak sang bunda bercerita Sultan melirik Hanna yang berada di sebrangnya. Wanita itu pun menunduk saat Sultan tersenyum, sepertinya sejak kejadian kemarin Hanna sudah jatuh hati padanya. Entah Hanna yang berperasaan atau Sultan yang pandai mengambil hatinya? Namun, dengan segenap jiwa Hanna tetap sadar diri bahwa Sultan masih beranggapan jika dia Arimbi. Itu sangat menyedihkan.
"Kamu sudah lapar?" tanya Sultan pada Hanna. Wanita muda itu menggeleng.
"Iya, Nak, ajaklah Arimbi makan, dia pasti lapar sejak tadi menunggumu." Malah Ningsih yang menyahut, meski Hanna tidak berkata apapun wanita tua itu berpikir jika sang menantu merasa sungkan meninggalkannya.
"Baiklah, Bun, Sultan dan Arimbi pamit dulu ya. Selamat malam, dan istirahat yang nyenyak." Sultan mendekati sang bunda, lalu mengecup keningnya sebelum pergi. Sebagai tanda cinta.
Kemudian Sultan menggenggam tangan kecil Hanna, dan berkata. "Ayo, Sayang, Marlina pasti sudah menyiapkan makan malam yang lezat untuk kita."
Untuk saat ini Hanna tidak membantah apalagi sampai membuat Sultan marah. Semampunya Hanna menahan untuk tidak bersikap bodoh hingga melukai dirinya, cukup menjadi Arimbi semua akan baik-baik saja. Ikuti aturannya.
"Duduklah, kamu harus mencoba sop iga buatan Marlina, ini sangat lezat." Sultan meraih makanan kesukaan Arimbi pertama, lalu memberikan pada Hanna yang hanya diam.
Ketika Sultan mulai menikmati makan malamnya, barulah Hanna mencicipi sedikit sop iga yang tampak istimewa. Rasanya memang cukup enak, tapi Hanna tidak begitu menyukai makanan yang sejenis sop, Sultan harus mengerti.
"Kenapa makan kamu hanya sedikit?" tanya Sultan saat melihat Hanna menyingkirkan makanannya.
"Sebenarnya aku tidak menyukai sop."
"Kamu harus belajar menyukainya!"
"Ke-napa?" Suara Hanna bergetar.
"Karena Arimbi sangat menyukai sop, maka kamu juga harus menyukainya," kata Sultan penuh otoriter yang tinggi.
Menghela napas Hanna mengalihkan pandangannya ke lain arah, berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara pada Sultan. Tentu Hanna tidak bisa seperti ini terus, berperan menjadi seseorang tanpa mengetahui siapa sosok asli Arimbi. Selain untuk kebaikan bunda, Hanna juga berhak mengenal seluk beluk keluarga Sultan.
Maka, kejadian seperti tadi tidak akan terulang lagi. Hanna hampir saja ketahuan jika dirinya bukan Arimbi.
"Sultan, kamu harus sadar, untuk soal selera tidak bisa dipaksakan. Kami ini dua orang yang berbeda, aku bukan Arimbi, dan tidak bisa menjadi orang yang seperti kamu inginkan." Hanna berkata begitu lancar, detik berikutnya dia menggigit bibir.
"Bisakah kamu tidak merusak selera makanku?!" Sultan menatap Hanna geram, dengan emosi sudah di ujung. "Kamu itu Arimbi, Arimbi, Arimbi."
"Jika tujuanmu untuk membahagiakan Bunda, aku tidak mengingkarinya, bahkan dengan senang hati menjadi Arimbi saat di depannya. Tapi, ingat! Arimbi hanya di depan Bunda saja, bukan untuk dirimu, Tuan."
"Katakan apa maumu?" Sultan menatap Hanna, selera makannya sudah hilang.
"Ceritakan seluruhnya padaku siapa Arimbi? Terus terang aku tidak bisa menjalani peranku dengan baik, jika kamu saja enggan menceritakannya. Aku butuh mengenal Arimbi yang asli, karena aku tahu dia bukan orang asing di rumah ini bahkan sangat berarti."
Napas Sultan naik turun, menahan amarah yang sudah di ujung tanduk. Hanna benar-benar memancing emosinya, padahal Sultan kerap memperingati. Dia memang wanita yang pembangkang. Menceritakan soal Arimbi pasti akan dilakukannya, hanya belum menemukan waktu yang tepat. Sikap keras kepala Hanna membuat Sultan mengundur-undur waktunya.
Marlina dan Ratih juga Sultan peringati agar tak mendahuluinya memberitahu soal Arimbi. Namun, sepertinya Sultan harus bercerita sekarang atau semua akan menjadi runyam. Ini demi bunda.
"Arimbi istriku, cinta pertamaku, dan tidak akan pernah tergantikan."
Deg! Perkataan Sultan bagaikan peringatan keras bagi Hanna.
"Arimbi kecelakaan dua tahun lalu, kepalanya kebentur cukup kuat sehingga syaraf sensoriknya bermasalah, dan mengalami gangguan jiwa. Segala cara sudah aku tempuh termasuk membawanya berobat ke luar negri, tapi tidak ada saran yang cukup memadai selain memintanya tinggal di rumah sakit jiwa. Tentu saja aku lebih memilih merawat dan menjaganya di rumah, Arimbi harus tetap tinggal bersamaku, atau aku yang akan kehilangan akal juga." Mata Sultan berkaca-kaca, tapi hanya sebentar. Dia terlihat sangat mencintai Arimbi.
"Selama dua tahun bagaimana dengan keadaan Bunda?" tanya Hanna.
"Penyakit Bunda bertambah parah, berkali-kali beliau hampir meninggal. Kehadiran Arimbi sangat berarti untuknya, karena hanya dia satu-satunya yang bisa menumbuhkan semangat Bunda untuk sembuh. Selama dua tahun ini aku sungguh tersiksa, meski semua orang melihatku sehat. Mereka tidak tahu saja, fisikku memang sehat, tapi hati dan pikiranku hancur. Setiap hari aku memikirkan caranya bagaimana agar Arimbi kami kembali."
Sejenak Sultan mengambil napas, lalu melanjutkan. "Sejak kecelakaan aku merahasiakan semua pada Bunda, aku mengatakan padanya jika Arimbi mendapat tugas ke luar negri, dan pasti akan kembali suatu saat nanti."
"Tapi, tidakkah kamu lupa, bahwa sekarang aku juga istrimu?"
Kenyataannya Hanna tak pernah sudi sosok Arimbi seolah-olah memboikot, dan menutup jati dirinya. Bagaimanapun Hanna juga ingin diakui oleh Sultan dan bundanya.
Hari ini Ratih membawa Hanna menemui Arimbi yang sebenarnya, tadi pagi Sultan memerintahkannya sebelum berangkat kerja. Selama kedua wanita itu dipertemukan tidak ada hal yang rumit, Hanna cukup pandai menyesuaikan diri sehingga Arimbi mudah menerimanya sekalipun mereka baru pertama kali bertemu. Berkali-kali Ratih menatap Hanna yang barangkali ingin bertanya sesuatu.Tidak sedikitpun Hanna putus asa, meski sulit mengambil perhatian Arimbi, dia terus saja mengajaknya berbicara seperti teman mengobrol yang asyik. Ratih yang melihat kesungguhan Hanna sampai geleng-geleng kepala. Sultan tidak salah memilih Hanna untuk dijadikan Arimbi kedua, dia wanita yang sangat baik.Wajahnya begitu sejuk dan bersahaja."Halo, Mba, perkenalkan aku Hanna." Ini sudah yang kesekian kali Hanna memperkenalkan diri, tapi Arimbi masih belum merespons.Pandangan Arimbi masih tertuju pada langit mendung. Objek langit memang menjadi pem
Sultan masih tertidur pulas, sementara Hanna bangun lebih cepat seperti biasanya. Melaksanakan salat subuh hingga membaca selembar Al-Qur'an. Semalam mereka sudah tidur berdua, dan Sultan terus memanggilnya Arimbi. Ada perasaan sedih yang menikam hati beserta pikiran Hanna, tapi dia terlalu lelah untuk menyuarakan isi hatinya. Sultan tetap memaksakan kehendaknya tanpa memikirkan perasaan Hanna."Mas bangunlah," lirih Hanna sambil mengguncang sedikit pundak Sultan.Semalam juga Sultan memintanya untuk memanggil dirinya dengan sebutan Mas Sultan, karena Arimbi biasa memanggil seperti itu. Hanna tidak menolak, dia selalu menurut apa yang Sultan perintahkan."Mas, bangun, sebentar lagi matahari terbit." Hanna tidak putus asa, meski berulang kali Sultan mengusirnya."Pergilah, aku masih mengantuk.""Sholat subuh dulu, Mas," pinta Hanna.Sontak Sultan mengernyit, dengan sebelah mata t
"Assalammu'alaikum, iya Paman ini Hanna." Suara wanita itu mengecil saat menyebut namanya. Sultan ada di belakang, jadi Hanna begitu hati-hati berbicara."Alhamdulillah, Hanna baik-baik saja. Paman ... Hanna sangat merindukan Paman. Eum, ya, Mas Sultan juga sungguh baik pada Hanna, dia selalu membuat Hanna tersenyum bahagia." Hanna tertawa pelan, sesekali melirik Sultan yang mencoba tidak peduli."Paman, kapan kita bisa bertemu?" tanyanya sedih, berharap Sultan mendengarnya dan merencenakan pertemuan mereka."Secepatnya ya, Paman? In sya Allah." Wajah Hanna pun berbinar saat sang paman juga menginginkan hal sama.Lima menit sudah berlalu, dan Hanna masih asyik berbicara pada orang di ujung telepon. Sultan mengamatinya dengan bosan. Sepuluh menit ternyata waktu yang cukup lama, sehingga dia pikir tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Tanpa berkata lelaki itu merampas teleponnya, dan mengakhirkan dengan salam.
Dengan penuh semangat Hanna membongkar isi lemari milik Arimbi. Senyuman terus terukir di bibirnya membayangkan kencan pertama mereka di luar. Beberapa saat lalu Marlina memberi kabar bahwa Sultan ingin Hanna segera bersiap-siap, dan mengenakan pakaian yang paling bagus. Sebenarnya seluruh pakaian Arimbi bagus semua, tapi tidak ada yang cocok di hati Hanna. Hingga akhirnya Hanna memegang sebuah gaun berenda yang menurutnya jauh lebih panjang daripada sebelumnya."Hmm, semoga saja Mas Sultan menyukainya," kata Hanna setelah berhasil mencobanya. Meski terlihat agak kuno dan kusam, tetapi cukup menutup tubuhnya sampai bawah."Arimbi, aku pulang!" teriak Sultan dari luar, sambil menenteng bingkisan."Ah, iya. Sebentar, Mas." Dengan cepat Hanna merapikan dan menyimpan kembali pakaian Arimbi ke lemari.Setelah itu dia berlari membuka pintu."Kenapa lama sekali?" tanyanya curiga.Di de
"Tidak bisa!" bentak Sultan untuk ke sekian kalinya.Hanna berjengit. Untung saja bunda sudah tidur setelah meminum obat.Dengan hati-hati Hanna menyelimuti bunda, lantas berlari ke luar menuju suara Sultan. Tidak biasanya lelaki itu memarahi Ratih, apalagi kehadirannya sangat berarti bagi Arimbi. Namun, sepertinya masalah satu ini amat berat."Tuan, saya mohon. Ibu saya sedang sakit parah, dan dia membutuhkan kehadiran saya. Sungguh! Jika bukan Ibu saya yang sakit, tentu saya lebih memilih tinggal merawat Nyonya." Ratih menangis sesegukan, bahkan kedua tangannya memeluk kaki sang Tuan."Harus berapa kali aku katakan? Tidak bisa! Kamu akan tetap di sini.""Tuan, saya mohon ...""Mas, tidak semestinya kamu berbuat dzolim pada Ratih." Hanna mencoba menyadarkan Sultan.Melihat keberanian Hanna darah Sultan semakin melonjak naik. Kedua mata merahnya menatap Hanna, me
Pagi-pagi sekali Hanna bangun, mengurus dirinya lebih dulu sebelum mengunjungi kamar bunda, dan kamar Arimbi. Sekarang tugasnya bertambah, jadi Hanna harus pandai membagi waktu. Seusainya membereskan kamar yang menjadi pekerjaan rutinnya, Hanna langsung beranjak menuju kamar bunda untuk memastikannya sudah bangun."Selamat pagi, Bunda," sapanya penuh kehangatan.Ningsih tersenyum lebar. Kedua matanya berputar seolah mencari sumber suara Hanna. Dengan kasih Hanna mendekati sang bunda, lalu membantunya bersandar pada dipan."Bagaimana keadaan Bunda hari ini?" tanya Hanna sembari mengusap rambut bunda yang sedikit berantakan."Bunda selalu bahagia semenjak ada kamu, Nak. Rasanya Bunda sangat beruntung memiliki menantu yang baiknya luar biasa seperti kamu.""Alhamdulillah, Arimbi senang mendengarnya." Hanna memeluk singkat wanita di depannya, dan tersenyum bahagia.Sambil mendengark
Seluruh perkataan Leo, Hanna simak dengan baik. Kepeduliannya tampak begitu nyata. Hanna tidak tahu mengapa Leo sangat peduli? Sikapnya yang bijaksana dan lembut dengan mudah meluluhkan hati keras Hanna.Menutup mata sejenak Hanna mulai gelisah dengan hidupnya. Akal dan perasaan Hanna tidak sejalan. Sejak awal membongkar makar Sultan, Leo terus meminta Hanna agar segera meninggalkan Kota. Namun, hatinya memilih tinggal. Bertahan di dalam ketidakadilan. Selain mencintai sang suami Hanna juga menyayangi bunda, beserta mengasihi Arimbi yang sakit.Mereka semua membutuhkan Hanna."Hanna, aku bisa melihat kamu wanita yang baik. Kamu juga berhak bahagia, di sini bukan tempatmu.""Tapi, aku hanya mempunyai suamiku." Hanna berkata getir."Suami hanya status, aku sungguh miris saat mengetahui wanita yang dijadikannya istri kedua adalah kamu.""Leo, aku tidak ada pilihan selain bertahan.
Setelah kepergian sang bunda untuk selamanya, Sultan semakin tidak bisa mengontrol emosinya dan bertambah parah. Apapun yang membuat Sultan marah, maka lelaki itu akan menjadi seseorang yang sangat tega. Bahkan, dia tidak sungkan menghabisi nyawa orang lain. Sudah berulang kali Sultan mendapat masalah karena membuat banyak rekannya mengalami sekarat.Sikapnya terhadap Hanna? Tentu saja semakin menjadi. Apa yang Hanna lakukan pasti selalu salah di matanya. Namun, pengecualian kepada Arimbi, dia tetap menjadi Sultan yang baik hati dan penyayang. Mereka jadi lebih sering bersama, sembari menunggu kabar baik dari Leo. Hanna sungguh mengerti dengan perasaan suaminya itu, jika hanya Arimbi satu-satunya kebahagiaan Sultan selama di dunia."Mas, apa kamu perlu bantuanku?" tanya Hanna, menatap Sultan dan Arimbi secara bergantian."Tidak." Sultan menjawab acuh.Bahkan, menoleh saja tidak. Hanna menghela napasnya, tapi t
Hanna bangun lebih cepat dari biasanya, dengan hati yang getir wanita itu bermunajat kepada Sang Khaliq, berdoa dan menyampaikan betapa sedih hatinya saat Sultan mengungkit masa lalu yang tidak akan pernah berubah. Lelaki itu menyesal, bahkan masih meratapi kepergian Arimbi.Ketika Hanna pikir suaminya itu telah berubah menjadi lebih baik, ternyata masih sama saja, Sultan tidak tahu bagaimana caranya menghargai sosok Hanna."Ya Allah, jika aku salah dan kau ingin menghukumku, maka aku mohon ringankanlah sedikit hukumanmu ini, rasanya aku tidak sanggup jika terus ditekan, bahkan selalu dibanding-bandingkan dengan Mbak Arimbi.""Akan tetapi, jika ini memang ujian yang kau berikan padaku, maka aku juga memohon tabahkanlah hatiku untuk menerima ketentuan-Mu dan kuatkanlah aku.""Aamiin ya Rabb."Bangkit dari duduknya, Hanna pun melakukan sujud sahwi, sebelum beranjak dari tempat sholat dilanjutkan dengan membuka mukenahnya. Hati yang sempat berkabung, kini menjadi sedikit lebih tenang. Un
Setelah melewati fase sulit yang cukup menjemukkan akhirnya Hanna bisa bernapas dengan lega, wanita itu menatap ke luar jendela yang masih terkunci rapi, dia merasa sangat bahagia. Air mata Hanna menetes, jika dirinya tidak setangguh ini, kemungkinan terbesar dia sudah meninggalkan Sultan dan mencari kebahagiaan sendiri.Tetapi, di sinilah Hanna sekarang, di kamar yang sama dengan perasaan berbeda."Nyonya Hanna," panggil Marlina dari arah luar, wanita itu semakin menghormati sosoknya, bahkan kasih sayangnya juga sangatlah luar biasa terhadap Hanna. "Ada telepon untukmu, Nyonya."Paman Hasan?"Iya, sebentar, Bu!" Hanna menyahut dari dalam, dengan cepat dia menyeka air mata yang berlinangan di pipinya.Merapikan sedikit rambutnya dengan wajah berbinar Hanna membuka pintu kamar, lalu tersenyum kepada Marlina yang tengah tersenyum lebar juga. Hubungan mereka seperti bukan pembantu dan majikan, tetapi bagaikan ibu dan anak yang saling memberikan cinta."Siapa yang menelepon, Bu?" tanya Ha
Selepas kepergian Arimbi, waktu tidur Sultan jadi tidak menentu. Terkadang Sultan bisa tidur lebih cepat, atau tidak dapat tidur semalaman. Kehilangan Arimbi seakan-akan membawa pergi sebagian hidupnya, yang belum bisa Sultan terima. Setiap kali memejamkan mata senyum manis Arimbi muncul beserta gelak tawanya yang renyah, hal itu membuat Sultan kesulitan untuk mengendalikan hidupnya seorang diri.Kehadiran Hanna yang berwajah Arimbi ternyata sama sekali tidak membantunya melupakan sang pujaan hati. Sultan terus mengingat dan membayangkan Arimbi, bahkan dia merasa bersalah pada Hanna.“Maafkan aku,” rintih Sultan di dalam remang lampu tidur, menatap Hanna yang terlelap.“Aku sudah berdosa padamu, mungkin tidak termaafkan.” Membelai sisi wajah Hanna, wanita itu mengerang rendah saat merasa terganggu.Sultan menarik tangannya kembali, menatap dalam pada wajah Hanna yang polos. Itu wajah cintanya Arimbi. “Kalian sudah memiliki wajah yang sama, cantik dan menawan hati. Tapi ... Entah kenap
Mengoleskan lipstik merah menyala, Ratih tersenyum lebar menunjukkan kebahagiaannya. Kematian Arimbi menghilangkan seluruh beban yang selama ini Ratih pikul. Dunia seakan kembali terang benderang, hidupnya yang suram telah sirna dan berganti menjadi orang paling berbahagia. Sayangnya Leo sedang kecewa berat padanya, kalau tidak Ratih ingin sekali mengajak lelaki itu merayakan kemenangannya semalaman penuh.“Oh, Leo, seandainya kamu tahu yang sebenarnya ...” Ratih terkekeh geli saat mengingat wajah marah Leo beberapa waktu lalu. “Tidak mungkin aku menyerahkan kebanggaanku dengan lelaki bodoh seperti Sultan.”Semua sudah Ratih atur sedemikian rupa, sehingga Sultan percaya atas apa yang dia lakukan. Padahal, malam itu tidak terjadi apapun, mereka hanya tidur seranjang dengan pakaian atas terbuka. Ratih mengambil beberapa pose yang panas, selebihnya dia menyerahkan dengan seseorang untuk melepas seluruh pakaiannya Sultan.“Kerja keras yang sangat baik.” Lagi, Ratih terbahak-bahak, sangat
Tanpa mendengarkan perkataan Sultan dan Marlina, Arimbi mengemasi seluruh barang-barang miliknya. Ternyata patah hati tidak sebercanda itu, dengan cepat perasaan cintanya berubah menjadi benci. Arimbi sangat muak terhadap sikap Sultan, yang seolah-olah tidak bersalah. Padahal semua sudah terlihat jelas di mata Arimbi, jika suaminya itu begitu dekat dengan Ratih dan berhubungan serius.Sebagai suami yang sangat mencintai istrinya, Sultan melarangnya, bahkan lelaki itu sampai memeluk kedua kaki Arimbi agar menghentikan semua. Di bawah kaki Arimbi dengan tangguh Sultan menahan. Tidak hanya air mata yang jatuh, tetapi juga harga dirinya. Sultan melakukan itu semua semata untuk mengambil hati Arimbi, meski istrinya tidak mudah tersentuh."Arimbi, aku mohon padamu, Sayang. Toloong! Dengarkan penjelasanku dulu, semua tidak seperti yang kamu pikirkan," kata Sultan sambil menangis."Lepaskan, Mas. Aku sudah tidak percaya lagi denga
Sudah tiga hari Arimbi mengurung diri di kamar, enggan bertemu dengan Sultan sekalipun tinggal serumah. Perasaannya sungguh sakit mengetahui pengkhianatan suami yang begitu dicintainya selama ini. Ketika Arimbi tengah berjuang keras melawan rasa sakit Sultan malah berkelana mencari wanita lain. Di tengah isakannya Arimbi menutup kedua telinga saat mendengar permohonan Sultan di luar kamar. Cinta yang telah Arimbi tanam kini berbuah pahit dan pengkhianatan."Arimbi, aku mohon, buka pintunya, dan aku akan menjelaskan semua." Rintih Sultan di sela tangisan, suara lelaki itu terdengar begitu terluka.Setelah sekian lama Sultan menunggu Arimbi sembuh, kini yang dia terima sebuah penolakan. Istri tercintanya marah kepadanya, dan tidak memberi Sultan kesempatan berbicara. Arimbi sudah termakan omongan Ratih, dan Sultan tidak mengelak jika wanita itu sangat berbahaya. Keberadaannya bagaikan ancaman untuk kehidupan Sultan dan Arimbi, karena dia sel
"Oh, hai ..." Ratih menyunggingkan senyuman terbaik yang dia punya.Arimbi membuang muka, semampunya mengatur napas yang sudah tidak stabil. Wanita itu akan semakin berani kalau melihat Arimbi ketakutan. Sejak awal mengenalnya Arimbi memang sudah merasakan ada yang tidak beres dengan tunangan Angga. Malangnya dia malah bermain-main dengan api."Mau apa kamu ke sini?" tanya Arimbi ketus, tanpa menoleh sedikitpun."Hmm, aku mencari Sultan suamimu, kita ada urusan yang sangat penting." Ratih datang mendekat, kini dirinya berdiri tepat di sebelah Arimbi."Katakan apa maumu, Wulan? Aku sudah meminta maaf padamu, tetapi kenapa kamu selalu mengusik kehidupanku?" Tidak tahan Arimbi berteriak, matanya memerah panas.Menaruh buah tangan yang dibelinya di atas meja, Ratih pun berdecak sebal. "Panggil aku Ratih, karena Wulan sudah mati."Ratih mengangkat kepalanya tinggi, merasa bangg
Mengenakan gaun terbaik miliknya, Arimbi tersenyum lebar di dalam cermin. Wajah cantiknya semakin bersinar setelah dipoles oleh perias andal. Malam ini Sultan mengajaknya kencan, sekaligus dinner dengan kedua sahabatnya Angga dan Leo. Sejak mengenal Sultan kehidupan Arimbi memang berubah drastis. Wanita itu semakin berani menonjolkan kelebihan yang ada pada dirinya, sehingga banyak lelaki tertarik dan ingin mempersunting. Angga menjadi salah satunya, sayangnya dia kalah cepat oleh Sultan."Astaga! Aku hampir tidak mengenali pacarku sendiri." Sultan bergurau, memeluk pinggang Arimbi, lalu mengecup keningnya mesra."Aku hanya ingin membahagiakanmu, Mas. Agar kamu tidak malu di saat menggandeng tanganku di hadapan banyak orang," jawab Arimbi. Wanita itu memang pandai memainkan kata."Hmm, yaa, ya. Hanya saja aku tidak suka mereka menatapmu dengan tatapan lapar, terutama sahabatku Angga." Nada suara Sultan terdengar k
Leo yang mengambil tindakan sendiri mengundang perdebatan di sepanjang lorong rumah sakit. Menurut Sultan dirinya yang lebih pantas melakukan hal tersebut, bukan Leo. Dengan ego masing-masing keduanya tetap pada pendirian. Leo sudah merasa tindakan yang diambil benar, sedangkan Sultan tidak ingin mengalah. Pihak rumah sakit sampai kebingungan mendengar perseteruan mereka, hingga Hasan dengan pak Kades datang meninjau."Aku suaminya, jadi aku yang berhak atas istriku Hanna." Tekan Sultan untuk ke sekian kalinya, Leo pun mendengus."Biarkan aku yang mengurusnya, urus saja Arimbi istri pertamamu.""Hanna juga istriku, aku yang akan mengurus semuanya, dan batalkan pengajuanmu itu." Sultan memaksa."Astaga! Sultan. Hanna sedang kritis dan membutuhkan penanganan yang cepat. Anggap saja pihak rumah sakit yang mengajukan pemindahan itu, kita berdua tinggal mengikutinya saja."Sesorang suster memij