Aku teringat kisah Sam Pek Eng Tay, kisah cinta antara dua anak manusia yang tidak dapat bersatu hingga akhir hayat. Dulu aku menganggap kisah cinta yang tidak direstui hanyalah karangan yang kelewat imajinatif. Namun, sekarang aku sendiri mengalaminya!
Rasanya ingin memaki dengan segala kata makian dari berbagai bahasa yang kutahu. Kubatalkan, karena percuma saja aku memaki kalau tidak ada sasarannya. Aku ingin sekali memaki-maki di depan muka Abram. Kalau perlu melempar barang ke wajah lelaki tua mesum itu. Kesal. Aku kesal karena Richard memutuskan mengalah pada Abram demi keselamatanku. Aku mengerti maksud perbuatannya, tapi tetap saja sulit untuk menerima. "Hazel, kalau kamu uring-uringan terus besok aku batal pergi ya?" Richard menyentil dahiku. "Aduh, apaan sih? Reseh ah." Aku merengut. "Mau jalan sebentar?" "Ayo." Kami berdua berjAyam jantan Mak Endah berkokok dengan lantang, karena hanya dia satu-satunya ayam jantan di komplek kami, lainnya ayam betina. Bisa dibayangkan betapa tinggi ego ayam jantan itu dong? Meskipun seharusnya mulai berkemas tapi Richard ngotot tetap berpelukan. Sebenarnya aku mulai kegerahan. Sedikit-sedikit aku menggeliat seperti cacing kena abu. Richard tidak merasa terganggu sedikit pun. "Belum mau bangun?" tanyaku. "Belum...," gumam Richard. "Nggak lapar?" "Nggak...." "Mau jalan sebentar?" "Nggak...." Aku kehabisan ide. Bahu Richard terguncang karena tertawa tanpa suara, "Apa lagi hayo?" "Richard! Bangun deh! Kamu nyebelin!" seruku. "Tapi suka kan?" "Pindah posisi dong. Aku kesemutan nih," pintaku. Richard berguling, menarikku
"Apa rencana ayah?" tanya Richard. Dia sudah berada dalam mobil Bryan dan sedang melaju ke ibukota. "Seharusnya lo tau. Jadiin lo sebagai penerus bisnis," sahut Bryan cuek. Richard menghela nafas, "Kinerja lo buruk?" "Sembarangan! Gini-gini gue udah menghasilkan uang untuk Yilmaz Group!" "Gue percaya, Brother. Gimana pun juga kita saudara." "Terus, Hazel gimana?" tanya Bryan. "Gue akan cari cara." Richard geram. Matahari sudah tinggi di langit saat kedua bersaudara itu tiba di kediaman Abram. Mereka langsung menemui sang ayah. Richard juga tidak ingin banyak berbasa-basi, hendak menanyakan apa rencana Abram. Richard berjalan mondar-mandir di ruang tamu yang sangat luas. Bryan duduk santai di sofa. Wajahnya acuh tak acuh. "Richard. Kamu kembali." Abram muncul dengan seringai tidak sedap di wajah.
Bryan mengantarkan Richard ke penthouse. Saat ini tidak ada Hazel di sisi Richard yang dapat menenangkan. Bryan harus meletakkan harapannya pada ruang olahraga di penthouse. Tidak mungkin dia mengajukan diri sebagai samsak. Kedatangan dua lelaki kembar identik yang tampan menarik perhatian semua orang di lobby gedung, wanita maupun lelaki. Richard tidak mempedulikan sapaan orang, dia berjalan lurus ke lift eksklusif. Beda halnya dengan Bryan yang sesekali membalas sapaan wanita-wanita cantik. "Masih suka tebar pesona," ejek Richard saat lift bergerak naik. "Bukan salah gue banyak penggemar. Lo aja yang nggak menghargai makhluk ciptaan Tuhan," balas Bryan. Richard tidak menyahut. Baginya seorang Hazel lebih dari cukup. Pintu lift terbuka di lantai dua puluh satu. Richard melihat sekeliling. Keadaannya masih sama persis seperti saat ditinggalkan. "Kenapa ngga
Malam tiba. Aku duduk termenung di depan jendela. Sejak kepergian Richard tadi pagi rumah terasa sepi. Hingga sekarang dia juga belum memberi kabar bagaimana situasi dengan ayahnya. Aku sedikit cemas. Setiap kali handphone berbunyi aku melihat dengan penuh semangat hanya untuk kecewa karena bukan Richard yang menelepon atau mengirim pesan singkat. Yah, sudahlah. Mungkin dia sedang berada di tengah masalah. Toh masih ada hari esok. Handphoneku berdering. Aku sudah tidak antusias untuk melihat. Mataku membulat melihat nama Richard berkedip di layar. Dia menelepon! "Richard!" seruku. "Hai, Hazel." Wajah Richard tampak cerah. "Gimana keadaanmu? Semua baik?" tanyaku tanpa menyembunyikan kekhawatiran. "Baik. Semuanya baik, Hazel. Lihat, aku udah kembali ke penthouse." "Iya, aku lihat." Aku berbaring di tempat tidur. "Belum ti
Malam ini aku dan Richard mengobrol sampai pagi. Saling menggoda, saling merayu, hingga akhirnya aku tumbang terlebih dulu. Tertidur dengan handphone masih menyala. Begitu terbangun hari sudah siang. Richard sudah tidak tampak. Hatiku kembali merasa sepi. Aku menghibur diri dengan berpikir, semua ini kami jalani demi hari-hari yang lebih baik. Oke! Saatnya mandi dan bekerja! Aku menepuk-nepuk pipi supaya semangat. Saat mandi sengaja kuguyur tubuh dengan air dingin. Begitu air dingin menyentuh kulit aku langsung menyesal. Aku cuma mau menambah semangat, bukan mau mengurangi umur! "Hazel, udah tau cuaca lagi mendung, malah mandi air dingin. Kamu cari penyakit," omel Elisabet. "Biar semangat, Ma...." Gemetaran, gigiku beradu. Aku duduk di meja makan dengan selimut tebal membungkus sekujur tubuh. "Nih, minum." Elisabet meletakkan gelas belimbing di depanku. Uap
"Oh, begitu cepatnya kamu akrab dengan klien? Yakin itu bukan strategi dia untuk nego harga desain kamu?" Richard mengulum senyum. "Nggak lah. Kak Sukma terlihat tulus kok. Lagipula orangnya asyik diajak ngobrol, aku nggak rugi tambah teman seperti dia." Aku memeluk bantal dengan gaya imut. "Oke, kalau gitu aku percaya kamu. Ada penambahan klien?" "Belum. Soalnya marketingku udah satu minggu nggak mencarikan proyek," godaku. Richard tertawa, "Betul, kita udah satu minggu nggak ketemu. Mau kubantu mencari klien?" "Nggak usah, nanti ayahmu curiga loh." "Anak perusahaan Yilmaz Group kan banyak banget. Aku bisa mengarahkan satu atau dua perusahaan yang nggak diperhatikan ayah untuk jadi klienmu." "Hmm... Jangan deh. Biar aku belajar bagaimana mempromosikan diri sendiri juga." Aku menolak dengan halus. "Oke. Aku senang kamu
Salah satu hal yang kusuka adalah membuat ilustrasi sendiri untuk desainku. Jadi aku nggak usah repot memikirkan masalah hak cipta yang dapat menghadang jika aku sembarang mengambil gambar atau ilustrasi secara online. Aku sibuk melukiskan ilustrasi yang ada dalam kepalaku di atas canvas. Jika sudah rampung lukisan ini akan ku-scan dan kupercantik secara digital. Setelah itu baru kuaplikasikan dalam desain. "Itu bagus. Boleh Mama bawa ke galeri?" Elisabet memperhatikan canvas. "Nggak boleh. Ini nanti desainnya punya Kak Sukma." "Ohh, kirain kamu melukis biasa, rupanya untuk klien. Bagus. Kamu buat lukisan yang serupa terus Mama bawa ke galeri, gimana?" Elisabet tidak menyerah. "Nanti deh kalau senggang." Aku meringis. "Janji ya?" "Nggak janji." Elisabet melengos sebal. Terdengar suara raungan knalpot
Pagi ini aku janjian dengan Kak Sukma meeting santai di cafe yang didesain apik. Tanaman hijau bertebaran di tiap sudut, membuat udara jadi segar dan menyejukkan mata. Kak Sukma terlihat sedikit gelisah. "... jadi ini kubuat untuk background leaflet perusahaan. Kalau rasanya kurang cocok bisa diaplikasikan ke media lain," tuturku sambil terus memperhatikan gerak-gerik Kak Sukma. "Itu bagus kok. Aku suka. Lagipula warnanya cerah, cocok untuk produk yang mau dipromosikan." Kak Sukma sesekali melirik ke arah pintu masuk. Sayap merah mudanya bergetar gelisah. "Oke. Kalau gitu ini semua nggak ada masalah ya, Kak? Aku langsung siapkan finalnya," kataku. "Hmm... Iya. Kalau sudah siap cetak info aku ya?" Kak Sukma tersenyum. Aku membereskan laptop dan kertas-kertas cetakan. Kak Sukma masih sesekali melirik ke arah pintu masuk. "Masih nunggu orang, Kak?" Aku tidak m