Celin kembali berkumpul dengan semua orang, sudah ada Danil di salah satu kursi sedang berbincang dengan para atasan, beberapa saat kemudian Evan ikut bergabung dengan wajah datar tanpa ekspresi. Ia membanting tubuhnya di atas sofa sementara Danil tampak menepuk pundaknya, seolah tahu keadaan Evan. Membuat Celin mengernyitkan keningnya, tapi ia segera menggeleng untuk membuang pikirannya. Celin sedang tidak mood, jadi ia menyerahkan tugasnya pada ketua panitia. Setelah aneka makanan dan minuman tersaji, semua orang berkumpul untuk menikmatinya sambil mendengar musik yang dinyanyikan oleh salah satu peserta. Setelah peserta itu selesai, Evan tiba-tiba mengangkat tangannya. "Ada apa, Pak Evan? Apa Pak Evan mau bernyanyi juga?" tanya si panitia dengan sopan. "Bukan aku, tapi dia," Evan menunjuk Celin. Tentu saja Celin langsung berhenti dari aktifitasnya sambil merutuki Evan dalam hati. "Oh, namanya Celin, Pak." "Aku tahu, aku mengenalnya," Panitia tadi terbengong tidak men
Keesokan harinya, semua orang boleh menggunakan semua fasilitas yang ada, mulai dari kolam renang, tempat billiard, tempat gym, spa, golf, pacuan kuda, berbagai lapangan olahraga mulai dari futsal, tenis, basket, dan lainnya. Ada juga hiburan, area bermain untuk anak-anak, pantai buatan, flying fox, panjat tebing, dan sebagainya, hanya satu tempat yang tidak ada di daftar fasilitas, yaitu taman yang Evan tunjukkan pada Celin tadi malam. Semua orang memastikan untuk menikmati semua fasilitas itu hingga puas. Evan dan Danil sangat suka berkuda, mereka cukup sering melakukannya bersama, sama seperti saat ini. Evan dan Danil saling adu kehebatan dalam menunggangi kuda. Semua orang menghentikan kegiatannya dan berkumpul di arena pacuan kuda demi menyaksikan dua orang penting itu. Di tengah pertunjukan, kuda Evan melompati batas terlalu tinggi hingga membuat Evan jatuh terpelanting, semua orang berlari mendekati pagar arena kecuali Celin, ia hanya berjalan santai dan tampak tidak tertarik
Evan dan Celin sedang beristirahat untuk menenangkan diri dan melakukan pemeriksaan setelah kejadian mengejutkan tadi, Danil ikut menemaninya, sejak tadi Celin diam saja, Evan maupun Danil juga tidak berani bicara. Yang lainnya kembali ke rutinitas masing-masing setelah panitia mengkondisikan semuanya, tentu saja mereka beraktivitas sambil bergosip ria. "Kamu benar-benar baik saja?" tanya Danil pada Celin. Evan tampak tidak senang. "Aku baik-baik saja, Pak" "Kamu tidak ingin bertanya apa-apa padaku?" pancing Danil, membuat Evan menatapnya tajam. "Tentang apa, Pak Danil?" balas Celin. "Tentang kedekatan kami, mungkin." "Saya sudah tau, Evan dan Pak Danil sudah berteman sejak lama, Maaf kalau salah." "Betul, dan aku tahu semua tentangnya begitu juga bagaimana hubunganmu," "Ternyata lebih dekat dari yang aku kira," "Kamu tidak penasaran kenapa aku merekrutmu secara langsung?" Celin menggeleng, ia berpura-pura polos. "Danil," sahut Evan, kakinya yang luka sedang di
Celin terlalu banyak memimpikan keindahan dalam pernikahannya sehingga menulis banyak catatan sejak Evan datang melamarnya, juga saat tiba hari pernikahan, dia menulis hal konyol bagaimana nanti saat malam pertama, ia juga menulis saat Evan mengabaikannya hingga akhirnya isi jurnal itu berisi curhat tentang sehari-harinya, jurnal itu sudah dibaca oleh Evan dan membuatnya benar-benar terlihat benar-benar bodoh, karena itu ia menangis. "Jangan lakukan apapun untukku hanya karena kamu membaca isi jurnal itu, aku akan terlihat sangat menyedihkan, tolong lupakan saja," "Meskipun tidak ada jurnal ini, aku akan tetap melakukannya, Celin, karena aku benar-benar ingin menebus semua kesalahan yang pernah aku lakukan," "Sudah tidak sama, Evan. Apapun yang kamu usahakan sekarang hanya akan terlihat mengolok-olok perasaanku," "Aku mengerti apa yang kamu rasakan, aku akan melakukan dengan caraku sendiri, aku bisa membahagiakanmu, Celin. Tolong percaya padaku," Celin sudah tidak tertarik
Evan mengangkat telepon dan mendengarkan si penelpon dengan serius, ia menoleh pada Celin sebentar lalu kembali menjawab teleponnya. "Aku akan ke sana sekarang," Celin sudah hafal apa yang akan terjadi, ia sudah sering menghadapi adegan ini dan ternyata masih membuatnya sedih. "Aku harus ke rumah sakit sekarang, hanya sebentar, kau harus tetap di sini, aku akan kembali," ucap Evan terdengar buru-buru. "Hemm...!" gumam Celin dengan dingin, ia sudah tidak mau mempercayai Evan, sudah berapa kali ia dibuat menunggu. Evan berjalan pincang sambil keluar dari kamar vila itu, ia juga tampak menelpon seseorang, Celin hanya mengabaikannya. Tidak berapa lama seseorang datang menjemputnya, Celin melihat dari dalam kamar, orang itu memapah Evan keluar, beberapa saat kemudian terdengar suara mobil menjauh pergi. Celin tertunduk lesu begitu tau mobil itu membawa Evan pergi, ia menangkupkan kedua tangannya di depan wajahnya sambil merenungkan apa yang harus ia lakukan agar bisa menjauh
Setelah menyelesaikan pembayaran, Evan dan Celin berjalan di koridor bersama, Evan masih berjalan pincang, Celin membantunya agar tidak terjatuh. Evan bisa saja menggunakan kursi roda atau tongkat tapi ia merasa nyaman merepotkan Celin. Setiap orang yang berpapasan dengannya menyapa dengan sopan. "Celin, akhirnya kau datang, bagaimana pembayarannya?" cecar Bu Tika begitu melihat Celin, tapi saat melihat Evan ia langsung tampak tenang dan bersikap manis. "Wah, ada Pak Evan juga? Kenapa kakinya?" "Habis kecelakaan, Bu. Biasa laki-laki, ini baik-baik saja," "Ah, syukurlah." "Bagaimana ayahku?" tanya Celin. "Seperti yang kamu lihat, kalau kamu sudah membayar biaya operasinya, operasi ayahmu akan langsung dijadwalkan." "Baguslah, aku tidak akan lama, tolong jaga ayahku," "Tentu saja," "Kalau begitu aku pergi sekarang," Celin hendak berbalik tapi ditarik dengan pelan oleh Bu Tika. "Kau sudah melunasinya 'kan?" "Tenang saja, cukup rawat ayahku baik-baik," setelah itu Ce
Celine masih setia menemani Evan, ia tidak benar-benar mendampingi Evan, ia hanya merasa harus tetap berada di tempat itu untuk menghormati seorang kenalan yang meninggal dunia. Evan tampak sangat sedih dan terpukul karena kehilangan jenny, Celine sampai merasa tidak akan mungkin bisa menggantikan jenny di dalam hati Evan, ia semakin tidak percaya tentang cinta Evan padanya. Mungkin akan terlihat tidak sopan tapi ia bahkan merasa cemburu pada orang yang telah mati. prosesi pemakaman jenny berlangsung lancar dan selesai dengan cepat, Evan mungkin masih ingin berlama-lama di pusara Jenny, sementara Celine sudah hendak kembali ke resort tempat family gathering yang akan berakhir hari ini. Celine sudah berada di pinggir jalan menunggu mobil yang ia pesan secara online, tiba-tiba teleponnya berdering, ternyata panggilan dari Evan. "kamu di mana? "ucap Evan di seberang telepon. suara Evan terdengar kelelahan. "aku mau kembali ke resort, kupikir kau sedang tidak ingin diganggu jadi
Dua minggu telah berlalu, Evan masih berduka tapi ia mulai melakukan aktifitasnya seperti biasa, tidak seperti saat hari pertama kepergian Jenny, ia seperti mati rasa, anehnya ia juga tidak membiarkan Celine kemana-mana, tapi Celine yang merasa tidak dibutuhkan tetap pergi tanpa memperdulikannya dan tetap bekerja keesokan harinya. hanya wanita bodoh yang mau menemani laki-laki yang meratapi wanita lain. Evan datang ke kantor Siregar, walaupun itu milik temannya, ia gengsi menginjakkan kakinya di kantor itu untuk alasan pekerjaan, perusahaan mereka terkenal bersaing satu sama lain. "Hai, Bro! Akhirnya kamu datang sendiri ke kantorku," "Kukira sebagus apa milik Siregar sampai orang sering membandingkannya dengan Mahendra, ternyata masih lebih baik Mahendra," ucap Evan dengan santai. "Jangan terlalu sombong, kau hebat dalam bisnis tapi oon masalah percintaan, bagaimana keadaanmu?" "Jauh lebih baik," "Kakinya?" "Sudah sembuh," "Bagaimana dengan titipanku?" "Memangnya
Evan dan Celine akhirnya pulang ke rumah, Evan terlihat begitu segar dan kembali mendapatkan aura berwibawa yang selalu menjadi ciri khasnya, sebelumnya ia seperti pria yang selalu takut kehilangan dan tidak pernah tenang. Sekarang apalagi yang ia takutkan? apa yang ia benar-benar inginkan sudah berada di tangannya, sementara Celine terkesan lebih pemalu dan mudah tersenyum tidak seperti sebelumnya, ia selalu memaksa dirinya untuk tegas dan terkesan dingin, ia sungguh memaksakan diri untuk menahan semua perasaannya. Bi Asih yang melihat keduanya datang bersama sambil bergandengan tangan sampai tersenyum-senyum sendiri, ia juga bisa menilai perubahan dari sikap dan ekspresi keduanya. "Ada apa ini?" goda Bu Asih. "Bi, bantu Celine mengangkat barang-barangnya ke kamar," ucap Evan, sebelumnya mereka sudah ke kost tempat tinggal Ciline untuk mengambil barang-barang Celine, tentu saja setelah perdebatan panjang dan negosiasi yang tidak ada habisnya. "Bu Celine kembali tinggal di
"Kamu bisa menomorsatukan aku, Van?" Celine ingin meyakinkan dirinya. Evan meraih tangan Celine dan menggenggamnya untuk membuatnya yakin, kemudian ia mulai bercerita, "Sekarang di hatiku cuma kamu, Celine. Jenny sudah menjadi kenangan, Mita hanya kesalahan. Kamu yang memenuhi hatiku sekarang, misiku tentang cinta saat ini dan seterusnya cuma ingin denganmu, aku ingin membalas semua kesalahan yang aku lakukan padamu. Oke dulu aku salah, dulu aku memanfaatkan perasaanmu, waktumu, tubuhmu bahkan menyebabkan anak kita meninggal, tolong biarkan aku memperbaikinya. Kalau perlu, kamu hukum aku, tapi jangan hukum aku dengan pergi meninggalkanku lagi, itu berat, rasanya sepi, saat Jenny pergi rasa sakit yang aku terima tidak begitu dalam, saat Mita mengatakan ingin ke luar negeri, aku juga tidak terlalu mempermasalahkannya, tapi saat kamu pergi, aku merasa sakit yang tidak bisa disembuhkan, aku merasa kosong sepanjang waktu, ternyata aku butuh kamu, aku cinta kamu, Celine." "Kamu terlal
Evan tidak menghubungi Celine seharian, sepertinya Celine juga tidak berniat melakukannya. Evan sudah merasakan perpisahan berkali-kali tapi kenapa kali ini cukup menyiksanya, jadi ia datang ke kantor Siregar, alasannya sudah jelas. "Apa yang kalian bicarakan?" suara itu membuat Danil yang baru saja ingin berbalik pergi dan juga Celine menoleh. "Kami membicarakanmu," Danil berlalu sambil menepuk pundak Evan. Sementara Celine langsung berpura-pura sibuk dengan pekerjaannya. Evan tidak mengatakan apapun, ia menarik sebuah kursi kosong lalu duduk di depan meja Celine sambil memperhatikannya. "Ayo pergi ke suatu tempat," "Aku sedang bekerja dan kamu seorang bos kamu tidak pantas duduk di sini," "Kalau Danil pantas?" "Dia bos aku, dia ke sini untuk bertanya pekerjaan dan dia tidak duduk sama sekali" "Aku tidak peduli, lagi pula aku sedang duduk di hadapan istriku." "Lakukan saja sesukamu, Evan." Celine tidak peduli lagi, ia kembali fokus dengan pekerjaannya. Evan memaj
Evan sangat senang bisa mendampingi Celine pergi ke rumah sakit, berbanding terbalik dengan sebelumnya, kali ini ia tidak ingin melewatkan waktu sedetik pun, ia menanti di depan pintu kamar rumah sakit karena Celin melarangnya ikut masuk, reflek mendekati Celine saat melihatnya keluar bersama seorang dokter obgyn. "Bagaimana hasilnya?" Evan bertanya penuh harap. Celine diam saja dengan wajah tanpa ekspresi. "Bu Celine hanya masuk angin, Pak Evan." Evan tampak kecewa, ia lalu berkata, "Yakin sudah memeriksanya dengan baik, Dok?" "Sudah, Pak. Yang sabar ya, Pak. Masih banyak kesempatan kok, kebetulan Bu Celine sedang di masa suburnya, semangat Pak Evan!" ucap dokter. Celine tampak santai sementara Evan diam saja, ia tahu kesempatan itu pasti akan sulit ia dapatkan. "Mohon maaf masih ada pasien, saya lanjut bekerja dulu," "Silahkan, Bu." ucap Celine lalu pergi mendahului Evan. Evan hanya memandangi punggung Celine yang semakin menjauh tapi ia segera menyusul dengan lang
Evan terbangun karena merasakan pegal di punggungnya, ia mencoba membuka pintu kamar Celine yang ternyata tidak di kunci, ia memandang punggung istrinya beberapa saat, ia melangkah begitu saja seolah suasana di dalam kamar itu mengundangnya untuk masuk. Ia naik ke tempat tidur lalu meringkuk di atasnya tanpa berani menyentuh Celine. Ia selalu berhati-hati semenjak menyukai Celine, tapi Celine bergerak dan membalikkan badan ke arahnya, Evan secara tiba-tiba meluruskan tubuhnya untuk menyambut uluran tangan Celine yang akan memeluknya, selain tangan, kakinya juga bertengger nyaman di atas paha Evan, seluruh tubuh mereka menempel satu sama lain. Celine membuka mata sambil mengigau, "Kamu tampan sekali, Evan," ia menatap wajah Evan sebentar lalu menutup matanya kembali. "Kalau kamu begini, aku bisa memangsamu kapan saja," gumam Evan yang merasakan sensasi aneh di tubuhnya dan ia sangat mengerti apa itu. Ia mencoba menarik tubuhnya untuk melepaskan diri, untungnya ia berhasil. Ia m
Evan menghampiri Celine setelah semua tamu penting itu pergi, dari tadi ia mengawasi Celine, seandainya istrinya itu meninggalkan acara, ia tidak segang meninggalkan semua tamu pentingnya untuk mengejar Celine, untungnya saat ia melihat gerak-gerik Celine akan kabur, ibunya datang. Ia benar-benar bernafas lega. "Ayo pulang bersama," ucap Evan setelah bergabung dengan ibu dan istrinya. "Iya, sebaiknya begitu," sahut Bu Mery tampak bersemangat. Celine mau tidak mau harus ikut dengan Evan, ia tidak tega merusak wajah bahagia ibu mertuanya. "Sampaikan salam Evan pada papah, papah masih sibuk dengan koleganya," ucap Evan. "Siap," sambut Bu Mery. "Kami pergi dulu, Mah," ucap Celine. "Iya, Sayang," Saat berada di dalam mobil, Evan tidak berani bersuara, Celine juga tampak sangat tenang. "Antarkan aku ke kosan," ucap Celine seadanya. "Baik," Evan hanya bisa menurutinya untuk sementara, tadinya ia sudah membayangkan kehidupan bahagia di rumahnya, tapi karena masalah dengan M
Evan benar-benar hebat, ia sangat mendominasi, Celine masih belum terlalu yakin bahwa ia menikahi laki-laki tampan yang sedang berbicara dan dikagumi oleh semua orang saat ini, ia belum percaya bahwa ia telah dicintai oleh orang yang tidak pernah membalas perasaannya saat kuliah dulu, ia tidak percaya diri bahwa laki-laki itu sudah mengatakan 'aku mencintaimu' beberapa hari terakhir ini, ia masih ingin percaya kalau tadi pagi laki-laki itu mengatakan dirinya cantik untuk pertama kalinya, ia menangis dengan bingung, Evan melihatnya dari atas podium, membuat suaranya sedikit merendah. "Istriku, Celine!" suaranya menggema di seluruh ruangan. Celine dibuat kaget, ia pun buru-buru menyeka air matanya lalu menatap Evan sambil berbisik di dalam hati, 'Kamu belum berhenti juga, Evan, mau sejauh apa kamu membuatku terjebak dalam hidupmu?' "Dia wanita yang tidak pernah sekalipun kusadari ternyata ikut andil dalam berjuang membangun perusahaan ini, saat aku lelah dengan semua keadaan yang
Evan baru saja keluar dari toilet, ia melambat saat melihat Mita tampak menunggunya. Keduanya terlibat saling menatap satu sama lain, Evan menatap dingin sementara Mita tampak menantang untuk berperang. "Aku ingin bicara," ucap Mita. "Silahkan," "Ayo cari tempat sepi," "Baik," Evan berjalan mendahului Mita, karena ia tahu Mita tidak tau tempat itu, ia membawa Mita ke sebuah taman sepi yang baru saja ditanami pohon. "Ada apa?" tanya Evan santai. Mita tidak langsung menjawab, ia mengamati wajah Evan yang tampak datar. "Ternyata semua memang sudah berubah, aku datang terlambat," ujar Mita. "Maksudnya," "Aku datang karenamu, Evan, Maafkan aku karena pergi seperti itu," "Kau memang sangat terlambat, aku sudah menikahi dan mencintai dua wanita di belakangmu, apa kamu pikir masih ada rasa yang tersisa untukmu?" "Evan, aku rela menjadi yang kedua bahkan ketiga, aku masih seperti dulu, aku masih mencintaimu," "Maaf, buang saja rasa cintamu itu, aku sudah melalui bany
Acara ulang tahun Evan dimulai saat malam hari tiba, tamu-tamu penting sudah berdatangan, acara ini dibuat bukan semata-mata untuk ulang tahun, ada maksud tertentu yang dapat menguntungkan dunia bisnis keluarga mereka, selain itu, Evan ingin memperkenalkan Celine kepada dunia. Melihat suasana itu membuat Celine menjadi gugup. Evan dapat merasakannya. "Kenapa? Apa kamu gugup?" "Sedikit," "Santai saja, status mereka semua berada di bawah suamimu ini," ucap Evan berlagak angkuh sambil tersenyum manis pada Celine. Jantung Celine dibuat begitu berdebar, seperti saat pertama kali jatuh cinta pada Evan. Ia bahkan merasa apakah ini mimpi? "Aku takut mengacaukan semuanya," "Selama ada aku semua aman," "Ngomong-ngomong, aku ingin memberimu hadiah tapi aku lupa membawanya masuk, masih tertinggal di dalam mobil," "Tidak apa-apa, kamu adalah hadiah untukku," ucap Evan. 'Kenapa semudah ini jantungku berdebar," sesal Celine di dalam hatinya, ia merasa kesal karena tidak bisa mengend