Evan mengangkat telepon dan mendengarkan si penelpon dengan serius, ia menoleh pada Celin sebentar lalu kembali menjawab teleponnya. "Aku akan ke sana sekarang," Celin sudah hafal apa yang akan terjadi, ia sudah sering menghadapi adegan ini dan ternyata masih membuatnya sedih. "Aku harus ke rumah sakit sekarang, hanya sebentar, kau harus tetap di sini, aku akan kembali," ucap Evan terdengar buru-buru. "Hemm...!" gumam Celin dengan dingin, ia sudah tidak mau mempercayai Evan, sudah berapa kali ia dibuat menunggu. Evan berjalan pincang sambil keluar dari kamar vila itu, ia juga tampak menelpon seseorang, Celin hanya mengabaikannya. Tidak berapa lama seseorang datang menjemputnya, Celin melihat dari dalam kamar, orang itu memapah Evan keluar, beberapa saat kemudian terdengar suara mobil menjauh pergi. Celin tertunduk lesu begitu tau mobil itu membawa Evan pergi, ia menangkupkan kedua tangannya di depan wajahnya sambil merenungkan apa yang harus ia lakukan agar bisa menjauh
Setelah menyelesaikan pembayaran, Evan dan Celin berjalan di koridor bersama, Evan masih berjalan pincang, Celin membantunya agar tidak terjatuh. Evan bisa saja menggunakan kursi roda atau tongkat tapi ia merasa nyaman merepotkan Celin. Setiap orang yang berpapasan dengannya menyapa dengan sopan. "Celin, akhirnya kau datang, bagaimana pembayarannya?" cecar Bu Tika begitu melihat Celin, tapi saat melihat Evan ia langsung tampak tenang dan bersikap manis. "Wah, ada Pak Evan juga? Kenapa kakinya?" "Habis kecelakaan, Bu. Biasa laki-laki, ini baik-baik saja," "Ah, syukurlah." "Bagaimana ayahku?" tanya Celin. "Seperti yang kamu lihat, kalau kamu sudah membayar biaya operasinya, operasi ayahmu akan langsung dijadwalkan." "Baguslah, aku tidak akan lama, tolong jaga ayahku," "Tentu saja," "Kalau begitu aku pergi sekarang," Celin hendak berbalik tapi ditarik dengan pelan oleh Bu Tika. "Kau sudah melunasinya 'kan?" "Tenang saja, cukup rawat ayahku baik-baik," setelah itu Ce
Celine masih setia menemani Evan, ia tidak benar-benar mendampingi Evan, ia hanya merasa harus tetap berada di tempat itu untuk menghormati seorang kenalan yang meninggal dunia. Evan tampak sangat sedih dan terpukul karena kehilangan jenny, Celine sampai merasa tidak akan mungkin bisa menggantikan jenny di dalam hati Evan, ia semakin tidak percaya tentang cinta Evan padanya. Mungkin akan terlihat tidak sopan tapi ia bahkan merasa cemburu pada orang yang telah mati. prosesi pemakaman jenny berlangsung lancar dan selesai dengan cepat, Evan mungkin masih ingin berlama-lama di pusara Jenny, sementara Celine sudah hendak kembali ke resort tempat family gathering yang akan berakhir hari ini. Celine sudah berada di pinggir jalan menunggu mobil yang ia pesan secara online, tiba-tiba teleponnya berdering, ternyata panggilan dari Evan. "kamu di mana? "ucap Evan di seberang telepon. suara Evan terdengar kelelahan. "aku mau kembali ke resort, kupikir kau sedang tidak ingin diganggu jadi
Dua minggu telah berlalu, Evan masih berduka tapi ia mulai melakukan aktifitasnya seperti biasa, tidak seperti saat hari pertama kepergian Jenny, ia seperti mati rasa, anehnya ia juga tidak membiarkan Celine kemana-mana, tapi Celine yang merasa tidak dibutuhkan tetap pergi tanpa memperdulikannya dan tetap bekerja keesokan harinya. hanya wanita bodoh yang mau menemani laki-laki yang meratapi wanita lain. Evan datang ke kantor Siregar, walaupun itu milik temannya, ia gengsi menginjakkan kakinya di kantor itu untuk alasan pekerjaan, perusahaan mereka terkenal bersaing satu sama lain. "Hai, Bro! Akhirnya kamu datang sendiri ke kantorku," "Kukira sebagus apa milik Siregar sampai orang sering membandingkannya dengan Mahendra, ternyata masih lebih baik Mahendra," ucap Evan dengan santai. "Jangan terlalu sombong, kau hebat dalam bisnis tapi oon masalah percintaan, bagaimana keadaanmu?" "Jauh lebih baik," "Kakinya?" "Sudah sembuh," "Bagaimana dengan titipanku?" "Memangnya
Celine masih terjebak di meja itu, tapi Evan sudah diam, Celine maupun Danil merasa heran dibuatnya, ia tiba-tiba berdiri lalu berkata, "Aku harus pergi," Evan meninggalkan Danil dan Celine yang kebingungan, Celine yang merasa tidak nyaman, pamit pada Danil untuk bekerja, tinggal Danil seorang diri yang tampak kasihan karena diabaikan. Orang-orang melihatnya tapi tidak ada yang berani tertawa, ia pun berpura-pura keren meninggalkan tempat itu. Saat pulang dari bekerja, Celine kembali ke kosannya, saat membuka pintu, ia mendapat panggilan di telponnya. Nama Evan menari-nari di layarnya, ia menjawab dengan malas. "Ada apa?" ucapnya acuh tak acuh. "Wow, Sambutan yang sangat bagus," ledek Evan, lalu berkata lagi, "datang ke alamat yang aku kirimkan, sekarang juga!" perintah Evan. "Aku tidak mau," "Kau akan kubuat tidak bekerja seumur hidup kalau tidak datang, jangan sampai terlambat," "Jangan mentang-mentang berkuasa, kau bisa berbuat seenaknya!" teriak Celine tapi Evan su
Celine sangat mengerti segalanya, ia tahu kenapa Evan menjadi diam, tapi ia harus mengungkit tentang Jenny agar Evan menyerah. Kini ia menangis, dulu ia tidak hanya menunggu setiap hari, ia dengan bodohnya memperhatikan setiap gerak gerik Evan barangkali Evan tiba-tiba memberinya kejutan seperti di film-film atau di novel-novel roman yang pernah ia baca, ia paling berharap saat melihat Evan merogoh saku jasnya untuk mengambil sesuatu tapi yang ia keluarkan hanya ponsel, nyatanya cincin yang ia inginkan itu tidak pernah ada. "Alangkah bodohnya kamu, Celine," ucapnya meratapi kebodohannya di masa lalu, apa yang dilakukan Evan hari ini hanya membuatnya mengingat luka lama. Setalah merasa tenang, ia menyalakan mesin mobilnya dan melesat pergi. Saat sedang melakukan rutinitas di malam hari, ia mendapat notifikasi dari grup perusahaan tentang ulang tahun CEO Grup Mahendra, sudah pasti itu adalah Evan Mahendra. Ia tidak ingat apakah Evan pernah merayakan ulang tahunnya saking sibuknya me
Tiga jam kemudian Celine kembali ke ruang tamu untuk mengecek keberadaan Evan, ternyata Evan masih ada dan sedang tidur di atas sofa. Celine mendekat dengan hati-hati, ia berlutut di depan Evan lalu berbisik, "Selamat ulang tahun, Evan!" Evan tiba-tiba membuka matanya, ia memandang tepat ke dalam mata Celine lalu bergumam, "Terimakasih, Celine." Celine sedikit terhenyak karena merasa terpergok mengamati Evan yang sedang tidur. "Akhirnya aku mendengar ucapan yang paling ingin ku dengar, meskipun terlambat dari perkiraanku," Evan berusaha bangun sambil tersenyum simpul. Celine sedikit bingung mendengarnya. "Apakah itu penting?" "Sangat penting, aku belum pernah seantusias ini di hari ulang tahunku, semua berkat kamu, ini sedikit melukai harga diriku tapi kamu harus tau agar kamu sedikit menghargai perasaanku, aku sengaja datang lebih pagi agar mendengar itu pertama kali dari mulutmu," "Terus kalau aku mengatakan itu sejak awal apa manfaatnya untukku, sekarang saja aku s
Evan menatap Celine sangat dalam dan hangat, Celine begitu salah tingkah karenanya, apa begini rasanya dicintai? Meski cukup terlambat ia menghargainya, ia bahagia, kesalahan selama dua tahun dan perjuangan semasa kuliah terbayarkan tapi ia masih bersikap hati-hati. "Sekarang apa?" ucap Celine tiba-tiba saking gugupnya. Alis Evan terangkat sambil tersenyum penuh makna lalu berkata, "Aku bisa salah paham kalau kamu bertanya seperti itu," goda Evan, biasanya ia akan langsung mengerjai Celine tanpa rasa canggung, sekarang ia begitu berhati-hati dan menghargai perasaan Celine. "Tidak, bukan itu maksudku. Ah, kenapa jadi gugup begini?" Celine menjadi sangat bingung. "Nggak usah khawatir, aku tidak akan melakukan apa-apa tanpa persetujuan kamu, tapi izinkan aku melakukan sesuatu," ucap Evan. "Ah iya," Celine menjawab secara asal membuat Evan tersenyum dan mendekatinya. Ia mengecup kening Celine cukup lama, membuat aliran darah di tubuh Celine bekerja lebih cepat. "Anggap saja in
Evan terbangun karena merasakan pegal di punggungnya, ia mencoba membuka pintu kamar Celine yang ternyata tidak di kunci, ia memandang punggung istrinya beberapa saat, ia melangkah begitu saja seolah suasana di dalam kamar itu mengundangnya untuk masuk. Ia naik ke tempat tidur lalu meringkuk di atasnya tanpa berani menyentuh Celine. Ia selalu berhati-hati semenjak menyukai Celine, tapi Celine bergerak dan membalikkan badan ke arahnya, Evan secara tiba-tiba meluruskan tubuhnya untuk menyambut uluran tangan Celine yang akan memeluknya, selain tangan, kakinya juga bertengger nyaman di atas paha Evan, seluruh tubuh mereka menempel satu sama lain. Celine membuka mata sambil mengigau, "Kamu tampan sekali, Evan," ia menatap wajah Evan sebentar lalu menutup matanya kembali. "Kalau kamu begini, aku bisa memangsamu kapan saja," gumam Evan yang merasakan sensasi aneh di tubuhnya dan ia sangat mengerti apa itu. Ia mencoba menarik tubuhnya untuk melepaskan diri, untungnya ia berhasil. Ia m
Evan menghampiri Celine setelah semua tamu penting itu pergi, dari tadi ia mengawasi Celine, seandainya istrinya itu meninggalkan acara, ia tidak segang meninggalkan semua tamu pentingnya untuk mengejar Celine, untungnya saat ia melihat gerak-gerik Celine akan kabur, ibunya datang. Ia benar-benar bernafas lega. "Ayo pulang bersama," ucap Evan setelah bergabung dengan ibu dan istrinya. "Iya, sebaiknya begitu," sahut Bu Mery tampak bersemangat. Celine mau tidak mau harus ikut dengan Evan, ia tidak tega merusak wajah bahagia ibu mertuanya. "Sampaikan salam Evan pada papah, papah masih sibuk dengan koleganya," ucap Evan. "Siap," sambut Bu Mery. "Kami pergi dulu, Mah," ucap Celine. "Iya, Sayang," Saat berada di dalam mobil, Evan tidak berani bersuara, Celine juga tampak sangat tenang. "Antarkan aku ke kosan," ucap Celine seadanya. "Baik," Evan hanya bisa menurutinya untuk sementara, tadinya ia sudah membayangkan kehidupan bahagia di rumahnya, tapi karena masalah dengan M
Evan benar-benar hebat, ia sangat mendominasi, Celine masih belum terlalu yakin bahwa ia menikahi laki-laki tampan yang sedang berbicara dan dikagumi oleh semua orang saat ini, ia belum percaya bahwa ia telah dicintai oleh orang yang tidak pernah membalas perasaannya saat kuliah dulu, ia tidak percaya diri bahwa laki-laki itu sudah mengatakan 'aku mencintaimu' beberapa hari terakhir ini, ia masih ingin percaya kalau tadi pagi laki-laki itu mengatakan dirinya cantik untuk pertama kalinya, ia menangis dengan bingung, Evan melihatnya dari atas podium, membuat suaranya sedikit merendah. "Istriku, Celine!" suaranya menggema di seluruh ruangan. Celine dibuat kaget, ia pun buru-buru menyeka air matanya lalu menatap Evan sambil berbisik di dalam hati, 'Kamu belum berhenti juga, Evan, mau sejauh apa kamu membuatku terjebak dalam hidupmu?' "Dia wanita yang tidak pernah sekalipun kusadari ternyata ikut andil dalam berjuang membangun perusahaan ini, saat aku lelah dengan semua keadaan yang
Evan baru saja keluar dari toilet, ia melambat saat melihat Mita tampak menunggunya. Keduanya terlibat saling menatap satu sama lain, Evan menatap dingin sementara Mita tampak menantang untuk berperang. "Aku ingin bicara," ucap Mita. "Silahkan," "Ayo cari tempat sepi," "Baik," Evan berjalan mendahului Mita, karena ia tahu Mita tidak tau tempat itu, ia membawa Mita ke sebuah taman sepi yang baru saja ditanami pohon. "Ada apa?" tanya Evan santai. Mita tidak langsung menjawab, ia mengamati wajah Evan yang tampak datar. "Ternyata semua memang sudah berubah, aku datang terlambat," ujar Mita. "Maksudnya," "Aku datang karenamu, Evan, Maafkan aku karena pergi seperti itu," "Kau memang sangat terlambat, aku sudah menikahi dan mencintai dua wanita di belakangmu, apa kamu pikir masih ada rasa yang tersisa untukmu?" "Evan, aku rela menjadi yang kedua bahkan ketiga, aku masih seperti dulu, aku masih mencintaimu," "Maaf, buang saja rasa cintamu itu, aku sudah melalui bany
Acara ulang tahun Evan dimulai saat malam hari tiba, tamu-tamu penting sudah berdatangan, acara ini dibuat bukan semata-mata untuk ulang tahun, ada maksud tertentu yang dapat menguntungkan dunia bisnis keluarga mereka, selain itu, Evan ingin memperkenalkan Celine kepada dunia. Melihat suasana itu membuat Celine menjadi gugup. Evan dapat merasakannya. "Kenapa? Apa kamu gugup?" "Sedikit," "Santai saja, status mereka semua berada di bawah suamimu ini," ucap Evan berlagak angkuh sambil tersenyum manis pada Celine. Jantung Celine dibuat begitu berdebar, seperti saat pertama kali jatuh cinta pada Evan. Ia bahkan merasa apakah ini mimpi? "Aku takut mengacaukan semuanya," "Selama ada aku semua aman," "Ngomong-ngomong, aku ingin memberimu hadiah tapi aku lupa membawanya masuk, masih tertinggal di dalam mobil," "Tidak apa-apa, kamu adalah hadiah untukku," ucap Evan. 'Kenapa semudah ini jantungku berdebar," sesal Celine di dalam hatinya, ia merasa kesal karena tidak bisa mengend
Evan keluar dari kamar mandi dan mendapati Celine yang sudah rapi dengan penampilannya, Evan terkesima untuk ke sekian kalinya, Celine benar-benar cantik, tapi ia masih canggung untuk memujinya secara terang-terangan, ternyata Celine juga sedang terpesona pada Evan untuk yang kesekian kalinya, dulu ia selalu menantikan penampilan Evan saat keluar dari kamar mandi dengan dada telanjang dan rambut basah yang meneteskan air ke bahunya yang kokoh, pesona Evan tidak pernah pudar dan selalu membuatnya melongo. Mereka menjadi canggung satu sama lain saat menyadari keheningan masing-masing, layaknya remaja yang saling jatuh cinta. "Aku sudah selesai," ucap Celine memecah keheningan. "Oh, oke," balas Evan sambil mengusap tengkuknya karena canggung. "Ini milikmu," Celine menyerahkan paper bag milik Evan. "Terimakasih," ucap Evan. Baru kali ini Celine melihat Evan tampak malu-malu, dahulu Evan adalah manusia egois dan dingin. "Aku akan menunggu di ruang tamu," Celine gegas meninggalkan
Evan menatap Celine sangat dalam dan hangat, Celine begitu salah tingkah karenanya, apa begini rasanya dicintai? Meski cukup terlambat ia menghargainya, ia bahagia, kesalahan selama dua tahun dan perjuangan semasa kuliah terbayarkan tapi ia masih bersikap hati-hati. "Sekarang apa?" ucap Celine tiba-tiba saking gugupnya. Alis Evan terangkat sambil tersenyum penuh makna lalu berkata, "Aku bisa salah paham kalau kamu bertanya seperti itu," goda Evan, biasanya ia akan langsung mengerjai Celine tanpa rasa canggung, sekarang ia begitu berhati-hati dan menghargai perasaan Celine. "Tidak, bukan itu maksudku. Ah, kenapa jadi gugup begini?" Celine menjadi sangat bingung. "Nggak usah khawatir, aku tidak akan melakukan apa-apa tanpa persetujuan kamu, tapi izinkan aku melakukan sesuatu," ucap Evan. "Ah iya," Celine menjawab secara asal membuat Evan tersenyum dan mendekatinya. Ia mengecup kening Celine cukup lama, membuat aliran darah di tubuh Celine bekerja lebih cepat. "Anggap saja in
Tiga jam kemudian Celine kembali ke ruang tamu untuk mengecek keberadaan Evan, ternyata Evan masih ada dan sedang tidur di atas sofa. Celine mendekat dengan hati-hati, ia berlutut di depan Evan lalu berbisik, "Selamat ulang tahun, Evan!" Evan tiba-tiba membuka matanya, ia memandang tepat ke dalam mata Celine lalu bergumam, "Terimakasih, Celine." Celine sedikit terhenyak karena merasa terpergok mengamati Evan yang sedang tidur. "Akhirnya aku mendengar ucapan yang paling ingin ku dengar, meskipun terlambat dari perkiraanku," Evan berusaha bangun sambil tersenyum simpul. Celine sedikit bingung mendengarnya. "Apakah itu penting?" "Sangat penting, aku belum pernah seantusias ini di hari ulang tahunku, semua berkat kamu, ini sedikit melukai harga diriku tapi kamu harus tau agar kamu sedikit menghargai perasaanku, aku sengaja datang lebih pagi agar mendengar itu pertama kali dari mulutmu," "Terus kalau aku mengatakan itu sejak awal apa manfaatnya untukku, sekarang saja aku s
Celine sangat mengerti segalanya, ia tahu kenapa Evan menjadi diam, tapi ia harus mengungkit tentang Jenny agar Evan menyerah. Kini ia menangis, dulu ia tidak hanya menunggu setiap hari, ia dengan bodohnya memperhatikan setiap gerak gerik Evan barangkali Evan tiba-tiba memberinya kejutan seperti di film-film atau di novel-novel roman yang pernah ia baca, ia paling berharap saat melihat Evan merogoh saku jasnya untuk mengambil sesuatu tapi yang ia keluarkan hanya ponsel, nyatanya cincin yang ia inginkan itu tidak pernah ada. "Alangkah bodohnya kamu, Celine," ucapnya meratapi kebodohannya di masa lalu, apa yang dilakukan Evan hari ini hanya membuatnya mengingat luka lama. Setalah merasa tenang, ia menyalakan mesin mobilnya dan melesat pergi. Saat sedang melakukan rutinitas di malam hari, ia mendapat notifikasi dari grup perusahaan tentang ulang tahun CEO Grup Mahendra, sudah pasti itu adalah Evan Mahendra. Ia tidak ingat apakah Evan pernah merayakan ulang tahunnya saking sibuknya me