Aku meratapi nasibku yang malang. Dahiku bersandar di kaca jendela mobil Kak Sukma. Aku tidak mempedulikan bahwa wanita itu melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Aku hanya ingin kembali. Payah sekali terjebak dalam situasi aneh seperti ini.
"Kamu yakin alamatnya benar?" Kak Sukma menghentikan mobil di sebuah gedung perkantoran. "Yakin lah, Kak. Yang cari info bukan orang sembarangan kok." "Oke. Ayo kita cari orang." Kak Sukma melangkah turun dari mobil. Auranya seperti singa betina yang sedang memburu mangsa. Aku membuntuti turun dari mobil, hanya saja langkahku tidak segarang Kak Sukma. Aku seperti Siberian Husky yang melonjak-lonjak ceria. Lift membawa kami naik ke lantai lima. Rupanya sebuah biro iklan yang cukup ternama. Aku terheran, memangnya Daniel punya kualifikasi yang cukup untuk bekerja di tempat ini? Selagi otakku masih sibuk berpikir, Kak Sukma sudah berdiri tEntah mimpi apa aku semalam, begitu bangun aku menerima video call Richard. Dia mengucapkan selamat pagi dengan suara yang membuat pikiranku berkelana. Aduh, Richard. Kamu membuatku tidak normal. "Kenapa? Kok diam?" tanya Richard penasaran. "Emm... Nggak apa-apa. Baru bangun tidur, masih blank," dustaku. "Semalam nggak tidur?" Richard terlihat khawatir. "Tidur kok. Kamu aja yang nelpon pagi-pagi bikin orang nggak fokus," ledekku. "Oh, aku harus lebih sering telepon pagi-pagi nih kayaknya." "Kalau dekat kutonjok kamu," ancamku. "Berani? Ayo sini," tantang Richard. "Reseh ah!" Aku tertawa. "Ngomong-ngomong aku udah dapat informasi tentang Daniel." Richard bersandar malas di kepala tempat tidur. "Oh ya? Kok bisa? Cepat sekali? Di mana dia?" tanyaku antusias. "Kamu ng
Tidak sampai sepuluh menit Richard sudah tiba di depan gedung kantor Daniel. Mobilnya mengklakson dari tepi jalan. Aku yang sedang duduk merenung di undakan tangga langsung berlari menghampiri. Begitu duduk dalam mobil Richard segera merangkul dan mencium pipiku. "Kamu sendirian?" tanya Richard. "Tadi datangnya dengan Kak Sukma. Aku minta dia pulang duluan." "Oh, begitu. Bagus, Hazel. Jadi nggak ada yang bisa mengganggu kita." Richard tertawa. Aku tersipu mendengar kata-kata Richard. "Mau ke penthouse?" tanya Richard. "Nggak akan jadi masalah?" "Tenang aja. Kita masuk dari pintu belakang." "Ada ya?" Aku tercengang. "Ada." Richard tersenyum lebar. "Nanti kalau Bernard atau Bryan naik gimana?" "Aku udah sms Bryan. Dia menggantikanku di kantor." Ak
Jeritan memekakkan telinga itu dapat kukenali di manapun. Siapa lagi kalau bukan Wahyu? Sebagai teman aku tidak tega membiarkannya sendirian di stasiun. Bukan karena kasihan dianya, tapi kasihan orang-orang di stasiun yang diajak ngobrol Wahyu secara acak. "Hazeeeelll!! Akhirnyaaa kesampaian juga nginap di rumah lo!" Wahyu melonjak-lonjak kegirangan. "Lo lagi stres?" ledekku tanpa sungkan. Wahyu terbahak-bahak, "Pekerja kayak kita ini kapan nggak stresnya sih, Bro? Lembur tiap hari, ditolak cowok, diteror keluarga disuruh kawin, eh nikah." "Gue biasa aja tuh? Stres dibawa asyik aja." "Cih, lo mah enak udah punya pacar. Gue? Bayangan gue aja kadang-kadang kabur pergi." "Buruan naik." Aku mendorong Wahyu naik ke angkutan umum. Terserah dia mau bicara sampai kapan, yang penting sampai rumah dulu. "Kapan gue ketemu sama prince charming?" Wahy
Aku hampir lupa dengan ajakan Hendri. Sekarang lelaki ini berdiri di dalam rumah dengan tatapan bertanya, melihat kami berdua yang baru saja tertawa seperti orang gila. "Sorry, Hen. Temanku baru datang," kataku dengan mimik bersalah. "Oh, gitu ya? Tapi kita tetap bisa jalan kan?" Hendri tersenyum. Aku melirik Wahyu. Sahabatku itu tidak terkesan sama sekali dengan senyuman Hendri. "Sorry, lain kali aja ya?" kataku penuh penyesalan. "Ah, tapi aku udah susah payah ngumpulin teman-teman loh. Ikutlah kali ini. Temanmu juga boleh ikut," bujuk Hendri. "Gue nggak berminat. Baru aja sampai, masih capek," ketus Wahyu. Tidak kusangka Wahyu tidak mengalah! Aku menatapnya dengan mata berbinar, mengucapkan terima kasih secara tersembunyi. Wahyu mengedipkan sebelah mata. "Kenapa mendadak ingkar janji?" Hendri masih berusaha mempengaru
"Kita mau jalan ke mana nih? Nggak mungkin kan seharian di rumah aja?" tanya Wahyu. "Di rumah juga bagus. Lo bisa belajar melukis untuk menenangkan jiwa," ledekku. "NO WAY! Ayo ke mal! Kaki gue udah gatal mau jalan!" Wahyu berseru penuh semangat. Berhubung Wahyu adalah tamu di rumahku, maka aku menurutinya. Kami pergi ke sebuah pusat perbelanjaan yang bersebelahan dengan pusat kuliner dan taman raksasa. Hal pertama yang dicari Wahyu adalah junk food, makanan cepat saji. Aku ikut saja. Tidak ada salahnya makan kenyang sebelum bermain. Selesai makan Wahyu menyeretku mengelilingi mal. Dia adalah wanita muda yang senang belanja. Meskipun lemari pakaian di kostnya sudah penuh sesak tetap saja Wahyu senang membeli baju baru. "Bro, istirahat dulu dong," gerutuku. "Apa? Istirahat? Belum semua toko gue jelajahin, lo udah minta istirahat? Lemah amat kaki lo?" Wahyu m
Langit sudah gelap ketika aku dan Wahyu kembali ke rumah. Untung lampu jalanan di sekitar komplek terang benderang sehingga kami melangkah dapat melangkah gagah berani. Kalau tidak dijamin kami pasti terbirit-birit melewati pohon karet yang berjejer di depan komplek. "Kayaknya gue harus sering-sering nginap di rumah lo, Bro. Enak banget bisa jalan berdua tanpa beban," celetuk Wahyu. "Sial. Kata-kata lo ambigu banget sih?? Cari pacar deh buruan!" Aku menyikut Wahyu. "Pangeran berkuda putih gue belum muncul, Bro!" seru Wahyu. "Heh, berisik! Pelanin suara! Lo pikir ini rumah kost elo yang penghuninya nggak pernah tidur?" Wahyu tertawa, "Kapan-kapan lo nginap di kost gue lagi, Bro. Ada yang nanyain elo tuh." "Cih, gue kan udah punya pacar." "Sombongnyaaa tuan putri satu ini. Coba gue jadian sama Bryan, seru kan? Bisa tukaran pasangan." Wahyu
"Gue nggak percaya akhirnya bisa dapat nomor si Bima." Wahyu berbaring terlentang sambil memainkan handphone dengan sayang. "Gue ngakak lihat mukanya, Bro! Elo sih nekat. Di tengah medan perang bisa-bisanya gaet cowok!" Aku tertawa. "Cowok ganteng nggak boleh disia-siakan Bro. Lagian orangnya nggak jahat kan?" "Nggak sih. Lempeng banget malah. Sayang dia ada di pihak lawan." "Yah, siapa tau berjodoh sama gue." Handphoneku berbunyi nyaring. Richard menelepon. Aku memberi kode pada Wahyu untuk hening sejenak. "Kasih tau Richard kalau elo didatangi utusan bapaknya!" seru Wahyu. "Nggak usah. Urusannya udah banyak. Kasihan kalau ditambah pusing hal kecil kayak gini." Wahyu mengangkat bahu. Aku menjawab panggilan video call tersebut... "Hai," sapaku dengan senyum manis di wajah.&nbs
Minggu menjelang siang setelah berpamitan dengan Elisabet, aku dan Wahyu melakukan perjalanan ke ibukota. Aku sengaja tidak memberitahu Richard. Sementara pagi-pagi Wahyu sudah mencoba berkirim pesan singkat dengan Bima. Hasilnya? Diabaikan! "Makanya, Bro, baru kenal jangan kelewat agresif. Gue aja ngeri baca sms lo." Aku mencibir. "Habisnya mau gimana lagi? Gue takut keburu diserobot orang, Bro!" Wahyu menyeringai. "Pakai jurus wanita lemah lembut dong. Cowok mana yang nggak bakal luluh kalau diperlakukan lemah lembut?" "Loh, emang selama lo lemah lembut sama Richard? Bukannya sikap lo nggak ada cewek-ceweknya?" ledek Wahyu. "Kurang asem lo! Jangan dibandingin! Richard tuh jodoh gue, mau diapain pun nggak bakal pergi." Aku merengut keki. "Ups, gue lupa. Sorry Bro. Gimana kemajuan kalian berdua? Udah begitu belum?" Wahyu berkedip genit. "
Kepala pelayan terlompat kaget karena suara keras Abram. Lelaki tua itu, maksudku, calon ayah mertuaku berjalan ke arah kami seperti singa jantan yang sudah pensiun. Bahunya merosot, sorot matanya tidak segarang dahulu, dan wajah tampannya ditumbuhi janggut pendek. Aku terkesima melihat perubahan Abram. Richard pun sama terkejutnya seperti aku. Rupanya kekuasaan berbanding lurus dengan penampilan. "Ayah, aku sudah melamar Hazel," kata Richard. Abram duduk dengan anggun di sofa. Dia menunjuk ke arah sofa di hadapannya, tanda bagi kami untuk duduk. "Kamu sudah melamar Hazel?" Abram mengulang kata-kata Richard. Matanya jatuh pada kilau di jari manisku. "Ya." "Lalu apa tujuanmu kemari? Mau memamerkan bahwa kamu sekarang bisa berbuat apa saja?" ketus Abram. Meskipun sudah kalah tapi dia belum kehilangan seluruh semangat juangnya. "Ini ta
Langit mulai temaram saat mobil Richard tiba di depan rumahku. Sepanjang perjalanan aku tidak hentinya memandangi cincin di jari manisku, juga memandangi Richard sampai mengganggu konsentrasinya menyetir. Syukurlah kami tiba dengan selamat. "Mau langsung kasih tau mama?" tanyaku memastikan. "Iya dong. Mana boleh merahasiakan dari mamamu." Richard meremas tanganku. Kami pun berjalan berdampingan ke dalam rumah. Elisabet sudah duduk menunggu di sofa. Melihat wajahnya yang cerah aku bisa menebak kalau Elisabet sudah tahu. "Cepat juga kalian pulang? Mama pikir bisa sampai malam urusannya?" Elisabet tersenyum misterius. "Semuanya berjalan lancar, Bu," ujar Richard. Elisabet mengangguk. Sepasang matanya menatap dalam menembus jiwa. Kedua tangannya menyatu di pangkuan. Aku menarik Richard duduk bersebelahan di sofa, berhadapan dengan Elisabet. E
Aku menapaki langkah penuh kenangan. Seolah sudah lama sejak terakhir kali aku menjejakkan kaki di penthouse ini. Semuanya masih tampak sama, begitu juga dengan pemiliknya. "Kamu tau, aku berharap memiliki kemampuan untuk membaca pikiran. Aku ingin tau apa yang sedang kamu pikirkan sekarang." Richard memelukku dari belakang. Aku mendesah nyaman, "Jangan. Membaca pikiran itu nggak menyenangkan. Terlalu berisik." "Aku harus ajak kamu meeting lagi. Kamu bisa memperingatkan kalau lawan bisnisku punya maksud tidak baik." "Nggak mau! Enak aja. Emangnya aku alat pendeteksi kebohongan?" Aku tertawa. "Nggak lah. Mana ada pendeteksi kebohongan secantik ini?" goda Richard. "Kamu... Makin gombal!" "Tapi suka kan?" Richard memutar tubuhku hingga kami berhadapan. Aku menatap matanya dalam-dalam. Sepasang sayap putih miliknya turut me
"Tidak terima!" Abram membentak keras. Suaranya mengalahkan suara orang-orang yang berkumpul dalam ruang meeting besar di gedung pusat Yilmaz Group. "Dengan segala hormat, Ketua Komisaris. Melihat perkembangan perusahaan saat ini ada baiknya Anda bertindak dengan kepala dingin. Jangan berdasarkan ego." Bryan menatap tajam lawan bicaranya yang duduk di tempat terhormat. "Kalian anak-anak kemarin sore! Jangan kira aku tidak tau kalau semua ini adalah rencana kalian! Berani meremehkanku? Akan kutendang kalian semua dari keluarga!" Abram meraung seperti binatang liar. "Justru karena kami masih memandang Ayah, maka kami mengambil jalan ini. Apa yang terpenting saat ini? Menyelamatkan perusahaan, menyelamatkan ribuan bahkan puluhan ribu karyawan yang bernaung di bawah Yilmaz Group? Atau mempertahankan ego Anda?" Richard bertutur dengan halus. Abram termenung. Alisnya bertaut. Berulang kali dia memiki
Yilmaz Group mengalami guncangan hebat. Harga saham merosot drastis hingga nyaris tidak berharga. Banyak pemegang saham menjual saham mereka sebelum merugi semakin banyak. Dewan direksi mengadakan pertemuan internal darurat tanpa menyertakan Ketua Komisaris. Berita di media elektronik masih menerpa seperti badai. Para awak media mengepung kediaman Abram dan gedung kantor pusat Yilmaz Group. Abram menyembunyikan diri rapat-rapat. Bahkan gorden jendela di kediamannya pun tidak pernah dibuka. Siapa pernah menyangka bahwa perusahaan sebesar Yilmaz Group akan jatuh karena ulah pimpinannya sendiri? "Bro, gue mau ketemu Hazel. Lo bisa tangani keadaan di sini sendiri?" kata Richard pada Bryan yang duduk di seberang meja. "Lo tau kan saudara lo ini bisa diandalkan?" Bryan menyeringai. "Ya, sekarang gue tau." Richard terkekeh. "Pergilah dengan tenang. Bersenang
Dua lelaki tampan duduk berhadapan bagaikan lukisan. Mereka sedang berada di tengah pembicaraan serius. "Bagaimana Brother? Udah dipikirkan baik-baik?" tanya Bryan. Richard tampak termenung di meja kerjanya. Wajahnya terlihat muram. "Gimana hubungan lo dengan Hazel? Udah lebih baik, kan?" "Baik. Tapi... Gue merasa kayak ada sesuatu yang tersembunyi." Richard berkata perlahan. Bryan menghela nafas, "Kalau nggak ada yang tersembunyi bukan wanita lah namanya. Itu yang menciptakan misteri yang menarik kita makhluk laki-laki." Richard menatap Bryan tajam, "Menurut lo begitu?" "Hei, pengalaman gue dengan wanita jauh lebih banyak dibanding lo. Tentu aja gue mengenal wanita lebih baik," kata Bryan sombong. "Menyesal gue nanya." Richard menahan tawa. Bryan menepuk meja dengan kesal, "Sekali-sekali dengar sauda
Ketika rasa kecewa pernah menempati hatimu, selamanya perasaan itu akan tinggal, mengintai dari sudut yang tergelap, menanti kapan saat yang tepat untuk merayap keluar. Seperti itulah kondisiku saat ini. Meskipun Richard telah menjelaskan semuanya dengan sangat baik—ditambah aku melihat isi hatinya—kekecewaan itu masih mengancam. Satu minggu lagi telah berlalu sejak kedatangan Richard dengan penjelasannya. Sesuai janji, setiap malam Richard meneleponku, menceritakan hal-hal yang dikerjakan sehari-hari, termasuk siapa saja yang ditemui. Aku tahu Richard tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Dia tidak mau kehilangan diriku. Aku juga menyibukkan diri dengan pekerjaan. Kak Sukma dan Irwan adalah dua klien tetap yang perlahan menjadi teman. Belum lagi ada Wahyu dengan celotehan super konyolnya yang membuatku selalu tertawa. Aku tidak kekurangan kegembiraan. Aku cuma kekurangan kehadiran Richard. "Apa
Selain kabar menggembirakan dari Kak Sukma, sepanjang hari ini tidak ada lagi hal menyenangkan yang dapat mengalihkan pikiranku dari foto-foto Richard bersama wanita cantik. Aku kesal, tapi tidak ingin mendengar penjelasan. Lagipula bukankah seminggu terakhir Richard tidak meneleponku karena sedang sibuk dengan wanita lain? Apakah ada kebetulan seperti itu? Terlalu kebetulan... Hingga sore hari aku duduk terpekur di teras. Aku tahu ini terdengar dan terlihat bodoh, juga tidak sesuai dengan karakterku sama sekali. Namun, jika hati sudah menguasai logika apa yang dapat kulakukan? Kupikir-pikir ini pertama kalinya aku kecewa lagi. Oh, salah. Yang pertama kali adalah saat kematian ayahku, jadi ini adalah yang ke dua. "Hazel, kamu nggak mau makan siang? Udah jam dua loh. Sebentar lagi Mama mau ke galeri ambil bingkai pesanan. Kamu mau ikut?" Elisabet berjongkok di sebelahku. "Nggak, Ma. Aku jaga rum
Sehabis hujan rerumputan di pekarangan rumah Elisabet berwarna hijau cerah. Udara pagi yang sehari-hari sejuk kini bertambah dingin. Aku menginjak rumput dengan kaki telanjang. Sensasi sisa embun dingin membuatku bergidik. Aku mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi dan menarik nafas dalam. Segar sekali. Aku melihat sekeliling. Pandanganku bertemu dengan ayam jantan Mak Endah. Ayam jantan itu bertengger angkuh di atas pagar, memandang rendah dunia. "Dasar ayam... Gue potong tau rasa lo...." Aku berbicara sendiri. Tanaman airmata pengantin sudah merambat tinggi, membentuk kerimbunan yang menyejukkan mata. Aku menyentuh daunnya yang berbentuk hati. Bunga-bunga mungil berbentuk lonceng berwarna merah muda mulai bermunculan di sana-sini. Cantik sekali. Teringat pada percakapan terakhir dengan Richard, aku menghela nafas. Waktu itu samar-samar aku menangkap keresahan hati Richard. Bayangan-bayangan pe