Sapuan kuas di tangan Richard sedikit tidak stabil. Wajahnya begitu serius, kedua alis bertaut. Aku tersenyum geli melihat keseriusannya belajar melukis. Elisabet pun turut mengawasi dari sebelah sana.
Richard mengusap keringat di dahinya dengan punggung tangan. Aku benar-benar menahan tawa sampai terbungkuk. Cat bewarna kuning melintang di dahi Richard. Aku mengusap cat nyasar itu dengan sepotong kain. "Melihat cara kerja kalian satu lukisan pun nggak akan selesai," ledek Elisabet. "Mama...." Wajahku merah padam. Richard meringis, "Ternyata melukis nggak semudah yang terlihat." "Betul sekali. Perlu latihan dan kesabaran," ujar Elisabet. "Aku akan coba selesaikan lukisan ini di waktu luang," kata Richard. "Bagus. Kalau selesai akan kubawa ke galeri," kata Elisabet. "Lumayan kalau terjual," timpalku. RHari yang normal di antara hari-hari lainnya. Aku dan Elisabet menyibukkan diri di depan canvas masing-masing. Berdasarkan imajinasi aku berusaha melukis pemandangan matahari tenggelam di tepi pantai. Lumayan. Lukisan karya Richard belum juga selesai. Aku ingin membantu menyelesaikan tapi ditolak mentah-mentah oleh Richard. Dia ingin melakukan sendiri. Baiklah. Ada bagusnya juga. Siapa tahu kemudian hari Richard juga bisa mendapatkan uang dari melukis, meskipun aku meragukannya. Suara pintu diketuk membuat kami heran. Siapa yang bertamu siang begini? Aku bangkit keluar. Mataku melebar melihat Bryan berdiri di pintu masuk. "Hai, Hazel," Bryan tersenyum manis. "Hai...." Aku meringis seperti orang kena stroke ringan. "Apa kabarnya? Richard sedang kerja?" "Iya. Kok tau?" "Ayah yang tau." Aku menduga Bryan datang karena peri
Menunggu adalah pekerjaan yang paling menyiksa. Apalagi mengetahui bahwa Bryan menunggu untuk membujuk Richard kembali ke ayahnya. Begitu pulang Richard pasti dapat menebak apa yang terjadi. Matanya tidak buta. Tiga mobil hitam yang parkir di depan rumah sangat mencolok perhatian. "Hazel!" Richard menghambur masuk. Pandangannya langsung tertuju pada Bryan. "Richard," panggilku. "Kamu nggak apa-apa?" Richard menghampiriku dengan cemas. "Nggak apa-apa. Cuma ngobrol kok." Richard berbalik menghadapi Bryan, "Mau apa lo datang ke sini? Suruh anak buah lo pergi!" "Lo pikir gue mau datang kayak begini? Kalau bukan karena ayah ngapain gue ganggu kalian?" Bryan meringis. "Dia nyuruh lo ngapain?" tanya Richard. "Apa lagi? Membujuk lo supaya mau ikut pulang." "Bilang sama dia, gue udah nggak ada hubungannya deng
Aku teringat kisah Sam Pek Eng Tay, kisah cinta antara dua anak manusia yang tidak dapat bersatu hingga akhir hayat. Dulu aku menganggap kisah cinta yang tidak direstui hanyalah karangan yang kelewat imajinatif. Namun, sekarang aku sendiri mengalaminya! Rasanya ingin memaki dengan segala kata makian dari berbagai bahasa yang kutahu. Kubatalkan, karena percuma saja aku memaki kalau tidak ada sasarannya. Aku ingin sekali memaki-maki di depan muka Abram. Kalau perlu melempar barang ke wajah lelaki tua mesum itu. Kesal. Aku kesal karena Richard memutuskan mengalah pada Abram demi keselamatanku. Aku mengerti maksud perbuatannya, tapi tetap saja sulit untuk menerima. "Hazel, kalau kamu uring-uringan terus besok aku batal pergi ya?" Richard menyentil dahiku. "Aduh, apaan sih? Reseh ah." Aku merengut. "Mau jalan sebentar?" "Ayo." Kami berdua berj
Ayam jantan Mak Endah berkokok dengan lantang, karena hanya dia satu-satunya ayam jantan di komplek kami, lainnya ayam betina. Bisa dibayangkan betapa tinggi ego ayam jantan itu dong? Meskipun seharusnya mulai berkemas tapi Richard ngotot tetap berpelukan. Sebenarnya aku mulai kegerahan. Sedikit-sedikit aku menggeliat seperti cacing kena abu. Richard tidak merasa terganggu sedikit pun. "Belum mau bangun?" tanyaku. "Belum...," gumam Richard. "Nggak lapar?" "Nggak...." "Mau jalan sebentar?" "Nggak...." Aku kehabisan ide. Bahu Richard terguncang karena tertawa tanpa suara, "Apa lagi hayo?" "Richard! Bangun deh! Kamu nyebelin!" seruku. "Tapi suka kan?" "Pindah posisi dong. Aku kesemutan nih," pintaku. Richard berguling, menarikku
"Apa rencana ayah?" tanya Richard. Dia sudah berada dalam mobil Bryan dan sedang melaju ke ibukota. "Seharusnya lo tau. Jadiin lo sebagai penerus bisnis," sahut Bryan cuek. Richard menghela nafas, "Kinerja lo buruk?" "Sembarangan! Gini-gini gue udah menghasilkan uang untuk Yilmaz Group!" "Gue percaya, Brother. Gimana pun juga kita saudara." "Terus, Hazel gimana?" tanya Bryan. "Gue akan cari cara." Richard geram. Matahari sudah tinggi di langit saat kedua bersaudara itu tiba di kediaman Abram. Mereka langsung menemui sang ayah. Richard juga tidak ingin banyak berbasa-basi, hendak menanyakan apa rencana Abram. Richard berjalan mondar-mandir di ruang tamu yang sangat luas. Bryan duduk santai di sofa. Wajahnya acuh tak acuh. "Richard. Kamu kembali." Abram muncul dengan seringai tidak sedap di wajah.
Bryan mengantarkan Richard ke penthouse. Saat ini tidak ada Hazel di sisi Richard yang dapat menenangkan. Bryan harus meletakkan harapannya pada ruang olahraga di penthouse. Tidak mungkin dia mengajukan diri sebagai samsak. Kedatangan dua lelaki kembar identik yang tampan menarik perhatian semua orang di lobby gedung, wanita maupun lelaki. Richard tidak mempedulikan sapaan orang, dia berjalan lurus ke lift eksklusif. Beda halnya dengan Bryan yang sesekali membalas sapaan wanita-wanita cantik. "Masih suka tebar pesona," ejek Richard saat lift bergerak naik. "Bukan salah gue banyak penggemar. Lo aja yang nggak menghargai makhluk ciptaan Tuhan," balas Bryan. Richard tidak menyahut. Baginya seorang Hazel lebih dari cukup. Pintu lift terbuka di lantai dua puluh satu. Richard melihat sekeliling. Keadaannya masih sama persis seperti saat ditinggalkan. "Kenapa ngga
Malam tiba. Aku duduk termenung di depan jendela. Sejak kepergian Richard tadi pagi rumah terasa sepi. Hingga sekarang dia juga belum memberi kabar bagaimana situasi dengan ayahnya. Aku sedikit cemas. Setiap kali handphone berbunyi aku melihat dengan penuh semangat hanya untuk kecewa karena bukan Richard yang menelepon atau mengirim pesan singkat. Yah, sudahlah. Mungkin dia sedang berada di tengah masalah. Toh masih ada hari esok. Handphoneku berdering. Aku sudah tidak antusias untuk melihat. Mataku membulat melihat nama Richard berkedip di layar. Dia menelepon! "Richard!" seruku. "Hai, Hazel." Wajah Richard tampak cerah. "Gimana keadaanmu? Semua baik?" tanyaku tanpa menyembunyikan kekhawatiran. "Baik. Semuanya baik, Hazel. Lihat, aku udah kembali ke penthouse." "Iya, aku lihat." Aku berbaring di tempat tidur. "Belum ti
Malam ini aku dan Richard mengobrol sampai pagi. Saling menggoda, saling merayu, hingga akhirnya aku tumbang terlebih dulu. Tertidur dengan handphone masih menyala. Begitu terbangun hari sudah siang. Richard sudah tidak tampak. Hatiku kembali merasa sepi. Aku menghibur diri dengan berpikir, semua ini kami jalani demi hari-hari yang lebih baik. Oke! Saatnya mandi dan bekerja! Aku menepuk-nepuk pipi supaya semangat. Saat mandi sengaja kuguyur tubuh dengan air dingin. Begitu air dingin menyentuh kulit aku langsung menyesal. Aku cuma mau menambah semangat, bukan mau mengurangi umur! "Hazel, udah tau cuaca lagi mendung, malah mandi air dingin. Kamu cari penyakit," omel Elisabet. "Biar semangat, Ma...." Gemetaran, gigiku beradu. Aku duduk di meja makan dengan selimut tebal membungkus sekujur tubuh. "Nih, minum." Elisabet meletakkan gelas belimbing di depanku. Uap