Pertemuan dengan Daniel tadi siang membuat hatiku terganjal. Aku tidak sabar menunggu malam tiba untuk bisa mengobrol dengan Richard. Aku sudah mengirim pesan singkat untuk janjian jam berapa kami video call.
"Richard!" Aku berseru kegirangan melihat wajah familiar muncul di layar handphoneku. "Hai, apa kabarmu, Hazel?" Richard tersenyum menawan. Wajahnya terlihat lelah. "Kangen...." Aku merajuk. "Aku juga." "Banyak kerjaan hari ini?" tanyaku. "Yah, seperti biasa, banyak meeting nggak berguna. Untung sekarang aku bisa bagi tugas dengan Bryan." "Dia bisa diandalkan juga ya?" "Kami kan berasal dari satu sel telur." Richard tertawa. "Gimana kesibukanmu?" "Kenapa malah ngomongin sel telur?" gerutuku. "Karena itu adalah fakta, Sayang," goda Richard. "Pekerjaan lancar? Baik?"&Tidak hujan tidak angin, Wahyu menelepon siang-siang. Aku yang sedang asyik mempersiapkan final artwork untuk desain Kak Sukma sampai tercengang-cengang mendengar kecepatan bicaranya yang melebihi bullet train. "Lo lagi ngapain? Kerja? Kerja apa? Emang sama Irwan udah ada deal?" cerocos Wahyu. "Ya iya lah ker–" "Aaaahhh kepala gue kayak mau pecah!" potong Wahyu dengan brutal. Aku menghela nafas. Ada baiknya membiarkan dia bicara daripada aku keki karena dipotong melulu. Sepertinya Wahyu hendak mencurahkan isi hati. "Tau nggak sih? Tadi pagi sekantor mati listrik! Kerjaan gue lupa di-save! Sia-sia kerjaan gue selama satu jam, Bro! Nangis darah deh! Mana gue diketawain lagi pas curhat." cerocos Wahyu. "Hmm..." Aku sudah biasa menghadapi Wahyu yang mendadak panik karena masalah pekerjaan jadi tidak ikut panik. "Apanya 'hmm'?? Yang keta
Hal yang wajib dilakukan seorang desainer freelance, mengecek file final artwork minimal tiga kali untuk mencegah terjadi kesalahan fatal saat naik cetak. Karena sebagai freelancer aku tidak punya rekan atau atasan yang dapat membantu memeriksa. Yakin tidak ada masalah aku menyimpan file dalam CD. Kubuat rangkap dua. Satu untuk klien, satu lagi untuk arsip pribadiku. CD berisi final artwork kumasukkan bersama proof cetak yang telah disetujui. "Pagi, Kak Sukma. Mau mengingatkan, jam sembilan aku ke kantor ya. Final artwork sudah siap," kataku dalam percakapan seluler dengan Kak Sukma. "Oke, sampai ketemu, Hazel," jawab Kak Sukma. Aku tertegun. Suara Kak Sukma terdengar tidak bersemangat? Padahal empat hari yang lalu saat bertemu untuk minta persetujuan proof cetak Kak Sukma masih bersemangat dan berbunga-bunga bercerita tentang Daniel? Insting laba-labaku, maksudku, fira
"Maksud Kak Sukma? Menghilang bagaimana?" Sumpah, aku benar-benar melongo. "Dia nggak menjawab telepon, nggak membalas pesan singkat, apalagi email. Padahal dia udah berjanji nggak akan hilang kontak." Raut wajah Kak Sukma bagaikan orang sedang disiksa. Sangat tidak nyaman dipandang. "Tapi... Terakhir bertemu kapan?" "Satu minggu yang lalu," keluh Kak Sukma. "Oh, yang pas kita meeting di cafe?" "Iya, betul." "Kak, dia udah berbuat apa?" tanyaku curiga. "Oh, Hazel. Aku benar-benar bodoh. Dirayu lelaki dan langsung menyerahkan semuanya!" Kak Sukma kini terisak. Wajahku memucat. Daniel brengsek itu! Tidak kusangka dapat mempermainkan wanita seperti ini! Seketika aku menyesal karena tidak memberitahu penglihatanku pada Kak Sukma. "Maaf, Kak... Tapi orang kayak gitu nggak pantas ditangisi. Pantasnya dilapo
Karena janji Richard maka jadilah seharian ini aku tidak bisa tenang. Duduk gelisah, rebahan gelisah, mondar-mandir mengitari komplek dengan gelisah. Saat makan siang pun aku tidak tenang, membuat Elisabet mengomel. "Aduh, kalau makan tenang sedikit dong. Kayak lagi di tengah perang aja?" gerutu Elisabet. "Nggak kok. Aku tenang kok, Ma," sahutku setengah hati. "Ini loh. Iniiiiii." Elisabet menunjuk pada nasi yang berceceran. "Ups, sorry, nggak lihat." Aku mengambil tisu dan membersihkan ceceran nasi. "Biar tenang mendingan kamu melukis. Hati tenang, dapat uang, Mama senang." Elisabet menyunggingkan senyum seorang wanita yang perhitungan dengan uang. "Nggak ah. Mending aku cari orderan desain." "Emang kamu mau ke mana siang begini?" "Carinya secara online dulu, Ma. Kan sekarang jaman digital." "B
Aku dan Richard rebah berhadapan. Dia melepasku setelah semua kerinduannya terlampiaskan. Kami bertatapan seolah tidak ada hari esok. Wajah ganteng Richard tampak lelah. Apakah pekerjaannya kini begitu sibuk? "Richard...." "Hmm?" Dia bergumam. "Kalau capek tidur aja. Aku nggak kemana-mana," bujukku. "Aku mau melihatmu," sahut Richard. Kalimat sederhana itu membuatku tersipu. "Kita kan hampir setiap hari video call," lirihku. "Tetap saja berbeda dengan bertemu langsung. Video call nggak bisa menyentuh, mencium, merasakan...." Usai berkata bibir Richard menempel di bibirku. "Emm... Belum cukup ya?" Aku menunduk malu. "Belum. Malam ini kita nggak bakal tidur," goda Richard. "Hah, kamu nggak pulang?" Aku melongo. "Kenapa? Kamu mau aku cepat pergi?" &
"Kamu nih! Beneran ngajak orang bergadang! Udah ah, lanjut besok pagi." Aku merajuk. Bibirku hampir mati rasa karena Richard. "Yakin? Sebentar lagi pagi loh," ledek Richard. "Biarin! Aku mau tidur!" "Nanti dulu, sebentar lagi," bujuk Richard. Aku tidak mempedulikan bujukannya. Aku membenamkan wajah di dada Richard dan memejamkan mata kuat-kuat. Tanganku mengunci di punggungnya. "Hei, malah ngajak gulat." Richard tertawa. Aku tidak menjawab. Mataku benar-benar sudah berat. Aku tahu Richard dapat dengan mudah melepas kuncianku, tapi dia tidak melakukannya. Dia membelai rambutku dengan lembut. Suara detak jantung di dadanya membantuku terlelap. "Selamat tidur...," bisik Richard. Aku bergumam pelan. Tidurku nyenyak tanpa mimpi. Hanya sesekali aku terbangun setengah sadar karena merasa kegerahan, setelah i
Setelah makan Richard masih bermanja-manja denganku. Sedetik pun dia tidak meninggalkan tempat tidurku, padahal aku sibuk dengan laptop. Ada saja yang Richard lakukan untuk menggangguku. Seperti menarik kursiku seenaknya, atau menutup laptopku, atau mencuri-curi kesempatan untuk menciumku. Pada intinya aku jadi lebih sibuk menghadapi Richard daripada mengurus diriku. Richard yang manja dan jahil membuatku kewalahan. Dalam hati aku bertanya-tanya, ke mana perginya Richard yang kalem? "Hei, kok kamu bisa berubah jadi manja seperti ini? Bukannya terbalik? Seharusnya aku yang manja?" tanyaku. "Sekali-sekali," ucap Richard. Aku tersenyum geli. Mana bisa marah dengan wajah seperti itu? Tampaknya aku harus membiasakan diri dengan sisi kepribadian Richard yang baru muncul ini supaya tidak kaget di kemudian hari. Sebelum pulang Richard memeluk dan menciumku dengan agresif. Dia tidak r
Aku meratapi nasibku yang malang. Dahiku bersandar di kaca jendela mobil Kak Sukma. Aku tidak mempedulikan bahwa wanita itu melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Aku hanya ingin kembali. Payah sekali terjebak dalam situasi aneh seperti ini. "Kamu yakin alamatnya benar?" Kak Sukma menghentikan mobil di sebuah gedung perkantoran. "Yakin lah, Kak. Yang cari info bukan orang sembarangan kok." "Oke. Ayo kita cari orang." Kak Sukma melangkah turun dari mobil. Auranya seperti singa betina yang sedang memburu mangsa. Aku membuntuti turun dari mobil, hanya saja langkahku tidak segarang Kak Sukma. Aku seperti Siberian Husky yang melonjak-lonjak ceria. Lift membawa kami naik ke lantai lima. Rupanya sebuah biro iklan yang cukup ternama. Aku terheran, memangnya Daniel punya kualifikasi yang cukup untuk bekerja di tempat ini? Selagi otakku masih sibuk berpikir, Kak Sukma sudah berdiri t