Evan masih menunggu di luar pintu, entah untuk apa, ia hanya ingin dekat dengan Celin, siapa tahu Celin tiba-tiba butuh bantuan, ia ingin menjadi yang pertama menolongnya. Ia berada di sana sampai teleponnya berdering, dokter yang menjaga Jeni menghubunginya, ia mengatakan Jeni bisa mengucapkan satu suku kata, ia benar-benar bahagia dengan perkembangan Jeni, ia segera menemui wanita yang ia cintai itu. Semetara itu, Celin juga sudah membaik, ia boleh pulang setelah istirahat beberapa jam kemudian, ia hanya mengandalkan dirinya sendiri, ia takut kecewa kalau menghubungi Evan lagi. Ia hanya harus melakukan semuanya dengan hati-hati agar tetap baik-baik saja. Evan kembali ke kamar Celin, saat Jeni tertidur, ia sangat kecewa saat mendapati kamar Celin kosong. Entah kenapa hatinya sangat sakit diabaikan Celin. Ia kembali ke rumah untuk berbicara dengan Celin. "Kamu pulang dengan siapa?" Ucapnya begitu menemukan Celin sedang berbaring di dalam kamarnya sambil memainkan ponselnya, Celi
Beberapa Minggu berlalu, Celin menerima semua perlakuan baik Evan, tapi ia berusaha untuk tidak menempatkannya di dalam hati, ia sangat berhati-hati setelah ada Jeni, ia tidak ingin berusaha lagi, tapi tidak berniat menolak juga, mau bagaimanapun ia sudah terlanjur hamil. Entah kenapa Evan sangat memperhatikan dirinya sejak hamil, terutama saat tahu kehamilan Celin cukup lemah. Ia memenuhi semua kebutuhan Celin, dan hanya sekali-kali menemani Jeni di rumah sakit. "Kamu butuh sesuatu?" Ucap Evan. Hampir setiap saat ia menanyakan itu. "Tidak ada, kok. Semua kebutuhanku sudah terpenuhi, aku malah takut semua keperluan yang kamu siapkan ini tidak terpakai." balas Celin, sambil menatap barang-barang yang tertata rapi di sekitarnya. Mulai dari bantal, alat pijat dan sebagainya. "Pasti terpakai aku sudah mencari tahu semuanya sebelum membelinya," Evan tampak yakin. "Ini sangat berlebihan, Van. Tidak semua keperluan ibu hamil itu sama." Keluh Celin. "Terima saja, aku hanya ingin
Beberapa hari telah berlalu, Evan masih sering menghubunginya untuk menanyakan hal sepele, Celin hanya menjawab sewajarnya, ia tidak seperti dulu yang akan tersenyum lebar seperti orang bodoh. Akhir-akhir ini Celin sering mengalami nyeri yang tidak berarti di perutnya, tapi itu hal normal untuk ibu hamil yang memiliki lemah kandungan, tapi kali ini perutnya tiba-tiba melilit dan keluar darah dari jalan lahir. tidak sewajar nyeri sebelumnya, ia memanggil Bi Asih agar menemaninya ke rumah sakit. ternyata bayinya tiba-tiba turun dan hampir berada di jalan lahir. Celin juga sudah pingsan karena tidak sanggup menahan sakit berlebihan. Dokter menyarankan agar Celin melakukan perawatan di rumah sakit selama mengandung jika ingin bayinya tetap selamat. Tentu saja ia menerima saran itu meskipun rumah sakit adalah tempat yang paling ia benci di dunia ini. Ia hanya ditemani Bi Asih, wanita paruh baya itu tidak pernah beranjak dari sisinya barang sedikit pun. Bi Asih memberitahu Evan tapi E
Celin mengamati wajah tampan Evan yang tampak damai, ia mengagumi wajah itu sejak pertama kali melihatnya di masa kuliah, ia berharap anaknya nanti mengikuti wajah Evan, seandainya hubungannya kandas di tengah jalan, ada anaknya yang bisa mengobati lukanya. Ia sudah mempersiapkan diri seandainya Jeni sehat dan Evan meninggalkannya. 'Apa memang semenyedihkan ini menjadi istri yang dimanfaatkan, mana statusnya hanya istri kedua, parahnya lagi kenapa aku mau-maunya bertahan hingga terjebak seperti ini,' pikirnya menghela nafas sambil mengelus perutnya. "Nafasmu berisik sekali," tegur Evan sembari memeluk pinggang Celin. "Kau ini kenapa? Tidur sajalah," ucap Celin sambil menepis tangan Evan. "Jangan terlalu kasar, bagaimana kalau nanti anak kita kasar juga?" "Anak kita?" "Aku tidak ingin berdebat, aku lelah, istirahatku sedikit selama menjaga Jeni," Celin menatap Evan dengan kesal, ia lalu berkata "Kalau begitu tidurlah di tempat Jeni, kenapa kau malah merepotkan orang l
Celin kembali ke rumah bersama Evan, tapi Evan langsung pergi lagi setelahnya. Celin hanya bisa membiarkannya, di hatinya sudah terpatri bahwa Evan Benar-benar tidak bisa dipercaya lagi. "Mencoba apanya?" gumamnya setelah Evan pergi. "Ibu tidak boleh banyak pikiran, sebaiknya istirahat saja," ucap Bi Asih, ia tidak tau apa maksud Celin, tapi ia mengerti penyebabnya. "Aku sudah baikan, Bi. Kalau terlalu banyak istirahat malah bikin capek," "Ya sudah, Bu Celin mau apa sekarang? Biar saya bantu," "Ingin bersantai di depan tv saja, Bi." "Baiklah," "Ah, sangat tidak nyaman menjadi perempuan manja begini," keluh Celin, ia gadis yang terbiasa aktif tiba-tiba menjadi serba hati-hati. "Anda tidak manja, kok. Memang keadaannya harus seperti ini, semua demi kebaikan ibu dan bayinya. Atau Bu Celin inginnya dimanjakan Pak Evan ya?" ledek Bi Asih. "Bi Asih ada-ada saja, mana mau dia, Bi. Saya bukan Jeni," "Sebenarnya Pak Evan sudah mulai memperhatikan Bu Celin, loh." "Itu kare
Celin sudah merasa tenang setelah merasakan nyeri di perutnya sedikit menghilang, ia juga mulai menyadari kalau Evan belum pernah datang selama ia berada di rumah sakit. 'Untuk apa aku mengharapkan kehadirannya? Selama bayiku baik-baik saja maka aku juga baik-baik saja." ucapnya sebelum menutup mata untuk tidur, sementara Bi Asih sudah tertidur duluan, ia harusnya menjaga Celin, tapi karena kelelahan ia jadi ketiduran. Saat tengah malam, Celin kembali merasakan nyeri hebat, sebenarnya tadi ia tidak merasakan sakit karena efek obat saja, saat efek obatnya hilang ia kembali merasakan sakit, tapi kali ini tidak hanya sakit, darah juga keluar dari jalan lahir. Bi Asih yang panik segera memanggil dokter. Setelah dokter datang, ia juga menghubungi Evan dan memberitahu keadaan Celin. "Bi Asih, tolong jagakan Celin untukku, aku masih di rumah sakit, Jeni sedang kritis," "Bu Celin juga kritis, Pak Evan. Dia butuh anda, ini menyangkut istri dan anak anda, kurasa Bu Jeni sudah ditangan
'Hari ini aku meninggalkan rumah, aku rasa tidak ada alasan lagi untuk bersama, jadi tolong bubuhkan tanda tangan di berkas perceraian, aku sudah tidak ingin membahas perceraian di sepanjang pernikahanku, jadi tolong bekerja sama,' tulis Celin untuk Evan. Celin tidak begitu santai saat menulisnya, hatinya penuh luka dan kecewa. "Jadi kamu benar-benar menginginkan ini?" ucap Evan setelah membaca pesan yang kirim Celin. Ia tampak tidak baik-baik saja. Ia segera pulang ke rumah dan membeku saat mendapati kamarnya sudah tidak ada lagi barang -barang Celin. Ia hanya menemukan berkas perceraian di atas meja nakas. Evan mendekati benda itu sambil mengepalkan tangannya dengan erat. Evan merasa kecewa tapi tidak membuatnya pesimis, ia punya banyak cara untuk membuat seseorang berada di sampingnya. Ia pergi dari kamar itu, ia tidak menyentuh berkas perceraian itu. Sementara itu, Celin sudah menemukan tempat barunya, ia sempat mengurus segalanya sebelum keluar dari rumah sakit secara online
Evan sedang merenung sembari menyetir mobil. Ia masih memikirkan kemunculan Celin yang tiba-tiba, ia cukup kaget dan canggung secara bersamaan, sampai ia tidak tau harus harus berbuat apa, segala sesuatu tentang Celin berputar di kepalanya, kenapa ia menikahinya, lalu mengabaikannya, kemudian membuat mereka kehilangan bayi, lalu berkas perceraian di atas meja nakas dan hari ini ia mengabaikan kehadirannya seolah tidak pernah saling mengenal. Ia cukup menyesal melakukan itu harusnya ia menyapa atau sekedar menanyakan kabar. "Argh...!" Ia mendesah keras sambil menggenggam stir mobilnya. "Yang penting sekarang aku tahu kamu masih berada di sekitarku, aku cukup senang mengetahuinya," ia sedikit menenangkan perasaannya dengan kalimat itu, seolah berkata pada dirinya kalau masih ada waktu untuk memperbaikinya. Celin pun bukannya tidak memikirkan Evan yang dengan jelas tidak mau menegenalinya, ia hanya sedang berusaha menerimanya, harusnya memang sudah benar seperti itu. Hanya saja ken
Evan terbangun karena merasakan pegal di punggungnya, ia mencoba membuka pintu kamar Celine yang ternyata tidak di kunci, ia memandang punggung istrinya beberapa saat, ia melangkah begitu saja seolah suasana di dalam kamar itu mengundangnya untuk masuk. Ia naik ke tempat tidur lalu meringkuk di atasnya tanpa berani menyentuh Celine. Ia selalu berhati-hati semenjak menyukai Celine, tapi Celine bergerak dan membalikkan badan ke arahnya, Evan secara tiba-tiba meluruskan tubuhnya untuk menyambut uluran tangan Celine yang akan memeluknya, selain tangan, kakinya juga bertengger nyaman di atas paha Evan, seluruh tubuh mereka menempel satu sama lain. Celine membuka mata sambil mengigau, "Kamu tampan sekali, Evan," ia menatap wajah Evan sebentar lalu menutup matanya kembali. "Kalau kamu begini, aku bisa memangsamu kapan saja," gumam Evan yang merasakan sensasi aneh di tubuhnya dan ia sangat mengerti apa itu. Ia mencoba menarik tubuhnya untuk melepaskan diri, untungnya ia berhasil. Ia m
Evan menghampiri Celine setelah semua tamu penting itu pergi, dari tadi ia mengawasi Celine, seandainya istrinya itu meninggalkan acara, ia tidak segang meninggalkan semua tamu pentingnya untuk mengejar Celine, untungnya saat ia melihat gerak-gerik Celine akan kabur, ibunya datang. Ia benar-benar bernafas lega. "Ayo pulang bersama," ucap Evan setelah bergabung dengan ibu dan istrinya. "Iya, sebaiknya begitu," sahut Bu Mery tampak bersemangat. Celine mau tidak mau harus ikut dengan Evan, ia tidak tega merusak wajah bahagia ibu mertuanya. "Sampaikan salam Evan pada papah, papah masih sibuk dengan koleganya," ucap Evan. "Siap," sambut Bu Mery. "Kami pergi dulu, Mah," ucap Celine. "Iya, Sayang," Saat berada di dalam mobil, Evan tidak berani bersuara, Celine juga tampak sangat tenang. "Antarkan aku ke kosan," ucap Celine seadanya. "Baik," Evan hanya bisa menurutinya untuk sementara, tadinya ia sudah membayangkan kehidupan bahagia di rumahnya, tapi karena masalah dengan M
Evan benar-benar hebat, ia sangat mendominasi, Celine masih belum terlalu yakin bahwa ia menikahi laki-laki tampan yang sedang berbicara dan dikagumi oleh semua orang saat ini, ia belum percaya bahwa ia telah dicintai oleh orang yang tidak pernah membalas perasaannya saat kuliah dulu, ia tidak percaya diri bahwa laki-laki itu sudah mengatakan 'aku mencintaimu' beberapa hari terakhir ini, ia masih ingin percaya kalau tadi pagi laki-laki itu mengatakan dirinya cantik untuk pertama kalinya, ia menangis dengan bingung, Evan melihatnya dari atas podium, membuat suaranya sedikit merendah. "Istriku, Celine!" suaranya menggema di seluruh ruangan. Celine dibuat kaget, ia pun buru-buru menyeka air matanya lalu menatap Evan sambil berbisik di dalam hati, 'Kamu belum berhenti juga, Evan, mau sejauh apa kamu membuatku terjebak dalam hidupmu?' "Dia wanita yang tidak pernah sekalipun kusadari ternyata ikut andil dalam berjuang membangun perusahaan ini, saat aku lelah dengan semua keadaan yang
Evan baru saja keluar dari toilet, ia melambat saat melihat Mita tampak menunggunya. Keduanya terlibat saling menatap satu sama lain, Evan menatap dingin sementara Mita tampak menantang untuk berperang. "Aku ingin bicara," ucap Mita. "Silahkan," "Ayo cari tempat sepi," "Baik," Evan berjalan mendahului Mita, karena ia tahu Mita tidak tau tempat itu, ia membawa Mita ke sebuah taman sepi yang baru saja ditanami pohon. "Ada apa?" tanya Evan santai. Mita tidak langsung menjawab, ia mengamati wajah Evan yang tampak datar. "Ternyata semua memang sudah berubah, aku datang terlambat," ujar Mita. "Maksudnya," "Aku datang karenamu, Evan, Maafkan aku karena pergi seperti itu," "Kau memang sangat terlambat, aku sudah menikahi dan mencintai dua wanita di belakangmu, apa kamu pikir masih ada rasa yang tersisa untukmu?" "Evan, aku rela menjadi yang kedua bahkan ketiga, aku masih seperti dulu, aku masih mencintaimu," "Maaf, buang saja rasa cintamu itu, aku sudah melalui bany
Acara ulang tahun Evan dimulai saat malam hari tiba, tamu-tamu penting sudah berdatangan, acara ini dibuat bukan semata-mata untuk ulang tahun, ada maksud tertentu yang dapat menguntungkan dunia bisnis keluarga mereka, selain itu, Evan ingin memperkenalkan Celine kepada dunia. Melihat suasana itu membuat Celine menjadi gugup. Evan dapat merasakannya. "Kenapa? Apa kamu gugup?" "Sedikit," "Santai saja, status mereka semua berada di bawah suamimu ini," ucap Evan berlagak angkuh sambil tersenyum manis pada Celine. Jantung Celine dibuat begitu berdebar, seperti saat pertama kali jatuh cinta pada Evan. Ia bahkan merasa apakah ini mimpi? "Aku takut mengacaukan semuanya," "Selama ada aku semua aman," "Ngomong-ngomong, aku ingin memberimu hadiah tapi aku lupa membawanya masuk, masih tertinggal di dalam mobil," "Tidak apa-apa, kamu adalah hadiah untukku," ucap Evan. 'Kenapa semudah ini jantungku berdebar," sesal Celine di dalam hatinya, ia merasa kesal karena tidak bisa mengend
Evan keluar dari kamar mandi dan mendapati Celine yang sudah rapi dengan penampilannya, Evan terkesima untuk ke sekian kalinya, Celine benar-benar cantik, tapi ia masih canggung untuk memujinya secara terang-terangan, ternyata Celine juga sedang terpesona pada Evan untuk yang kesekian kalinya, dulu ia selalu menantikan penampilan Evan saat keluar dari kamar mandi dengan dada telanjang dan rambut basah yang meneteskan air ke bahunya yang kokoh, pesona Evan tidak pernah pudar dan selalu membuatnya melongo. Mereka menjadi canggung satu sama lain saat menyadari keheningan masing-masing, layaknya remaja yang saling jatuh cinta. "Aku sudah selesai," ucap Celine memecah keheningan. "Oh, oke," balas Evan sambil mengusap tengkuknya karena canggung. "Ini milikmu," Celine menyerahkan paper bag milik Evan. "Terimakasih," ucap Evan. Baru kali ini Celine melihat Evan tampak malu-malu, dahulu Evan adalah manusia egois dan dingin. "Aku akan menunggu di ruang tamu," Celine gegas meninggalkan
Evan menatap Celine sangat dalam dan hangat, Celine begitu salah tingkah karenanya, apa begini rasanya dicintai? Meski cukup terlambat ia menghargainya, ia bahagia, kesalahan selama dua tahun dan perjuangan semasa kuliah terbayarkan tapi ia masih bersikap hati-hati. "Sekarang apa?" ucap Celine tiba-tiba saking gugupnya. Alis Evan terangkat sambil tersenyum penuh makna lalu berkata, "Aku bisa salah paham kalau kamu bertanya seperti itu," goda Evan, biasanya ia akan langsung mengerjai Celine tanpa rasa canggung, sekarang ia begitu berhati-hati dan menghargai perasaan Celine. "Tidak, bukan itu maksudku. Ah, kenapa jadi gugup begini?" Celine menjadi sangat bingung. "Nggak usah khawatir, aku tidak akan melakukan apa-apa tanpa persetujuan kamu, tapi izinkan aku melakukan sesuatu," ucap Evan. "Ah iya," Celine menjawab secara asal membuat Evan tersenyum dan mendekatinya. Ia mengecup kening Celine cukup lama, membuat aliran darah di tubuh Celine bekerja lebih cepat. "Anggap saja in
Tiga jam kemudian Celine kembali ke ruang tamu untuk mengecek keberadaan Evan, ternyata Evan masih ada dan sedang tidur di atas sofa. Celine mendekat dengan hati-hati, ia berlutut di depan Evan lalu berbisik, "Selamat ulang tahun, Evan!" Evan tiba-tiba membuka matanya, ia memandang tepat ke dalam mata Celine lalu bergumam, "Terimakasih, Celine." Celine sedikit terhenyak karena merasa terpergok mengamati Evan yang sedang tidur. "Akhirnya aku mendengar ucapan yang paling ingin ku dengar, meskipun terlambat dari perkiraanku," Evan berusaha bangun sambil tersenyum simpul. Celine sedikit bingung mendengarnya. "Apakah itu penting?" "Sangat penting, aku belum pernah seantusias ini di hari ulang tahunku, semua berkat kamu, ini sedikit melukai harga diriku tapi kamu harus tau agar kamu sedikit menghargai perasaanku, aku sengaja datang lebih pagi agar mendengar itu pertama kali dari mulutmu," "Terus kalau aku mengatakan itu sejak awal apa manfaatnya untukku, sekarang saja aku s
Celine sangat mengerti segalanya, ia tahu kenapa Evan menjadi diam, tapi ia harus mengungkit tentang Jenny agar Evan menyerah. Kini ia menangis, dulu ia tidak hanya menunggu setiap hari, ia dengan bodohnya memperhatikan setiap gerak gerik Evan barangkali Evan tiba-tiba memberinya kejutan seperti di film-film atau di novel-novel roman yang pernah ia baca, ia paling berharap saat melihat Evan merogoh saku jasnya untuk mengambil sesuatu tapi yang ia keluarkan hanya ponsel, nyatanya cincin yang ia inginkan itu tidak pernah ada. "Alangkah bodohnya kamu, Celine," ucapnya meratapi kebodohannya di masa lalu, apa yang dilakukan Evan hari ini hanya membuatnya mengingat luka lama. Setalah merasa tenang, ia menyalakan mesin mobilnya dan melesat pergi. Saat sedang melakukan rutinitas di malam hari, ia mendapat notifikasi dari grup perusahaan tentang ulang tahun CEO Grup Mahendra, sudah pasti itu adalah Evan Mahendra. Ia tidak ingat apakah Evan pernah merayakan ulang tahunnya saking sibuknya me