Keesokan harinya, alarm berbunyi tepat pukul 6 lewat 30 menit membangunkan gadis berusia 23 tahun tersebut. Lalu gadis itu mematikan alarmnya sambil menguap dan mengucek matanya. "Sudah pagi ya?" tanyanya. "kukira aku baru saja tidur deh," lanjut gadis yang bernama Meida. Kemudian dia beranjak dari tempat tidur dan mengambil handuk lalu menuju ke arah kamar mandi.
Sesampainya di kamar mandi, Meida mulai menanggalkan pakaiannya. Kemudian dia menyalakan keran air. Dia mengambil gayung lalu mengisinya dengan air di bak dan mulai mengguyurkannya ke seluruh tubuhnya sampai semuanya terlihat basah.
Meida memejamkan matanya. Tiba-tiba dia mengingat kejadian tadi malam saat bertemu dengan Morgan di supermarket.
"Duh, kenapa jadi kepikiran dia sih?" Meida mengeluh, tetapi di sisi hatinya yang lain ia merasakan sebuah kegembiraan. Apakah Meida menyukai Morgan?
"Tidak bisa dipungkiri lagi. Tapi aku benar-benar menyukai Morgan. Tapi juga aku tidak terlalu berharap dengan apa yang tidak pasti. Aku sudah lelah patah hati berkali-kali dan aku tidak mau mengulanginya lagi seperti dulu." Meida mengakui bahwa dia menyukai Morgan, tetapi dia tidak mau mengungkapkannya dan lebih memilih untuk memendam perasaannya tersebut.
***
Meida sudah selesai mandi, dan mengeringkan tubuhnya dengan handuk yang ia bawa tadi. Lalu Meida keluar dari kamar mandi berjalan menuju ke lemari pakaian untuk mengenakan pakaian yang akan ia pakai untuk bekerja nanti.
"Duh, kok aku bekerja di pabrik malah tidak menambah kreatifitasku ya?" ucapnya. "Apakah aku harus mencari pekerjaan baru agar aku bisa menambah kreatifitasku?" tanya Meida pada dirinya sendiri sambil mengenakan pakaiannya.
Setelah selesai mengenakan pakaiannya, Meida mengikat rambutnya ke arah belakang sambil melihat ke arah cermin. "Haha, ternyata aku cantik juga." Meida memuji dirinya sendiri. Dia mengenakan baju kaos yang berwarna kuning dan celana panjang berwarna hitam.
"Aku harus cepat berangkat agar tidak terlambat." Meida langsung berjalan menuju dapur untuk memasak bubur ayam instan yang telah ia beli tadi malam.
***
Saat Meida sudah selesai sarapan, ia langsung mengambil tasnya lalu keluar rumah dan berangkat menuju tempat ia bekerja menggunakan motor miliknya.
***
Jarak rumah Meida dengan pabrik sepatu sekitar kurang lebih 7 km dapat ditempuh sekitar 15 sampai 20 menit.
Dalam perjalanannya, Meida memikirkan sesuatu. "Sudah usia 23 tahun tapi aku masih melajang. Sepertinya aku harus mencari jodohku," ujarnya. "tapi di mana? Hahaha." Meida tertawa pelan sambil fokus berkendara.
Sesudah Meida membicarakan tentang jodoh, tiba-tiba di tengah perjalanan dia melihat Morgan dari arah yang berlawanan.
"M-Morgan?"
Meida tidak percaya dengan apa yang dia lihat, tetapi memang benar yang dia lihat adalah Morgan. Padahal jalan raya lumayan ramai, bisa-bisanya Meida melihat Morgan dari arah yang berlawanan.
Namun, Meida menjadi fokus dengan seorang perempuan yang dibonceng oleh Morgan. Perempuan itu terlihat mengobrol dengan Morgan. "Siapa perempuan itu?" tanya Meida. "Apakah dia pacarnya Morgan?"
Melihat Morgan dengan perempuan lain membuat hati Meida terasa sakit karena cemburu. Kenapa dia cemburu? Padahal Morgan bukan siapa-siapanya Meida. Dan juga Meida dan Morgan baru bertemu tadi malam. Pantaskah jika Meida cemburu?
Meida yakin itu Morgan, dan dia yakin bahwa Morgan tidak melihatnya.
Pikiran Meida diisi dengan perasaan cemburu yang amat menyayat hati, tetapi dia berusaha membuat dirinya tenang sekeras yang dia bisa agar tidak cemburu. Kemudian Meida fokus berkendara agar selamat sampai tujuan.
***
Sesampainya di pabrik tempat Meida bekerja, ia segera bertemu kedua temannya di parkiran.
"Oh, Meida sudah sampai," kata seorang perempuan yang bernama Clara.
"Tumben agak terlambat. Apakah kamu ada masalah, Meida?" sahut laki-laki yang bernama Fane sambil menyisir rambutnya yang pendek dengan jarinya.
"Ah, tidak ada masalah kok." Meida berbohong. "Ayo, kita masuk kedalam tempat kita bekerja." Meida mengalihkan pembicaraan. Tidak mungkin dia akan memberitahu tentang masalah perasaan anehnya terhadap Morgan kepada kedua temannya.
Clara pun berkata, "Tenang, Meida. Masih ada waktu 15 menit lagi, kita di sini 10 menit saja. Aku agak malas bekerja di sini."
Mendengar kalimat terakhir Clara membuat Meida agak tersentak karena Meida memiliki niatan untuk keluar bekerja dari pabrik sepatu ini. "Apa kau bilang? Kamu agak malas bekerja di sini?" tanya Meida.
Clara menganggukan kepalanya. "Iya, malas banget pokoknya. Mau keluar juga mau kerja apaan? Jadi terpaksa bertahan di sini dulu," balas Clara sambil mengelus rambutnya yang keriting.
"Iya benar. Aku juga memiliki niatan mengundurkan diri dari pekerjaan ini karena aku agak merasa tertekan saat bekerja," sahut Fane dengan ekspresi sedih di wajahnya.
"Astaga," kata Meida terkejut. "kamu juga, Fane?" Meida bertanya dengan ekspresi seolah-olah ia tidak percaya yang dikatakan teman laki-lakinya.
Fane hanya menganggukkan kepalanya sebagai tanggapan dari pertanyaan Meida. "Kalau kamu? Apakah kamu tidak punya niatan seperti kami, Meida?" Fane balik bertanya.
Meida menghela nafas sejenak, dan berkata, "Kalau aku sebenarnya juga ada niatan seperti itu. Tapi... yang dikatakan Clara ada benarnya juga. Kalau keluar mau kerja apa? Masalahnya ada di sini."
"Sudah, kita terima saja kenyataannya kita bekerja di sini. Kita kerjakan dengan penuh kesabaran. Di luar sana banyak orang yang kesusahan mencari pekerjaan. Kita masih beruntung masih bisa mempunyai pekerjaan. Harusnya kita bersyukur." Fane berkata dengan bijak sambil memosisikan kacamatanya.
"Iya. Kamu benar, Fane. Ayo kita masuk ke dalam. Sudah, lupakan ajakan 10 menit untuk di sini yang kukatakan tadi." Clara mengiyakan perkataan Fane lalu mengajak kedua temannya masuk ke dalam pabrik.
"Baik!" jawab Meida dan Fane bersamaan.
Kemudian mereka bertiga berjalan bersama meninggalkan area parkiran menuju ruangan mereka bertiga bekerja.
Clara sudah lama tidak ingin bekerja di pabrik tersebut karena tidak cocok dengannya. Sedangkan Fane adalah seorang introvert, dan dia lebih sering berbicara kepada Meida dan Clara karena hanya dua orang itu yang bisa memahaminya daripada rekan-rekannya yang lain di dalam pabrik tersebut. Jika seandainya Meida dan Clara tidak bekerja di pabrik bersama dengan Fane, kemungkinan besar ia akan keluar dari pabrik sepatu tersebut dengan lebih cepat.
1 tahun bekerja sebagai buruh pabrik sangat membosankan bagi Meida, Clara, dan juga Fane. Sekarang mereka hanya berharap yang terbaik bagi mereka.
***
Hari ini Meida dan kedua temannya mendapatkan jadwal pulang sekitar pukul 3 sore. Namun, ketika waktu mereka bekerja, ternyata ada masalah yang sangat menegangkan bagi mereka. Lalu mereka berbincang saat menuju tempat parkir.
"Duh, gimana nih? 50 orang akan dipecat oleh atasan. Jumlah orang bekerja di pabrik ini sekitar 700 orang. Bagaimana jika kita bertiga masuk daftar orang yang akan dipecat?" Clara panik karena kebijakan baru dari pabrik tersebut.
Meida berusaha menenangkan Clara yang panik. "Clara, tenang saja. Kita harus yakin bahwa kita tidak akan dipecat."
"Betul apa yang dikatakan Meida, Clara. Yah, sebenarnya aku juga takut sih, haha," sahut Fane.
"Dih, sempat-sempatnya kamu tertawa." Clara menepuk jidatnya sendiri.
Mereka sampai di tempat parkir. Kemudian mereka pulang ke rumah masing-masing dengan kecemasan tentang pemecatan yang akan dilakukan besok melalui grup sosial media pabrik sepatu tempat mereka bekerja. Jika seandainya mereka bertiga dipecat, apakah mereka akan mendapatkan pekerjaan baru? Atau mereka akan menjadi pengangguran? Itu membingungkan bagi mereka dan menjadi beban pikiran mereka di malam hari.
Pagi telah tiba, dan Meida bangun tidur pukul 6 lewat 30 menit seperti kemarin. Mendengar alarmnya berbunyi, Meida langsung mematikannya dan ia mencari telepon genggam miliknya. Mengingat kemarin ada informasi pemecatan 50 karyawan, Meida menjadi deg-degan saat akan membuka grupnya. Ketika Meida sudah membuka grupnya, ia langsung melihat daftar 50 orang yang dipecat. Ia mengarahkan layar telepon genggamnya dan membaca daftar 50 orang satu per satu. Tiba-tiba, matanya tertuju pada nomor urut 10 dan 11. Nomor 10 tertulis nama Clara dan nomor 11 tertulis nama Fane. "Oh, tidak. Teman-temanku... dipecat?" Meida tidak percaya. Ia semakin deg-degan. Apakah ia juga akan dipecat seperti kedua temannya? Setelah membaca satu per satu daftar tersebut, akhirnya Meida sedih. Dia tertulis di nomor 45. Air mata kesedihan mulai keluar dari pelupuk matanya. Ia menangis dalam sunyinya kamar miliknya. Lalu Meida mengambil bantal, dan berbaring di tempat tidurnya. "
Meida mulai menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. "Sabar... sabar, Meida." Meida memejamkan matanya. "Punya teman kok gak ada akhlak," canda Meida sambil membuka matanya. "Haha, iya maaf. Aku memang bisa memasak kok," ujar Fane. "tapi entah enak atau tidak itu tergantung yang merasakan. Yang kukira rasanya enak bukan berarti rasanya enak bagi orang lain." Fane selalu mengatakan sesuatu dengan sangat bijak. Perkataannya yang selalu bijak membuat Meida dan Clara menjadi betah berteman dengan Fane. "Ah, baguslah kalu begitu." Meida merasa lega. "Kalau kamu Clara? Kau bilang 'rebahan' lagi akan kupukul kau dengan spion motor," canda Meida agak marah, tapi juga tersenyum tipis. "Duh, galak amat, haha, Aku bisa memasak juga seperti kamu dan juga Fane," jawab Clara. Meida berpikir sejenak. Mereka bertiga memiliki kesamaan, yaitu memasak. Sepertinya mereka bertiga bisa melamar pekerjaan di sebuah restoran atau kafe. "Bagaimana kalau kita mel
Sesampainya di kasir, Meida dan kedua temannya langsung disambut oleh kasir dengan ramah dan sopan. "Selamat siang! Ini daftar menu kami, kak." Kasir memberikan sebuah daftar menu berbentuk lembaran yang dilapisi plastik dan sebuah buku untuk mencatat menu yang akan dipesan. "Silahkan kakak mencari tempat duduk, lalu mengisi nomor tempat duduk pada kolom yang telah disediakan dan menulis menu yang akan kakak pesan," jelas kasir wanita yang cantik tersebut. "Baik kak," balas Meida dan kedua temannya secara bersamaan. Kemudian mereka bertiga mencari tempat duduk. "Kita cari tempat duduk di mana?" tanya Meida. "Kukira di pojokan dekat pintu masuk itu." Clara menunjuk tempat duduk di pojokan yang ia maksud. Fane tersenyum. "Aku baru saja mau bilang begitu. Menurutku di sana kita tidak akan menjadi pusat perhatian pengunjung lain," kata Fane menyetujui saran Clara. Meida juga menyetujuinya. "Baiklah, ayo ke sana." Pengunjung sudah tidak men
"Pria itu... bernama Morgan, Clara," jawab Meida sambil mengunyah siomaynya. "M-Morgan?" Clara tergagap. Nama itu tidak asing lagi baginya. "Iya." Meida mengangguk "Kenapa kamu terkejut seperti itu?" "Sebentar, sebentar." Clara mengisyaratkan Meida untuk berhenti berbicara dulu. "Apakah pria tersebut berkulit sawo matang?" Meida mengangguk. "Benar." "Apakah dia juga berambut pendek?" Clara bertanya lagi. "Benar." "Apakah dia berbadan besar?" Clara masih melontarkan pertanyaan kepada Meida. "Hmm... benar. Kok kamu bisa tahu tentang ciri-cirinya Morgan?" Meida balik bertanya sambil mengambil siomay, dan memakannya lagi. "Astaga... dia kakak sepupuku, Meida," ungkap Clara. Mata Meida terbelalak. Dia segera mengunyah siomay dimulutnya dengan cepat, dan menelannya. Dia tidak percaya apa yang dikatakan Clara. "Hei, hei. Santai saja makannya, Meida," sahut Fane. Meida mengabaikan Fane. "Dia... d
"Kak Morgan!" panggil Clara sambil berlari ke arah seorang pria yang bernama Morgan. Clara memeluknya dengan erat-erat. Meida terbelalak saat melihat Morgan. "Jadi... pemilik kafe ini... adalah Morgan?"batin Meida. Tiba-tiba perasaan aneh yang selama ini mengikuti Meida muncul lagi dengan memberikan efek yang bertambah besar. Tubuhnya gemetar. Fane menyadari Meida bertingkah aneh. "Hei, Meida? Kau tidak apa-apa, 'kan?" "Tidak apa-apa, Fane," balas Meida. "Orang itu... yang aku maksud tadi." Fane melihat Morgan. Orang yang dimaksud Meida sedang dipeluk oleh Clara. "Jadi kamu merasakan perasaan aneh itu saat sudah mengenal dia, 'kan?" tanya Fane. Meida menganggukkan kepalanya. Fane menatap Morgan bersama Meida yang masih gemetar. Tetapi, Fane melihat keanehan pada Morgan. Fane menyadari bahwa Morgan sedikit gemetar, sama seperti Meida, namun Meida tidak menyadarinya. "Morgan... gemetar seperti Meida?" Fane
Meida menatap lembaran yang diberikan kepada Morgan. "Banyak juga menunya, tapi yang dipilih cuma 1 saja." Meida memandanginya sangat lama. "Hei, Meida. Ayo keluar." Clara memanggil Meida, dan mengajaknya keluar dari kafe milik Morgan. Meida menoleh ke arah Clara, mengangguk. "Ayo, Fane." Meida mengajak Fane. Meida dan kedua temannya keluar dari kafe, meninggalkan para pengunjung kafe yang terlihat masih ingin menikmati keindahan suasana di dalamnya. "Syukurlah, kita masih ada kesempatan untuk memiliki pekerjaan," ujar Fane. Clara menatap Fane. "Iya, kau benar. Tapi... apa pun yang terjadi, pokoknya kita harus lolos dari ujian ini. Kafenya bagus juga, aku yakin kita bisa betah di sana daripada di pabrik dulu. Kita juga bisa menambah keahlian memasak kita di sini seiring dengan berjalannya waktu." Fane mengangguk kepada Clara, lalu menatap Meida. Meida masih mengamati lembaran yang diberikan oleh Morgan.
"Kenapa ini bisa terjadi? Kenapa harus Meida? Apakah ada sesuatu dengan Meida? Sampai kapan perasaan aneh ini akan berakhir?" Flashback "Gadis tadi lucu juga, tapi bahaya juga jika pulang malam-malam. Apakah aku antar dia pulang saja, ya?" ujar Morgan. Morgan mengerem motornya, dan putar balik menuju ke supermarket tadi. *** "Oh, ternyata dia sudah tidak ada di sini?" Morgan melihat-lihat di sekitar area parkiran supermarket untuk mencari Meida. "Eh? Kenapa aku peduli padanya? Seharusnya aku pulang, bukan berada di sini." Morgan berpikir keras. "Apakah aku... mencintainya?" Morgan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak, tidak. Aku kan sudah punya pacar. Mana mungkin aku menyukai Meida?" Morgan hanya berdiri di samping motornya. Tiba-tiba, seseorang menghampiri Morgan. "Loh, Nak? Kenapa berdiri saja? Ada yang bisa saya bantu?" Ternyata yang memanggil Morgan adalah
Morgan dan Jennifer ngobrol di tengah perjalanan menuju kafe. "Hei, sayang. Kapan kita akan menikah? Aku tidak sabar menunggu waktunya," kata Jennifer. Mendengar Jennifer memanggil 'sayang' membuat Morgan terlihat jijik padanya. Entah kenapa Morgan tiba-tiba menjadi jijik dengan panggilan 'sayang' yang hampir setiap hari Jennifer ucapkan. Apa yang terjadi dengan Morgan? "Kenapa diam saja? Jawab aku dong, sayang!" Jennifer meninggikan suaranya. Morgan tersesat dalam pikirannya. Padahal dia sudah menjadi pacar Jennifer, tapi kenapa dia merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan? Sepertinya ada yang salah. Apakah karena Morgan terpaksa menuruti saran Daniel untuk berpacaran dengan Jennifer? Apakah putus dengan Jennifer, lalu menjalani hidup melajang adalah solusi terbaik? Jennifer menepuk pundak Morgan dengan sangat keras, sampai menyadarkan Morgan. "Hei!" "A-ah!" Morgan sadar dari pikirannya. "Ada apa?" Jennifer geram dengan Morga
Meida bangun dari tidur siangnya. Ia segera pergi menuju dapur. "Tidur siang adalah salah satu nikmat yang diinginkan oleh para orang dewasa," kata Meida, meregangkan tubuhnya. Kebanyakan orang dewasa yang sudah memasuki dunia kerja, mereka menginginkan istirahat yang cukup. Capek di dunia kerja memang hal yang wajar. Terkadang rasanya ingin kembali ke masa anak-anak atau remaja, masa-masa tidak terlalu memikirkan hal berat. Meida mencampur bahan yang ia beli tadi. Pertama-tama ia ingin memasak waffle. Bahan sudah tercampur," ujar Meida. "Di mana aku menyiman alat pemanggang waffle, ya?" Meida melihat-lihat ke arah lemari pernyimpanan, lalu Meida menghampirinya. "Nah, ketemu." Meida mengambil pemanggang waffle. Penggunaan benda tersebut cukup mudah, yakni dengan cara mencolokkannya ke listrik. Meida menuangkan adonan ke pemanggang waffle. Pemanggang waffle tersebut memiliki bentuk atau wadah yang bisa mencetak 4 waffle sekaligus. "Oke, tinggal menungg
Meida merasakan perasaan aneh itu kembali. Ia langsung reflek melihat ke arah kanan dan ke arah kiri. Dan ternyata, Morgan sudah ada disampingnya. Meida tidak bisa berkata-kata saat melihat Morgan berada disampingnya. Perasaan aneh yang ia alami, menghilang entah kemana layaknya dibawa pergi oleh angin yang berada di sekitarnya. Meida ingin bicara, tapi entah kenapa dirinya hanya membeku seperti es batu. Morgan juga. Dia sama membekunya seperti Meida. Tetapi, Morgan langsung mencairkan suasana tersebut dengan memulai obrolan. "Eh? Meida? Kenapa kamu ada di sini?" tanya Morgan. Pertanyaan Morgan membuat Meida yang tadinya membeku, menjadi cair layaknya es batu yang terkena panasnya matahari siang hari. Meida menjadi sedikit lebih rileks. "Saya belanja bahan-bahan untuk membuat hidangan yang akan saya buat besok. Bukankah tadi saya sudah bilang ke Anda tentang hal ini? Apakah Anda lupa?" kata Meida, dan bertanya kembali. Morgan ingat bah
Morgan yang melihat Meida tersandung, segera berlari ke arahnya. Ia pun menangkap Meida yang hampir terjatuh. "K-kamu tidak apa-apa, Meida?" tanya Morgan, khawatir. Morgan menahan Meida dengan menempelkan lengan kanannya di bagian perut Meida. Meida terbelalak, kaget karena hampir terjatuh. Untung saja Morgan segera menangkapnya. Kalau tidak, bisa menambah masalah lagi nantinya. Meida segera berdiri tegak. "S-saya tidak apa-apa. T-terima kasih sudah menahan saya." Meida gugup. Morgan tersenyum tipis. "Sama-sama," balas Morgan. "Oh, ini kuncimu," lanjut Morgan, memberi Meida sebuah kunci. Meida mengambil kunci. "Syukurlah, saya menemukan kunci ini di sini. Terima kasih karena Anda menyimpannya. Saya tadi sempat panik saat kunci ini tidak berada di saku saya." "Benarkah? Sudah berapa lama kamu mencari kunci ini?" tanya Morgan. "Sepertinya... sekitar 45 menitan, saya mengendarai motor dengan lambat supaya kuncinya bisa saya
Meida melihat sekelilingnya, terutama tempat duduk yang tadi ia duduki. Tapi, dia tidak melihat kuncinya di sana. Lalu dia terus berjalan menuju ke kasir. Kasir tersebut terlihat melamun dan agak kesal. Berbeda dari awal saat Meida berkunjung ke sini bersama Clara dan Fane. Meida mencoba bertanya kepadanya. "Uhm... halo, Kak," panggil Meida. Si kasir tersentak, sadar dari lamunannya. "O-oh?! I-iya? Ada yang... eh? Bukankah Anda yang tadi berkunjung ke kafe ini, 'kan? Apakah Anda mencari sebuah kunci?" tanya kasir tersebut. Ekspresi wajah kasir tersebut berubah menjadi bahagia. Meida bingung. "Kok tahu jika saya sedang mencari kunci?" Meida balik bertanya. "Tadi bos saya menemukan sebuah kunci. Kata bos saya tadi beliau menemukannya di tempat duduk di bagian sana," jawab kasir tersebut sambil menunjuk ke arah yang ia maksud. "Itu kan tempat Anda tadi duduk dengan kedua teman Anda. Iya, 'kan?" "Oh, iya benar. Tadi saya duduk di sana. Sek
Morgan membuka pintu. Dia ingin bertanya dengan Tania tentang data yang Tania tulis. Dia melewati Robert dan Antonio di dapur. Robert dan Antonio menyadari ada yang aneh dengan raut wajah Morgan. "Hei, Antonio," panggil Robert. "Ya? Ada apa?" tanya Antonio. "Apakah kau melihat raut wajah Bos Morgan? Sepertinya ada masalah." tanya Robert. "Iya, aku melihatnya," jawab Antonio. "Apakah kita perlu bertanya apa masalahnya kepada Bos Morgan?" "Tidak perlu. Ini kan belum tentu ada masalah. Aku hanya menduganya saja. Kayaknya kita tidak perlu ikut campur urusan dia," kata Robert. "Ah, baiklah," balas Antonio singkat. Robert dan Antonio melanjutkan pekerjaan mereka kembali *** "Tania," panggil Morgan. Tania menoleh ke arah Morgan. "Iya, Bos? Ada apa?" tanya Tania. "Tadi aku mengecek data yang kamu letakkan di meja ruanganku. Data yang kamu berikan tidak sama dengan uang hasil penjualan menu kafe k
Morgan masih berdiri di samping jendela. Dia mengintip Meida dan kedua temannya lagi. Dan ternyata mereka sudah mengendarai motor menuju pintu keluar area kafe. Morgan menghela napas. "Apakah aku hanya terlalu banyak pikiran? Yah, mana mungkin aku menyukai Meida? Aku kan sudah punya Jennifer," batin Morgan. Lalu Morgan berjalan menuju teras kafe untuk mencari udara segar. Namun dia jadi teringat sesuatu. "Jennifer? Entah kenapa akhir-akhir ini dia seperti sudah berubah. Aku jadi curiga padanya, biasanya dia ikut aku pergi ke kafe. Tapi kali ini dia tidak ikut, dan juga dia tidak menghubungiku," batin Morgan. Sesampainya di teras kafe, Morgan memejamkan matanya erat-erat, dan menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. "Haaah, rumit sekali." Morgan membuka matanya. Morgan tidak menyangka usaha kafenya berjalan dengan lancar. Lalu dia menatap ke arah sebuah kertas. Kertas yang berisi tentang lowongan pekerjaan. "Ak
Robert adalah seorang pria berusia 24 tahun sama seperti Antonio. Robert dan Antonio adalah saudara kembar seiras. Bentuk wajah mereka berdua sangat mirip, namun perbedaan antara Robert dan Antonio terletak pada rambut mereka. Robert memiliki rambut gondrong yang lurus dengan panjang sebahu. Tugas Robert adalah menyiapkan hidangan untuk pelanggan. Lalu ada Tania. Gadis berusia 23 tahun dengan kulit berwarna putih cerah, dan bermata sipit. Rambut Tania lurus, dan panjangnya sampai di bawah telinga. Tania bertugas sebagai seorang kasir. Tania, Robert, dan juga Antonio adalah teman. Mereka saling mengenal satu sama lain dari restoran lama tempat mereka bekerja dulu. Mereka mengundurkan diri dari restoran mereka yang dulu karena mereka tidak betah kerja di sana. "Aku pergi dulu, ya?" Morgan pamit. Ia ingin pergi ke ruangan khusus miliknya atau bisa disebut kantornya. Letak kantornya berada di belakang dapur. "Baik, Bos!" jawab Robert dan Tania bersamaan.
"Oh, dia Clara." Morgan menjawab dengan tenang. "Siapa dia? Pacar simpananmu, 'kan?" Jennifer masih menuduh Morgan. "Tidak, Jennifer. Dia adalah adik sepupu aku. Coba lihat saja pesannya, kami juga jarang menghubungi satu sama lain." Morgan bersabar menghadapi Jennifer yang dari terus curiga kepadanya. Jennifer mencoba melihat pesan antara Morgan dengan Clara. Satu per satu pesan yang ia baca. Tidak ada pesan romantis, dan hanya berisi tentang hal-hal biasa. "Bagaimana? Masih ingin mencari pacar simpananku? Silakan saja. Sudah kuberitahu bahwa aku tidak punya, tapi kamu malah tidak percaya denganku," kata Morgan. Morgan menyeringai karena merasa menang. Ia membuktikan bahwa tuduhan Jennifer kepadanya adalah salah. Jennifer dibuat sebal olehnya. Ia merasa sebal karena Morgan terbukti tidak punya pacar simpanan. "Sekarang... bolehkah aku melihat isi telepon genggam milikmu?" tanya Morgan, masih menyeringai. Jennifer pucat seketik
Morgan dan Jennifer ngobrol di tengah perjalanan menuju kafe. "Hei, sayang. Kapan kita akan menikah? Aku tidak sabar menunggu waktunya," kata Jennifer. Mendengar Jennifer memanggil 'sayang' membuat Morgan terlihat jijik padanya. Entah kenapa Morgan tiba-tiba menjadi jijik dengan panggilan 'sayang' yang hampir setiap hari Jennifer ucapkan. Apa yang terjadi dengan Morgan? "Kenapa diam saja? Jawab aku dong, sayang!" Jennifer meninggikan suaranya. Morgan tersesat dalam pikirannya. Padahal dia sudah menjadi pacar Jennifer, tapi kenapa dia merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan? Sepertinya ada yang salah. Apakah karena Morgan terpaksa menuruti saran Daniel untuk berpacaran dengan Jennifer? Apakah putus dengan Jennifer, lalu menjalani hidup melajang adalah solusi terbaik? Jennifer menepuk pundak Morgan dengan sangat keras, sampai menyadarkan Morgan. "Hei!" "A-ah!" Morgan sadar dari pikirannya. "Ada apa?" Jennifer geram dengan Morga