Ketika semua sudah berkumpul di kamar Evan, Bu Mery langsung mengambil map dari atas meja nakas, ia membuka isinya, ia mengambil kotak perhiasan yang isinya kalung, Celin dan Evan menatap dengan sendu kalung itu, ia ingat itu hadiah ulang tahun untuk Celin, Bu Mery pun berkata, "Kenapa kau mengembalikan ini? Pakai saja kalau kau tidak ingin memakainya jual saja, kamu bisa menggunakan uangnya untuk biaya kehidupan," "Aku tidak membutuhkannya, Mah!" Bu Mery masih memeriksa isi map, ia hanya menemukan kertas-kertas tidak penting dan buku nikah. "Mana cincin pernikahannya?" tanya Bu Mery menatap Evan dan Celin bergantian. Ia melihat di jari Evan ada sebuah cincin tapi di jari Celin tidak ada bahkan bekasnya juga tidak ada. Celin menggeleng pelan sambil berkata "Aku tidak memilikinya," Hati Evan benar-benar tidak tenang dan bersalah secara bersamaan, apa memang seabai itu dirinya terhadap Celin, bisa-bisanya benda sakral itu tidak ia berikan pada Celin. "Di mana kau menyimp
Celin menghentikan aktivitasnya saat menyadari apa yang terjadi, ia mendorong Evan sekuat tenaga, ia kembali menggedor-gedor pintu sambil berteriak, berharap ada yang membuka pintunya. Sayangnya tidak ada yang membantu sama sekali, ia merosot ke lantai, sambil menahan gelanyar aneh yang semakin kuat. "Aku kenapa? Tolong aku!" Rintihnya terdengar sensual, Evan hanya memperhatikannya, ia berpikir apa salahnya melakukan itu, Celin masih istrinya yang sah, perceraiannya belum sah sama sekali, Sementara dirinya sendiri sudah merasa sangat kacau walaupun masih bisa sadar. "Baik, aku akan menolongmu, jangan salahkan aku!" Ia merengkuh tubuh Celin dan membaringkannya di atas tempat tidur, saat melihat tubuh molek Celin ia tidak dapat menahannya lagi, tapi ia masih punya kewarasan untuk tidak berbuat kurang ajar, jadi ia membawa Celin ke kamar mandi dan mengguyur dirinya sendiri dan Celin di bawah shower dengan air dingin, Celin bukannya sembuh, ia malah semakin menggila, setiap air yang m
Beberapa saat kemudian Bi Asih membawa beberapa paper bag berisi baju-baju Celin ke kamar Evan, matanya menyapu isi kamar Evan yang tampak berantakan sambil tersenyum simpul, setelah mendapat informasi yang ia inginkan, ia kembali menemui Bu Mery untuk melaporkan keberhasilannya. "Aku pergi sekarang, kurasa tidak ada yang perlu dibahas lagi, lupakan kejadian hari ini dan tetap selesaikan urusan kita seperti yang mama janjikan," ucap Celin begitu Evan keluar dari kamar mandi. Ia diam menatap Celin yang begitu kokoh dengan pendiriannya. "Tunggu sebentar biarkan aku berpakaian dulu," "Baik, lagi pula aku harus memastikan kau menyelesaikan semuanya sebelum aku pergi," Evan masuk ke ruang wardrobe tanpa membalas Celin, telinganya sungguh gatal mendengar keinginan Celin. Evan keluar beberapa saat kemudian, ia langsung ditodong oleh Celin dengan ucapan, "Cepat tanda tangani ini, aku harus segera pergi," Celin menyerahkan berkas perceraiannya pada Evan. "Baiklah," Evan mengamb
Celin akhirnya menginap, mertuanya dan Bi Asih tidak membiarkannya keluar dari rumah itu, ia tidur di kamar tamu yang kunci kamarnya sudah disembunyikan Bi Asih, Celin meminta untuk tidur dengan Bi Asih saja, tapi Bi Asih menolak dengan berbagai alasan, akhirnya Celin tidur di kamar tamu itu. Saat tengah malam, Evan menyusup ke kamar itu, ia berbaring di samping Celin dan memeluknya dengan pelan. Celin berbalik dan membalasnya. Tidak disangka jantung Evan jadi berdetak tidak karuan, yal itu membuatnya semakin menyadari perasaannya. "Semoga saja degup jantungku tidak membangunkan kamu," bisik Evan sambil merapikan anak rambut di kening Celin. Celin tidak benar-benar tidur, ia terbangun saat membalikkan badannya dan menyadari tubuhnya berada di pelukan Evan, tapi ia tidak merubah posisinya, ia membiarkan dirinya meringkuk di dalam pelukan Evan, dulu ia selalu ingin merasakan kehangatan seperti itu, tapi Evan tidak pernah melakukannya dengan benar, Evan hanya memeluknya sebentar se
Semenjak ibunya meninggal, keluarga Celin menjadi ksnagat berantakan, kakaknya merantau entah ke mana, adiknya melanjutkan kuliah ke luar negeri dengan beasiswa, sementara dirinya? Ia masih tinggal dengan ayah dan ibu tirinya dengan biaya sendiri hingga Evan datang melamarnya. Tentu saja ia bahagia saat kesempatan itu datang, selain akan dinikahi orang yang ia sukai ia juga akan terbebas dari belenggu keluarganya, walaupun pada akhirnya pernikahannya tidak sesuai yang ia harapkan. Setelah berpikir lama, ia akhirnya memutuskan untuk membalas pesan itu, mungkin ia bisa memberi ayahnya beberapa uang, tidak perlu diganti, ia tahu kata-kata meminjam itu hanya modus semata. "Butuh berapa?" tulisnya. balasannya datang dengan cepat "Operasi yang pertama butuh tujuh puluh lima juta, masih ada lagi operasi kedua dan mungkin ketiga," "Apa? Banyak sekali, apa separah itu?" ucap Celin, ia langsung menelpon nomor ayahnya. "Halo, Celin!" Sapa ibu tirinya di seberang telpon, sangat ramah
Keesokan harinya, Celin sudah resmi menjadi karyawan lagi setelah beberapa bulan istirahat, ia tidak menghentikan jasa online-nya, ia hanya mengatur waktunya menjadi lebih sedikit. "Eh, itu dia karyawan baru yang diceritakan kemarin, padahal baru melamar kerja tapi sudah langsung diberi kursi oleh CEO, kau tahu apa alasannya?" ucap salah seorang wanita yang iri melihat Celin. "Apalagi alasannya, kau tahu sendiri bagaimana kelakuan CEO kita, pasti ada plus-plusnya dong, lihat saja wajah cantik yang menjijikkannya itu," sambut yang lainnya. Celin sedang mengerjakan tugas dari Danil sebagai bahan evaluasi sebagai karyawan baru, ia tahu wanita-wanita itu sedang membicarakannya, Celin menoleh pada mereka dengan tatapan sinis kemudian dengan cepat merubah ekspresinya dengan senyum sambil mengangguk untuk menyapa. Dua wanita itu langsung bubar dengan tidak nyaman. Saat istirahat untuk makan siang, dua wanita tadi mendekati Celin, mereka tiba-tiba duduk di bangku kosong di depan Celin
Perusahaan Siregar mengadakan acara Family gathering di sebuah resort mewah yang lengkap dengan fasilitasnya, panitia penyelenggara sudah mengatur semua prosedur yang akan mereka lakukan selama beberapa hari ke depan. Mereka juga sudah mengatur bagian yang akan dilakukan Celin. Semua orang sedang berkumpul di lapangan resort, Celin mengumumkan segala prosedur yang akan mereka lakukan sejak hari itu hingga beberapa hari ke depan. Ia tidak berbicara banyak, ia hanya mengarahkan semua orang untuk membacanya di papan informasi, panitia sudah menempelkan kertas berisi seluruh kegiatan di resort itu, dan juga sudah membagi kamar dan menuliskan nama masing-masing penghuninya di atas kertas lalu menempelnya di pintu. Sembari berbicara memberikan pengarahan, Danil muncul bersama beberapa orang penting di perusahaan. Ia dipersilahkan oleh Celin untuk berbicara sekaligus membuka acara family gethering. "Pagi semuanya!" seru Danil. Sapaan itu mendapat balasan riuh dari para bawahannya. "Ak
Setelah makan siang, kegiatan selanjutnya adalah berkeliling resort menggunakan buggy car yang dipimpin langsung oleh Danil dan Evan. Tujuannya agar para peserta lebih mengenal lokasi resort dan mengetahui fasilitas apa saja yang ada di dalamnya serta memperkenalkan siapa pemilik resort itu, dan ternyata pemiliknya adalah Evan Mahendra. Semakin ciut perasaan Celin, ia benar-benar tidak mengenal Evan meski sudah hidup dengannya selama dua tahun. Bukan dirinya yang tidak mau tahu tapi Evan yang tidak mau melibatkannya layaknya seorang istri. Saat mereka tiba di sebuah lapangan golf, Danil dan Evan juga para atasan lainnya saling menantang untuk bermain golf, mereka pun mempertontonkan keahlian mereka. Celin memilih menepi dari semua orang yang yang sedang menyaksikan kehebatan para atasan itu, ia duduk di sebuah bangku panjang sambil menghirup nafas berat lalu membuangnya sambil menutup mata, ia sedikit manikamti semilir angin sepoi yang menerpa wajahnya. "Ah, menyegarkan sekali,