Share

BAB 3

Author: Milky
last update Last Updated: 2021-05-23 10:00:37

Pagi telah tiba, dan Meida bangun tidur pukul 6 lewat 30 menit seperti kemarin. Mendengar alarmnya berbunyi, Meida langsung mematikannya dan ia mencari telepon genggam miliknya. 

Mengingat kemarin ada informasi pemecatan 50 karyawan, Meida menjadi deg-degan saat akan membuka grupnya. Ketika Meida sudah membuka grupnya, ia langsung melihat daftar 50 orang yang dipecat. Ia mengarahkan layar telepon genggamnya dan membaca daftar 50 orang satu per satu.

Tiba-tiba, matanya tertuju pada nomor urut 10 dan 11. Nomor 10 tertulis nama Clara dan nomor 11 tertulis nama Fane. "Oh, tidak. Teman-temanku... dipecat?" Meida tidak percaya. Ia semakin deg-degan. Apakah ia juga akan dipecat seperti kedua temannya?

Setelah membaca satu per satu daftar tersebut, akhirnya Meida sedih. Dia tertulis di nomor 45. Air mata kesedihan mulai keluar dari pelupuk matanya. Ia menangis dalam sunyinya kamar miliknya. Lalu Meida mengambil bantal, dan berbaring di tempat tidurnya.

"Tidak mungkin...." Meida menyangkal kenyataan. "Lalu aku harus bagaimana? Aku sudah tidak punya pekerjaan dan uangku hanya tersisa 1 juta rupiah saja." Meida berbicara sendiri sambil menangis.

Kemarin Meida dan kedua temannya memang berniat untuk tidak bekerja di pabrik sepatu tersebut, dan sekarang menjadi kenyataan. Mereka sudah tidak bekerja di tempat itu lagi.

Meida sudah berhenti menangis. Lalu dia menghubungi kedua temannya lewat grup mereka yang berisi 3 orang, yaitu Meida, Clara, dan Fane.

"Teman-teman, bagaimana ini? Kita bertiga sudah tidak memiliki pekerjaan lagi." Meida mengawali percakapan di grupnya.

"Iya, Meida. Aku juga bingung." Clara menjawab pesan Meida.

"Uangku tinggal 500 ribu rupiah, entah bisa bertahan sampai dapat pekerjaan baru atau tidak." Fane curhat pada teman-temannya.

Meida menemukan ide di kepalanya. "Baiklah, nanti kita berkumpul di taman kota untuk mendiskusikan ini. Bagaimana? Apakah kalian setuju? Kalau setuju nanti berkumpul jam 10 pagi." Meida memberikan saran.

"Baik."

"Baik."

Percakapan di dalam grup sudah berakhir. Meida mematikan telepon genggamnya. Kemudian dia memejamkan matanya untuk menenangkan pikirannya sejenak.

***

Ketika membuka matanya, Meida telah berada di taman yang penuh bunga matahari yang sangat indah dan menyejukkan pemandangan. "Aku... di mana ini?" tanya Meida, sambil melihat di sekelilingnya.

Tiba-tiba, ada suara seorang pria dari belakang Meida. "Hai, Meida." Pria tersebut menyapa Meida yang sedang kebingungan.

Suara itu tidak asing bagi Meida. Ia membalikkan badannya untuk melihat sosok pria tersebut. "A-Anda...." Meida tergagap. "Morgan? apa yang Anda lakukan di sini?" Ternyata sosok pria tersebut adalah Morgan.

"Aku ingin membantumu," balas Morgan dengan senyum tipis menatap Meida yang dipenuhi kebingungan.

"Membantu? Membantu saya dalam hal apa?" tanya Meida penasaran. Meida juga berkata dengan menggunakan perkataan yang sopan karena Meida lebih muda dari Morgan.

"Ikuti aku." Morgan mengajak Meida. Dia berbalik dan berjalan menyusuri bunga matahari diikuti oleh Meida.

"Ada apa ini? Ini di mana? Aku belum pernah melihat taman bunga matahari ini," batin Meida. "Dan kenapa Morgan juga ada di sini?" 

Namun, Meida menyukai suasana ini. Seorang pria keren yang ia cintai diam-diam ada di sisinya membuat perasaannya sedikit senang. Meida merasa aman saat berada di belakang Morgan.

Lalu Meida menatap pria yang lebih tinggi darinya. "Kita akan pergi ke mana, Morgan?" tanya Meida.

"Pokoknya ikuti aku saja, Meida," jawab Morgan dengan sabar.

Tak banyak bicara, Meida langsung menurut lagi apa yang dikatakan Morgan.

Tiba-tiba jarak Meida dengan Morgan semakin jauh. "Morgan, kenapa Anda meninggalkan saya? Katanya saya harus mengikuti Anda." Meida memanggil Morgan dari kejauhan.

Morgan menjawab, "Iya, benar. Ikuti saja aku." Morgan mengatakannya dengan santai, dan fokus berjalan ke depan.

"Hei, tunggu. Kenapa Anda tiba-tiba bisa jauh? Hei! tunggu saya, Morgan!" Meida berteriak sekeras yang dia bisa, tetapi Morgan tidak berhenti menunggunya.

Meida terpaksa berlari mengejarnya di tengah-tengah bunga matahari. Lalu ia tersandung batu membuat ia jatuh, dan terbangun dari mimpinya.

***

Meida terbangun dengan napas ngos-ngosan, dan seluruh tubuhnya berkeringat. "Mimpi apa itu tadi? Duh, sudah seru bertemu dengan Morgan, tapi dia aneh. Haha, dasar," ujarnya. "Membantuku? Tapi dia malah jauh dariku." Meida menepuk jidatnya sembari tersenyum tipis. Dia bersyukur bisa bertemu Morgan walaupun hanya di dunia mimpi. 

"Ternyata aku ketiduran ya?" Meida melirik jam. "Oh, tidak!" teriak Meida terkejut saat melihat jam. "Sudah pukul 9 lewat 30 menit. Aku masih punya waktu 30 menit lagi." Dia langsung beranjak dari tempat tidur, dan bergegas menuju ke kamar mandi.

***

"Astaga... bisa-bisanya aku ketiduran," kata Meida menggerutu saat mengendarai motor.

Jarak rumahnya dengan taman kota sekitar 5 km tidak sejauh pabrik sepatu tempat ia bekerja dulu. Namun, dia melihat seseorang dari kejauhan. Yang dimaksud Meida adalah...

"Morgan? Kenapa selalu bertemu dengan dia sih? Tidak di dunia nyata atau di dunia mimpi selalu saja bertemu dengan dia." Meida menggerutu lagi, tetapi di sisi lain dia juga senang bisa bertemu dengan Morgan. Walaupun hanya berpapasan, Meida bersyukur bisa melihatnya di dunia nyata. Morgan juga tidak membawa seorang perempuan seperti kemarin.

"Semoga saja dia tidak melihatku," batin Meida sambil memalingkan pandangannya dari Morgan, dan fokus melihat ke depan.

Lalu Meida melihat jam tangannya. "Bagus, Meida. Sekarang kamu terlambat," kata Meida dan segera menyusul teman-temannya yang pasti sudah menunggunya.

***

"Duh, anak ini kemana sih? Lama banget," tanya Clara pada Fane.

"Mana aku tau? Coba tanya sama pohon di sana," canda Fane sambil menunjuk ke arah pohon di dekatnya.

Seketika Clara memukul pundak Fane dengan main-main. "Kamu juga. Astaga... bagaimana kamu bisa tenang dalam kondisi seperti ini?" Clara menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

"Ya... mau bagaimana lagi? Tapi aku yakin kalau kita bisa mendapatkan pekerjaan lagi," balas Fane membuat Clara menjadi agak lega, dan membuka wajahnya.

"Kau benar, Fane," lirih Clara.

***

"Ah, hampir sampai," ujar Meida melihat taman kota dari kejauhan.

***

"Hei, lihat! Itu Meida," seru Fane menunjuk Meida.

Clara langsung menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Fane. "Iya, benar. Astaga... terlambat 15 menit," kata Clara sambil cemberut.

Meida sudah sampai di taman kota dan mengarahkan motornya di parkiran yang telah disediakan. Lalu ia berjalan ke arah kedua temannya yang sedang menunggunya.

"Hai... eh? Ada apa dengan kalian?" Belum selesai Meida menyapa, ia dikejutkan ekspresi wajah kedua temannya.

"Hmm...." Clara menunjuk jam tangannya.

"Haha, iya. Maaf aku terlambat," kata Meida meminta maaf.

Fane bertanya, "Kenapa kamu terlambat, Meida? Apakah kamu ketiduran?"

"Iya, benar. Bagaimana kamu bisa tahu?" Meida balik bertanya sambil duduk.

"Cuma menebak saja, hehe," jawab Fane sambil menggaruk bagian belakang kepalanya.

"Lalu sekarang kita mau ngapain berkumpul di sini?" sahut Clara.

"Ah, sebelum itu aku mau bertanya kepada kalian. Apa keahlian kalian berdua? Kalau aku bisa memasak, tapi tidak terlalu profesional." Meida memulai diskusi.

"Kalau aku juga bisa memasak," balas Fane dengan riang.

"Kalau kamu Clara?" tanya Meida.

"Rebahan," canda Clara membuat Fane cekikikan di sampingnya.

"Ya ampun, Clara. Ayolah... yang serius jawabnya." Meida cemberut. "Kalau kamu bisa memasak apa, Fane?" tanya Meida.

"Masak air." Fane juga ikut bercanda, memancing emosi Meida.

"Astaga! Kalian berdua sama aja!" Meida mulai meluapkan emosinya.

Clara dan Fane hanya tertawa melihat Meida yang sedang marah.

Related chapters

  • Are You... My Destiny?   BAB 4

    Meida mulai menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. "Sabar... sabar, Meida." Meida memejamkan matanya. "Punya teman kok gak ada akhlak," canda Meida sambil membuka matanya. "Haha, iya maaf. Aku memang bisa memasak kok," ujar Fane. "tapi entah enak atau tidak itu tergantung yang merasakan. Yang kukira rasanya enak bukan berarti rasanya enak bagi orang lain." Fane selalu mengatakan sesuatu dengan sangat bijak. Perkataannya yang selalu bijak membuat Meida dan Clara menjadi betah berteman dengan Fane. "Ah, baguslah kalu begitu." Meida merasa lega. "Kalau kamu Clara? Kau bilang 'rebahan' lagi akan kupukul kau dengan spion motor," canda Meida agak marah, tapi juga tersenyum tipis. "Duh, galak amat, haha, Aku bisa memasak juga seperti kamu dan juga Fane," jawab Clara. Meida berpikir sejenak. Mereka bertiga memiliki kesamaan, yaitu memasak. Sepertinya mereka bertiga bisa melamar pekerjaan di sebuah restoran atau kafe. "Bagaimana kalau kita mel

    Last Updated : 2021-05-31
  • Are You... My Destiny?   BAB 5

    Sesampainya di kasir, Meida dan kedua temannya langsung disambut oleh kasir dengan ramah dan sopan. "Selamat siang! Ini daftar menu kami, kak." Kasir memberikan sebuah daftar menu berbentuk lembaran yang dilapisi plastik dan sebuah buku untuk mencatat menu yang akan dipesan. "Silahkan kakak mencari tempat duduk, lalu mengisi nomor tempat duduk pada kolom yang telah disediakan dan menulis menu yang akan kakak pesan," jelas kasir wanita yang cantik tersebut. "Baik kak," balas Meida dan kedua temannya secara bersamaan. Kemudian mereka bertiga mencari tempat duduk. "Kita cari tempat duduk di mana?" tanya Meida. "Kukira di pojokan dekat pintu masuk itu." Clara menunjuk tempat duduk di pojokan yang ia maksud. Fane tersenyum. "Aku baru saja mau bilang begitu. Menurutku di sana kita tidak akan menjadi pusat perhatian pengunjung lain," kata Fane menyetujui saran Clara. Meida juga menyetujuinya. "Baiklah, ayo ke sana." Pengunjung sudah tidak men

    Last Updated : 2021-06-01
  • Are You... My Destiny?   BAB 6

    "Pria itu... bernama Morgan, Clara," jawab Meida sambil mengunyah siomaynya. "M-Morgan?" Clara tergagap. Nama itu tidak asing lagi baginya. "Iya." Meida mengangguk "Kenapa kamu terkejut seperti itu?" "Sebentar, sebentar." Clara mengisyaratkan Meida untuk berhenti berbicara dulu. "Apakah pria tersebut berkulit sawo matang?" Meida mengangguk. "Benar." "Apakah dia juga berambut pendek?" Clara bertanya lagi. "Benar." "Apakah dia berbadan besar?" Clara masih melontarkan pertanyaan kepada Meida. "Hmm... benar. Kok kamu bisa tahu tentang ciri-cirinya Morgan?" Meida balik bertanya sambil mengambil siomay, dan memakannya lagi. "Astaga... dia kakak sepupuku, Meida," ungkap Clara. Mata Meida terbelalak. Dia segera mengunyah siomay dimulutnya dengan cepat, dan menelannya. Dia tidak percaya apa yang dikatakan Clara. "Hei, hei. Santai saja makannya, Meida," sahut Fane. Meida mengabaikan Fane. "Dia... d

    Last Updated : 2021-06-30
  • Are You... My Destiny?   BAB 7

    "Kak Morgan!" panggil Clara sambil berlari ke arah seorang pria yang bernama Morgan. Clara memeluknya dengan erat-erat. Meida terbelalak saat melihat Morgan. "Jadi... pemilik kafe ini... adalah Morgan?"batin Meida. Tiba-tiba perasaan aneh yang selama ini mengikuti Meida muncul lagi dengan memberikan efek yang bertambah besar. Tubuhnya gemetar. Fane menyadari Meida bertingkah aneh. "Hei, Meida? Kau tidak apa-apa, 'kan?" "Tidak apa-apa, Fane," balas Meida. "Orang itu... yang aku maksud tadi." Fane melihat Morgan. Orang yang dimaksud Meida sedang dipeluk oleh Clara. "Jadi kamu merasakan perasaan aneh itu saat sudah mengenal dia, 'kan?" tanya Fane. Meida menganggukkan kepalanya. Fane menatap Morgan bersama Meida yang masih gemetar. Tetapi, Fane melihat keanehan pada Morgan. Fane menyadari bahwa Morgan sedikit gemetar, sama seperti Meida, namun Meida tidak menyadarinya. "Morgan... gemetar seperti Meida?" Fane

    Last Updated : 2021-07-04
  • Are You... My Destiny?   BAB 8

    Meida menatap lembaran yang diberikan kepada Morgan. "Banyak juga menunya, tapi yang dipilih cuma 1 saja." Meida memandanginya sangat lama. "Hei, Meida. Ayo keluar." Clara memanggil Meida, dan mengajaknya keluar dari kafe milik Morgan. Meida menoleh ke arah Clara, mengangguk. "Ayo, Fane." Meida mengajak Fane. Meida dan kedua temannya keluar dari kafe, meninggalkan para pengunjung kafe yang terlihat masih ingin menikmati keindahan suasana di dalamnya. "Syukurlah, kita masih ada kesempatan untuk memiliki pekerjaan," ujar Fane. Clara menatap Fane. "Iya, kau benar. Tapi... apa pun yang terjadi, pokoknya kita harus lolos dari ujian ini. Kafenya bagus juga, aku yakin kita bisa betah di sana daripada di pabrik dulu. Kita juga bisa menambah keahlian memasak kita di sini seiring dengan berjalannya waktu." Fane mengangguk kepada Clara, lalu menatap Meida. Meida masih mengamati lembaran yang diberikan oleh Morgan.

    Last Updated : 2021-07-05
  • Are You... My Destiny?   BAB 9

    "Kenapa ini bisa terjadi? Kenapa harus Meida? Apakah ada sesuatu dengan Meida? Sampai kapan perasaan aneh ini akan berakhir?" Flashback "Gadis tadi lucu juga, tapi bahaya juga jika pulang malam-malam. Apakah aku antar dia pulang saja, ya?" ujar Morgan. Morgan mengerem motornya, dan putar balik menuju ke supermarket tadi. *** "Oh, ternyata dia sudah tidak ada di sini?" Morgan melihat-lihat di sekitar area parkiran supermarket untuk mencari Meida. "Eh? Kenapa aku peduli padanya? Seharusnya aku pulang, bukan berada di sini." Morgan berpikir keras. "Apakah aku... mencintainya?" Morgan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak, tidak. Aku kan sudah punya pacar. Mana mungkin aku menyukai Meida?" Morgan hanya berdiri di samping motornya. Tiba-tiba, seseorang menghampiri Morgan. "Loh, Nak? Kenapa berdiri saja? Ada yang bisa saya bantu?" Ternyata yang memanggil Morgan adalah

    Last Updated : 2021-07-07
  • Are You... My Destiny?   BAB 10

    Morgan dan Jennifer ngobrol di tengah perjalanan menuju kafe. "Hei, sayang. Kapan kita akan menikah? Aku tidak sabar menunggu waktunya," kata Jennifer. Mendengar Jennifer memanggil 'sayang' membuat Morgan terlihat jijik padanya. Entah kenapa Morgan tiba-tiba menjadi jijik dengan panggilan 'sayang' yang hampir setiap hari Jennifer ucapkan. Apa yang terjadi dengan Morgan? "Kenapa diam saja? Jawab aku dong, sayang!" Jennifer meninggikan suaranya. Morgan tersesat dalam pikirannya. Padahal dia sudah menjadi pacar Jennifer, tapi kenapa dia merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan? Sepertinya ada yang salah. Apakah karena Morgan terpaksa menuruti saran Daniel untuk berpacaran dengan Jennifer? Apakah putus dengan Jennifer, lalu menjalani hidup melajang adalah solusi terbaik? Jennifer menepuk pundak Morgan dengan sangat keras, sampai menyadarkan Morgan. "Hei!" "A-ah!" Morgan sadar dari pikirannya. "Ada apa?" Jennifer geram dengan Morga

    Last Updated : 2021-07-09
  • Are You... My Destiny?   BAB 11

    "Oh, dia Clara." Morgan menjawab dengan tenang. "Siapa dia? Pacar simpananmu, 'kan?" Jennifer masih menuduh Morgan. "Tidak, Jennifer. Dia adalah adik sepupu aku. Coba lihat saja pesannya, kami juga jarang menghubungi satu sama lain." Morgan bersabar menghadapi Jennifer yang dari terus curiga kepadanya. Jennifer mencoba melihat pesan antara Morgan dengan Clara. Satu per satu pesan yang ia baca. Tidak ada pesan romantis, dan hanya berisi tentang hal-hal biasa. "Bagaimana? Masih ingin mencari pacar simpananku? Silakan saja. Sudah kuberitahu bahwa aku tidak punya, tapi kamu malah tidak percaya denganku," kata Morgan. Morgan menyeringai karena merasa menang. Ia membuktikan bahwa tuduhan Jennifer kepadanya adalah salah. Jennifer dibuat sebal olehnya. Ia merasa sebal karena Morgan terbukti tidak punya pacar simpanan. "Sekarang... bolehkah aku melihat isi telepon genggam milikmu?" tanya Morgan, masih menyeringai. Jennifer pucat seketik

    Last Updated : 2021-08-30

Latest chapter

  • Are You... My Destiny?   BAB 18

    Meida bangun dari tidur siangnya. Ia segera pergi menuju dapur. "Tidur siang adalah salah satu nikmat yang diinginkan oleh para orang dewasa," kata Meida, meregangkan tubuhnya. Kebanyakan orang dewasa yang sudah memasuki dunia kerja, mereka menginginkan istirahat yang cukup. Capek di dunia kerja memang hal yang wajar. Terkadang rasanya ingin kembali ke masa anak-anak atau remaja, masa-masa tidak terlalu memikirkan hal berat. Meida mencampur bahan yang ia beli tadi. Pertama-tama ia ingin memasak waffle. Bahan sudah tercampur," ujar Meida. "Di mana aku menyiman alat pemanggang waffle, ya?" Meida melihat-lihat ke arah lemari pernyimpanan, lalu Meida menghampirinya. "Nah, ketemu." Meida mengambil pemanggang waffle. Penggunaan benda tersebut cukup mudah, yakni dengan cara mencolokkannya ke listrik. Meida menuangkan adonan ke pemanggang waffle. Pemanggang waffle tersebut memiliki bentuk atau wadah yang bisa mencetak 4 waffle sekaligus. "Oke, tinggal menungg

  • Are You... My Destiny?   BAB 17

    Meida merasakan perasaan aneh itu kembali. Ia langsung reflek melihat ke arah kanan dan ke arah kiri. Dan ternyata, Morgan sudah ada disampingnya. Meida tidak bisa berkata-kata saat melihat Morgan berada disampingnya. Perasaan aneh yang ia alami, menghilang entah kemana layaknya dibawa pergi oleh angin yang berada di sekitarnya. Meida ingin bicara, tapi entah kenapa dirinya hanya membeku seperti es batu. Morgan juga. Dia sama membekunya seperti Meida. Tetapi, Morgan langsung mencairkan suasana tersebut dengan memulai obrolan. "Eh? Meida? Kenapa kamu ada di sini?" tanya Morgan. Pertanyaan Morgan membuat Meida yang tadinya membeku, menjadi cair layaknya es batu yang terkena panasnya matahari siang hari. Meida menjadi sedikit lebih rileks. "Saya belanja bahan-bahan untuk membuat hidangan yang akan saya buat besok. Bukankah tadi saya sudah bilang ke Anda tentang hal ini? Apakah Anda lupa?" kata Meida, dan bertanya kembali. Morgan ingat bah

  • Are You... My Destiny?   BAB 16

    Morgan yang melihat Meida tersandung, segera berlari ke arahnya. Ia pun menangkap Meida yang hampir terjatuh. "K-kamu tidak apa-apa, Meida?" tanya Morgan, khawatir. Morgan menahan Meida dengan menempelkan lengan kanannya di bagian perut Meida. Meida terbelalak, kaget karena hampir terjatuh. Untung saja Morgan segera menangkapnya. Kalau tidak, bisa menambah masalah lagi nantinya. Meida segera berdiri tegak. "S-saya tidak apa-apa. T-terima kasih sudah menahan saya." Meida gugup. Morgan tersenyum tipis. "Sama-sama," balas Morgan. "Oh, ini kuncimu," lanjut Morgan, memberi Meida sebuah kunci. Meida mengambil kunci. "Syukurlah, saya menemukan kunci ini di sini. Terima kasih karena Anda menyimpannya. Saya tadi sempat panik saat kunci ini tidak berada di saku saya." "Benarkah? Sudah berapa lama kamu mencari kunci ini?" tanya Morgan. "Sepertinya... sekitar 45 menitan, saya mengendarai motor dengan lambat supaya kuncinya bisa saya

  • Are You... My Destiny?   BAB 15

    Meida melihat sekelilingnya, terutama tempat duduk yang tadi ia duduki. Tapi, dia tidak melihat kuncinya di sana. Lalu dia terus berjalan menuju ke kasir. Kasir tersebut terlihat melamun dan agak kesal. Berbeda dari awal saat Meida berkunjung ke sini bersama Clara dan Fane. Meida mencoba bertanya kepadanya. "Uhm... halo, Kak," panggil Meida. Si kasir tersentak, sadar dari lamunannya. "O-oh?! I-iya? Ada yang... eh? Bukankah Anda yang tadi berkunjung ke kafe ini, 'kan? Apakah Anda mencari sebuah kunci?" tanya kasir tersebut. Ekspresi wajah kasir tersebut berubah menjadi bahagia. Meida bingung. "Kok tahu jika saya sedang mencari kunci?" Meida balik bertanya. "Tadi bos saya menemukan sebuah kunci. Kata bos saya tadi beliau menemukannya di tempat duduk di bagian sana," jawab kasir tersebut sambil menunjuk ke arah yang ia maksud. "Itu kan tempat Anda tadi duduk dengan kedua teman Anda. Iya, 'kan?" "Oh, iya benar. Tadi saya duduk di sana. Sek

  • Are You... My Destiny?   BAB 14

    Morgan membuka pintu. Dia ingin bertanya dengan Tania tentang data yang Tania tulis. Dia melewati Robert dan Antonio di dapur. Robert dan Antonio menyadari ada yang aneh dengan raut wajah Morgan. "Hei, Antonio," panggil Robert. "Ya? Ada apa?" tanya Antonio. "Apakah kau melihat raut wajah Bos Morgan? Sepertinya ada masalah." tanya Robert. "Iya, aku melihatnya," jawab Antonio. "Apakah kita perlu bertanya apa masalahnya kepada Bos Morgan?" "Tidak perlu. Ini kan belum tentu ada masalah. Aku hanya menduganya saja. Kayaknya kita tidak perlu ikut campur urusan dia," kata Robert. "Ah, baiklah," balas Antonio singkat. Robert dan Antonio melanjutkan pekerjaan mereka kembali *** "Tania," panggil Morgan. Tania menoleh ke arah Morgan. "Iya, Bos? Ada apa?" tanya Tania. "Tadi aku mengecek data yang kamu letakkan di meja ruanganku. Data yang kamu berikan tidak sama dengan uang hasil penjualan menu kafe k

  • Are You... My Destiny?   BAB 13

    Morgan masih berdiri di samping jendela. Dia mengintip Meida dan kedua temannya lagi. Dan ternyata mereka sudah mengendarai motor menuju pintu keluar area kafe. Morgan menghela napas. "Apakah aku hanya terlalu banyak pikiran? Yah, mana mungkin aku menyukai Meida? Aku kan sudah punya Jennifer," batin Morgan. Lalu Morgan berjalan menuju teras kafe untuk mencari udara segar. Namun dia jadi teringat sesuatu. "Jennifer? Entah kenapa akhir-akhir ini dia seperti sudah berubah. Aku jadi curiga padanya, biasanya dia ikut aku pergi ke kafe. Tapi kali ini dia tidak ikut, dan juga dia tidak menghubungiku," batin Morgan. Sesampainya di teras kafe, Morgan memejamkan matanya erat-erat, dan menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. "Haaah, rumit sekali." Morgan membuka matanya. Morgan tidak menyangka usaha kafenya berjalan dengan lancar. Lalu dia menatap ke arah sebuah kertas. Kertas yang berisi tentang lowongan pekerjaan. "Ak

  • Are You... My Destiny?   BAB 12

    Robert adalah seorang pria berusia 24 tahun sama seperti Antonio. Robert dan Antonio adalah saudara kembar seiras. Bentuk wajah mereka berdua sangat mirip, namun perbedaan antara Robert dan Antonio terletak pada rambut mereka. Robert memiliki rambut gondrong yang lurus dengan panjang sebahu. Tugas Robert adalah menyiapkan hidangan untuk pelanggan. Lalu ada Tania. Gadis berusia 23 tahun dengan kulit berwarna putih cerah, dan bermata sipit. Rambut Tania lurus, dan panjangnya sampai di bawah telinga. Tania bertugas sebagai seorang kasir. Tania, Robert, dan juga Antonio adalah teman. Mereka saling mengenal satu sama lain dari restoran lama tempat mereka bekerja dulu. Mereka mengundurkan diri dari restoran mereka yang dulu karena mereka tidak betah kerja di sana. "Aku pergi dulu, ya?" Morgan pamit. Ia ingin pergi ke ruangan khusus miliknya atau bisa disebut kantornya. Letak kantornya berada di belakang dapur. "Baik, Bos!" jawab Robert dan Tania bersamaan.

  • Are You... My Destiny?   BAB 11

    "Oh, dia Clara." Morgan menjawab dengan tenang. "Siapa dia? Pacar simpananmu, 'kan?" Jennifer masih menuduh Morgan. "Tidak, Jennifer. Dia adalah adik sepupu aku. Coba lihat saja pesannya, kami juga jarang menghubungi satu sama lain." Morgan bersabar menghadapi Jennifer yang dari terus curiga kepadanya. Jennifer mencoba melihat pesan antara Morgan dengan Clara. Satu per satu pesan yang ia baca. Tidak ada pesan romantis, dan hanya berisi tentang hal-hal biasa. "Bagaimana? Masih ingin mencari pacar simpananku? Silakan saja. Sudah kuberitahu bahwa aku tidak punya, tapi kamu malah tidak percaya denganku," kata Morgan. Morgan menyeringai karena merasa menang. Ia membuktikan bahwa tuduhan Jennifer kepadanya adalah salah. Jennifer dibuat sebal olehnya. Ia merasa sebal karena Morgan terbukti tidak punya pacar simpanan. "Sekarang... bolehkah aku melihat isi telepon genggam milikmu?" tanya Morgan, masih menyeringai. Jennifer pucat seketik

  • Are You... My Destiny?   BAB 10

    Morgan dan Jennifer ngobrol di tengah perjalanan menuju kafe. "Hei, sayang. Kapan kita akan menikah? Aku tidak sabar menunggu waktunya," kata Jennifer. Mendengar Jennifer memanggil 'sayang' membuat Morgan terlihat jijik padanya. Entah kenapa Morgan tiba-tiba menjadi jijik dengan panggilan 'sayang' yang hampir setiap hari Jennifer ucapkan. Apa yang terjadi dengan Morgan? "Kenapa diam saja? Jawab aku dong, sayang!" Jennifer meninggikan suaranya. Morgan tersesat dalam pikirannya. Padahal dia sudah menjadi pacar Jennifer, tapi kenapa dia merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan? Sepertinya ada yang salah. Apakah karena Morgan terpaksa menuruti saran Daniel untuk berpacaran dengan Jennifer? Apakah putus dengan Jennifer, lalu menjalani hidup melajang adalah solusi terbaik? Jennifer menepuk pundak Morgan dengan sangat keras, sampai menyadarkan Morgan. "Hei!" "A-ah!" Morgan sadar dari pikirannya. "Ada apa?" Jennifer geram dengan Morga

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status