Evan membiarkannya sebentar lalu berbicara lagi. "Untuk kehilangan bayinya, aku benar-benar minta maaf, semua salahku, apa ada cara untuk menebus kesalahanku?" Evan sangat tulus, matanya bahkan tampak memerah. Celin menoleh dan menatapnya tajam. "Kumohon berhenti bicara dan segera pergi dari sini," "Aku ingin memperbaikinya, Celin. Aku ingin memperbaiki semuanya." Celin menutup mata untuk menenangkan perasaannya yang kembali terkoyak-koyak, semua yang terjadi tiga bulan lalu Bahkan dua tahun sebelumnya juga ter-recall kembali. "Evan, tolong keluar!" Celin memperingatkan dengan tenang tapi dadanya di penuhi emosi. "Aku tidak akan keluar sampai kamu memaafkan aku," "Kalau begitu aku yang pergi," Celin langsung berdiri, Evan ikut berdiri dan meraih tangannya. "Untuk dua tahun pernikahan kita dan untuk kehilangan anak kita aku ingin menebusnya apapun caranya, katakan saja," "Tidak ada gunanya lagi Evan," Celin terdengar putus asa. "Katakan saja, apapun itu aku pasti
"Ada apa ya?" tanya Celin mencoba tenang, sementara orang-orang di luar memperhatikan penampilan keduanya, tidak ada yang mencurigakan justru mereka malah terpesona dengan penampilan Evan. Ibu kost mewakili yang lainnya untuk bicara, "Saya ingin membicarakan sesuatu, boleh saya masuk dulu?" ucapnya dengan tidak ramah. Celin mempersilahkannya masuk sementara yang lain menunggu di luar seolah berjaga-jaga agar Evan tidak kabur. Evan dengan senang hati duduk di dekat Celin, sebelumnya ia mengambil kursi dari kamar Celin untuk Ibu kost. "Jadi begini, saya mendapat laporan dari beberapa penghuni kost ini, kalau ada yang membawa pria masuk ke dalam kost dan sudah berduaan cukup lama, Ternyata itu kamu ya, Celin, coba jelaskan siapa dia?" Celin tidak tau harus berbicara apa, mengingat statusnya yang tidak jelas membuatnya kebingungan, ia benar-benar lupa tentang peraturan itu. Bisa-bisa dia diusir kalau tidak punya alasan yang tepat. Selain orang yang tadi Evan temui, memang ada b
Celin diam saja di ruang tamu, sementara Evan juga tidak ada tanda-tanda akan keluar dari kamar, Celin mengintip dari pintu kamar, ternyata Evan sedang tidur dengan sangat lelapnya, jujur saja Celin rindu melihat pemandangan ini, Celin merindukan semua tentang Evan, tapi rasa kecewanya lebih mendominasi. Ia masuk dengan pelan untuk mengambil tas dan sweater rajut, kalau Evan tidak mau pergi maka dia yang pergi. Dengkuran halus Evan membuatnya menoleh sebentar, "Apakah kamu selelah itu, Evan?" gumamnya merasa kasihan, Ia ingat Evan selalu tidur seperti itu ketika benar-benar lelah. Tapi tetap saja, rasa kecewanya sudah tumbuh seperti gunung es di dalam hatinya. Celin pergi ke taman dekat kost, taman itu selalu ramai dua puluh empat jam, banyak pedangan kaki lima dan muda mudi yang tidak kenal waktu berkeliaran sepanjang malam. Ia sengaja ke tempat itu agar merasa aman saja. Ia duduk di salah kursi pedagang kaki lima sambil memesan menunya, ia pikir bisa bertahan di tempat itu, te
Celin baru saja terbangun dari tidurnya dan ia ingat tadi malam ia tidur di sofa, apakah ia berjalan sendiri lagi? Tiba-tiba ia teringat tentang Evan. Ia buru-buru mencari keberadaannya, ternyata Evan sudah pergi. "Baguslah," gumamnya lega, ia kemudian beranjak ke kamar mandi, setelah rapi dengan pakaiannya ia kembali berkutat dengan laptop dan segala perintilannya. Sembari sibuk melihat pesanan yang masuk, ia mendapat telepon dari Dev. Celin menghela nafas, ia masih kecewa pada Dev jadi ia hanya bisa mengabaikan panggilannya. "Maaf, Celin. Aku tidak bermaksud merahasiakan apa pun ,aku tidak mau hubunganku dengan Evan mempengaruhi hubungan kita," tulis Dev. "Maaf, Dev. Semua sudah berakhir di antara kita, aku tidak mau membuat semuanya semakin sulit di masa depan," "Baiklah, aku mengerti, aku sudah bersiap dengan hal ini," balas Dev. Celin merasa lega sekaligus tidak nyaman setelah membacanya. "Aku minta maaf, Dev." "Tidak masalah," "Ah, kamu baik sekali Dev," gumam C
Ketika semua sudah berkumpul di kamar Evan, Bu Mery langsung mengambil map dari atas meja nakas, ia membuka isinya, ia mengambil kotak perhiasan yang isinya kalung, Celin dan Evan menatap dengan sendu kalung itu, ia ingat itu hadiah ulang tahun untuk Celin, Bu Mery pun berkata, "Kenapa kau mengembalikan ini? Pakai saja kalau kau tidak ingin memakainya jual saja, kamu bisa menggunakan uangnya untuk biaya kehidupan," "Aku tidak membutuhkannya, Mah!" Bu Mery masih memeriksa isi map, ia hanya menemukan kertas-kertas tidak penting dan buku nikah. "Mana cincin pernikahannya?" tanya Bu Mery menatap Evan dan Celin bergantian. Ia melihat di jari Evan ada sebuah cincin tapi di jari Celin tidak ada bahkan bekasnya juga tidak ada. Celin menggeleng pelan sambil berkata "Aku tidak memilikinya," Hati Evan benar-benar tidak tenang dan bersalah secara bersamaan, apa memang seabai itu dirinya terhadap Celin, bisa-bisanya benda sakral itu tidak ia berikan pada Celin. "Di mana kau menyimp
Celin menghentikan aktivitasnya saat menyadari apa yang terjadi, ia mendorong Evan sekuat tenaga, ia kembali menggedor-gedor pintu sambil berteriak, berharap ada yang membuka pintunya. Sayangnya tidak ada yang membantu sama sekali, ia merosot ke lantai, sambil menahan gelanyar aneh yang semakin kuat. "Aku kenapa? Tolong aku!" Rintihnya terdengar sensual, Evan hanya memperhatikannya, ia berpikir apa salahnya melakukan itu, Celin masih istrinya yang sah, perceraiannya belum sah sama sekali, Sementara dirinya sendiri sudah merasa sangat kacau walaupun masih bisa sadar. "Baik, aku akan menolongmu, jangan salahkan aku!" Ia merengkuh tubuh Celin dan membaringkannya di atas tempat tidur, saat melihat tubuh molek Celin ia tidak dapat menahannya lagi, tapi ia masih punya kewarasan untuk tidak berbuat kurang ajar, jadi ia membawa Celin ke kamar mandi dan mengguyur dirinya sendiri dan Celin di bawah shower dengan air dingin, Celin bukannya sembuh, ia malah semakin menggila, setiap air yang m
Beberapa saat kemudian Bi Asih membawa beberapa paper bag berisi baju-baju Celin ke kamar Evan, matanya menyapu isi kamar Evan yang tampak berantakan sambil tersenyum simpul, setelah mendapat informasi yang ia inginkan, ia kembali menemui Bu Mery untuk melaporkan keberhasilannya. "Aku pergi sekarang, kurasa tidak ada yang perlu dibahas lagi, lupakan kejadian hari ini dan tetap selesaikan urusan kita seperti yang mama janjikan," ucap Celin begitu Evan keluar dari kamar mandi. Ia diam menatap Celin yang begitu kokoh dengan pendiriannya. "Tunggu sebentar biarkan aku berpakaian dulu," "Baik, lagi pula aku harus memastikan kau menyelesaikan semuanya sebelum aku pergi," Evan masuk ke ruang wardrobe tanpa membalas Celin, telinganya sungguh gatal mendengar keinginan Celin. Evan keluar beberapa saat kemudian, ia langsung ditodong oleh Celin dengan ucapan, "Cepat tanda tangani ini, aku harus segera pergi," Celin menyerahkan berkas perceraiannya pada Evan. "Baiklah," Evan mengamb
Celin akhirnya menginap, mertuanya dan Bi Asih tidak membiarkannya keluar dari rumah itu, ia tidur di kamar tamu yang kunci kamarnya sudah disembunyikan Bi Asih, Celin meminta untuk tidur dengan Bi Asih saja, tapi Bi Asih menolak dengan berbagai alasan, akhirnya Celin tidur di kamar tamu itu. Saat tengah malam, Evan menyusup ke kamar itu, ia berbaring di samping Celin dan memeluknya dengan pelan. Celin berbalik dan membalasnya. Tidak disangka jantung Evan jadi berdetak tidak karuan, yal itu membuatnya semakin menyadari perasaannya. "Semoga saja degup jantungku tidak membangunkan kamu," bisik Evan sambil merapikan anak rambut di kening Celin. Celin tidak benar-benar tidur, ia terbangun saat membalikkan badannya dan menyadari tubuhnya berada di pelukan Evan, tapi ia tidak merubah posisinya, ia membiarkan dirinya meringkuk di dalam pelukan Evan, dulu ia selalu ingin merasakan kehangatan seperti itu, tapi Evan tidak pernah melakukannya dengan benar, Evan hanya memeluknya sebentar se