Celin diam saja di ruang tamu, sementara Evan juga tidak ada tanda-tanda akan keluar dari kamar, Celin mengintip dari pintu kamar, ternyata Evan sedang tidur dengan sangat lelapnya, jujur saja Celin rindu melihat pemandangan ini, Celin merindukan semua tentang Evan, tapi rasa kecewanya lebih mendominasi. Ia masuk dengan pelan untuk mengambil tas dan sweater rajut, kalau Evan tidak mau pergi maka dia yang pergi. Dengkuran halus Evan membuatnya menoleh sebentar, "Apakah kamu selelah itu, Evan?" gumamnya merasa kasihan, Ia ingat Evan selalu tidur seperti itu ketika benar-benar lelah. Tapi tetap saja, rasa kecewanya sudah tumbuh seperti gunung es di dalam hatinya. Celin pergi ke taman dekat kost, taman itu selalu ramai dua puluh empat jam, banyak pedangan kaki lima dan muda mudi yang tidak kenal waktu berkeliaran sepanjang malam. Ia sengaja ke tempat itu agar merasa aman saja. Ia duduk di salah kursi pedagang kaki lima sambil memesan menunya, ia pikir bisa bertahan di tempat itu, te
Celin baru saja terbangun dari tidurnya dan ia ingat tadi malam ia tidur di sofa, apakah ia berjalan sendiri lagi? Tiba-tiba ia teringat tentang Evan. Ia buru-buru mencari keberadaannya, ternyata Evan sudah pergi. "Baguslah," gumamnya lega, ia kemudian beranjak ke kamar mandi, setelah rapi dengan pakaiannya ia kembali berkutat dengan laptop dan segala perintilannya. Sembari sibuk melihat pesanan yang masuk, ia mendapat telepon dari Dev. Celin menghela nafas, ia masih kecewa pada Dev jadi ia hanya bisa mengabaikan panggilannya. "Maaf, Celin. Aku tidak bermaksud merahasiakan apa pun ,aku tidak mau hubunganku dengan Evan mempengaruhi hubungan kita," tulis Dev. "Maaf, Dev. Semua sudah berakhir di antara kita, aku tidak mau membuat semuanya semakin sulit di masa depan," "Baiklah, aku mengerti, aku sudah bersiap dengan hal ini," balas Dev. Celin merasa lega sekaligus tidak nyaman setelah membacanya. "Aku minta maaf, Dev." "Tidak masalah," "Ah, kamu baik sekali Dev," gumam C
Ketika semua sudah berkumpul di kamar Evan, Bu Mery langsung mengambil map dari atas meja nakas, ia membuka isinya, ia mengambil kotak perhiasan yang isinya kalung, Celin dan Evan menatap dengan sendu kalung itu, ia ingat itu hadiah ulang tahun untuk Celin, Bu Mery pun berkata, "Kenapa kau mengembalikan ini? Pakai saja kalau kau tidak ingin memakainya jual saja, kamu bisa menggunakan uangnya untuk biaya kehidupan," "Aku tidak membutuhkannya, Mah!" Bu Mery masih memeriksa isi map, ia hanya menemukan kertas-kertas tidak penting dan buku nikah. "Mana cincin pernikahannya?" tanya Bu Mery menatap Evan dan Celin bergantian. Ia melihat di jari Evan ada sebuah cincin tapi di jari Celin tidak ada bahkan bekasnya juga tidak ada. Celin menggeleng pelan sambil berkata "Aku tidak memilikinya," Hati Evan benar-benar tidak tenang dan bersalah secara bersamaan, apa memang seabai itu dirinya terhadap Celin, bisa-bisanya benda sakral itu tidak ia berikan pada Celin. "Di mana kau menyimp
Celin menghentikan aktivitasnya saat menyadari apa yang terjadi, ia mendorong Evan sekuat tenaga, ia kembali menggedor-gedor pintu sambil berteriak, berharap ada yang membuka pintunya. Sayangnya tidak ada yang membantu sama sekali, ia merosot ke lantai, sambil menahan gelanyar aneh yang semakin kuat. "Aku kenapa? Tolong aku!" Rintihnya terdengar sensual, Evan hanya memperhatikannya, ia berpikir apa salahnya melakukan itu, Celin masih istrinya yang sah, perceraiannya belum sah sama sekali, Sementara dirinya sendiri sudah merasa sangat kacau walaupun masih bisa sadar. "Baik, aku akan menolongmu, jangan salahkan aku!" Ia merengkuh tubuh Celin dan membaringkannya di atas tempat tidur, saat melihat tubuh molek Celin ia tidak dapat menahannya lagi, tapi ia masih punya kewarasan untuk tidak berbuat kurang ajar, jadi ia membawa Celin ke kamar mandi dan mengguyur dirinya sendiri dan Celin di bawah shower dengan air dingin, Celin bukannya sembuh, ia malah semakin menggila, setiap air yang m
Beberapa saat kemudian Bi Asih membawa beberapa paper bag berisi baju-baju Celin ke kamar Evan, matanya menyapu isi kamar Evan yang tampak berantakan sambil tersenyum simpul, setelah mendapat informasi yang ia inginkan, ia kembali menemui Bu Mery untuk melaporkan keberhasilannya. "Aku pergi sekarang, kurasa tidak ada yang perlu dibahas lagi, lupakan kejadian hari ini dan tetap selesaikan urusan kita seperti yang mama janjikan," ucap Celin begitu Evan keluar dari kamar mandi. Ia diam menatap Celin yang begitu kokoh dengan pendiriannya. "Tunggu sebentar biarkan aku berpakaian dulu," "Baik, lagi pula aku harus memastikan kau menyelesaikan semuanya sebelum aku pergi," Evan masuk ke ruang wardrobe tanpa membalas Celin, telinganya sungguh gatal mendengar keinginan Celin. Evan keluar beberapa saat kemudian, ia langsung ditodong oleh Celin dengan ucapan, "Cepat tanda tangani ini, aku harus segera pergi," Celin menyerahkan berkas perceraiannya pada Evan. "Baiklah," Evan mengamb
Celin akhirnya menginap, mertuanya dan Bi Asih tidak membiarkannya keluar dari rumah itu, ia tidur di kamar tamu yang kunci kamarnya sudah disembunyikan Bi Asih, Celin meminta untuk tidur dengan Bi Asih saja, tapi Bi Asih menolak dengan berbagai alasan, akhirnya Celin tidur di kamar tamu itu. Saat tengah malam, Evan menyusup ke kamar itu, ia berbaring di samping Celin dan memeluknya dengan pelan. Celin berbalik dan membalasnya. Tidak disangka jantung Evan jadi berdetak tidak karuan, yal itu membuatnya semakin menyadari perasaannya. "Semoga saja degup jantungku tidak membangunkan kamu," bisik Evan sambil merapikan anak rambut di kening Celin. Celin tidak benar-benar tidur, ia terbangun saat membalikkan badannya dan menyadari tubuhnya berada di pelukan Evan, tapi ia tidak merubah posisinya, ia membiarkan dirinya meringkuk di dalam pelukan Evan, dulu ia selalu ingin merasakan kehangatan seperti itu, tapi Evan tidak pernah melakukannya dengan benar, Evan hanya memeluknya sebentar se
Semenjak ibunya meninggal, keluarga Celin menjadi ksnagat berantakan, kakaknya merantau entah ke mana, adiknya melanjutkan kuliah ke luar negeri dengan beasiswa, sementara dirinya? Ia masih tinggal dengan ayah dan ibu tirinya dengan biaya sendiri hingga Evan datang melamarnya. Tentu saja ia bahagia saat kesempatan itu datang, selain akan dinikahi orang yang ia sukai ia juga akan terbebas dari belenggu keluarganya, walaupun pada akhirnya pernikahannya tidak sesuai yang ia harapkan. Setelah berpikir lama, ia akhirnya memutuskan untuk membalas pesan itu, mungkin ia bisa memberi ayahnya beberapa uang, tidak perlu diganti, ia tahu kata-kata meminjam itu hanya modus semata. "Butuh berapa?" tulisnya. balasannya datang dengan cepat "Operasi yang pertama butuh tujuh puluh lima juta, masih ada lagi operasi kedua dan mungkin ketiga," "Apa? Banyak sekali, apa separah itu?" ucap Celin, ia langsung menelpon nomor ayahnya. "Halo, Celin!" Sapa ibu tirinya di seberang telpon, sangat ramah
Keesokan harinya, Celin sudah resmi menjadi karyawan lagi setelah beberapa bulan istirahat, ia tidak menghentikan jasa online-nya, ia hanya mengatur waktunya menjadi lebih sedikit. "Eh, itu dia karyawan baru yang diceritakan kemarin, padahal baru melamar kerja tapi sudah langsung diberi kursi oleh CEO, kau tahu apa alasannya?" ucap salah seorang wanita yang iri melihat Celin. "Apalagi alasannya, kau tahu sendiri bagaimana kelakuan CEO kita, pasti ada plus-plusnya dong, lihat saja wajah cantik yang menjijikkannya itu," sambut yang lainnya. Celin sedang mengerjakan tugas dari Danil sebagai bahan evaluasi sebagai karyawan baru, ia tahu wanita-wanita itu sedang membicarakannya, Celin menoleh pada mereka dengan tatapan sinis kemudian dengan cepat merubah ekspresinya dengan senyum sambil mengangguk untuk menyapa. Dua wanita itu langsung bubar dengan tidak nyaman. Saat istirahat untuk makan siang, dua wanita tadi mendekati Celin, mereka tiba-tiba duduk di bangku kosong di depan Celin
Evan dan Celine akhirnya pulang ke rumah, Evan terlihat begitu segar dan kembali mendapatkan aura berwibawa yang selalu menjadi ciri khasnya, sebelumnya ia seperti pria yang selalu takut kehilangan dan tidak pernah tenang. Sekarang apalagi yang ia takutkan? apa yang ia benar-benar inginkan sudah berada di tangannya, sementara Celine terkesan lebih pemalu dan mudah tersenyum tidak seperti sebelumnya, ia selalu memaksa dirinya untuk tegas dan terkesan dingin, ia sungguh memaksakan diri untuk menahan semua perasaannya. Bi Asih yang melihat keduanya datang bersama sambil bergandengan tangan sampai tersenyum-senyum sendiri, ia juga bisa menilai perubahan dari sikap dan ekspresi keduanya. "Ada apa ini?" goda Bu Asih. "Bi, bantu Celine mengangkat barang-barangnya ke kamar," ucap Evan, sebelumnya mereka sudah ke kost tempat tinggal Ciline untuk mengambil barang-barang Celine, tentu saja setelah perdebatan panjang dan negosiasi yang tidak ada habisnya. "Bu Celine kembali tinggal di
"Kamu bisa menomorsatukan aku, Van?" Celine ingin meyakinkan dirinya. Evan meraih tangan Celine dan menggenggamnya untuk membuatnya yakin, kemudian ia mulai bercerita, "Sekarang di hatiku cuma kamu, Celine. Jenny sudah menjadi kenangan, Mita hanya kesalahan. Kamu yang memenuhi hatiku sekarang, misiku tentang cinta saat ini dan seterusnya cuma ingin denganmu, aku ingin membalas semua kesalahan yang aku lakukan padamu. Oke dulu aku salah, dulu aku memanfaatkan perasaanmu, waktumu, tubuhmu bahkan menyebabkan anak kita meninggal, tolong biarkan aku memperbaikinya. Kalau perlu, kamu hukum aku, tapi jangan hukum aku dengan pergi meninggalkanku lagi, itu berat, rasanya sepi, saat Jenny pergi rasa sakit yang aku terima tidak begitu dalam, saat Mita mengatakan ingin ke luar negeri, aku juga tidak terlalu mempermasalahkannya, tapi saat kamu pergi, aku merasa sakit yang tidak bisa disembuhkan, aku merasa kosong sepanjang waktu, ternyata aku butuh kamu, aku cinta kamu, Celine." "Kamu terlal
Evan tidak menghubungi Celine seharian, sepertinya Celine juga tidak berniat melakukannya. Evan sudah merasakan perpisahan berkali-kali tapi kenapa kali ini cukup menyiksanya, jadi ia datang ke kantor Siregar, alasannya sudah jelas. "Apa yang kalian bicarakan?" suara itu membuat Danil yang baru saja ingin berbalik pergi dan juga Celine menoleh. "Kami membicarakanmu," Danil berlalu sambil menepuk pundak Evan. Sementara Celine langsung berpura-pura sibuk dengan pekerjaannya. Evan tidak mengatakan apapun, ia menarik sebuah kursi kosong lalu duduk di depan meja Celine sambil memperhatikannya. "Ayo pergi ke suatu tempat," "Aku sedang bekerja dan kamu seorang bos kamu tidak pantas duduk di sini," "Kalau Danil pantas?" "Dia bos aku, dia ke sini untuk bertanya pekerjaan dan dia tidak duduk sama sekali" "Aku tidak peduli, lagi pula aku sedang duduk di hadapan istriku." "Lakukan saja sesukamu, Evan." Celine tidak peduli lagi, ia kembali fokus dengan pekerjaannya. Evan memaj
Evan sangat senang bisa mendampingi Celine pergi ke rumah sakit, berbanding terbalik dengan sebelumnya, kali ini ia tidak ingin melewatkan waktu sedetik pun, ia menanti di depan pintu kamar rumah sakit karena Celin melarangnya ikut masuk, reflek mendekati Celine saat melihatnya keluar bersama seorang dokter obgyn. "Bagaimana hasilnya?" Evan bertanya penuh harap. Celine diam saja dengan wajah tanpa ekspresi. "Bu Celine hanya masuk angin, Pak Evan." Evan tampak kecewa, ia lalu berkata, "Yakin sudah memeriksanya dengan baik, Dok?" "Sudah, Pak. Yang sabar ya, Pak. Masih banyak kesempatan kok, kebetulan Bu Celine sedang di masa suburnya, semangat Pak Evan!" ucap dokter. Celine tampak santai sementara Evan diam saja, ia tahu kesempatan itu pasti akan sulit ia dapatkan. "Mohon maaf masih ada pasien, saya lanjut bekerja dulu," "Silahkan, Bu." ucap Celine lalu pergi mendahului Evan. Evan hanya memandangi punggung Celine yang semakin menjauh tapi ia segera menyusul dengan lang
Evan terbangun karena merasakan pegal di punggungnya, ia mencoba membuka pintu kamar Celine yang ternyata tidak di kunci, ia memandang punggung istrinya beberapa saat, ia melangkah begitu saja seolah suasana di dalam kamar itu mengundangnya untuk masuk. Ia naik ke tempat tidur lalu meringkuk di atasnya tanpa berani menyentuh Celine. Ia selalu berhati-hati semenjak menyukai Celine, tapi Celine bergerak dan membalikkan badan ke arahnya, Evan secara tiba-tiba meluruskan tubuhnya untuk menyambut uluran tangan Celine yang akan memeluknya, selain tangan, kakinya juga bertengger nyaman di atas paha Evan, seluruh tubuh mereka menempel satu sama lain. Celine membuka mata sambil mengigau, "Kamu tampan sekali, Evan," ia menatap wajah Evan sebentar lalu menutup matanya kembali. "Kalau kamu begini, aku bisa memangsamu kapan saja," gumam Evan yang merasakan sensasi aneh di tubuhnya dan ia sangat mengerti apa itu. Ia mencoba menarik tubuhnya untuk melepaskan diri, untungnya ia berhasil. Ia m
Evan menghampiri Celine setelah semua tamu penting itu pergi, dari tadi ia mengawasi Celine, seandainya istrinya itu meninggalkan acara, ia tidak segang meninggalkan semua tamu pentingnya untuk mengejar Celine, untungnya saat ia melihat gerak-gerik Celine akan kabur, ibunya datang. Ia benar-benar bernafas lega. "Ayo pulang bersama," ucap Evan setelah bergabung dengan ibu dan istrinya. "Iya, sebaiknya begitu," sahut Bu Mery tampak bersemangat. Celine mau tidak mau harus ikut dengan Evan, ia tidak tega merusak wajah bahagia ibu mertuanya. "Sampaikan salam Evan pada papah, papah masih sibuk dengan koleganya," ucap Evan. "Siap," sambut Bu Mery. "Kami pergi dulu, Mah," ucap Celine. "Iya, Sayang," Saat berada di dalam mobil, Evan tidak berani bersuara, Celine juga tampak sangat tenang. "Antarkan aku ke kosan," ucap Celine seadanya. "Baik," Evan hanya bisa menurutinya untuk sementara, tadinya ia sudah membayangkan kehidupan bahagia di rumahnya, tapi karena masalah dengan M
Evan benar-benar hebat, ia sangat mendominasi, Celine masih belum terlalu yakin bahwa ia menikahi laki-laki tampan yang sedang berbicara dan dikagumi oleh semua orang saat ini, ia belum percaya bahwa ia telah dicintai oleh orang yang tidak pernah membalas perasaannya saat kuliah dulu, ia tidak percaya diri bahwa laki-laki itu sudah mengatakan 'aku mencintaimu' beberapa hari terakhir ini, ia masih ingin percaya kalau tadi pagi laki-laki itu mengatakan dirinya cantik untuk pertama kalinya, ia menangis dengan bingung, Evan melihatnya dari atas podium, membuat suaranya sedikit merendah. "Istriku, Celine!" suaranya menggema di seluruh ruangan. Celine dibuat kaget, ia pun buru-buru menyeka air matanya lalu menatap Evan sambil berbisik di dalam hati, 'Kamu belum berhenti juga, Evan, mau sejauh apa kamu membuatku terjebak dalam hidupmu?' "Dia wanita yang tidak pernah sekalipun kusadari ternyata ikut andil dalam berjuang membangun perusahaan ini, saat aku lelah dengan semua keadaan yang
Evan baru saja keluar dari toilet, ia melambat saat melihat Mita tampak menunggunya. Keduanya terlibat saling menatap satu sama lain, Evan menatap dingin sementara Mita tampak menantang untuk berperang. "Aku ingin bicara," ucap Mita. "Silahkan," "Ayo cari tempat sepi," "Baik," Evan berjalan mendahului Mita, karena ia tahu Mita tidak tau tempat itu, ia membawa Mita ke sebuah taman sepi yang baru saja ditanami pohon. "Ada apa?" tanya Evan santai. Mita tidak langsung menjawab, ia mengamati wajah Evan yang tampak datar. "Ternyata semua memang sudah berubah, aku datang terlambat," ujar Mita. "Maksudnya," "Aku datang karenamu, Evan, Maafkan aku karena pergi seperti itu," "Kau memang sangat terlambat, aku sudah menikahi dan mencintai dua wanita di belakangmu, apa kamu pikir masih ada rasa yang tersisa untukmu?" "Evan, aku rela menjadi yang kedua bahkan ketiga, aku masih seperti dulu, aku masih mencintaimu," "Maaf, buang saja rasa cintamu itu, aku sudah melalui bany
Acara ulang tahun Evan dimulai saat malam hari tiba, tamu-tamu penting sudah berdatangan, acara ini dibuat bukan semata-mata untuk ulang tahun, ada maksud tertentu yang dapat menguntungkan dunia bisnis keluarga mereka, selain itu, Evan ingin memperkenalkan Celine kepada dunia. Melihat suasana itu membuat Celine menjadi gugup. Evan dapat merasakannya. "Kenapa? Apa kamu gugup?" "Sedikit," "Santai saja, status mereka semua berada di bawah suamimu ini," ucap Evan berlagak angkuh sambil tersenyum manis pada Celine. Jantung Celine dibuat begitu berdebar, seperti saat pertama kali jatuh cinta pada Evan. Ia bahkan merasa apakah ini mimpi? "Aku takut mengacaukan semuanya," "Selama ada aku semua aman," "Ngomong-ngomong, aku ingin memberimu hadiah tapi aku lupa membawanya masuk, masih tertinggal di dalam mobil," "Tidak apa-apa, kamu adalah hadiah untukku," ucap Evan. 'Kenapa semudah ini jantungku berdebar," sesal Celine di dalam hatinya, ia merasa kesal karena tidak bisa mengend