"Maksud Kak Sukma? Menghilang bagaimana?" Sumpah, aku benar-benar melongo.
"Dia nggak menjawab telepon, nggak membalas pesan singkat, apalagi email. Padahal dia udah berjanji nggak akan hilang kontak." Raut wajah Kak Sukma bagaikan orang sedang disiksa. Sangat tidak nyaman dipandang. "Tapi... Terakhir bertemu kapan?" "Satu minggu yang lalu," keluh Kak Sukma. "Oh, yang pas kita meeting di cafe?" "Iya, betul." "Kak, dia udah berbuat apa?" tanyaku curiga. "Oh, Hazel. Aku benar-benar bodoh. Dirayu lelaki dan langsung menyerahkan semuanya!" Kak Sukma kini terisak. Wajahku memucat. Daniel brengsek itu! Tidak kusangka dapat mempermainkan wanita seperti ini! Seketika aku menyesal karena tidak memberitahu penglihatanku pada Kak Sukma. "Maaf, Kak... Tapi orang kayak gitu nggak pantas ditangisi. Pantasnya dilapoKarena janji Richard maka jadilah seharian ini aku tidak bisa tenang. Duduk gelisah, rebahan gelisah, mondar-mandir mengitari komplek dengan gelisah. Saat makan siang pun aku tidak tenang, membuat Elisabet mengomel. "Aduh, kalau makan tenang sedikit dong. Kayak lagi di tengah perang aja?" gerutu Elisabet. "Nggak kok. Aku tenang kok, Ma," sahutku setengah hati. "Ini loh. Iniiiiii." Elisabet menunjuk pada nasi yang berceceran. "Ups, sorry, nggak lihat." Aku mengambil tisu dan membersihkan ceceran nasi. "Biar tenang mendingan kamu melukis. Hati tenang, dapat uang, Mama senang." Elisabet menyunggingkan senyum seorang wanita yang perhitungan dengan uang. "Nggak ah. Mending aku cari orderan desain." "Emang kamu mau ke mana siang begini?" "Carinya secara online dulu, Ma. Kan sekarang jaman digital." "B
Aku dan Richard rebah berhadapan. Dia melepasku setelah semua kerinduannya terlampiaskan. Kami bertatapan seolah tidak ada hari esok. Wajah ganteng Richard tampak lelah. Apakah pekerjaannya kini begitu sibuk? "Richard...." "Hmm?" Dia bergumam. "Kalau capek tidur aja. Aku nggak kemana-mana," bujukku. "Aku mau melihatmu," sahut Richard. Kalimat sederhana itu membuatku tersipu. "Kita kan hampir setiap hari video call," lirihku. "Tetap saja berbeda dengan bertemu langsung. Video call nggak bisa menyentuh, mencium, merasakan...." Usai berkata bibir Richard menempel di bibirku. "Emm... Belum cukup ya?" Aku menunduk malu. "Belum. Malam ini kita nggak bakal tidur," goda Richard. "Hah, kamu nggak pulang?" Aku melongo. "Kenapa? Kamu mau aku cepat pergi?" &
"Kamu nih! Beneran ngajak orang bergadang! Udah ah, lanjut besok pagi." Aku merajuk. Bibirku hampir mati rasa karena Richard. "Yakin? Sebentar lagi pagi loh," ledek Richard. "Biarin! Aku mau tidur!" "Nanti dulu, sebentar lagi," bujuk Richard. Aku tidak mempedulikan bujukannya. Aku membenamkan wajah di dada Richard dan memejamkan mata kuat-kuat. Tanganku mengunci di punggungnya. "Hei, malah ngajak gulat." Richard tertawa. Aku tidak menjawab. Mataku benar-benar sudah berat. Aku tahu Richard dapat dengan mudah melepas kuncianku, tapi dia tidak melakukannya. Dia membelai rambutku dengan lembut. Suara detak jantung di dadanya membantuku terlelap. "Selamat tidur...," bisik Richard. Aku bergumam pelan. Tidurku nyenyak tanpa mimpi. Hanya sesekali aku terbangun setengah sadar karena merasa kegerahan, setelah i
Setelah makan Richard masih bermanja-manja denganku. Sedetik pun dia tidak meninggalkan tempat tidurku, padahal aku sibuk dengan laptop. Ada saja yang Richard lakukan untuk menggangguku. Seperti menarik kursiku seenaknya, atau menutup laptopku, atau mencuri-curi kesempatan untuk menciumku. Pada intinya aku jadi lebih sibuk menghadapi Richard daripada mengurus diriku. Richard yang manja dan jahil membuatku kewalahan. Dalam hati aku bertanya-tanya, ke mana perginya Richard yang kalem? "Hei, kok kamu bisa berubah jadi manja seperti ini? Bukannya terbalik? Seharusnya aku yang manja?" tanyaku. "Sekali-sekali," ucap Richard. Aku tersenyum geli. Mana bisa marah dengan wajah seperti itu? Tampaknya aku harus membiasakan diri dengan sisi kepribadian Richard yang baru muncul ini supaya tidak kaget di kemudian hari. Sebelum pulang Richard memeluk dan menciumku dengan agresif. Dia tidak r
Aku meratapi nasibku yang malang. Dahiku bersandar di kaca jendela mobil Kak Sukma. Aku tidak mempedulikan bahwa wanita itu melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Aku hanya ingin kembali. Payah sekali terjebak dalam situasi aneh seperti ini. "Kamu yakin alamatnya benar?" Kak Sukma menghentikan mobil di sebuah gedung perkantoran. "Yakin lah, Kak. Yang cari info bukan orang sembarangan kok." "Oke. Ayo kita cari orang." Kak Sukma melangkah turun dari mobil. Auranya seperti singa betina yang sedang memburu mangsa. Aku membuntuti turun dari mobil, hanya saja langkahku tidak segarang Kak Sukma. Aku seperti Siberian Husky yang melonjak-lonjak ceria. Lift membawa kami naik ke lantai lima. Rupanya sebuah biro iklan yang cukup ternama. Aku terheran, memangnya Daniel punya kualifikasi yang cukup untuk bekerja di tempat ini? Selagi otakku masih sibuk berpikir, Kak Sukma sudah berdiri t
Entah mimpi apa aku semalam, begitu bangun aku menerima video call Richard. Dia mengucapkan selamat pagi dengan suara yang membuat pikiranku berkelana. Aduh, Richard. Kamu membuatku tidak normal. "Kenapa? Kok diam?" tanya Richard penasaran. "Emm... Nggak apa-apa. Baru bangun tidur, masih blank," dustaku. "Semalam nggak tidur?" Richard terlihat khawatir. "Tidur kok. Kamu aja yang nelpon pagi-pagi bikin orang nggak fokus," ledekku. "Oh, aku harus lebih sering telepon pagi-pagi nih kayaknya." "Kalau dekat kutonjok kamu," ancamku. "Berani? Ayo sini," tantang Richard. "Reseh ah!" Aku tertawa. "Ngomong-ngomong aku udah dapat informasi tentang Daniel." Richard bersandar malas di kepala tempat tidur. "Oh ya? Kok bisa? Cepat sekali? Di mana dia?" tanyaku antusias. "Kamu ng
Tidak sampai sepuluh menit Richard sudah tiba di depan gedung kantor Daniel. Mobilnya mengklakson dari tepi jalan. Aku yang sedang duduk merenung di undakan tangga langsung berlari menghampiri. Begitu duduk dalam mobil Richard segera merangkul dan mencium pipiku. "Kamu sendirian?" tanya Richard. "Tadi datangnya dengan Kak Sukma. Aku minta dia pulang duluan." "Oh, begitu. Bagus, Hazel. Jadi nggak ada yang bisa mengganggu kita." Richard tertawa. Aku tersipu mendengar kata-kata Richard. "Mau ke penthouse?" tanya Richard. "Nggak akan jadi masalah?" "Tenang aja. Kita masuk dari pintu belakang." "Ada ya?" Aku tercengang. "Ada." Richard tersenyum lebar. "Nanti kalau Bernard atau Bryan naik gimana?" "Aku udah sms Bryan. Dia menggantikanku di kantor." Ak
Jeritan memekakkan telinga itu dapat kukenali di manapun. Siapa lagi kalau bukan Wahyu? Sebagai teman aku tidak tega membiarkannya sendirian di stasiun. Bukan karena kasihan dianya, tapi kasihan orang-orang di stasiun yang diajak ngobrol Wahyu secara acak. "Hazeeeelll!! Akhirnyaaa kesampaian juga nginap di rumah lo!" Wahyu melonjak-lonjak kegirangan. "Lo lagi stres?" ledekku tanpa sungkan. Wahyu terbahak-bahak, "Pekerja kayak kita ini kapan nggak stresnya sih, Bro? Lembur tiap hari, ditolak cowok, diteror keluarga disuruh kawin, eh nikah." "Gue biasa aja tuh? Stres dibawa asyik aja." "Cih, lo mah enak udah punya pacar. Gue? Bayangan gue aja kadang-kadang kabur pergi." "Buruan naik." Aku mendorong Wahyu naik ke angkutan umum. Terserah dia mau bicara sampai kapan, yang penting sampai rumah dulu. "Kapan gue ketemu sama prince charming?" Wahy