Hari yang normal di antara hari-hari lainnya. Aku dan Elisabet menyibukkan diri di depan canvas masing-masing. Berdasarkan imajinasi aku berusaha melukis pemandangan matahari tenggelam di tepi pantai. Lumayan.
Lukisan karya Richard belum juga selesai. Aku ingin membantu menyelesaikan tapi ditolak mentah-mentah oleh Richard. Dia ingin melakukan sendiri. Baiklah. Ada bagusnya juga. Siapa tahu kemudian hari Richard juga bisa mendapatkan uang dari melukis, meskipun aku meragukannya. Suara pintu diketuk membuat kami heran. Siapa yang bertamu siang begini? Aku bangkit keluar. Mataku melebar melihat Bryan berdiri di pintu masuk. "Hai, Hazel," Bryan tersenyum manis. "Hai...." Aku meringis seperti orang kena stroke ringan. "Apa kabarnya? Richard sedang kerja?" "Iya. Kok tau?" "Ayah yang tau." Aku menduga Bryan datang karena periMenunggu adalah pekerjaan yang paling menyiksa. Apalagi mengetahui bahwa Bryan menunggu untuk membujuk Richard kembali ke ayahnya. Begitu pulang Richard pasti dapat menebak apa yang terjadi. Matanya tidak buta. Tiga mobil hitam yang parkir di depan rumah sangat mencolok perhatian. "Hazel!" Richard menghambur masuk. Pandangannya langsung tertuju pada Bryan. "Richard," panggilku. "Kamu nggak apa-apa?" Richard menghampiriku dengan cemas. "Nggak apa-apa. Cuma ngobrol kok." Richard berbalik menghadapi Bryan, "Mau apa lo datang ke sini? Suruh anak buah lo pergi!" "Lo pikir gue mau datang kayak begini? Kalau bukan karena ayah ngapain gue ganggu kalian?" Bryan meringis. "Dia nyuruh lo ngapain?" tanya Richard. "Apa lagi? Membujuk lo supaya mau ikut pulang." "Bilang sama dia, gue udah nggak ada hubungannya deng
Aku teringat kisah Sam Pek Eng Tay, kisah cinta antara dua anak manusia yang tidak dapat bersatu hingga akhir hayat. Dulu aku menganggap kisah cinta yang tidak direstui hanyalah karangan yang kelewat imajinatif. Namun, sekarang aku sendiri mengalaminya! Rasanya ingin memaki dengan segala kata makian dari berbagai bahasa yang kutahu. Kubatalkan, karena percuma saja aku memaki kalau tidak ada sasarannya. Aku ingin sekali memaki-maki di depan muka Abram. Kalau perlu melempar barang ke wajah lelaki tua mesum itu. Kesal. Aku kesal karena Richard memutuskan mengalah pada Abram demi keselamatanku. Aku mengerti maksud perbuatannya, tapi tetap saja sulit untuk menerima. "Hazel, kalau kamu uring-uringan terus besok aku batal pergi ya?" Richard menyentil dahiku. "Aduh, apaan sih? Reseh ah." Aku merengut. "Mau jalan sebentar?" "Ayo." Kami berdua berj
Ayam jantan Mak Endah berkokok dengan lantang, karena hanya dia satu-satunya ayam jantan di komplek kami, lainnya ayam betina. Bisa dibayangkan betapa tinggi ego ayam jantan itu dong? Meskipun seharusnya mulai berkemas tapi Richard ngotot tetap berpelukan. Sebenarnya aku mulai kegerahan. Sedikit-sedikit aku menggeliat seperti cacing kena abu. Richard tidak merasa terganggu sedikit pun. "Belum mau bangun?" tanyaku. "Belum...," gumam Richard. "Nggak lapar?" "Nggak...." "Mau jalan sebentar?" "Nggak...." Aku kehabisan ide. Bahu Richard terguncang karena tertawa tanpa suara, "Apa lagi hayo?" "Richard! Bangun deh! Kamu nyebelin!" seruku. "Tapi suka kan?" "Pindah posisi dong. Aku kesemutan nih," pintaku. Richard berguling, menarikku
"Apa rencana ayah?" tanya Richard. Dia sudah berada dalam mobil Bryan dan sedang melaju ke ibukota. "Seharusnya lo tau. Jadiin lo sebagai penerus bisnis," sahut Bryan cuek. Richard menghela nafas, "Kinerja lo buruk?" "Sembarangan! Gini-gini gue udah menghasilkan uang untuk Yilmaz Group!" "Gue percaya, Brother. Gimana pun juga kita saudara." "Terus, Hazel gimana?" tanya Bryan. "Gue akan cari cara." Richard geram. Matahari sudah tinggi di langit saat kedua bersaudara itu tiba di kediaman Abram. Mereka langsung menemui sang ayah. Richard juga tidak ingin banyak berbasa-basi, hendak menanyakan apa rencana Abram. Richard berjalan mondar-mandir di ruang tamu yang sangat luas. Bryan duduk santai di sofa. Wajahnya acuh tak acuh. "Richard. Kamu kembali." Abram muncul dengan seringai tidak sedap di wajah.
Bryan mengantarkan Richard ke penthouse. Saat ini tidak ada Hazel di sisi Richard yang dapat menenangkan. Bryan harus meletakkan harapannya pada ruang olahraga di penthouse. Tidak mungkin dia mengajukan diri sebagai samsak. Kedatangan dua lelaki kembar identik yang tampan menarik perhatian semua orang di lobby gedung, wanita maupun lelaki. Richard tidak mempedulikan sapaan orang, dia berjalan lurus ke lift eksklusif. Beda halnya dengan Bryan yang sesekali membalas sapaan wanita-wanita cantik. "Masih suka tebar pesona," ejek Richard saat lift bergerak naik. "Bukan salah gue banyak penggemar. Lo aja yang nggak menghargai makhluk ciptaan Tuhan," balas Bryan. Richard tidak menyahut. Baginya seorang Hazel lebih dari cukup. Pintu lift terbuka di lantai dua puluh satu. Richard melihat sekeliling. Keadaannya masih sama persis seperti saat ditinggalkan. "Kenapa ngga
Malam tiba. Aku duduk termenung di depan jendela. Sejak kepergian Richard tadi pagi rumah terasa sepi. Hingga sekarang dia juga belum memberi kabar bagaimana situasi dengan ayahnya. Aku sedikit cemas. Setiap kali handphone berbunyi aku melihat dengan penuh semangat hanya untuk kecewa karena bukan Richard yang menelepon atau mengirim pesan singkat. Yah, sudahlah. Mungkin dia sedang berada di tengah masalah. Toh masih ada hari esok. Handphoneku berdering. Aku sudah tidak antusias untuk melihat. Mataku membulat melihat nama Richard berkedip di layar. Dia menelepon! "Richard!" seruku. "Hai, Hazel." Wajah Richard tampak cerah. "Gimana keadaanmu? Semua baik?" tanyaku tanpa menyembunyikan kekhawatiran. "Baik. Semuanya baik, Hazel. Lihat, aku udah kembali ke penthouse." "Iya, aku lihat." Aku berbaring di tempat tidur. "Belum ti
Malam ini aku dan Richard mengobrol sampai pagi. Saling menggoda, saling merayu, hingga akhirnya aku tumbang terlebih dulu. Tertidur dengan handphone masih menyala. Begitu terbangun hari sudah siang. Richard sudah tidak tampak. Hatiku kembali merasa sepi. Aku menghibur diri dengan berpikir, semua ini kami jalani demi hari-hari yang lebih baik. Oke! Saatnya mandi dan bekerja! Aku menepuk-nepuk pipi supaya semangat. Saat mandi sengaja kuguyur tubuh dengan air dingin. Begitu air dingin menyentuh kulit aku langsung menyesal. Aku cuma mau menambah semangat, bukan mau mengurangi umur! "Hazel, udah tau cuaca lagi mendung, malah mandi air dingin. Kamu cari penyakit," omel Elisabet. "Biar semangat, Ma...." Gemetaran, gigiku beradu. Aku duduk di meja makan dengan selimut tebal membungkus sekujur tubuh. "Nih, minum." Elisabet meletakkan gelas belimbing di depanku. Uap
"Oh, begitu cepatnya kamu akrab dengan klien? Yakin itu bukan strategi dia untuk nego harga desain kamu?" Richard mengulum senyum. "Nggak lah. Kak Sukma terlihat tulus kok. Lagipula orangnya asyik diajak ngobrol, aku nggak rugi tambah teman seperti dia." Aku memeluk bantal dengan gaya imut. "Oke, kalau gitu aku percaya kamu. Ada penambahan klien?" "Belum. Soalnya marketingku udah satu minggu nggak mencarikan proyek," godaku. Richard tertawa, "Betul, kita udah satu minggu nggak ketemu. Mau kubantu mencari klien?" "Nggak usah, nanti ayahmu curiga loh." "Anak perusahaan Yilmaz Group kan banyak banget. Aku bisa mengarahkan satu atau dua perusahaan yang nggak diperhatikan ayah untuk jadi klienmu." "Hmm... Jangan deh. Biar aku belajar bagaimana mempromosikan diri sendiri juga." Aku menolak dengan halus. "Oke. Aku senang kamu
Kepala pelayan terlompat kaget karena suara keras Abram. Lelaki tua itu, maksudku, calon ayah mertuaku berjalan ke arah kami seperti singa jantan yang sudah pensiun. Bahunya merosot, sorot matanya tidak segarang dahulu, dan wajah tampannya ditumbuhi janggut pendek. Aku terkesima melihat perubahan Abram. Richard pun sama terkejutnya seperti aku. Rupanya kekuasaan berbanding lurus dengan penampilan. "Ayah, aku sudah melamar Hazel," kata Richard. Abram duduk dengan anggun di sofa. Dia menunjuk ke arah sofa di hadapannya, tanda bagi kami untuk duduk. "Kamu sudah melamar Hazel?" Abram mengulang kata-kata Richard. Matanya jatuh pada kilau di jari manisku. "Ya." "Lalu apa tujuanmu kemari? Mau memamerkan bahwa kamu sekarang bisa berbuat apa saja?" ketus Abram. Meskipun sudah kalah tapi dia belum kehilangan seluruh semangat juangnya. "Ini ta
Langit mulai temaram saat mobil Richard tiba di depan rumahku. Sepanjang perjalanan aku tidak hentinya memandangi cincin di jari manisku, juga memandangi Richard sampai mengganggu konsentrasinya menyetir. Syukurlah kami tiba dengan selamat. "Mau langsung kasih tau mama?" tanyaku memastikan. "Iya dong. Mana boleh merahasiakan dari mamamu." Richard meremas tanganku. Kami pun berjalan berdampingan ke dalam rumah. Elisabet sudah duduk menunggu di sofa. Melihat wajahnya yang cerah aku bisa menebak kalau Elisabet sudah tahu. "Cepat juga kalian pulang? Mama pikir bisa sampai malam urusannya?" Elisabet tersenyum misterius. "Semuanya berjalan lancar, Bu," ujar Richard. Elisabet mengangguk. Sepasang matanya menatap dalam menembus jiwa. Kedua tangannya menyatu di pangkuan. Aku menarik Richard duduk bersebelahan di sofa, berhadapan dengan Elisabet. E
Aku menapaki langkah penuh kenangan. Seolah sudah lama sejak terakhir kali aku menjejakkan kaki di penthouse ini. Semuanya masih tampak sama, begitu juga dengan pemiliknya. "Kamu tau, aku berharap memiliki kemampuan untuk membaca pikiran. Aku ingin tau apa yang sedang kamu pikirkan sekarang." Richard memelukku dari belakang. Aku mendesah nyaman, "Jangan. Membaca pikiran itu nggak menyenangkan. Terlalu berisik." "Aku harus ajak kamu meeting lagi. Kamu bisa memperingatkan kalau lawan bisnisku punya maksud tidak baik." "Nggak mau! Enak aja. Emangnya aku alat pendeteksi kebohongan?" Aku tertawa. "Nggak lah. Mana ada pendeteksi kebohongan secantik ini?" goda Richard. "Kamu... Makin gombal!" "Tapi suka kan?" Richard memutar tubuhku hingga kami berhadapan. Aku menatap matanya dalam-dalam. Sepasang sayap putih miliknya turut me
"Tidak terima!" Abram membentak keras. Suaranya mengalahkan suara orang-orang yang berkumpul dalam ruang meeting besar di gedung pusat Yilmaz Group. "Dengan segala hormat, Ketua Komisaris. Melihat perkembangan perusahaan saat ini ada baiknya Anda bertindak dengan kepala dingin. Jangan berdasarkan ego." Bryan menatap tajam lawan bicaranya yang duduk di tempat terhormat. "Kalian anak-anak kemarin sore! Jangan kira aku tidak tau kalau semua ini adalah rencana kalian! Berani meremehkanku? Akan kutendang kalian semua dari keluarga!" Abram meraung seperti binatang liar. "Justru karena kami masih memandang Ayah, maka kami mengambil jalan ini. Apa yang terpenting saat ini? Menyelamatkan perusahaan, menyelamatkan ribuan bahkan puluhan ribu karyawan yang bernaung di bawah Yilmaz Group? Atau mempertahankan ego Anda?" Richard bertutur dengan halus. Abram termenung. Alisnya bertaut. Berulang kali dia memiki
Yilmaz Group mengalami guncangan hebat. Harga saham merosot drastis hingga nyaris tidak berharga. Banyak pemegang saham menjual saham mereka sebelum merugi semakin banyak. Dewan direksi mengadakan pertemuan internal darurat tanpa menyertakan Ketua Komisaris. Berita di media elektronik masih menerpa seperti badai. Para awak media mengepung kediaman Abram dan gedung kantor pusat Yilmaz Group. Abram menyembunyikan diri rapat-rapat. Bahkan gorden jendela di kediamannya pun tidak pernah dibuka. Siapa pernah menyangka bahwa perusahaan sebesar Yilmaz Group akan jatuh karena ulah pimpinannya sendiri? "Bro, gue mau ketemu Hazel. Lo bisa tangani keadaan di sini sendiri?" kata Richard pada Bryan yang duduk di seberang meja. "Lo tau kan saudara lo ini bisa diandalkan?" Bryan menyeringai. "Ya, sekarang gue tau." Richard terkekeh. "Pergilah dengan tenang. Bersenang
Dua lelaki tampan duduk berhadapan bagaikan lukisan. Mereka sedang berada di tengah pembicaraan serius. "Bagaimana Brother? Udah dipikirkan baik-baik?" tanya Bryan. Richard tampak termenung di meja kerjanya. Wajahnya terlihat muram. "Gimana hubungan lo dengan Hazel? Udah lebih baik, kan?" "Baik. Tapi... Gue merasa kayak ada sesuatu yang tersembunyi." Richard berkata perlahan. Bryan menghela nafas, "Kalau nggak ada yang tersembunyi bukan wanita lah namanya. Itu yang menciptakan misteri yang menarik kita makhluk laki-laki." Richard menatap Bryan tajam, "Menurut lo begitu?" "Hei, pengalaman gue dengan wanita jauh lebih banyak dibanding lo. Tentu aja gue mengenal wanita lebih baik," kata Bryan sombong. "Menyesal gue nanya." Richard menahan tawa. Bryan menepuk meja dengan kesal, "Sekali-sekali dengar sauda
Ketika rasa kecewa pernah menempati hatimu, selamanya perasaan itu akan tinggal, mengintai dari sudut yang tergelap, menanti kapan saat yang tepat untuk merayap keluar. Seperti itulah kondisiku saat ini. Meskipun Richard telah menjelaskan semuanya dengan sangat baik—ditambah aku melihat isi hatinya—kekecewaan itu masih mengancam. Satu minggu lagi telah berlalu sejak kedatangan Richard dengan penjelasannya. Sesuai janji, setiap malam Richard meneleponku, menceritakan hal-hal yang dikerjakan sehari-hari, termasuk siapa saja yang ditemui. Aku tahu Richard tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Dia tidak mau kehilangan diriku. Aku juga menyibukkan diri dengan pekerjaan. Kak Sukma dan Irwan adalah dua klien tetap yang perlahan menjadi teman. Belum lagi ada Wahyu dengan celotehan super konyolnya yang membuatku selalu tertawa. Aku tidak kekurangan kegembiraan. Aku cuma kekurangan kehadiran Richard. "Apa
Selain kabar menggembirakan dari Kak Sukma, sepanjang hari ini tidak ada lagi hal menyenangkan yang dapat mengalihkan pikiranku dari foto-foto Richard bersama wanita cantik. Aku kesal, tapi tidak ingin mendengar penjelasan. Lagipula bukankah seminggu terakhir Richard tidak meneleponku karena sedang sibuk dengan wanita lain? Apakah ada kebetulan seperti itu? Terlalu kebetulan... Hingga sore hari aku duduk terpekur di teras. Aku tahu ini terdengar dan terlihat bodoh, juga tidak sesuai dengan karakterku sama sekali. Namun, jika hati sudah menguasai logika apa yang dapat kulakukan? Kupikir-pikir ini pertama kalinya aku kecewa lagi. Oh, salah. Yang pertama kali adalah saat kematian ayahku, jadi ini adalah yang ke dua. "Hazel, kamu nggak mau makan siang? Udah jam dua loh. Sebentar lagi Mama mau ke galeri ambil bingkai pesanan. Kamu mau ikut?" Elisabet berjongkok di sebelahku. "Nggak, Ma. Aku jaga rum
Sehabis hujan rerumputan di pekarangan rumah Elisabet berwarna hijau cerah. Udara pagi yang sehari-hari sejuk kini bertambah dingin. Aku menginjak rumput dengan kaki telanjang. Sensasi sisa embun dingin membuatku bergidik. Aku mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi dan menarik nafas dalam. Segar sekali. Aku melihat sekeliling. Pandanganku bertemu dengan ayam jantan Mak Endah. Ayam jantan itu bertengger angkuh di atas pagar, memandang rendah dunia. "Dasar ayam... Gue potong tau rasa lo...." Aku berbicara sendiri. Tanaman airmata pengantin sudah merambat tinggi, membentuk kerimbunan yang menyejukkan mata. Aku menyentuh daunnya yang berbentuk hati. Bunga-bunga mungil berbentuk lonceng berwarna merah muda mulai bermunculan di sana-sini. Cantik sekali. Teringat pada percakapan terakhir dengan Richard, aku menghela nafas. Waktu itu samar-samar aku menangkap keresahan hati Richard. Bayangan-bayangan pe