Malam tiba. Aku duduk termenung di depan jendela. Sejak kepergian Richard tadi pagi rumah terasa sepi. Hingga sekarang dia juga belum memberi kabar bagaimana situasi dengan ayahnya. Aku sedikit cemas.
Setiap kali handphone berbunyi aku melihat dengan penuh semangat hanya untuk kecewa karena bukan Richard yang menelepon atau mengirim pesan singkat. Yah, sudahlah. Mungkin dia sedang berada di tengah masalah. Toh masih ada hari esok. Handphoneku berdering. Aku sudah tidak antusias untuk melihat. Mataku membulat melihat nama Richard berkedip di layar. Dia menelepon! "Richard!" seruku. "Hai, Hazel." Wajah Richard tampak cerah. "Gimana keadaanmu? Semua baik?" tanyaku tanpa menyembunyikan kekhawatiran. "Baik. Semuanya baik, Hazel. Lihat, aku udah kembali ke penthouse." "Iya, aku lihat." Aku berbaring di tempat tidur. "Belum tiMalam ini aku dan Richard mengobrol sampai pagi. Saling menggoda, saling merayu, hingga akhirnya aku tumbang terlebih dulu. Tertidur dengan handphone masih menyala. Begitu terbangun hari sudah siang. Richard sudah tidak tampak. Hatiku kembali merasa sepi. Aku menghibur diri dengan berpikir, semua ini kami jalani demi hari-hari yang lebih baik. Oke! Saatnya mandi dan bekerja! Aku menepuk-nepuk pipi supaya semangat. Saat mandi sengaja kuguyur tubuh dengan air dingin. Begitu air dingin menyentuh kulit aku langsung menyesal. Aku cuma mau menambah semangat, bukan mau mengurangi umur! "Hazel, udah tau cuaca lagi mendung, malah mandi air dingin. Kamu cari penyakit," omel Elisabet. "Biar semangat, Ma...." Gemetaran, gigiku beradu. Aku duduk di meja makan dengan selimut tebal membungkus sekujur tubuh. "Nih, minum." Elisabet meletakkan gelas belimbing di depanku. Uap
"Oh, begitu cepatnya kamu akrab dengan klien? Yakin itu bukan strategi dia untuk nego harga desain kamu?" Richard mengulum senyum. "Nggak lah. Kak Sukma terlihat tulus kok. Lagipula orangnya asyik diajak ngobrol, aku nggak rugi tambah teman seperti dia." Aku memeluk bantal dengan gaya imut. "Oke, kalau gitu aku percaya kamu. Ada penambahan klien?" "Belum. Soalnya marketingku udah satu minggu nggak mencarikan proyek," godaku. Richard tertawa, "Betul, kita udah satu minggu nggak ketemu. Mau kubantu mencari klien?" "Nggak usah, nanti ayahmu curiga loh." "Anak perusahaan Yilmaz Group kan banyak banget. Aku bisa mengarahkan satu atau dua perusahaan yang nggak diperhatikan ayah untuk jadi klienmu." "Hmm... Jangan deh. Biar aku belajar bagaimana mempromosikan diri sendiri juga." Aku menolak dengan halus. "Oke. Aku senang kamu
Salah satu hal yang kusuka adalah membuat ilustrasi sendiri untuk desainku. Jadi aku nggak usah repot memikirkan masalah hak cipta yang dapat menghadang jika aku sembarang mengambil gambar atau ilustrasi secara online. Aku sibuk melukiskan ilustrasi yang ada dalam kepalaku di atas canvas. Jika sudah rampung lukisan ini akan ku-scan dan kupercantik secara digital. Setelah itu baru kuaplikasikan dalam desain. "Itu bagus. Boleh Mama bawa ke galeri?" Elisabet memperhatikan canvas. "Nggak boleh. Ini nanti desainnya punya Kak Sukma." "Ohh, kirain kamu melukis biasa, rupanya untuk klien. Bagus. Kamu buat lukisan yang serupa terus Mama bawa ke galeri, gimana?" Elisabet tidak menyerah. "Nanti deh kalau senggang." Aku meringis. "Janji ya?" "Nggak janji." Elisabet melengos sebal. Terdengar suara raungan knalpot
Pagi ini aku janjian dengan Kak Sukma meeting santai di cafe yang didesain apik. Tanaman hijau bertebaran di tiap sudut, membuat udara jadi segar dan menyejukkan mata. Kak Sukma terlihat sedikit gelisah. "... jadi ini kubuat untuk background leaflet perusahaan. Kalau rasanya kurang cocok bisa diaplikasikan ke media lain," tuturku sambil terus memperhatikan gerak-gerik Kak Sukma. "Itu bagus kok. Aku suka. Lagipula warnanya cerah, cocok untuk produk yang mau dipromosikan." Kak Sukma sesekali melirik ke arah pintu masuk. Sayap merah mudanya bergetar gelisah. "Oke. Kalau gitu ini semua nggak ada masalah ya, Kak? Aku langsung siapkan finalnya," kataku. "Hmm... Iya. Kalau sudah siap cetak info aku ya?" Kak Sukma tersenyum. Aku membereskan laptop dan kertas-kertas cetakan. Kak Sukma masih sesekali melirik ke arah pintu masuk. "Masih nunggu orang, Kak?" Aku tidak m
Pertemuan dengan Daniel tadi siang membuat hatiku terganjal. Aku tidak sabar menunggu malam tiba untuk bisa mengobrol dengan Richard. Aku sudah mengirim pesan singkat untuk janjian jam berapa kami video call. "Richard!" Aku berseru kegirangan melihat wajah familiar muncul di layar handphoneku. "Hai, apa kabarmu, Hazel?" Richard tersenyum menawan. Wajahnya terlihat lelah. "Kangen...." Aku merajuk. "Aku juga." "Banyak kerjaan hari ini?" tanyaku. "Yah, seperti biasa, banyak meeting nggak berguna. Untung sekarang aku bisa bagi tugas dengan Bryan." "Dia bisa diandalkan juga ya?" "Kami kan berasal dari satu sel telur." Richard tertawa. "Gimana kesibukanmu?" "Kenapa malah ngomongin sel telur?" gerutuku. "Karena itu adalah fakta, Sayang," goda Richard. "Pekerjaan lancar? Baik?"&
Tidak hujan tidak angin, Wahyu menelepon siang-siang. Aku yang sedang asyik mempersiapkan final artwork untuk desain Kak Sukma sampai tercengang-cengang mendengar kecepatan bicaranya yang melebihi bullet train. "Lo lagi ngapain? Kerja? Kerja apa? Emang sama Irwan udah ada deal?" cerocos Wahyu. "Ya iya lah ker–" "Aaaahhh kepala gue kayak mau pecah!" potong Wahyu dengan brutal. Aku menghela nafas. Ada baiknya membiarkan dia bicara daripada aku keki karena dipotong melulu. Sepertinya Wahyu hendak mencurahkan isi hati. "Tau nggak sih? Tadi pagi sekantor mati listrik! Kerjaan gue lupa di-save! Sia-sia kerjaan gue selama satu jam, Bro! Nangis darah deh! Mana gue diketawain lagi pas curhat." cerocos Wahyu. "Hmm..." Aku sudah biasa menghadapi Wahyu yang mendadak panik karena masalah pekerjaan jadi tidak ikut panik. "Apanya 'hmm'?? Yang keta
Hal yang wajib dilakukan seorang desainer freelance, mengecek file final artwork minimal tiga kali untuk mencegah terjadi kesalahan fatal saat naik cetak. Karena sebagai freelancer aku tidak punya rekan atau atasan yang dapat membantu memeriksa. Yakin tidak ada masalah aku menyimpan file dalam CD. Kubuat rangkap dua. Satu untuk klien, satu lagi untuk arsip pribadiku. CD berisi final artwork kumasukkan bersama proof cetak yang telah disetujui. "Pagi, Kak Sukma. Mau mengingatkan, jam sembilan aku ke kantor ya. Final artwork sudah siap," kataku dalam percakapan seluler dengan Kak Sukma. "Oke, sampai ketemu, Hazel," jawab Kak Sukma. Aku tertegun. Suara Kak Sukma terdengar tidak bersemangat? Padahal empat hari yang lalu saat bertemu untuk minta persetujuan proof cetak Kak Sukma masih bersemangat dan berbunga-bunga bercerita tentang Daniel? Insting laba-labaku, maksudku, fira
"Maksud Kak Sukma? Menghilang bagaimana?" Sumpah, aku benar-benar melongo. "Dia nggak menjawab telepon, nggak membalas pesan singkat, apalagi email. Padahal dia udah berjanji nggak akan hilang kontak." Raut wajah Kak Sukma bagaikan orang sedang disiksa. Sangat tidak nyaman dipandang. "Tapi... Terakhir bertemu kapan?" "Satu minggu yang lalu," keluh Kak Sukma. "Oh, yang pas kita meeting di cafe?" "Iya, betul." "Kak, dia udah berbuat apa?" tanyaku curiga. "Oh, Hazel. Aku benar-benar bodoh. Dirayu lelaki dan langsung menyerahkan semuanya!" Kak Sukma kini terisak. Wajahku memucat. Daniel brengsek itu! Tidak kusangka dapat mempermainkan wanita seperti ini! Seketika aku menyesal karena tidak memberitahu penglihatanku pada Kak Sukma. "Maaf, Kak... Tapi orang kayak gitu nggak pantas ditangisi. Pantasnya dilapo