Pagi ini aku janjian dengan Kak Sukma meeting santai di cafe yang didesain apik. Tanaman hijau bertebaran di tiap sudut, membuat udara jadi segar dan menyejukkan mata. Kak Sukma terlihat sedikit gelisah.
"... jadi ini kubuat untuk background leaflet perusahaan. Kalau rasanya kurang cocok bisa diaplikasikan ke media lain," tuturku sambil terus memperhatikan gerak-gerik Kak Sukma. "Itu bagus kok. Aku suka. Lagipula warnanya cerah, cocok untuk produk yang mau dipromosikan." Kak Sukma sesekali melirik ke arah pintu masuk. Sayap merah mudanya bergetar gelisah. "Oke. Kalau gitu ini semua nggak ada masalah ya, Kak? Aku langsung siapkan finalnya," kataku. "Hmm... Iya. Kalau sudah siap cetak info aku ya?" Kak Sukma tersenyum. Aku membereskan laptop dan kertas-kertas cetakan. Kak Sukma masih sesekali melirik ke arah pintu masuk. "Masih nunggu orang, Kak?" Aku tidak mPertemuan dengan Daniel tadi siang membuat hatiku terganjal. Aku tidak sabar menunggu malam tiba untuk bisa mengobrol dengan Richard. Aku sudah mengirim pesan singkat untuk janjian jam berapa kami video call. "Richard!" Aku berseru kegirangan melihat wajah familiar muncul di layar handphoneku. "Hai, apa kabarmu, Hazel?" Richard tersenyum menawan. Wajahnya terlihat lelah. "Kangen...." Aku merajuk. "Aku juga." "Banyak kerjaan hari ini?" tanyaku. "Yah, seperti biasa, banyak meeting nggak berguna. Untung sekarang aku bisa bagi tugas dengan Bryan." "Dia bisa diandalkan juga ya?" "Kami kan berasal dari satu sel telur." Richard tertawa. "Gimana kesibukanmu?" "Kenapa malah ngomongin sel telur?" gerutuku. "Karena itu adalah fakta, Sayang," goda Richard. "Pekerjaan lancar? Baik?"&
Tidak hujan tidak angin, Wahyu menelepon siang-siang. Aku yang sedang asyik mempersiapkan final artwork untuk desain Kak Sukma sampai tercengang-cengang mendengar kecepatan bicaranya yang melebihi bullet train. "Lo lagi ngapain? Kerja? Kerja apa? Emang sama Irwan udah ada deal?" cerocos Wahyu. "Ya iya lah ker–" "Aaaahhh kepala gue kayak mau pecah!" potong Wahyu dengan brutal. Aku menghela nafas. Ada baiknya membiarkan dia bicara daripada aku keki karena dipotong melulu. Sepertinya Wahyu hendak mencurahkan isi hati. "Tau nggak sih? Tadi pagi sekantor mati listrik! Kerjaan gue lupa di-save! Sia-sia kerjaan gue selama satu jam, Bro! Nangis darah deh! Mana gue diketawain lagi pas curhat." cerocos Wahyu. "Hmm..." Aku sudah biasa menghadapi Wahyu yang mendadak panik karena masalah pekerjaan jadi tidak ikut panik. "Apanya 'hmm'?? Yang keta
Hal yang wajib dilakukan seorang desainer freelance, mengecek file final artwork minimal tiga kali untuk mencegah terjadi kesalahan fatal saat naik cetak. Karena sebagai freelancer aku tidak punya rekan atau atasan yang dapat membantu memeriksa. Yakin tidak ada masalah aku menyimpan file dalam CD. Kubuat rangkap dua. Satu untuk klien, satu lagi untuk arsip pribadiku. CD berisi final artwork kumasukkan bersama proof cetak yang telah disetujui. "Pagi, Kak Sukma. Mau mengingatkan, jam sembilan aku ke kantor ya. Final artwork sudah siap," kataku dalam percakapan seluler dengan Kak Sukma. "Oke, sampai ketemu, Hazel," jawab Kak Sukma. Aku tertegun. Suara Kak Sukma terdengar tidak bersemangat? Padahal empat hari yang lalu saat bertemu untuk minta persetujuan proof cetak Kak Sukma masih bersemangat dan berbunga-bunga bercerita tentang Daniel? Insting laba-labaku, maksudku, fira
"Maksud Kak Sukma? Menghilang bagaimana?" Sumpah, aku benar-benar melongo. "Dia nggak menjawab telepon, nggak membalas pesan singkat, apalagi email. Padahal dia udah berjanji nggak akan hilang kontak." Raut wajah Kak Sukma bagaikan orang sedang disiksa. Sangat tidak nyaman dipandang. "Tapi... Terakhir bertemu kapan?" "Satu minggu yang lalu," keluh Kak Sukma. "Oh, yang pas kita meeting di cafe?" "Iya, betul." "Kak, dia udah berbuat apa?" tanyaku curiga. "Oh, Hazel. Aku benar-benar bodoh. Dirayu lelaki dan langsung menyerahkan semuanya!" Kak Sukma kini terisak. Wajahku memucat. Daniel brengsek itu! Tidak kusangka dapat mempermainkan wanita seperti ini! Seketika aku menyesal karena tidak memberitahu penglihatanku pada Kak Sukma. "Maaf, Kak... Tapi orang kayak gitu nggak pantas ditangisi. Pantasnya dilapo
Karena janji Richard maka jadilah seharian ini aku tidak bisa tenang. Duduk gelisah, rebahan gelisah, mondar-mandir mengitari komplek dengan gelisah. Saat makan siang pun aku tidak tenang, membuat Elisabet mengomel. "Aduh, kalau makan tenang sedikit dong. Kayak lagi di tengah perang aja?" gerutu Elisabet. "Nggak kok. Aku tenang kok, Ma," sahutku setengah hati. "Ini loh. Iniiiiii." Elisabet menunjuk pada nasi yang berceceran. "Ups, sorry, nggak lihat." Aku mengambil tisu dan membersihkan ceceran nasi. "Biar tenang mendingan kamu melukis. Hati tenang, dapat uang, Mama senang." Elisabet menyunggingkan senyum seorang wanita yang perhitungan dengan uang. "Nggak ah. Mending aku cari orderan desain." "Emang kamu mau ke mana siang begini?" "Carinya secara online dulu, Ma. Kan sekarang jaman digital." "B
Aku dan Richard rebah berhadapan. Dia melepasku setelah semua kerinduannya terlampiaskan. Kami bertatapan seolah tidak ada hari esok. Wajah ganteng Richard tampak lelah. Apakah pekerjaannya kini begitu sibuk? "Richard...." "Hmm?" Dia bergumam. "Kalau capek tidur aja. Aku nggak kemana-mana," bujukku. "Aku mau melihatmu," sahut Richard. Kalimat sederhana itu membuatku tersipu. "Kita kan hampir setiap hari video call," lirihku. "Tetap saja berbeda dengan bertemu langsung. Video call nggak bisa menyentuh, mencium, merasakan...." Usai berkata bibir Richard menempel di bibirku. "Emm... Belum cukup ya?" Aku menunduk malu. "Belum. Malam ini kita nggak bakal tidur," goda Richard. "Hah, kamu nggak pulang?" Aku melongo. "Kenapa? Kamu mau aku cepat pergi?" &
"Kamu nih! Beneran ngajak orang bergadang! Udah ah, lanjut besok pagi." Aku merajuk. Bibirku hampir mati rasa karena Richard. "Yakin? Sebentar lagi pagi loh," ledek Richard. "Biarin! Aku mau tidur!" "Nanti dulu, sebentar lagi," bujuk Richard. Aku tidak mempedulikan bujukannya. Aku membenamkan wajah di dada Richard dan memejamkan mata kuat-kuat. Tanganku mengunci di punggungnya. "Hei, malah ngajak gulat." Richard tertawa. Aku tidak menjawab. Mataku benar-benar sudah berat. Aku tahu Richard dapat dengan mudah melepas kuncianku, tapi dia tidak melakukannya. Dia membelai rambutku dengan lembut. Suara detak jantung di dadanya membantuku terlelap. "Selamat tidur...," bisik Richard. Aku bergumam pelan. Tidurku nyenyak tanpa mimpi. Hanya sesekali aku terbangun setengah sadar karena merasa kegerahan, setelah i
Setelah makan Richard masih bermanja-manja denganku. Sedetik pun dia tidak meninggalkan tempat tidurku, padahal aku sibuk dengan laptop. Ada saja yang Richard lakukan untuk menggangguku. Seperti menarik kursiku seenaknya, atau menutup laptopku, atau mencuri-curi kesempatan untuk menciumku. Pada intinya aku jadi lebih sibuk menghadapi Richard daripada mengurus diriku. Richard yang manja dan jahil membuatku kewalahan. Dalam hati aku bertanya-tanya, ke mana perginya Richard yang kalem? "Hei, kok kamu bisa berubah jadi manja seperti ini? Bukannya terbalik? Seharusnya aku yang manja?" tanyaku. "Sekali-sekali," ucap Richard. Aku tersenyum geli. Mana bisa marah dengan wajah seperti itu? Tampaknya aku harus membiasakan diri dengan sisi kepribadian Richard yang baru muncul ini supaya tidak kaget di kemudian hari. Sebelum pulang Richard memeluk dan menciumku dengan agresif. Dia tidak r
Kepala pelayan terlompat kaget karena suara keras Abram. Lelaki tua itu, maksudku, calon ayah mertuaku berjalan ke arah kami seperti singa jantan yang sudah pensiun. Bahunya merosot, sorot matanya tidak segarang dahulu, dan wajah tampannya ditumbuhi janggut pendek. Aku terkesima melihat perubahan Abram. Richard pun sama terkejutnya seperti aku. Rupanya kekuasaan berbanding lurus dengan penampilan. "Ayah, aku sudah melamar Hazel," kata Richard. Abram duduk dengan anggun di sofa. Dia menunjuk ke arah sofa di hadapannya, tanda bagi kami untuk duduk. "Kamu sudah melamar Hazel?" Abram mengulang kata-kata Richard. Matanya jatuh pada kilau di jari manisku. "Ya." "Lalu apa tujuanmu kemari? Mau memamerkan bahwa kamu sekarang bisa berbuat apa saja?" ketus Abram. Meskipun sudah kalah tapi dia belum kehilangan seluruh semangat juangnya. "Ini ta
Langit mulai temaram saat mobil Richard tiba di depan rumahku. Sepanjang perjalanan aku tidak hentinya memandangi cincin di jari manisku, juga memandangi Richard sampai mengganggu konsentrasinya menyetir. Syukurlah kami tiba dengan selamat. "Mau langsung kasih tau mama?" tanyaku memastikan. "Iya dong. Mana boleh merahasiakan dari mamamu." Richard meremas tanganku. Kami pun berjalan berdampingan ke dalam rumah. Elisabet sudah duduk menunggu di sofa. Melihat wajahnya yang cerah aku bisa menebak kalau Elisabet sudah tahu. "Cepat juga kalian pulang? Mama pikir bisa sampai malam urusannya?" Elisabet tersenyum misterius. "Semuanya berjalan lancar, Bu," ujar Richard. Elisabet mengangguk. Sepasang matanya menatap dalam menembus jiwa. Kedua tangannya menyatu di pangkuan. Aku menarik Richard duduk bersebelahan di sofa, berhadapan dengan Elisabet. E
Aku menapaki langkah penuh kenangan. Seolah sudah lama sejak terakhir kali aku menjejakkan kaki di penthouse ini. Semuanya masih tampak sama, begitu juga dengan pemiliknya. "Kamu tau, aku berharap memiliki kemampuan untuk membaca pikiran. Aku ingin tau apa yang sedang kamu pikirkan sekarang." Richard memelukku dari belakang. Aku mendesah nyaman, "Jangan. Membaca pikiran itu nggak menyenangkan. Terlalu berisik." "Aku harus ajak kamu meeting lagi. Kamu bisa memperingatkan kalau lawan bisnisku punya maksud tidak baik." "Nggak mau! Enak aja. Emangnya aku alat pendeteksi kebohongan?" Aku tertawa. "Nggak lah. Mana ada pendeteksi kebohongan secantik ini?" goda Richard. "Kamu... Makin gombal!" "Tapi suka kan?" Richard memutar tubuhku hingga kami berhadapan. Aku menatap matanya dalam-dalam. Sepasang sayap putih miliknya turut me
"Tidak terima!" Abram membentak keras. Suaranya mengalahkan suara orang-orang yang berkumpul dalam ruang meeting besar di gedung pusat Yilmaz Group. "Dengan segala hormat, Ketua Komisaris. Melihat perkembangan perusahaan saat ini ada baiknya Anda bertindak dengan kepala dingin. Jangan berdasarkan ego." Bryan menatap tajam lawan bicaranya yang duduk di tempat terhormat. "Kalian anak-anak kemarin sore! Jangan kira aku tidak tau kalau semua ini adalah rencana kalian! Berani meremehkanku? Akan kutendang kalian semua dari keluarga!" Abram meraung seperti binatang liar. "Justru karena kami masih memandang Ayah, maka kami mengambil jalan ini. Apa yang terpenting saat ini? Menyelamatkan perusahaan, menyelamatkan ribuan bahkan puluhan ribu karyawan yang bernaung di bawah Yilmaz Group? Atau mempertahankan ego Anda?" Richard bertutur dengan halus. Abram termenung. Alisnya bertaut. Berulang kali dia memiki
Yilmaz Group mengalami guncangan hebat. Harga saham merosot drastis hingga nyaris tidak berharga. Banyak pemegang saham menjual saham mereka sebelum merugi semakin banyak. Dewan direksi mengadakan pertemuan internal darurat tanpa menyertakan Ketua Komisaris. Berita di media elektronik masih menerpa seperti badai. Para awak media mengepung kediaman Abram dan gedung kantor pusat Yilmaz Group. Abram menyembunyikan diri rapat-rapat. Bahkan gorden jendela di kediamannya pun tidak pernah dibuka. Siapa pernah menyangka bahwa perusahaan sebesar Yilmaz Group akan jatuh karena ulah pimpinannya sendiri? "Bro, gue mau ketemu Hazel. Lo bisa tangani keadaan di sini sendiri?" kata Richard pada Bryan yang duduk di seberang meja. "Lo tau kan saudara lo ini bisa diandalkan?" Bryan menyeringai. "Ya, sekarang gue tau." Richard terkekeh. "Pergilah dengan tenang. Bersenang
Dua lelaki tampan duduk berhadapan bagaikan lukisan. Mereka sedang berada di tengah pembicaraan serius. "Bagaimana Brother? Udah dipikirkan baik-baik?" tanya Bryan. Richard tampak termenung di meja kerjanya. Wajahnya terlihat muram. "Gimana hubungan lo dengan Hazel? Udah lebih baik, kan?" "Baik. Tapi... Gue merasa kayak ada sesuatu yang tersembunyi." Richard berkata perlahan. Bryan menghela nafas, "Kalau nggak ada yang tersembunyi bukan wanita lah namanya. Itu yang menciptakan misteri yang menarik kita makhluk laki-laki." Richard menatap Bryan tajam, "Menurut lo begitu?" "Hei, pengalaman gue dengan wanita jauh lebih banyak dibanding lo. Tentu aja gue mengenal wanita lebih baik," kata Bryan sombong. "Menyesal gue nanya." Richard menahan tawa. Bryan menepuk meja dengan kesal, "Sekali-sekali dengar sauda
Ketika rasa kecewa pernah menempati hatimu, selamanya perasaan itu akan tinggal, mengintai dari sudut yang tergelap, menanti kapan saat yang tepat untuk merayap keluar. Seperti itulah kondisiku saat ini. Meskipun Richard telah menjelaskan semuanya dengan sangat baik—ditambah aku melihat isi hatinya—kekecewaan itu masih mengancam. Satu minggu lagi telah berlalu sejak kedatangan Richard dengan penjelasannya. Sesuai janji, setiap malam Richard meneleponku, menceritakan hal-hal yang dikerjakan sehari-hari, termasuk siapa saja yang ditemui. Aku tahu Richard tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Dia tidak mau kehilangan diriku. Aku juga menyibukkan diri dengan pekerjaan. Kak Sukma dan Irwan adalah dua klien tetap yang perlahan menjadi teman. Belum lagi ada Wahyu dengan celotehan super konyolnya yang membuatku selalu tertawa. Aku tidak kekurangan kegembiraan. Aku cuma kekurangan kehadiran Richard. "Apa
Selain kabar menggembirakan dari Kak Sukma, sepanjang hari ini tidak ada lagi hal menyenangkan yang dapat mengalihkan pikiranku dari foto-foto Richard bersama wanita cantik. Aku kesal, tapi tidak ingin mendengar penjelasan. Lagipula bukankah seminggu terakhir Richard tidak meneleponku karena sedang sibuk dengan wanita lain? Apakah ada kebetulan seperti itu? Terlalu kebetulan... Hingga sore hari aku duduk terpekur di teras. Aku tahu ini terdengar dan terlihat bodoh, juga tidak sesuai dengan karakterku sama sekali. Namun, jika hati sudah menguasai logika apa yang dapat kulakukan? Kupikir-pikir ini pertama kalinya aku kecewa lagi. Oh, salah. Yang pertama kali adalah saat kematian ayahku, jadi ini adalah yang ke dua. "Hazel, kamu nggak mau makan siang? Udah jam dua loh. Sebentar lagi Mama mau ke galeri ambil bingkai pesanan. Kamu mau ikut?" Elisabet berjongkok di sebelahku. "Nggak, Ma. Aku jaga rum
Sehabis hujan rerumputan di pekarangan rumah Elisabet berwarna hijau cerah. Udara pagi yang sehari-hari sejuk kini bertambah dingin. Aku menginjak rumput dengan kaki telanjang. Sensasi sisa embun dingin membuatku bergidik. Aku mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi dan menarik nafas dalam. Segar sekali. Aku melihat sekeliling. Pandanganku bertemu dengan ayam jantan Mak Endah. Ayam jantan itu bertengger angkuh di atas pagar, memandang rendah dunia. "Dasar ayam... Gue potong tau rasa lo...." Aku berbicara sendiri. Tanaman airmata pengantin sudah merambat tinggi, membentuk kerimbunan yang menyejukkan mata. Aku menyentuh daunnya yang berbentuk hati. Bunga-bunga mungil berbentuk lonceng berwarna merah muda mulai bermunculan di sana-sini. Cantik sekali. Teringat pada percakapan terakhir dengan Richard, aku menghela nafas. Waktu itu samar-samar aku menangkap keresahan hati Richard. Bayangan-bayangan pe