Salah satu hal yang kusuka adalah membuat ilustrasi sendiri untuk desainku. Jadi aku nggak usah repot memikirkan masalah hak cipta yang dapat menghadang jika aku sembarang mengambil gambar atau ilustrasi secara online.
Aku sibuk melukiskan ilustrasi yang ada dalam kepalaku di atas canvas. Jika sudah rampung lukisan ini akan ku-scan dan kupercantik secara digital. Setelah itu baru kuaplikasikan dalam desain. "Itu bagus. Boleh Mama bawa ke galeri?" Elisabet memperhatikan canvas. "Nggak boleh. Ini nanti desainnya punya Kak Sukma." "Ohh, kirain kamu melukis biasa, rupanya untuk klien. Bagus. Kamu buat lukisan yang serupa terus Mama bawa ke galeri, gimana?" Elisabet tidak menyerah. "Nanti deh kalau senggang." Aku meringis. "Janji ya?" "Nggak janji." Elisabet melengos sebal. Terdengar suara raungan knalpotPagi ini aku janjian dengan Kak Sukma meeting santai di cafe yang didesain apik. Tanaman hijau bertebaran di tiap sudut, membuat udara jadi segar dan menyejukkan mata. Kak Sukma terlihat sedikit gelisah. "... jadi ini kubuat untuk background leaflet perusahaan. Kalau rasanya kurang cocok bisa diaplikasikan ke media lain," tuturku sambil terus memperhatikan gerak-gerik Kak Sukma. "Itu bagus kok. Aku suka. Lagipula warnanya cerah, cocok untuk produk yang mau dipromosikan." Kak Sukma sesekali melirik ke arah pintu masuk. Sayap merah mudanya bergetar gelisah. "Oke. Kalau gitu ini semua nggak ada masalah ya, Kak? Aku langsung siapkan finalnya," kataku. "Hmm... Iya. Kalau sudah siap cetak info aku ya?" Kak Sukma tersenyum. Aku membereskan laptop dan kertas-kertas cetakan. Kak Sukma masih sesekali melirik ke arah pintu masuk. "Masih nunggu orang, Kak?" Aku tidak m
Pertemuan dengan Daniel tadi siang membuat hatiku terganjal. Aku tidak sabar menunggu malam tiba untuk bisa mengobrol dengan Richard. Aku sudah mengirim pesan singkat untuk janjian jam berapa kami video call. "Richard!" Aku berseru kegirangan melihat wajah familiar muncul di layar handphoneku. "Hai, apa kabarmu, Hazel?" Richard tersenyum menawan. Wajahnya terlihat lelah. "Kangen...." Aku merajuk. "Aku juga." "Banyak kerjaan hari ini?" tanyaku. "Yah, seperti biasa, banyak meeting nggak berguna. Untung sekarang aku bisa bagi tugas dengan Bryan." "Dia bisa diandalkan juga ya?" "Kami kan berasal dari satu sel telur." Richard tertawa. "Gimana kesibukanmu?" "Kenapa malah ngomongin sel telur?" gerutuku. "Karena itu adalah fakta, Sayang," goda Richard. "Pekerjaan lancar? Baik?"&
Tidak hujan tidak angin, Wahyu menelepon siang-siang. Aku yang sedang asyik mempersiapkan final artwork untuk desain Kak Sukma sampai tercengang-cengang mendengar kecepatan bicaranya yang melebihi bullet train. "Lo lagi ngapain? Kerja? Kerja apa? Emang sama Irwan udah ada deal?" cerocos Wahyu. "Ya iya lah ker–" "Aaaahhh kepala gue kayak mau pecah!" potong Wahyu dengan brutal. Aku menghela nafas. Ada baiknya membiarkan dia bicara daripada aku keki karena dipotong melulu. Sepertinya Wahyu hendak mencurahkan isi hati. "Tau nggak sih? Tadi pagi sekantor mati listrik! Kerjaan gue lupa di-save! Sia-sia kerjaan gue selama satu jam, Bro! Nangis darah deh! Mana gue diketawain lagi pas curhat." cerocos Wahyu. "Hmm..." Aku sudah biasa menghadapi Wahyu yang mendadak panik karena masalah pekerjaan jadi tidak ikut panik. "Apanya 'hmm'?? Yang keta
Hal yang wajib dilakukan seorang desainer freelance, mengecek file final artwork minimal tiga kali untuk mencegah terjadi kesalahan fatal saat naik cetak. Karena sebagai freelancer aku tidak punya rekan atau atasan yang dapat membantu memeriksa. Yakin tidak ada masalah aku menyimpan file dalam CD. Kubuat rangkap dua. Satu untuk klien, satu lagi untuk arsip pribadiku. CD berisi final artwork kumasukkan bersama proof cetak yang telah disetujui. "Pagi, Kak Sukma. Mau mengingatkan, jam sembilan aku ke kantor ya. Final artwork sudah siap," kataku dalam percakapan seluler dengan Kak Sukma. "Oke, sampai ketemu, Hazel," jawab Kak Sukma. Aku tertegun. Suara Kak Sukma terdengar tidak bersemangat? Padahal empat hari yang lalu saat bertemu untuk minta persetujuan proof cetak Kak Sukma masih bersemangat dan berbunga-bunga bercerita tentang Daniel? Insting laba-labaku, maksudku, fira
"Maksud Kak Sukma? Menghilang bagaimana?" Sumpah, aku benar-benar melongo. "Dia nggak menjawab telepon, nggak membalas pesan singkat, apalagi email. Padahal dia udah berjanji nggak akan hilang kontak." Raut wajah Kak Sukma bagaikan orang sedang disiksa. Sangat tidak nyaman dipandang. "Tapi... Terakhir bertemu kapan?" "Satu minggu yang lalu," keluh Kak Sukma. "Oh, yang pas kita meeting di cafe?" "Iya, betul." "Kak, dia udah berbuat apa?" tanyaku curiga. "Oh, Hazel. Aku benar-benar bodoh. Dirayu lelaki dan langsung menyerahkan semuanya!" Kak Sukma kini terisak. Wajahku memucat. Daniel brengsek itu! Tidak kusangka dapat mempermainkan wanita seperti ini! Seketika aku menyesal karena tidak memberitahu penglihatanku pada Kak Sukma. "Maaf, Kak... Tapi orang kayak gitu nggak pantas ditangisi. Pantasnya dilapo
Karena janji Richard maka jadilah seharian ini aku tidak bisa tenang. Duduk gelisah, rebahan gelisah, mondar-mandir mengitari komplek dengan gelisah. Saat makan siang pun aku tidak tenang, membuat Elisabet mengomel. "Aduh, kalau makan tenang sedikit dong. Kayak lagi di tengah perang aja?" gerutu Elisabet. "Nggak kok. Aku tenang kok, Ma," sahutku setengah hati. "Ini loh. Iniiiiii." Elisabet menunjuk pada nasi yang berceceran. "Ups, sorry, nggak lihat." Aku mengambil tisu dan membersihkan ceceran nasi. "Biar tenang mendingan kamu melukis. Hati tenang, dapat uang, Mama senang." Elisabet menyunggingkan senyum seorang wanita yang perhitungan dengan uang. "Nggak ah. Mending aku cari orderan desain." "Emang kamu mau ke mana siang begini?" "Carinya secara online dulu, Ma. Kan sekarang jaman digital." "B
Aku dan Richard rebah berhadapan. Dia melepasku setelah semua kerinduannya terlampiaskan. Kami bertatapan seolah tidak ada hari esok. Wajah ganteng Richard tampak lelah. Apakah pekerjaannya kini begitu sibuk? "Richard...." "Hmm?" Dia bergumam. "Kalau capek tidur aja. Aku nggak kemana-mana," bujukku. "Aku mau melihatmu," sahut Richard. Kalimat sederhana itu membuatku tersipu. "Kita kan hampir setiap hari video call," lirihku. "Tetap saja berbeda dengan bertemu langsung. Video call nggak bisa menyentuh, mencium, merasakan...." Usai berkata bibir Richard menempel di bibirku. "Emm... Belum cukup ya?" Aku menunduk malu. "Belum. Malam ini kita nggak bakal tidur," goda Richard. "Hah, kamu nggak pulang?" Aku melongo. "Kenapa? Kamu mau aku cepat pergi?" &
"Kamu nih! Beneran ngajak orang bergadang! Udah ah, lanjut besok pagi." Aku merajuk. Bibirku hampir mati rasa karena Richard. "Yakin? Sebentar lagi pagi loh," ledek Richard. "Biarin! Aku mau tidur!" "Nanti dulu, sebentar lagi," bujuk Richard. Aku tidak mempedulikan bujukannya. Aku membenamkan wajah di dada Richard dan memejamkan mata kuat-kuat. Tanganku mengunci di punggungnya. "Hei, malah ngajak gulat." Richard tertawa. Aku tidak menjawab. Mataku benar-benar sudah berat. Aku tahu Richard dapat dengan mudah melepas kuncianku, tapi dia tidak melakukannya. Dia membelai rambutku dengan lembut. Suara detak jantung di dadanya membantuku terlelap. "Selamat tidur...," bisik Richard. Aku bergumam pelan. Tidurku nyenyak tanpa mimpi. Hanya sesekali aku terbangun setengah sadar karena merasa kegerahan, setelah i