Keesokan harinya, Celin sudah resmi menjadi karyawan lagi setelah beberapa bulan istirahat, ia tidak menghentikan jasa online-nya, ia hanya mengatur waktunya menjadi lebih sedikit. "Eh, itu dia karyawan baru yang diceritakan kemarin, padahal baru melamar kerja tapi sudah langsung diberi kursi oleh CEO, kau tahu apa alasannya?" ucap salah seorang wanita yang iri melihat Celin. "Apalagi alasannya, kau tahu sendiri bagaimana kelakuan CEO kita, pasti ada plus-plusnya dong, lihat saja wajah cantik yang menjijikkannya itu," sambut yang lainnya. Celin sedang mengerjakan tugas dari Danil sebagai bahan evaluasi sebagai karyawan baru, ia tahu wanita-wanita itu sedang membicarakannya, Celin menoleh pada mereka dengan tatapan sinis kemudian dengan cepat merubah ekspresinya dengan senyum sambil mengangguk untuk menyapa. Dua wanita itu langsung bubar dengan tidak nyaman. Saat istirahat untuk makan siang, dua wanita tadi mendekati Celin, mereka tiba-tiba duduk di bangku kosong di depan Celin
Perusahaan Siregar mengadakan acara Family gathering di sebuah resort mewah yang lengkap dengan fasilitasnya, panitia penyelenggara sudah mengatur semua prosedur yang akan mereka lakukan selama beberapa hari ke depan. Mereka juga sudah mengatur bagian yang akan dilakukan Celin. Semua orang sedang berkumpul di lapangan resort, Celin mengumumkan segala prosedur yang akan mereka lakukan sejak hari itu hingga beberapa hari ke depan. Ia tidak berbicara banyak, ia hanya mengarahkan semua orang untuk membacanya di papan informasi, panitia sudah menempelkan kertas berisi seluruh kegiatan di resort itu, dan juga sudah membagi kamar dan menuliskan nama masing-masing penghuninya di atas kertas lalu menempelnya di pintu. Sembari berbicara memberikan pengarahan, Danil muncul bersama beberapa orang penting di perusahaan. Ia dipersilahkan oleh Celin untuk berbicara sekaligus membuka acara family gethering. "Pagi semuanya!" seru Danil. Sapaan itu mendapat balasan riuh dari para bawahannya. "Ak
Setelah makan siang, kegiatan selanjutnya adalah berkeliling resort menggunakan buggy car yang dipimpin langsung oleh Danil dan Evan. Tujuannya agar para peserta lebih mengenal lokasi resort dan mengetahui fasilitas apa saja yang ada di dalamnya serta memperkenalkan siapa pemilik resort itu, dan ternyata pemiliknya adalah Evan Mahendra. Semakin ciut perasaan Celin, ia benar-benar tidak mengenal Evan meski sudah hidup dengannya selama dua tahun. Bukan dirinya yang tidak mau tahu tapi Evan yang tidak mau melibatkannya layaknya seorang istri. Saat mereka tiba di sebuah lapangan golf, Danil dan Evan juga para atasan lainnya saling menantang untuk bermain golf, mereka pun mempertontonkan keahlian mereka. Celin memilih menepi dari semua orang yang yang sedang menyaksikan kehebatan para atasan itu, ia duduk di sebuah bangku panjang sambil menghirup nafas berat lalu membuangnya sambil menutup mata, ia sedikit manikamti semilir angin sepoi yang menerpa wajahnya. "Ah, menyegarkan sekali,
Saat malam tiba, semua orang kembali berkumpul, kecuali Danil dan Evan, Celin merasa lega karena hal itu, ia bisa berbicara dengan bebas tanpa merasa di intimidasi. Acara malam hari lebih seperti sebuah party hanya saja ada peraturan mainnya, setiap orang harus berpencar, tidak boleh berkumpul dengan sesama departemen dan melakukan kegiatannya bersama-sama. Ada bagian membuat makanan, ada yang membuat minuman, ada juga yang bersantai, ada juga yang bernyanyi di atas panggung yang telah disediakan di tempat itu dan banyak lagi kegiatan lainnya. Setelah Celin memberikan pengarahan, ia memilih duduk sendirian sambil memijat pundaknya. Evan tiba-tiba duduk di sampingnya. "Kenapa kamu sukali muncul tiba-tiba?" Celin reflek karena kaget. Evan tersenyum mendengar Celin, ia lalu berkata "Karena kali aku merencanakannya kau akan lari duluan," "Tolong pergi, aku tidak mau semua orang bergosip tentang kita," " Kau yang harus ikut denganku," Evan sudah memegang tangan Celin. "Lepaskan
Celin kembali berkumpul dengan semua orang, sudah ada Danil di salah satu kursi sedang berbincang dengan para atasan, beberapa saat kemudian Evan ikut bergabung dengan wajah datar tanpa ekspresi. Ia membanting tubuhnya di atas sofa sementara Danil tampak menepuk pundaknya, seolah tahu keadaan Evan. Membuat Celin mengernyitkan keningnya, tapi ia segera menggeleng untuk membuang pikirannya. Celin sedang tidak mood, jadi ia menyerahkan tugasnya pada ketua panitia. Setelah aneka makanan dan minuman tersaji, semua orang berkumpul untuk menikmatinya sambil mendengar musik yang dinyanyikan oleh salah satu peserta. Setelah peserta itu selesai, Evan tiba-tiba mengangkat tangannya. "Ada apa, Pak Evan? Apa Pak Evan mau bernyanyi juga?" tanya si panitia dengan sopan. "Bukan aku, tapi dia," Evan menunjuk Celin. Tentu saja Celin langsung berhenti dari aktifitasnya sambil merutuki Evan dalam hati. "Oh, namanya Celin, Pak." "Aku tahu, aku mengenalnya," Panitia tadi terbengong tidak men
Keesokan harinya, semua orang boleh menggunakan semua fasilitas yang ada, mulai dari kolam renang, tempat billiard, tempat gym, spa, golf, pacuan kuda, berbagai lapangan olahraga mulai dari futsal, tenis, basket, dan lainnya. Ada juga hiburan, area bermain untuk anak-anak, pantai buatan, flying fox, panjat tebing, dan sebagainya, hanya satu tempat yang tidak ada di daftar fasilitas, yaitu taman yang Evan tunjukkan pada Celin tadi malam. Semua orang memastikan untuk menikmati semua fasilitas itu hingga puas. Evan dan Danil sangat suka berkuda, mereka cukup sering melakukannya bersama, sama seperti saat ini. Evan dan Danil saling adu kehebatan dalam menunggangi kuda. Semua orang menghentikan kegiatannya dan berkumpul di arena pacuan kuda demi menyaksikan dua orang penting itu. Di tengah pertunjukan, kuda Evan melompati batas terlalu tinggi hingga membuat Evan jatuh terpelanting, semua orang berlari mendekati pagar arena kecuali Celin, ia hanya berjalan santai dan tampak tidak tertarik
Evan dan Celin sedang beristirahat untuk menenangkan diri dan melakukan pemeriksaan setelah kejadian mengejutkan tadi, Danil ikut menemaninya, sejak tadi Celin diam saja, Evan maupun Danil juga tidak berani bicara. Yang lainnya kembali ke rutinitas masing-masing setelah panitia mengkondisikan semuanya, tentu saja mereka beraktivitas sambil bergosip ria. "Kamu benar-benar baik saja?" tanya Danil pada Celin. Evan tampak tidak senang. "Aku baik-baik saja, Pak" "Kamu tidak ingin bertanya apa-apa padaku?" pancing Danil, membuat Evan menatapnya tajam. "Tentang apa, Pak Danil?" balas Celin. "Tentang kedekatan kami, mungkin." "Saya sudah tau, Evan dan Pak Danil sudah berteman sejak lama, Maaf kalau salah." "Betul, dan aku tahu semua tentangnya begitu juga bagaimana hubunganmu," "Ternyata lebih dekat dari yang aku kira," "Kamu tidak penasaran kenapa aku merekrutmu secara langsung?" Celin menggeleng, ia berpura-pura polos. "Danil," sahut Evan, kakinya yang luka sedang di
Celin terlalu banyak memimpikan keindahan dalam pernikahannya sehingga menulis banyak catatan sejak Evan datang melamarnya, juga saat tiba hari pernikahan, dia menulis hal konyol bagaimana nanti saat malam pertama, ia juga menulis saat Evan mengabaikannya hingga akhirnya isi jurnal itu berisi curhat tentang sehari-harinya, jurnal itu sudah dibaca oleh Evan dan membuatnya benar-benar terlihat benar-benar bodoh, karena itu ia menangis. "Jangan lakukan apapun untukku hanya karena kamu membaca isi jurnal itu, aku akan terlihat sangat menyedihkan, tolong lupakan saja," "Meskipun tidak ada jurnal ini, aku akan tetap melakukannya, Celin, karena aku benar-benar ingin menebus semua kesalahan yang pernah aku lakukan," "Sudah tidak sama, Evan. Apapun yang kamu usahakan sekarang hanya akan terlihat mengolok-olok perasaanku," "Aku mengerti apa yang kamu rasakan, aku akan melakukan dengan caraku sendiri, aku bisa membahagiakanmu, Celin. Tolong percaya padaku," Celin sudah tidak tertarik
Evan terbangun karena merasakan pegal di punggungnya, ia mencoba membuka pintu kamar Celine yang ternyata tidak di kunci, ia memandang punggung istrinya beberapa saat, ia melangkah begitu saja seolah suasana di dalam kamar itu mengundangnya untuk masuk. Ia naik ke tempat tidur lalu meringkuk di atasnya tanpa berani menyentuh Celine. Ia selalu berhati-hati semenjak menyukai Celine, tapi Celine bergerak dan membalikkan badan ke arahnya, Evan secara tiba-tiba meluruskan tubuhnya untuk menyambut uluran tangan Celine yang akan memeluknya, selain tangan, kakinya juga bertengger nyaman di atas paha Evan, seluruh tubuh mereka menempel satu sama lain. Celine membuka mata sambil mengigau, "Kamu tampan sekali, Evan," ia menatap wajah Evan sebentar lalu menutup matanya kembali. "Kalau kamu begini, aku bisa memangsamu kapan saja," gumam Evan yang merasakan sensasi aneh di tubuhnya dan ia sangat mengerti apa itu. Ia mencoba menarik tubuhnya untuk melepaskan diri, untungnya ia berhasil. Ia m
Evan menghampiri Celine setelah semua tamu penting itu pergi, dari tadi ia mengawasi Celine, seandainya istrinya itu meninggalkan acara, ia tidak segang meninggalkan semua tamu pentingnya untuk mengejar Celine, untungnya saat ia melihat gerak-gerik Celine akan kabur, ibunya datang. Ia benar-benar bernafas lega. "Ayo pulang bersama," ucap Evan setelah bergabung dengan ibu dan istrinya. "Iya, sebaiknya begitu," sahut Bu Mery tampak bersemangat. Celine mau tidak mau harus ikut dengan Evan, ia tidak tega merusak wajah bahagia ibu mertuanya. "Sampaikan salam Evan pada papah, papah masih sibuk dengan koleganya," ucap Evan. "Siap," sambut Bu Mery. "Kami pergi dulu, Mah," ucap Celine. "Iya, Sayang," Saat berada di dalam mobil, Evan tidak berani bersuara, Celine juga tampak sangat tenang. "Antarkan aku ke kosan," ucap Celine seadanya. "Baik," Evan hanya bisa menurutinya untuk sementara, tadinya ia sudah membayangkan kehidupan bahagia di rumahnya, tapi karena masalah dengan M
Evan benar-benar hebat, ia sangat mendominasi, Celine masih belum terlalu yakin bahwa ia menikahi laki-laki tampan yang sedang berbicara dan dikagumi oleh semua orang saat ini, ia belum percaya bahwa ia telah dicintai oleh orang yang tidak pernah membalas perasaannya saat kuliah dulu, ia tidak percaya diri bahwa laki-laki itu sudah mengatakan 'aku mencintaimu' beberapa hari terakhir ini, ia masih ingin percaya kalau tadi pagi laki-laki itu mengatakan dirinya cantik untuk pertama kalinya, ia menangis dengan bingung, Evan melihatnya dari atas podium, membuat suaranya sedikit merendah. "Istriku, Celine!" suaranya menggema di seluruh ruangan. Celine dibuat kaget, ia pun buru-buru menyeka air matanya lalu menatap Evan sambil berbisik di dalam hati, 'Kamu belum berhenti juga, Evan, mau sejauh apa kamu membuatku terjebak dalam hidupmu?' "Dia wanita yang tidak pernah sekalipun kusadari ternyata ikut andil dalam berjuang membangun perusahaan ini, saat aku lelah dengan semua keadaan yang
Evan baru saja keluar dari toilet, ia melambat saat melihat Mita tampak menunggunya. Keduanya terlibat saling menatap satu sama lain, Evan menatap dingin sementara Mita tampak menantang untuk berperang. "Aku ingin bicara," ucap Mita. "Silahkan," "Ayo cari tempat sepi," "Baik," Evan berjalan mendahului Mita, karena ia tahu Mita tidak tau tempat itu, ia membawa Mita ke sebuah taman sepi yang baru saja ditanami pohon. "Ada apa?" tanya Evan santai. Mita tidak langsung menjawab, ia mengamati wajah Evan yang tampak datar. "Ternyata semua memang sudah berubah, aku datang terlambat," ujar Mita. "Maksudnya," "Aku datang karenamu, Evan, Maafkan aku karena pergi seperti itu," "Kau memang sangat terlambat, aku sudah menikahi dan mencintai dua wanita di belakangmu, apa kamu pikir masih ada rasa yang tersisa untukmu?" "Evan, aku rela menjadi yang kedua bahkan ketiga, aku masih seperti dulu, aku masih mencintaimu," "Maaf, buang saja rasa cintamu itu, aku sudah melalui bany
Acara ulang tahun Evan dimulai saat malam hari tiba, tamu-tamu penting sudah berdatangan, acara ini dibuat bukan semata-mata untuk ulang tahun, ada maksud tertentu yang dapat menguntungkan dunia bisnis keluarga mereka, selain itu, Evan ingin memperkenalkan Celine kepada dunia. Melihat suasana itu membuat Celine menjadi gugup. Evan dapat merasakannya. "Kenapa? Apa kamu gugup?" "Sedikit," "Santai saja, status mereka semua berada di bawah suamimu ini," ucap Evan berlagak angkuh sambil tersenyum manis pada Celine. Jantung Celine dibuat begitu berdebar, seperti saat pertama kali jatuh cinta pada Evan. Ia bahkan merasa apakah ini mimpi? "Aku takut mengacaukan semuanya," "Selama ada aku semua aman," "Ngomong-ngomong, aku ingin memberimu hadiah tapi aku lupa membawanya masuk, masih tertinggal di dalam mobil," "Tidak apa-apa, kamu adalah hadiah untukku," ucap Evan. 'Kenapa semudah ini jantungku berdebar," sesal Celine di dalam hatinya, ia merasa kesal karena tidak bisa mengend
Evan keluar dari kamar mandi dan mendapati Celine yang sudah rapi dengan penampilannya, Evan terkesima untuk ke sekian kalinya, Celine benar-benar cantik, tapi ia masih canggung untuk memujinya secara terang-terangan, ternyata Celine juga sedang terpesona pada Evan untuk yang kesekian kalinya, dulu ia selalu menantikan penampilan Evan saat keluar dari kamar mandi dengan dada telanjang dan rambut basah yang meneteskan air ke bahunya yang kokoh, pesona Evan tidak pernah pudar dan selalu membuatnya melongo. Mereka menjadi canggung satu sama lain saat menyadari keheningan masing-masing, layaknya remaja yang saling jatuh cinta. "Aku sudah selesai," ucap Celine memecah keheningan. "Oh, oke," balas Evan sambil mengusap tengkuknya karena canggung. "Ini milikmu," Celine menyerahkan paper bag milik Evan. "Terimakasih," ucap Evan. Baru kali ini Celine melihat Evan tampak malu-malu, dahulu Evan adalah manusia egois dan dingin. "Aku akan menunggu di ruang tamu," Celine gegas meninggalkan
Evan menatap Celine sangat dalam dan hangat, Celine begitu salah tingkah karenanya, apa begini rasanya dicintai? Meski cukup terlambat ia menghargainya, ia bahagia, kesalahan selama dua tahun dan perjuangan semasa kuliah terbayarkan tapi ia masih bersikap hati-hati. "Sekarang apa?" ucap Celine tiba-tiba saking gugupnya. Alis Evan terangkat sambil tersenyum penuh makna lalu berkata, "Aku bisa salah paham kalau kamu bertanya seperti itu," goda Evan, biasanya ia akan langsung mengerjai Celine tanpa rasa canggung, sekarang ia begitu berhati-hati dan menghargai perasaan Celine. "Tidak, bukan itu maksudku. Ah, kenapa jadi gugup begini?" Celine menjadi sangat bingung. "Nggak usah khawatir, aku tidak akan melakukan apa-apa tanpa persetujuan kamu, tapi izinkan aku melakukan sesuatu," ucap Evan. "Ah iya," Celine menjawab secara asal membuat Evan tersenyum dan mendekatinya. Ia mengecup kening Celine cukup lama, membuat aliran darah di tubuh Celine bekerja lebih cepat. "Anggap saja in
Tiga jam kemudian Celine kembali ke ruang tamu untuk mengecek keberadaan Evan, ternyata Evan masih ada dan sedang tidur di atas sofa. Celine mendekat dengan hati-hati, ia berlutut di depan Evan lalu berbisik, "Selamat ulang tahun, Evan!" Evan tiba-tiba membuka matanya, ia memandang tepat ke dalam mata Celine lalu bergumam, "Terimakasih, Celine." Celine sedikit terhenyak karena merasa terpergok mengamati Evan yang sedang tidur. "Akhirnya aku mendengar ucapan yang paling ingin ku dengar, meskipun terlambat dari perkiraanku," Evan berusaha bangun sambil tersenyum simpul. Celine sedikit bingung mendengarnya. "Apakah itu penting?" "Sangat penting, aku belum pernah seantusias ini di hari ulang tahunku, semua berkat kamu, ini sedikit melukai harga diriku tapi kamu harus tau agar kamu sedikit menghargai perasaanku, aku sengaja datang lebih pagi agar mendengar itu pertama kali dari mulutmu," "Terus kalau aku mengatakan itu sejak awal apa manfaatnya untukku, sekarang saja aku s
Celine sangat mengerti segalanya, ia tahu kenapa Evan menjadi diam, tapi ia harus mengungkit tentang Jenny agar Evan menyerah. Kini ia menangis, dulu ia tidak hanya menunggu setiap hari, ia dengan bodohnya memperhatikan setiap gerak gerik Evan barangkali Evan tiba-tiba memberinya kejutan seperti di film-film atau di novel-novel roman yang pernah ia baca, ia paling berharap saat melihat Evan merogoh saku jasnya untuk mengambil sesuatu tapi yang ia keluarkan hanya ponsel, nyatanya cincin yang ia inginkan itu tidak pernah ada. "Alangkah bodohnya kamu, Celine," ucapnya meratapi kebodohannya di masa lalu, apa yang dilakukan Evan hari ini hanya membuatnya mengingat luka lama. Setalah merasa tenang, ia menyalakan mesin mobilnya dan melesat pergi. Saat sedang melakukan rutinitas di malam hari, ia mendapat notifikasi dari grup perusahaan tentang ulang tahun CEO Grup Mahendra, sudah pasti itu adalah Evan Mahendra. Ia tidak ingat apakah Evan pernah merayakan ulang tahunnya saking sibuknya me