Meida melihat sekelilingnya, terutama tempat duduk yang tadi ia duduki. Tapi, dia tidak melihat kuncinya di sana. Lalu dia terus berjalan menuju ke kasir.
Kasir tersebut terlihat melamun dan agak kesal. Berbeda dari awal saat Meida berkunjung ke sini bersama Clara dan Fane. Meida mencoba bertanya kepadanya.
"Uhm... halo, Kak," panggil Meida.
Si kasir tersentak, sadar dari lamunannya. "O-oh?! I-iya? Ada yang... eh? Bukankah Anda yang tadi berkunjung ke kafe ini, 'kan? Apakah Anda mencari sebuah kunci?" tanya kasir tersebut. Ekspresi wajah kasir tersebut berubah menjadi bahagia.
Meida bingung. "Kok tahu jika saya sedang mencari kunci?" Meida balik bertanya.
"Tadi bos saya menemukan sebuah kunci. Kata bos saya tadi beliau menemukannya di tempat duduk di bagian sana," jawab kasir tersebut sambil menunjuk ke arah yang ia maksud. "Itu kan tempat Anda tadi duduk dengan kedua teman Anda. Iya, 'kan?"
"Oh, iya benar. Tadi saya duduk di sana. Sek
Morgan yang melihat Meida tersandung, segera berlari ke arahnya. Ia pun menangkap Meida yang hampir terjatuh. "K-kamu tidak apa-apa, Meida?" tanya Morgan, khawatir. Morgan menahan Meida dengan menempelkan lengan kanannya di bagian perut Meida. Meida terbelalak, kaget karena hampir terjatuh. Untung saja Morgan segera menangkapnya. Kalau tidak, bisa menambah masalah lagi nantinya. Meida segera berdiri tegak. "S-saya tidak apa-apa. T-terima kasih sudah menahan saya." Meida gugup. Morgan tersenyum tipis. "Sama-sama," balas Morgan. "Oh, ini kuncimu," lanjut Morgan, memberi Meida sebuah kunci. Meida mengambil kunci. "Syukurlah, saya menemukan kunci ini di sini. Terima kasih karena Anda menyimpannya. Saya tadi sempat panik saat kunci ini tidak berada di saku saya." "Benarkah? Sudah berapa lama kamu mencari kunci ini?" tanya Morgan. "Sepertinya... sekitar 45 menitan, saya mengendarai motor dengan lambat supaya kuncinya bisa saya
Meida merasakan perasaan aneh itu kembali. Ia langsung reflek melihat ke arah kanan dan ke arah kiri. Dan ternyata, Morgan sudah ada disampingnya. Meida tidak bisa berkata-kata saat melihat Morgan berada disampingnya. Perasaan aneh yang ia alami, menghilang entah kemana layaknya dibawa pergi oleh angin yang berada di sekitarnya. Meida ingin bicara, tapi entah kenapa dirinya hanya membeku seperti es batu. Morgan juga. Dia sama membekunya seperti Meida. Tetapi, Morgan langsung mencairkan suasana tersebut dengan memulai obrolan. "Eh? Meida? Kenapa kamu ada di sini?" tanya Morgan. Pertanyaan Morgan membuat Meida yang tadinya membeku, menjadi cair layaknya es batu yang terkena panasnya matahari siang hari. Meida menjadi sedikit lebih rileks. "Saya belanja bahan-bahan untuk membuat hidangan yang akan saya buat besok. Bukankah tadi saya sudah bilang ke Anda tentang hal ini? Apakah Anda lupa?" kata Meida, dan bertanya kembali. Morgan ingat bah
Meida bangun dari tidur siangnya. Ia segera pergi menuju dapur. "Tidur siang adalah salah satu nikmat yang diinginkan oleh para orang dewasa," kata Meida, meregangkan tubuhnya. Kebanyakan orang dewasa yang sudah memasuki dunia kerja, mereka menginginkan istirahat yang cukup. Capek di dunia kerja memang hal yang wajar. Terkadang rasanya ingin kembali ke masa anak-anak atau remaja, masa-masa tidak terlalu memikirkan hal berat. Meida mencampur bahan yang ia beli tadi. Pertama-tama ia ingin memasak waffle. Bahan sudah tercampur," ujar Meida. "Di mana aku menyiman alat pemanggang waffle, ya?" Meida melihat-lihat ke arah lemari pernyimpanan, lalu Meida menghampirinya. "Nah, ketemu." Meida mengambil pemanggang waffle. Penggunaan benda tersebut cukup mudah, yakni dengan cara mencolokkannya ke listrik. Meida menuangkan adonan ke pemanggang waffle. Pemanggang waffle tersebut memiliki bentuk atau wadah yang bisa mencetak 4 waffle sekaligus. "Oke, tinggal menungg
Setelah pulang kerja dari pabrik sepatu, Meida mampir ke supermarket untuk membeli bubur ayam instan yang akan ia gunakan untuk sarapan besok pagi. "Duh, sudah larut malam. Aku harus cepat-cepat mencari barang yang kubutuhkan," kata Meida pada dirinya sendiri. Dia pun segera memarkirkan motornya, dan berlari menuju pintu supermarket. Saat dia memasuki supermarket, dia melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 11 malam. "Astaga, aku harus cepat!" ujar Meida yang tadinya berlari sekarang menjadi jalan cepat, dan merapikan rambut panjang sebahu miliknya yang diikat. Meida berjalan ke arah rak yang memajang bubur ayam instan. Tetapi, dia menabrak seorang pria. Tabrakan tersebut membuat Meida terpental dan jatuh tersungkur sampai membuat kacamatanya jatuh ke lantai. "Ah, ma-maafkan saya, saya tadi terburu-buru dan tidak sengaja menabrak Anda. Tolong, maafkan saya!" Meida meminta maaf dengan sopan sambil menundukan kepalanya yang menandakan ia tulus untu
Keesokan harinya, alarm berbunyi tepat pukul 6 lewat 30 menit membangunkan gadis berusia 23 tahun tersebut. Lalu gadis itu mematikan alarmnya sambil menguap dan mengucek matanya. "Sudah pagi ya?" tanyanya. "kukira aku baru saja tidur deh," lanjut gadis yang bernama Meida. Kemudian dia beranjak dari tempat tidur dan mengambil handuk lalu menuju ke arah kamar mandi. Sesampainya di kamar mandi, Meida mulai menanggalkan pakaiannya. Kemudian dia menyalakan keran air. Dia mengambil gayung lalu mengisinya dengan air di bak dan mulai mengguyurkannya ke seluruh tubuhnya sampai semuanya terlihat basah. Meida memejamkan matanya. Tiba-tiba dia mengingat kejadian tadi malam saat bertemu dengan Morgan di supermarket. "Duh, kenapa jadi kepikiran dia sih?" Meida mengeluh, tetapi di sisi hatinya yang lain ia merasakan sebuah kegembiraan. Apakah Meida menyukai Morgan? "Tidak bisa dipungkiri lagi. Tapi aku benar-benar menyukai Morgan. Tapi juga aku tidak terlalu b
Pagi telah tiba, dan Meida bangun tidur pukul 6 lewat 30 menit seperti kemarin. Mendengar alarmnya berbunyi, Meida langsung mematikannya dan ia mencari telepon genggam miliknya. Mengingat kemarin ada informasi pemecatan 50 karyawan, Meida menjadi deg-degan saat akan membuka grupnya. Ketika Meida sudah membuka grupnya, ia langsung melihat daftar 50 orang yang dipecat. Ia mengarahkan layar telepon genggamnya dan membaca daftar 50 orang satu per satu. Tiba-tiba, matanya tertuju pada nomor urut 10 dan 11. Nomor 10 tertulis nama Clara dan nomor 11 tertulis nama Fane. "Oh, tidak. Teman-temanku... dipecat?" Meida tidak percaya. Ia semakin deg-degan. Apakah ia juga akan dipecat seperti kedua temannya? Setelah membaca satu per satu daftar tersebut, akhirnya Meida sedih. Dia tertulis di nomor 45. Air mata kesedihan mulai keluar dari pelupuk matanya. Ia menangis dalam sunyinya kamar miliknya. Lalu Meida mengambil bantal, dan berbaring di tempat tidurnya. "
Meida mulai menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. "Sabar... sabar, Meida." Meida memejamkan matanya. "Punya teman kok gak ada akhlak," canda Meida sambil membuka matanya. "Haha, iya maaf. Aku memang bisa memasak kok," ujar Fane. "tapi entah enak atau tidak itu tergantung yang merasakan. Yang kukira rasanya enak bukan berarti rasanya enak bagi orang lain." Fane selalu mengatakan sesuatu dengan sangat bijak. Perkataannya yang selalu bijak membuat Meida dan Clara menjadi betah berteman dengan Fane. "Ah, baguslah kalu begitu." Meida merasa lega. "Kalau kamu Clara? Kau bilang 'rebahan' lagi akan kupukul kau dengan spion motor," canda Meida agak marah, tapi juga tersenyum tipis. "Duh, galak amat, haha, Aku bisa memasak juga seperti kamu dan juga Fane," jawab Clara. Meida berpikir sejenak. Mereka bertiga memiliki kesamaan, yaitu memasak. Sepertinya mereka bertiga bisa melamar pekerjaan di sebuah restoran atau kafe. "Bagaimana kalau kita mel
Sesampainya di kasir, Meida dan kedua temannya langsung disambut oleh kasir dengan ramah dan sopan. "Selamat siang! Ini daftar menu kami, kak." Kasir memberikan sebuah daftar menu berbentuk lembaran yang dilapisi plastik dan sebuah buku untuk mencatat menu yang akan dipesan. "Silahkan kakak mencari tempat duduk, lalu mengisi nomor tempat duduk pada kolom yang telah disediakan dan menulis menu yang akan kakak pesan," jelas kasir wanita yang cantik tersebut. "Baik kak," balas Meida dan kedua temannya secara bersamaan. Kemudian mereka bertiga mencari tempat duduk. "Kita cari tempat duduk di mana?" tanya Meida. "Kukira di pojokan dekat pintu masuk itu." Clara menunjuk tempat duduk di pojokan yang ia maksud. Fane tersenyum. "Aku baru saja mau bilang begitu. Menurutku di sana kita tidak akan menjadi pusat perhatian pengunjung lain," kata Fane menyetujui saran Clara. Meida juga menyetujuinya. "Baiklah, ayo ke sana." Pengunjung sudah tidak men
Meida bangun dari tidur siangnya. Ia segera pergi menuju dapur. "Tidur siang adalah salah satu nikmat yang diinginkan oleh para orang dewasa," kata Meida, meregangkan tubuhnya. Kebanyakan orang dewasa yang sudah memasuki dunia kerja, mereka menginginkan istirahat yang cukup. Capek di dunia kerja memang hal yang wajar. Terkadang rasanya ingin kembali ke masa anak-anak atau remaja, masa-masa tidak terlalu memikirkan hal berat. Meida mencampur bahan yang ia beli tadi. Pertama-tama ia ingin memasak waffle. Bahan sudah tercampur," ujar Meida. "Di mana aku menyiman alat pemanggang waffle, ya?" Meida melihat-lihat ke arah lemari pernyimpanan, lalu Meida menghampirinya. "Nah, ketemu." Meida mengambil pemanggang waffle. Penggunaan benda tersebut cukup mudah, yakni dengan cara mencolokkannya ke listrik. Meida menuangkan adonan ke pemanggang waffle. Pemanggang waffle tersebut memiliki bentuk atau wadah yang bisa mencetak 4 waffle sekaligus. "Oke, tinggal menungg
Meida merasakan perasaan aneh itu kembali. Ia langsung reflek melihat ke arah kanan dan ke arah kiri. Dan ternyata, Morgan sudah ada disampingnya. Meida tidak bisa berkata-kata saat melihat Morgan berada disampingnya. Perasaan aneh yang ia alami, menghilang entah kemana layaknya dibawa pergi oleh angin yang berada di sekitarnya. Meida ingin bicara, tapi entah kenapa dirinya hanya membeku seperti es batu. Morgan juga. Dia sama membekunya seperti Meida. Tetapi, Morgan langsung mencairkan suasana tersebut dengan memulai obrolan. "Eh? Meida? Kenapa kamu ada di sini?" tanya Morgan. Pertanyaan Morgan membuat Meida yang tadinya membeku, menjadi cair layaknya es batu yang terkena panasnya matahari siang hari. Meida menjadi sedikit lebih rileks. "Saya belanja bahan-bahan untuk membuat hidangan yang akan saya buat besok. Bukankah tadi saya sudah bilang ke Anda tentang hal ini? Apakah Anda lupa?" kata Meida, dan bertanya kembali. Morgan ingat bah
Morgan yang melihat Meida tersandung, segera berlari ke arahnya. Ia pun menangkap Meida yang hampir terjatuh. "K-kamu tidak apa-apa, Meida?" tanya Morgan, khawatir. Morgan menahan Meida dengan menempelkan lengan kanannya di bagian perut Meida. Meida terbelalak, kaget karena hampir terjatuh. Untung saja Morgan segera menangkapnya. Kalau tidak, bisa menambah masalah lagi nantinya. Meida segera berdiri tegak. "S-saya tidak apa-apa. T-terima kasih sudah menahan saya." Meida gugup. Morgan tersenyum tipis. "Sama-sama," balas Morgan. "Oh, ini kuncimu," lanjut Morgan, memberi Meida sebuah kunci. Meida mengambil kunci. "Syukurlah, saya menemukan kunci ini di sini. Terima kasih karena Anda menyimpannya. Saya tadi sempat panik saat kunci ini tidak berada di saku saya." "Benarkah? Sudah berapa lama kamu mencari kunci ini?" tanya Morgan. "Sepertinya... sekitar 45 menitan, saya mengendarai motor dengan lambat supaya kuncinya bisa saya
Meida melihat sekelilingnya, terutama tempat duduk yang tadi ia duduki. Tapi, dia tidak melihat kuncinya di sana. Lalu dia terus berjalan menuju ke kasir. Kasir tersebut terlihat melamun dan agak kesal. Berbeda dari awal saat Meida berkunjung ke sini bersama Clara dan Fane. Meida mencoba bertanya kepadanya. "Uhm... halo, Kak," panggil Meida. Si kasir tersentak, sadar dari lamunannya. "O-oh?! I-iya? Ada yang... eh? Bukankah Anda yang tadi berkunjung ke kafe ini, 'kan? Apakah Anda mencari sebuah kunci?" tanya kasir tersebut. Ekspresi wajah kasir tersebut berubah menjadi bahagia. Meida bingung. "Kok tahu jika saya sedang mencari kunci?" Meida balik bertanya. "Tadi bos saya menemukan sebuah kunci. Kata bos saya tadi beliau menemukannya di tempat duduk di bagian sana," jawab kasir tersebut sambil menunjuk ke arah yang ia maksud. "Itu kan tempat Anda tadi duduk dengan kedua teman Anda. Iya, 'kan?" "Oh, iya benar. Tadi saya duduk di sana. Sek
Morgan membuka pintu. Dia ingin bertanya dengan Tania tentang data yang Tania tulis. Dia melewati Robert dan Antonio di dapur. Robert dan Antonio menyadari ada yang aneh dengan raut wajah Morgan. "Hei, Antonio," panggil Robert. "Ya? Ada apa?" tanya Antonio. "Apakah kau melihat raut wajah Bos Morgan? Sepertinya ada masalah." tanya Robert. "Iya, aku melihatnya," jawab Antonio. "Apakah kita perlu bertanya apa masalahnya kepada Bos Morgan?" "Tidak perlu. Ini kan belum tentu ada masalah. Aku hanya menduganya saja. Kayaknya kita tidak perlu ikut campur urusan dia," kata Robert. "Ah, baiklah," balas Antonio singkat. Robert dan Antonio melanjutkan pekerjaan mereka kembali *** "Tania," panggil Morgan. Tania menoleh ke arah Morgan. "Iya, Bos? Ada apa?" tanya Tania. "Tadi aku mengecek data yang kamu letakkan di meja ruanganku. Data yang kamu berikan tidak sama dengan uang hasil penjualan menu kafe k
Morgan masih berdiri di samping jendela. Dia mengintip Meida dan kedua temannya lagi. Dan ternyata mereka sudah mengendarai motor menuju pintu keluar area kafe. Morgan menghela napas. "Apakah aku hanya terlalu banyak pikiran? Yah, mana mungkin aku menyukai Meida? Aku kan sudah punya Jennifer," batin Morgan. Lalu Morgan berjalan menuju teras kafe untuk mencari udara segar. Namun dia jadi teringat sesuatu. "Jennifer? Entah kenapa akhir-akhir ini dia seperti sudah berubah. Aku jadi curiga padanya, biasanya dia ikut aku pergi ke kafe. Tapi kali ini dia tidak ikut, dan juga dia tidak menghubungiku," batin Morgan. Sesampainya di teras kafe, Morgan memejamkan matanya erat-erat, dan menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. "Haaah, rumit sekali." Morgan membuka matanya. Morgan tidak menyangka usaha kafenya berjalan dengan lancar. Lalu dia menatap ke arah sebuah kertas. Kertas yang berisi tentang lowongan pekerjaan. "Ak
Robert adalah seorang pria berusia 24 tahun sama seperti Antonio. Robert dan Antonio adalah saudara kembar seiras. Bentuk wajah mereka berdua sangat mirip, namun perbedaan antara Robert dan Antonio terletak pada rambut mereka. Robert memiliki rambut gondrong yang lurus dengan panjang sebahu. Tugas Robert adalah menyiapkan hidangan untuk pelanggan. Lalu ada Tania. Gadis berusia 23 tahun dengan kulit berwarna putih cerah, dan bermata sipit. Rambut Tania lurus, dan panjangnya sampai di bawah telinga. Tania bertugas sebagai seorang kasir. Tania, Robert, dan juga Antonio adalah teman. Mereka saling mengenal satu sama lain dari restoran lama tempat mereka bekerja dulu. Mereka mengundurkan diri dari restoran mereka yang dulu karena mereka tidak betah kerja di sana. "Aku pergi dulu, ya?" Morgan pamit. Ia ingin pergi ke ruangan khusus miliknya atau bisa disebut kantornya. Letak kantornya berada di belakang dapur. "Baik, Bos!" jawab Robert dan Tania bersamaan.
"Oh, dia Clara." Morgan menjawab dengan tenang. "Siapa dia? Pacar simpananmu, 'kan?" Jennifer masih menuduh Morgan. "Tidak, Jennifer. Dia adalah adik sepupu aku. Coba lihat saja pesannya, kami juga jarang menghubungi satu sama lain." Morgan bersabar menghadapi Jennifer yang dari terus curiga kepadanya. Jennifer mencoba melihat pesan antara Morgan dengan Clara. Satu per satu pesan yang ia baca. Tidak ada pesan romantis, dan hanya berisi tentang hal-hal biasa. "Bagaimana? Masih ingin mencari pacar simpananku? Silakan saja. Sudah kuberitahu bahwa aku tidak punya, tapi kamu malah tidak percaya denganku," kata Morgan. Morgan menyeringai karena merasa menang. Ia membuktikan bahwa tuduhan Jennifer kepadanya adalah salah. Jennifer dibuat sebal olehnya. Ia merasa sebal karena Morgan terbukti tidak punya pacar simpanan. "Sekarang... bolehkah aku melihat isi telepon genggam milikmu?" tanya Morgan, masih menyeringai. Jennifer pucat seketik
Morgan dan Jennifer ngobrol di tengah perjalanan menuju kafe. "Hei, sayang. Kapan kita akan menikah? Aku tidak sabar menunggu waktunya," kata Jennifer. Mendengar Jennifer memanggil 'sayang' membuat Morgan terlihat jijik padanya. Entah kenapa Morgan tiba-tiba menjadi jijik dengan panggilan 'sayang' yang hampir setiap hari Jennifer ucapkan. Apa yang terjadi dengan Morgan? "Kenapa diam saja? Jawab aku dong, sayang!" Jennifer meninggikan suaranya. Morgan tersesat dalam pikirannya. Padahal dia sudah menjadi pacar Jennifer, tapi kenapa dia merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan? Sepertinya ada yang salah. Apakah karena Morgan terpaksa menuruti saran Daniel untuk berpacaran dengan Jennifer? Apakah putus dengan Jennifer, lalu menjalani hidup melajang adalah solusi terbaik? Jennifer menepuk pundak Morgan dengan sangat keras, sampai menyadarkan Morgan. "Hei!" "A-ah!" Morgan sadar dari pikirannya. "Ada apa?" Jennifer geram dengan Morga