Evan sedang merenung sembari menyetir mobil. Ia masih memikirkan kemunculan Celin yang tiba-tiba, ia cukup kaget dan canggung secara bersamaan, sampai ia tidak tau harus harus berbuat apa, segala sesuatu tentang Celin berputar di kepalanya, kenapa ia menikahinya, lalu mengabaikannya, kemudian membuat mereka kehilangan bayi, lalu berkas perceraian di atas meja nakas dan hari ini ia mengabaikan kehadirannya seolah tidak pernah saling mengenal. Ia cukup menyesal melakukan itu harusnya ia menyapa atau sekedar menanyakan kabar. "Argh...!" Ia mendesah keras sambil menggenggam stir mobilnya. "Yang penting sekarang aku tahu kamu masih berada di sekitarku, aku cukup senang mengetahuinya," ia sedikit menenangkan perasaannya dengan kalimat itu, seolah berkata pada dirinya kalau masih ada waktu untuk memperbaikinya. Celin pun bukannya tidak memikirkan Evan yang dengan jelas tidak mau menegenalinya, ia hanya sedang berusaha menerimanya, harusnya memang sudah benar seperti itu. Hanya saja ken
Celin merebahkan tubuhnya di atas single bad empuk miliknya, ia berpikir sebaiknya tetap mengurung diri saja dari pada berkeliaran dan membuatnya mendapat masalah, kemarin bertemu Evan yang dengan sengaja tidak mengenalinya hari ini bertemu Dev dengan yang tiba-tiba menyatakan perasaannya, terus besok apalagi? Nada notifikasi membuyarkan lamunannya, ia terbangun dan mengecek ponselnya, 'Kamu sudah sampai?' Pesan dari Dev sangat membuatnya terganggu. 'Iya, aku sudah di rumah, ada apa?' tulisnya. 'Baguslah, aku cuma ingin tahu itu," balas Dev, membuat Celin menautkan alis tidak mengerti. "Ada apa denganmu, Dev?" ucapnya dengan heran. 'Boleh tau alamatnya yang sekarang?' tulis Dev, sepertinya ini adalah inti. Celin buru-buru mengetik. 'Maaf, Dev. Aku belum bisa memberitahumu,' 'Oke, tidak masalah' Celin tersenyum malu, ia sedikit tersentuh dengan perhatian Dev, ia sempat berpikir dengan bodohnya, apa salahnya mencoba dengan Dev yang jelas-jelas sudah mengaku menyukain
Hari Ini Dev mengajak Celin menjadi pasangan di acara pernikahan temannya, Celin sudah berusaha menolak tapi ada saja alasan Dev yang membuatnya tidak bisa menolak, akhirnya ia ikut juga ke acara pernikahan itu. Acaranya tidak begitu mewah, sangat sederahan dan natural, hal yang paling ia khawatirkan sedikit menghilang, ia takut Evan juga hadir, karena biasannya acara yang Dev hadiri pasti ada Evan, tapi melihat acaranya yang begitu sederhana membuat kekhawatirannya berkurang. Meski sederhana, orang-orang yang hadir masih tidak bisa dipandang remeh, sekarang saja Dev diitari orang-orang sukses dan kaya raya, Celin merasa insecure tapi Dev memegang tangannya agar ia merasa nyaman, setiap ada yang bertanya tentangnya, Dev hanya menjawab teman dekat saja, demi menghormati Celin yang belum benar-benar siap menjadi pasangan sungguhannya. Celin tersenyum hangat pada Dev, ia tau Dev laki-laki yang baik dan tulus. "Halo, Pak Evan! Lama tidak berjumpa," Celin reflek menoleh karena men
Celin dan Dev masih mencoba untuk semakin dekat, lebih tepatnya Dev yang mencoba memasuki hati Celin, tapi Celin sepertinya belum sepenuhnya melupakan pemilik hatinya, tapi setidaknya ia mau memberi kesempatan pada Dev. Kali ini mereka tengah bersantai di sebuah restoran yang cukup mewah, sebelumnya Dev mengundang Celin yang sedang sibuk bekerja untuk makan siang bersama, tidak disangka, Dev membawanya ke tempat itu. Ia bahkan sudah melakukan reservasi sebelum mengundang Celin. Mau tidak mau Celin menerimanya dengan tidak nyaman. Di saat mereka merasa semua sudah berjalan lancar, ternyata Evan hadir di tempat itu, ia datang bersama beberapa orang, sepertinya mereka akan makan siang sambil membahas pekerjaan. Evan melihatnya tapi hanya menatapnya beberapa saat kemudian berlalu mengikuti rombongan elit yang datang bersamanya. Dev memperhatikan ekspresi Celin yang tiba-tiba murung. "Apakah kedatangan Evan mengganggumu?" tanya Celin. Celin segera menggeleng. "Mau ke tempat lain
Celin tiba di depan gang tempat tinggalnya, ia berjalan dengan lunglai, saat merasa ada yang mengikutinya ia menjadi waspada dan berjalan cepat, ia takut menoleh dan hanya berjalan semakin cepat. Ia akan memasuki pintu gerbang kostnya saat Evan meraih tangannya, Evan menyadari Celin akan berteriak, ia menutup mulut Celin lalu membalikkan tubuhnya. Tubuh tegang Celin yang ketakutan berangsur lemas dan syok, pandangan mereka mengisyaratkan kerinduan, Celin harus mengkondisikan perasaannya, ia pun berontak untuk melepaskan diri. "Untuk apa kamu ke sini?" "Entahlah, aku juga tidak tau, aku bergerak begitu saja sampai berakhir di sini," "Pergi, aku tidak punya urusan denganmu," Celin berbalik untuk pergi. "Celin, maafkan aku, aku belum melakukannya dengan benar." "Semua sudah selesai, Evan. Tidak perlu mengungkitnya lagi." Celin berhenti untuk menjawab. "Oh iya, bagaimana kabar istrimu?" lanjut Celin, ia hanya ingin memperjelas statusnya. Evan tidak suka mendengarnya, seo
Evan membiarkannya sebentar lalu berbicara lagi. "Untuk kehilangan bayinya, aku benar-benar minta maaf, semua salahku, apa ada cara untuk menebus kesalahanku?" Evan sangat tulus, matanya bahkan tampak memerah. Celin menoleh dan menatapnya tajam. "Kumohon berhenti bicara dan segera pergi dari sini," "Aku ingin memperbaikinya, Celin. Aku ingin memperbaiki semuanya." Celin menutup mata untuk menenangkan perasaannya yang kembali terkoyak-koyak, semua yang terjadi tiga bulan lalu Bahkan dua tahun sebelumnya juga ter-recall kembali. "Evan, tolong keluar!" Celin memperingatkan dengan tenang tapi dadanya di penuhi emosi. "Aku tidak akan keluar sampai kamu memaafkan aku," "Kalau begitu aku yang pergi," Celin langsung berdiri, Evan ikut berdiri dan meraih tangannya. "Untuk dua tahun pernikahan kita dan untuk kehilangan anak kita aku ingin menebusnya apapun caranya, katakan saja," "Tidak ada gunanya lagi Evan," Celin terdengar putus asa. "Katakan saja, apapun itu aku pasti
"Ada apa ya?" tanya Celin mencoba tenang, sementara orang-orang di luar memperhatikan penampilan keduanya, tidak ada yang mencurigakan justru mereka malah terpesona dengan penampilan Evan. Ibu kost mewakili yang lainnya untuk bicara, "Saya ingin membicarakan sesuatu, boleh saya masuk dulu?" ucapnya dengan tidak ramah. Celin mempersilahkannya masuk sementara yang lain menunggu di luar seolah berjaga-jaga agar Evan tidak kabur. Evan dengan senang hati duduk di dekat Celin, sebelumnya ia mengambil kursi dari kamar Celin untuk Ibu kost. "Jadi begini, saya mendapat laporan dari beberapa penghuni kost ini, kalau ada yang membawa pria masuk ke dalam kost dan sudah berduaan cukup lama, Ternyata itu kamu ya, Celin, coba jelaskan siapa dia?" Celin tidak tau harus berbicara apa, mengingat statusnya yang tidak jelas membuatnya kebingungan, ia benar-benar lupa tentang peraturan itu. Bisa-bisa dia diusir kalau tidak punya alasan yang tepat. Selain orang yang tadi Evan temui, memang ada b
Celin diam saja di ruang tamu, sementara Evan juga tidak ada tanda-tanda akan keluar dari kamar, Celin mengintip dari pintu kamar, ternyata Evan sedang tidur dengan sangat lelapnya, jujur saja Celin rindu melihat pemandangan ini, Celin merindukan semua tentang Evan, tapi rasa kecewanya lebih mendominasi. Ia masuk dengan pelan untuk mengambil tas dan sweater rajut, kalau Evan tidak mau pergi maka dia yang pergi. Dengkuran halus Evan membuatnya menoleh sebentar, "Apakah kamu selelah itu, Evan?" gumamnya merasa kasihan, Ia ingat Evan selalu tidur seperti itu ketika benar-benar lelah. Tapi tetap saja, rasa kecewanya sudah tumbuh seperti gunung es di dalam hatinya. Celin pergi ke taman dekat kost, taman itu selalu ramai dua puluh empat jam, banyak pedangan kaki lima dan muda mudi yang tidak kenal waktu berkeliaran sepanjang malam. Ia sengaja ke tempat itu agar merasa aman saja. Ia duduk di salah kursi pedagang kaki lima sambil memesan menunya, ia pikir bisa bertahan di tempat itu, te
Evan dan Celine akhirnya pulang ke rumah, Evan terlihat begitu segar dan kembali mendapatkan aura berwibawa yang selalu menjadi ciri khasnya, sebelumnya ia seperti pria yang selalu takut kehilangan dan tidak pernah tenang. Sekarang apalagi yang ia takutkan? apa yang ia benar-benar inginkan sudah berada di tangannya, sementara Celine terkesan lebih pemalu dan mudah tersenyum tidak seperti sebelumnya, ia selalu memaksa dirinya untuk tegas dan terkesan dingin, ia sungguh memaksakan diri untuk menahan semua perasaannya. Bi Asih yang melihat keduanya datang bersama sambil bergandengan tangan sampai tersenyum-senyum sendiri, ia juga bisa menilai perubahan dari sikap dan ekspresi keduanya. "Ada apa ini?" goda Bu Asih. "Bi, bantu Celine mengangkat barang-barangnya ke kamar," ucap Evan, sebelumnya mereka sudah ke kost tempat tinggal Ciline untuk mengambil barang-barang Celine, tentu saja setelah perdebatan panjang dan negosiasi yang tidak ada habisnya. "Bu Celine kembali tinggal di
"Kamu bisa menomorsatukan aku, Van?" Celine ingin meyakinkan dirinya. Evan meraih tangan Celine dan menggenggamnya untuk membuatnya yakin, kemudian ia mulai bercerita, "Sekarang di hatiku cuma kamu, Celine. Jenny sudah menjadi kenangan, Mita hanya kesalahan. Kamu yang memenuhi hatiku sekarang, misiku tentang cinta saat ini dan seterusnya cuma ingin denganmu, aku ingin membalas semua kesalahan yang aku lakukan padamu. Oke dulu aku salah, dulu aku memanfaatkan perasaanmu, waktumu, tubuhmu bahkan menyebabkan anak kita meninggal, tolong biarkan aku memperbaikinya. Kalau perlu, kamu hukum aku, tapi jangan hukum aku dengan pergi meninggalkanku lagi, itu berat, rasanya sepi, saat Jenny pergi rasa sakit yang aku terima tidak begitu dalam, saat Mita mengatakan ingin ke luar negeri, aku juga tidak terlalu mempermasalahkannya, tapi saat kamu pergi, aku merasa sakit yang tidak bisa disembuhkan, aku merasa kosong sepanjang waktu, ternyata aku butuh kamu, aku cinta kamu, Celine." "Kamu terlal
Evan tidak menghubungi Celine seharian, sepertinya Celine juga tidak berniat melakukannya. Evan sudah merasakan perpisahan berkali-kali tapi kenapa kali ini cukup menyiksanya, jadi ia datang ke kantor Siregar, alasannya sudah jelas. "Apa yang kalian bicarakan?" suara itu membuat Danil yang baru saja ingin berbalik pergi dan juga Celine menoleh. "Kami membicarakanmu," Danil berlalu sambil menepuk pundak Evan. Sementara Celine langsung berpura-pura sibuk dengan pekerjaannya. Evan tidak mengatakan apapun, ia menarik sebuah kursi kosong lalu duduk di depan meja Celine sambil memperhatikannya. "Ayo pergi ke suatu tempat," "Aku sedang bekerja dan kamu seorang bos kamu tidak pantas duduk di sini," "Kalau Danil pantas?" "Dia bos aku, dia ke sini untuk bertanya pekerjaan dan dia tidak duduk sama sekali" "Aku tidak peduli, lagi pula aku sedang duduk di hadapan istriku." "Lakukan saja sesukamu, Evan." Celine tidak peduli lagi, ia kembali fokus dengan pekerjaannya. Evan memaj
Evan sangat senang bisa mendampingi Celine pergi ke rumah sakit, berbanding terbalik dengan sebelumnya, kali ini ia tidak ingin melewatkan waktu sedetik pun, ia menanti di depan pintu kamar rumah sakit karena Celin melarangnya ikut masuk, reflek mendekati Celine saat melihatnya keluar bersama seorang dokter obgyn. "Bagaimana hasilnya?" Evan bertanya penuh harap. Celine diam saja dengan wajah tanpa ekspresi. "Bu Celine hanya masuk angin, Pak Evan." Evan tampak kecewa, ia lalu berkata, "Yakin sudah memeriksanya dengan baik, Dok?" "Sudah, Pak. Yang sabar ya, Pak. Masih banyak kesempatan kok, kebetulan Bu Celine sedang di masa suburnya, semangat Pak Evan!" ucap dokter. Celine tampak santai sementara Evan diam saja, ia tahu kesempatan itu pasti akan sulit ia dapatkan. "Mohon maaf masih ada pasien, saya lanjut bekerja dulu," "Silahkan, Bu." ucap Celine lalu pergi mendahului Evan. Evan hanya memandangi punggung Celine yang semakin menjauh tapi ia segera menyusul dengan lang
Evan terbangun karena merasakan pegal di punggungnya, ia mencoba membuka pintu kamar Celine yang ternyata tidak di kunci, ia memandang punggung istrinya beberapa saat, ia melangkah begitu saja seolah suasana di dalam kamar itu mengundangnya untuk masuk. Ia naik ke tempat tidur lalu meringkuk di atasnya tanpa berani menyentuh Celine. Ia selalu berhati-hati semenjak menyukai Celine, tapi Celine bergerak dan membalikkan badan ke arahnya, Evan secara tiba-tiba meluruskan tubuhnya untuk menyambut uluran tangan Celine yang akan memeluknya, selain tangan, kakinya juga bertengger nyaman di atas paha Evan, seluruh tubuh mereka menempel satu sama lain. Celine membuka mata sambil mengigau, "Kamu tampan sekali, Evan," ia menatap wajah Evan sebentar lalu menutup matanya kembali. "Kalau kamu begini, aku bisa memangsamu kapan saja," gumam Evan yang merasakan sensasi aneh di tubuhnya dan ia sangat mengerti apa itu. Ia mencoba menarik tubuhnya untuk melepaskan diri, untungnya ia berhasil. Ia m
Evan menghampiri Celine setelah semua tamu penting itu pergi, dari tadi ia mengawasi Celine, seandainya istrinya itu meninggalkan acara, ia tidak segang meninggalkan semua tamu pentingnya untuk mengejar Celine, untungnya saat ia melihat gerak-gerik Celine akan kabur, ibunya datang. Ia benar-benar bernafas lega. "Ayo pulang bersama," ucap Evan setelah bergabung dengan ibu dan istrinya. "Iya, sebaiknya begitu," sahut Bu Mery tampak bersemangat. Celine mau tidak mau harus ikut dengan Evan, ia tidak tega merusak wajah bahagia ibu mertuanya. "Sampaikan salam Evan pada papah, papah masih sibuk dengan koleganya," ucap Evan. "Siap," sambut Bu Mery. "Kami pergi dulu, Mah," ucap Celine. "Iya, Sayang," Saat berada di dalam mobil, Evan tidak berani bersuara, Celine juga tampak sangat tenang. "Antarkan aku ke kosan," ucap Celine seadanya. "Baik," Evan hanya bisa menurutinya untuk sementara, tadinya ia sudah membayangkan kehidupan bahagia di rumahnya, tapi karena masalah dengan M
Evan benar-benar hebat, ia sangat mendominasi, Celine masih belum terlalu yakin bahwa ia menikahi laki-laki tampan yang sedang berbicara dan dikagumi oleh semua orang saat ini, ia belum percaya bahwa ia telah dicintai oleh orang yang tidak pernah membalas perasaannya saat kuliah dulu, ia tidak percaya diri bahwa laki-laki itu sudah mengatakan 'aku mencintaimu' beberapa hari terakhir ini, ia masih ingin percaya kalau tadi pagi laki-laki itu mengatakan dirinya cantik untuk pertama kalinya, ia menangis dengan bingung, Evan melihatnya dari atas podium, membuat suaranya sedikit merendah. "Istriku, Celine!" suaranya menggema di seluruh ruangan. Celine dibuat kaget, ia pun buru-buru menyeka air matanya lalu menatap Evan sambil berbisik di dalam hati, 'Kamu belum berhenti juga, Evan, mau sejauh apa kamu membuatku terjebak dalam hidupmu?' "Dia wanita yang tidak pernah sekalipun kusadari ternyata ikut andil dalam berjuang membangun perusahaan ini, saat aku lelah dengan semua keadaan yang
Evan baru saja keluar dari toilet, ia melambat saat melihat Mita tampak menunggunya. Keduanya terlibat saling menatap satu sama lain, Evan menatap dingin sementara Mita tampak menantang untuk berperang. "Aku ingin bicara," ucap Mita. "Silahkan," "Ayo cari tempat sepi," "Baik," Evan berjalan mendahului Mita, karena ia tahu Mita tidak tau tempat itu, ia membawa Mita ke sebuah taman sepi yang baru saja ditanami pohon. "Ada apa?" tanya Evan santai. Mita tidak langsung menjawab, ia mengamati wajah Evan yang tampak datar. "Ternyata semua memang sudah berubah, aku datang terlambat," ujar Mita. "Maksudnya," "Aku datang karenamu, Evan, Maafkan aku karena pergi seperti itu," "Kau memang sangat terlambat, aku sudah menikahi dan mencintai dua wanita di belakangmu, apa kamu pikir masih ada rasa yang tersisa untukmu?" "Evan, aku rela menjadi yang kedua bahkan ketiga, aku masih seperti dulu, aku masih mencintaimu," "Maaf, buang saja rasa cintamu itu, aku sudah melalui bany
Acara ulang tahun Evan dimulai saat malam hari tiba, tamu-tamu penting sudah berdatangan, acara ini dibuat bukan semata-mata untuk ulang tahun, ada maksud tertentu yang dapat menguntungkan dunia bisnis keluarga mereka, selain itu, Evan ingin memperkenalkan Celine kepada dunia. Melihat suasana itu membuat Celine menjadi gugup. Evan dapat merasakannya. "Kenapa? Apa kamu gugup?" "Sedikit," "Santai saja, status mereka semua berada di bawah suamimu ini," ucap Evan berlagak angkuh sambil tersenyum manis pada Celine. Jantung Celine dibuat begitu berdebar, seperti saat pertama kali jatuh cinta pada Evan. Ia bahkan merasa apakah ini mimpi? "Aku takut mengacaukan semuanya," "Selama ada aku semua aman," "Ngomong-ngomong, aku ingin memberimu hadiah tapi aku lupa membawanya masuk, masih tertinggal di dalam mobil," "Tidak apa-apa, kamu adalah hadiah untukku," ucap Evan. 'Kenapa semudah ini jantungku berdebar," sesal Celine di dalam hatinya, ia merasa kesal karena tidak bisa mengend