Home / Romansa / Apa Warna Hatimu? / Chapter 110 : Mempermainkan Wanita!

Share

Chapter 110 : Mempermainkan Wanita!

Author: Giovanna Bee
last update Last Updated: 2021-11-27 13:25:27

    "Maksud Kak Sukma? Menghilang bagaimana?" Sumpah, aku benar-benar melongo.

    "Dia nggak menjawab telepon, nggak membalas pesan singkat, apalagi email. Padahal dia udah berjanji nggak akan hilang kontak." Raut wajah Kak Sukma bagaikan orang sedang disiksa. Sangat tidak nyaman dipandang.

    "Tapi... Terakhir bertemu kapan?"

    "Satu minggu yang lalu," keluh Kak Sukma.

    "Oh, yang pas kita meeting di cafe?"

    "Iya, betul."

    "Kak, dia udah berbuat apa?" tanyaku curiga.

    "Oh, Hazel. Aku benar-benar bodoh. Dirayu lelaki dan langsung menyerahkan semuanya!" Kak Sukma kini terisak.

    Wajahku memucat. Daniel brengsek itu! Tidak kusangka dapat mempermainkan wanita seperti ini! Seketika aku menyesal karena tidak memberitahu penglihatanku pada Kak Sukma.

    "Maaf, Kak... Tapi orang kayak gitu nggak pantas ditangisi. Pantasnya dilapo
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 111 : Melepas Rindu

    Karena janji Richard maka jadilah seharian ini aku tidak bisa tenang. Duduk gelisah, rebahan gelisah, mondar-mandir mengitari komplek dengan gelisah. Saat makan siang pun aku tidak tenang, membuat Elisabet mengomel. "Aduh, kalau makan tenang sedikit dong. Kayak lagi di tengah perang aja?" gerutu Elisabet. "Nggak kok. Aku tenang kok, Ma," sahutku setengah hati. "Ini loh. Iniiiiii." Elisabet menunjuk pada nasi yang berceceran. "Ups, sorry, nggak lihat." Aku mengambil tisu dan membersihkan ceceran nasi. "Biar tenang mendingan kamu melukis. Hati tenang, dapat uang, Mama senang." Elisabet menyunggingkan senyum seorang wanita yang perhitungan dengan uang. "Nggak ah. Mending aku cari orderan desain." "Emang kamu mau ke mana siang begini?" "Carinya secara online dulu, Ma. Kan sekarang jaman digital." "B

    Last Updated : 2021-11-29
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 112 : Membujuk

    Aku dan Richard rebah berhadapan. Dia melepasku setelah semua kerinduannya terlampiaskan. Kami bertatapan seolah tidak ada hari esok. Wajah ganteng Richard tampak lelah. Apakah pekerjaannya kini begitu sibuk? "Richard...." "Hmm?" Dia bergumam. "Kalau capek tidur aja. Aku nggak kemana-mana," bujukku. "Aku mau melihatmu," sahut Richard. Kalimat sederhana itu membuatku tersipu. "Kita kan hampir setiap hari video call," lirihku. "Tetap saja berbeda dengan bertemu langsung. Video call nggak bisa menyentuh, mencium, merasakan...." Usai berkata bibir Richard menempel di bibirku. "Emm... Belum cukup ya?" Aku menunduk malu. "Belum. Malam ini kita nggak bakal tidur," goda Richard. "Hah, kamu nggak pulang?" Aku melongo. "Kenapa? Kamu mau aku cepat pergi?" &

    Last Updated : 2021-11-29
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 113 : Bangun Tidur

    "Kamu nih! Beneran ngajak orang bergadang! Udah ah, lanjut besok pagi." Aku merajuk. Bibirku hampir mati rasa karena Richard. "Yakin? Sebentar lagi pagi loh," ledek Richard. "Biarin! Aku mau tidur!" "Nanti dulu, sebentar lagi," bujuk Richard. Aku tidak mempedulikan bujukannya. Aku membenamkan wajah di dada Richard dan memejamkan mata kuat-kuat. Tanganku mengunci di punggungnya. "Hei, malah ngajak gulat." Richard tertawa. Aku tidak menjawab. Mataku benar-benar sudah berat. Aku tahu Richard dapat dengan mudah melepas kuncianku, tapi dia tidak melakukannya. Dia membelai rambutku dengan lembut. Suara detak jantung di dadanya membantuku terlelap. "Selamat tidur...," bisik Richard. Aku bergumam pelan. Tidurku nyenyak tanpa mimpi. Hanya sesekali aku terbangun setengah sadar karena merasa kegerahan, setelah i

    Last Updated : 2021-11-30
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 114 : Bantuan Terselubung

    Setelah makan Richard masih bermanja-manja denganku. Sedetik pun dia tidak meninggalkan tempat tidurku, padahal aku sibuk dengan laptop. Ada saja yang Richard lakukan untuk menggangguku. Seperti menarik kursiku seenaknya, atau menutup laptopku, atau mencuri-curi kesempatan untuk menciumku. Pada intinya aku jadi lebih sibuk menghadapi Richard daripada mengurus diriku. Richard yang manja dan jahil membuatku kewalahan. Dalam hati aku bertanya-tanya, ke mana perginya Richard yang kalem? "Hei, kok kamu bisa berubah jadi manja seperti ini? Bukannya terbalik? Seharusnya aku yang manja?" tanyaku. "Sekali-sekali," ucap Richard. Aku tersenyum geli. Mana bisa marah dengan wajah seperti itu? Tampaknya aku harus membiasakan diri dengan sisi kepribadian Richard yang baru muncul ini supaya tidak kaget di kemudian hari. Sebelum pulang Richard memeluk dan menciumku dengan agresif. Dia tidak r

    Last Updated : 2021-11-30
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 116 : Menjebak Daniel

    Aku meratapi nasibku yang malang. Dahiku bersandar di kaca jendela mobil Kak Sukma. Aku tidak mempedulikan bahwa wanita itu melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Aku hanya ingin kembali. Payah sekali terjebak dalam situasi aneh seperti ini. "Kamu yakin alamatnya benar?" Kak Sukma menghentikan mobil di sebuah gedung perkantoran. "Yakin lah, Kak. Yang cari info bukan orang sembarangan kok." "Oke. Ayo kita cari orang." Kak Sukma melangkah turun dari mobil. Auranya seperti singa betina yang sedang memburu mangsa. Aku membuntuti turun dari mobil, hanya saja langkahku tidak segarang Kak Sukma. Aku seperti Siberian Husky yang melonjak-lonjak ceria. Lift membawa kami naik ke lantai lima. Rupanya sebuah biro iklan yang cukup ternama. Aku terheran, memangnya Daniel punya kualifikasi yang cukup untuk bekerja di tempat ini? Selagi otakku masih sibuk berpikir, Kak Sukma sudah berdiri t

    Last Updated : 2021-12-01
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 115 : Informasi dari Richard

    Entah mimpi apa aku semalam, begitu bangun aku menerima video call Richard. Dia mengucapkan selamat pagi dengan suara yang membuat pikiranku berkelana. Aduh, Richard. Kamu membuatku tidak normal. "Kenapa? Kok diam?" tanya Richard penasaran. "Emm... Nggak apa-apa. Baru bangun tidur, masih blank," dustaku. "Semalam nggak tidur?" Richard terlihat khawatir. "Tidur kok. Kamu aja yang nelpon pagi-pagi bikin orang nggak fokus," ledekku. "Oh, aku harus lebih sering telepon pagi-pagi nih kayaknya." "Kalau dekat kutonjok kamu," ancamku. "Berani? Ayo sini," tantang Richard. "Reseh ah!" Aku tertawa. "Ngomong-ngomong aku udah dapat informasi tentang Daniel." Richard bersandar malas di kepala tempat tidur. "Oh ya? Kok bisa? Cepat sekali? Di mana dia?" tanyaku antusias. "Kamu ng

    Last Updated : 2021-12-01
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 117 : Penthouse

    Tidak sampai sepuluh menit Richard sudah tiba di depan gedung kantor Daniel. Mobilnya mengklakson dari tepi jalan. Aku yang sedang duduk merenung di undakan tangga langsung berlari menghampiri. Begitu duduk dalam mobil Richard segera merangkul dan mencium pipiku. "Kamu sendirian?" tanya Richard. "Tadi datangnya dengan Kak Sukma. Aku minta dia pulang duluan." "Oh, begitu. Bagus, Hazel. Jadi nggak ada yang bisa mengganggu kita." Richard tertawa. Aku tersipu mendengar kata-kata Richard. "Mau ke penthouse?" tanya Richard. "Nggak akan jadi masalah?" "Tenang aja. Kita masuk dari pintu belakang." "Ada ya?" Aku tercengang. "Ada." Richard tersenyum lebar. "Nanti kalau Bernard atau Bryan naik gimana?" "Aku udah sms Bryan. Dia menggantikanku di kantor." Ak

    Last Updated : 2021-12-02
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 118 : Wahyu Menginap

    Jeritan memekakkan telinga itu dapat kukenali di manapun. Siapa lagi kalau bukan Wahyu? Sebagai teman aku tidak tega membiarkannya sendirian di stasiun. Bukan karena kasihan dianya, tapi kasihan orang-orang di stasiun yang diajak ngobrol Wahyu secara acak. "Hazeeeelll!! Akhirnyaaa kesampaian juga nginap di rumah lo!" Wahyu melonjak-lonjak kegirangan. "Lo lagi stres?" ledekku tanpa sungkan. Wahyu terbahak-bahak, "Pekerja kayak kita ini kapan nggak stresnya sih, Bro? Lembur tiap hari, ditolak cowok, diteror keluarga disuruh kawin, eh nikah." "Gue biasa aja tuh? Stres dibawa asyik aja." "Cih, lo mah enak udah punya pacar. Gue? Bayangan gue aja kadang-kadang kabur pergi." "Buruan naik." Aku mendorong Wahyu naik ke angkutan umum. Terserah dia mau bicara sampai kapan, yang penting sampai rumah dulu. "Kapan gue ketemu sama prince charming?" Wahy

    Last Updated : 2021-12-02

Latest chapter

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 151 : Meminta Restu (2)

    Kepala pelayan terlompat kaget karena suara keras Abram. Lelaki tua itu, maksudku, calon ayah mertuaku berjalan ke arah kami seperti singa jantan yang sudah pensiun. Bahunya merosot, sorot matanya tidak segarang dahulu, dan wajah tampannya ditumbuhi janggut pendek. Aku terkesima melihat perubahan Abram. Richard pun sama terkejutnya seperti aku. Rupanya kekuasaan berbanding lurus dengan penampilan. "Ayah, aku sudah melamar Hazel," kata Richard. Abram duduk dengan anggun di sofa. Dia menunjuk ke arah sofa di hadapannya, tanda bagi kami untuk duduk. "Kamu sudah melamar Hazel?" Abram mengulang kata-kata Richard. Matanya jatuh pada kilau di jari manisku. "Ya." "Lalu apa tujuanmu kemari? Mau memamerkan bahwa kamu sekarang bisa berbuat apa saja?" ketus Abram. Meskipun sudah kalah tapi dia belum kehilangan seluruh semangat juangnya. "Ini ta

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 150 : Meminta Restu

    Langit mulai temaram saat mobil Richard tiba di depan rumahku. Sepanjang perjalanan aku tidak hentinya memandangi cincin di jari manisku, juga memandangi Richard sampai mengganggu konsentrasinya menyetir. Syukurlah kami tiba dengan selamat. "Mau langsung kasih tau mama?" tanyaku memastikan. "Iya dong. Mana boleh merahasiakan dari mamamu." Richard meremas tanganku. Kami pun berjalan berdampingan ke dalam rumah. Elisabet sudah duduk menunggu di sofa. Melihat wajahnya yang cerah aku bisa menebak kalau Elisabet sudah tahu. "Cepat juga kalian pulang? Mama pikir bisa sampai malam urusannya?" Elisabet tersenyum misterius. "Semuanya berjalan lancar, Bu," ujar Richard. Elisabet mengangguk. Sepasang matanya menatap dalam menembus jiwa. Kedua tangannya menyatu di pangkuan. Aku menarik Richard duduk bersebelahan di sofa, berhadapan dengan Elisabet. E

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 149 : Melamar

    Aku menapaki langkah penuh kenangan. Seolah sudah lama sejak terakhir kali aku menjejakkan kaki di penthouse ini. Semuanya masih tampak sama, begitu juga dengan pemiliknya. "Kamu tau, aku berharap memiliki kemampuan untuk membaca pikiran. Aku ingin tau apa yang sedang kamu pikirkan sekarang." Richard memelukku dari belakang. Aku mendesah nyaman, "Jangan. Membaca pikiran itu nggak menyenangkan. Terlalu berisik." "Aku harus ajak kamu meeting lagi. Kamu bisa memperingatkan kalau lawan bisnisku punya maksud tidak baik." "Nggak mau! Enak aja. Emangnya aku alat pendeteksi kebohongan?" Aku tertawa. "Nggak lah. Mana ada pendeteksi kebohongan secantik ini?" goda Richard. "Kamu... Makin gombal!" "Tapi suka kan?" Richard memutar tubuhku hingga kami berhadapan. Aku menatap matanya dalam-dalam. Sepasang sayap putih miliknya turut me

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 148 : Pemegang Saham Misterius

    "Tidak terima!" Abram membentak keras. Suaranya mengalahkan suara orang-orang yang berkumpul dalam ruang meeting besar di gedung pusat Yilmaz Group. "Dengan segala hormat, Ketua Komisaris. Melihat perkembangan perusahaan saat ini ada baiknya Anda bertindak dengan kepala dingin. Jangan berdasarkan ego." Bryan menatap tajam lawan bicaranya yang duduk di tempat terhormat. "Kalian anak-anak kemarin sore! Jangan kira aku tidak tau kalau semua ini adalah rencana kalian! Berani meremehkanku? Akan kutendang kalian semua dari keluarga!" Abram meraung seperti binatang liar. "Justru karena kami masih memandang Ayah, maka kami mengambil jalan ini. Apa yang terpenting saat ini? Menyelamatkan perusahaan, menyelamatkan ribuan bahkan puluhan ribu karyawan yang bernaung di bawah Yilmaz Group? Atau mempertahankan ego Anda?" Richard bertutur dengan halus. Abram termenung. Alisnya bertaut. Berulang kali dia memiki

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 147 : Bagian Hidupku

    Yilmaz Group mengalami guncangan hebat. Harga saham merosot drastis hingga nyaris tidak berharga. Banyak pemegang saham menjual saham mereka sebelum merugi semakin banyak. Dewan direksi mengadakan pertemuan internal darurat tanpa menyertakan Ketua Komisaris. Berita di media elektronik masih menerpa seperti badai. Para awak media mengepung kediaman Abram dan gedung kantor pusat Yilmaz Group. Abram menyembunyikan diri rapat-rapat. Bahkan gorden jendela di kediamannya pun tidak pernah dibuka. Siapa pernah menyangka bahwa perusahaan sebesar Yilmaz Group akan jatuh karena ulah pimpinannya sendiri? "Bro, gue mau ketemu Hazel. Lo bisa tangani keadaan di sini sendiri?" kata Richard pada Bryan yang duduk di seberang meja. "Lo tau kan saudara lo ini bisa diandalkan?" Bryan menyeringai. "Ya, sekarang gue tau." Richard terkekeh. "Pergilah dengan tenang. Bersenang

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 146 : Skandal Besar

    Dua lelaki tampan duduk berhadapan bagaikan lukisan. Mereka sedang berada di tengah pembicaraan serius. "Bagaimana Brother? Udah dipikirkan baik-baik?" tanya Bryan. Richard tampak termenung di meja kerjanya. Wajahnya terlihat muram. "Gimana hubungan lo dengan Hazel? Udah lebih baik, kan?" "Baik. Tapi... Gue merasa kayak ada sesuatu yang tersembunyi." Richard berkata perlahan. Bryan menghela nafas, "Kalau nggak ada yang tersembunyi bukan wanita lah namanya. Itu yang menciptakan misteri yang menarik kita makhluk laki-laki." Richard menatap Bryan tajam, "Menurut lo begitu?" "Hei, pengalaman gue dengan wanita jauh lebih banyak dibanding lo. Tentu aja gue mengenal wanita lebih baik," kata Bryan sombong. "Menyesal gue nanya." Richard menahan tawa. Bryan menepuk meja dengan kesal, "Sekali-sekali dengar sauda

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 145 : Maafkan Papamu

    Ketika rasa kecewa pernah menempati hatimu, selamanya perasaan itu akan tinggal, mengintai dari sudut yang tergelap, menanti kapan saat yang tepat untuk merayap keluar. Seperti itulah kondisiku saat ini. Meskipun Richard telah menjelaskan semuanya dengan sangat baik—ditambah aku melihat isi hatinya—kekecewaan itu masih mengancam. Satu minggu lagi telah berlalu sejak kedatangan Richard dengan penjelasannya. Sesuai janji, setiap malam Richard meneleponku, menceritakan hal-hal yang dikerjakan sehari-hari, termasuk siapa saja yang ditemui. Aku tahu Richard tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Dia tidak mau kehilangan diriku. Aku juga menyibukkan diri dengan pekerjaan. Kak Sukma dan Irwan adalah dua klien tetap yang perlahan menjadi teman. Belum lagi ada Wahyu dengan celotehan super konyolnya yang membuatku selalu tertawa. Aku tidak kekurangan kegembiraan. Aku cuma kekurangan kehadiran Richard. "Apa

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 144 : Penjelasan Richard

    Selain kabar menggembirakan dari Kak Sukma, sepanjang hari ini tidak ada lagi hal menyenangkan yang dapat mengalihkan pikiranku dari foto-foto Richard bersama wanita cantik. Aku kesal, tapi tidak ingin mendengar penjelasan. Lagipula bukankah seminggu terakhir Richard tidak meneleponku karena sedang sibuk dengan wanita lain? Apakah ada kebetulan seperti itu? Terlalu kebetulan... Hingga sore hari aku duduk terpekur di teras. Aku tahu ini terdengar dan terlihat bodoh, juga tidak sesuai dengan karakterku sama sekali. Namun, jika hati sudah menguasai logika apa yang dapat kulakukan? Kupikir-pikir ini pertama kalinya aku kecewa lagi. Oh, salah. Yang pertama kali adalah saat kematian ayahku, jadi ini adalah yang ke dua. "Hazel, kamu nggak mau makan siang? Udah jam dua loh. Sebentar lagi Mama mau ke galeri ambil bingkai pesanan. Kamu mau ikut?" Elisabet berjongkok di sebelahku. "Nggak, Ma. Aku jaga rum

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 143 : Kiriman Foto

    Sehabis hujan rerumputan di pekarangan rumah Elisabet berwarna hijau cerah. Udara pagi yang sehari-hari sejuk kini bertambah dingin. Aku menginjak rumput dengan kaki telanjang. Sensasi sisa embun dingin membuatku bergidik. Aku mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi dan menarik nafas dalam. Segar sekali. Aku melihat sekeliling. Pandanganku bertemu dengan ayam jantan Mak Endah. Ayam jantan itu bertengger angkuh di atas pagar, memandang rendah dunia. "Dasar ayam... Gue potong tau rasa lo...." Aku berbicara sendiri. Tanaman airmata pengantin sudah merambat tinggi, membentuk kerimbunan yang menyejukkan mata. Aku menyentuh daunnya yang berbentuk hati. Bunga-bunga mungil berbentuk lonceng berwarna merah muda mulai bermunculan di sana-sini. Cantik sekali. Teringat pada percakapan terakhir dengan Richard, aku menghela nafas. Waktu itu samar-samar aku menangkap keresahan hati Richard. Bayangan-bayangan pe

DMCA.com Protection Status