Celin baru menumpahkan segalanya saat berada di dalam mobil, saat tidak ada orang yang menertawakan perasaannya.
Ia belum pernah merasakan sakit seperih itu, meski dalam hatinya ia selalu menduga adanya wanita lain di sisi Evan tapi ia selalu bisa menghindari pikirannya, namun setelah menghadapi kenyataan bahwa dugaannya benar, ternyata ia tidak sanggup dan sangat ingin lari dari kenyataan. Tiba-tiba teleponnya berdering, tulisan My Beloved husband menari-nari di sana, ia mengabaikannya, sedetik kemudian sebuah pesan masuk, ia hanya membaca di layar kunci, ia tidak berminat membuka apalagi membalasnya. 'Aku tau kau sedang emosi, bahaya saat menyetir,' "Sejak kapan kau peduli?" ucap Celin, rasanya ingin berteriak dan memaki di depan orangnya langsung. Celin mengalah setelah membaca isi pesan itu, sepelik apapun masalahnya, ia harus tetap hidup, jadi ia menepikan mobilnya untuk sedikit menenangkan diri, sambil berpikir kemana ia harus pergi. Ia tidak bisa ke rumah orang tuanya, pasti ibu tirinya akan mengomel melihat kedatangannya, ia juga tidak punya teman dekat di kota ini. Ia benar-benar hanya punya Evan. Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya ia menemukan tempat tujuannya, yaitu kantor, ia bisa beralasan menyelesaikan pekerjaan, sepertinya takdir menyambut rencananya. Tiba-tiba ia mendapat panggilan dari menejernya. "Halo, Pak Yanto! Ada yang bisa saya bantu," "Ada, Bos ingin departemen Kita mempersentasikan proyek yang sedang kamu kerjakan itu besok, sepertinya kamu yang paling paham bagian ini, saya tau kamu sudah mempelajarinya, tunjukkan yang terbaik kepada para investor yang akan hadir." Pak Yanto berbicara tanpa jeda, sepertinya ia tidak ingin mendengar penolakan. "Kenapa harus saya, Pak?" Celin agak ragu dan ingin menolak, tapi ia juga sedikit bersemangat. "Karena kamu pasti sudah memperlajari berkasnya dan kamu masih bagian dari tim pemasaran. Saya tidak mau menerima penolakan," ucap Pak Yanto dengan tegas. "Baik, Pak!" Celin tidak punya pilihan lain, tapi ia siap menerimanya, dengan kesibukan ia bisa mengalihkan pikirannya, sebenarnya Celin merasa sedikit terbantu dengan ini. Beberapa saat kemudian, Pak Yanto mengirimkan alamat untuk acara besok, ternyata itu lokasi proyek. Celin pantang menangis, ia sudah mempelajarinya sejak menikah dengan Evan, sejak ia tahu ternyata Evan tidak mencintainya. *** Keesokan harinya, Celin sudah mempersiapkan diri untuk memenuhi perintah menejernya, ia sedang menunggu kedatangan Pak Yanto dan beberapa rekan kerjanya, mereka janjian akan berangkat bersama saja agar bisa sekaligus membicarakannya selama diperjalanan. Selagi menunggu jemputan, Evan menelponnya. "Halo," seru Celin cukup santai di keadaannya sekarang. "Bagaimana keadaanmu?" Evan terdengar khawatir padahal biasanya ia selalu dingin dan terkesan tidak peduli, seandainya tidak ada kejadian mengenai istri lainnya, Celin pasti akan kegirangan mendengarnya. "Aku baik-baik saja," "Kita harus bicara, " "Aku sedang sibuk," "Sibuk apa?" Evan terdengar meremehkan. "Maaf aku harus menutup teleponnya, menejerku sudah datang," "Menejer siapa? Memangnya kamu kerja di mana?" Evan sedikit berteriak demi menghentikan Celin mematikan teleponnya. 'Dua tahun bersama masih belum tau pekerjaan istrinya,' gerutu Celin, perasaan antara kesal dan sedih muncul di hatinya. Untungnya mobil Pak Yanto sudah tiba, ia tidak perlu meladeni perasaannya, ia pun segera masuk dan bergabung dengan yang lainnya. Saat tiba di lokasi, mereka semua bekerja dengan giat, karena pemberitahuan tiba-tiba ini, membuat semunaya harus bekerja keras. Tidak terasa malam pun tiba, Pak Seto selaki CEO perusahaan Setiawan datang lebih awal dari tamu undangan, ia langsung mengambil tempat duduk paling depan yang telah disiapkan untuk VIP. Celin dan yang lainnya sedang mempersiapkan diri di belakang. Ia tidak menyangka ternyata acaranya cukup besar dan mewah. Beberapa saat kemudian para undangan mulai berdatangan, ada satu yang menyedot perhatian Celin. Ternyata ada Evan juga, ia sangat tampan dan berkarisma, walaupun Celin setiap hari melihat Evan dengan penampilan itu bahkan terkadang ia sendiri yang memakaikan setelannyaya, ia tetap melihat Evan sangat berbeda malam ini, hal itu membuat perasaannya menjadi gelisah dan gugup. Ditambah lagi dengan masalah istri yang tiba-tiba muncul. "Ada apa? Kamu salah satu yang gugup juga saat melihat Pak Evan? Jangan terlalu berharap dia sudah beristri, sayangnya istrinya sedang koma karena kecelakaan, meski begitu ia masih sangat mencintai istrinya, dia belum menjalin hubungan dengan siapa pun setelahnya," jelas Pak Yanto. Celin jadi berkecil hati mendengarnya, Evan memang tidak pernah mengumumkan pernikahan keduanya, saat Evan menikahi dirinya, acaranya cukup tertutup dan hanya dihadiri keluarga dan kerabat saja. Tapi dari informasi ini, ia jadi tau penyebab Jeni berada di atas kursi roda, ternyata karena kecelakaan. "Ayo, kenapa malah bengong," "Pak, sebaiknya saya digantikan saja" "Tidak bisa, kemarin kamu cukup bersemangat, pokoknya lanjutkan! karena dari segi kecerdasan dan penampilan kamulah yang paling menonjol, coba lihat kami ini," tegas Pak Yanto sambil menunjuk rekan kerjanya yang tampak mulai menua, sementara yang terlihat muda masih karyawan magang. "Baik, Pak!" Celin harus terus maju, ia tidak boleh lemah hanya karena urusan pribadi. Tiba saatnya Celin maju untuk berbicara, Evan baru menyadari kehadirannya begitu ia dipersilahkan maju, ia tidak percaya itu Celin. Ia menyimak dengan seksama, matanya tidak lepas memperhatikan Celin yang terlihat anggun dan independen, ia bahkan mencoba memberi pertanyaan sulit dan Celin berhasil menjawab dengan profesional. Celin pun baru tau kalau investor terbesar proyek ini adalah Evan Mahendra. Tentu saja Evan adalah undangan paling terhormat di sini. Kalau bukan karena pertemuan ini, mereka tidak akan saling mengetahui status pekerjaan satu sama sama lain, Evan sebagai suami tidak akan pernah tahu apa yang Celin lakukan, tapi Celin tahu semua tentang Evan. Begitu acara selesai, Celin langsung pamit untuk pulang, tentu saja dicegah oleh Pak Yanto. "Masih ada acara makan-makan, sebagai orang yang mengharumkan departemen kau harus hadir, mereka akan kecewa kalau kamu pergi begitu saja," "Pak, aku ada alasan pribadi yang sangat urgent," "Tidak bisa, pokoknya harus ikut, kalau nggak gajimu dipotong, " "Tidak masalah, Pak. Dipotong saja," Pak Yanto lupa kalau Celin bukan gadis yang kekurangan, tapi dia ingat kalau Celin sangat gila pekerjaan "Kalau begitu diskors selama seminggu, mau?" "Nggak, Pak! Baik saya akan ikut," Ia menyerah, kemana ia akan pergi selama seminggu kalau ia diskors.Sepanjang acara makan malam, Celin tidak pernah melirik ke arah Evan, tapi Evan terus memperhatikannya, bukan karena tiba-tiba tertarik setelah melihat penampilannya yang berbeda barusan, tapi ia sedang memikirkan cara untuk mengajak Celin berbicara. Di tengah jamuan makan, Celin izin ke toilet, kebetulan ia juga sudah selesai, ia benar-benar tidak bisa bernafas dengan benar di ruangan itu apalagi kehadiran Evan begitu mengganggunya. Begitu Celin keluar, Evan langsung menarik tangannya, dan membawanya ke tempat sepi. "Pak Evan?" Celin sedikit kaget. "Kenapa kau memanggilku seperti itu?" protes Evan. "Karena kita sedang di luar dan tidak ada yang tau kalau aku istrimu, akan sangat terdengar tidak sopan kalau mereka mendengarku memanggilmu hanya nama," jelas Celin. "Santai saja, kau boleh memanggilku dengan nyaman," "Baik, Pak!" "Masih?" "Karena dengan begitu aku baru merasa nyaman," "Terserah kau saja," Evan menyerah, lagi pula bukan itu tujuannya. "Pulanglah
Evan duduk di samping Celin, ia mencoba bersahabat dengan keadaannya. "Kau sedang apa? pergilah, Van!" Celin menunjukkan penolakannya, dulu ia selalu menginginkan Evan melakukan hal seperti ini barang sejenak saja, tapi sepertinya tidak pernah ada waktu untuknya. "Baiklah, aku akan pergi tapi kamu ikut denganku." Evan berdiri dan langsung menggendong Celin, ia tidak memberi kesempatan pada Celin untuk menolak. "Van, kamu sedang apa? turunkan aku!" Celin meronta agar dilepaskan, ia bahkan memukul dan mencubit tubuh Evan, tapi Evan masih tetap mempertahankan, tubuh kekar Evan mampu mengalahkan semua serangannya. "Aku tidak mau pulang! " Celin belum menyerah, kakinya juga mulai beraksi dengan menghentak-hentakkannya dengan keras. Lagi-lagi Evan berhasil mengunci pergerakannya. "Kita akan bicarakan di sini," Evan memasukkan Celin ke dalam mobilnya dan mengunci pintu. "Aku tidak mau mendengar apapun," Celin menutup telinganya seperti orang bodoh. "Aku tidak akan mengata
Keesokan paginya, Celin terbangun tanpa Evan di sampingnya. Ia gegas menuju kamar mandi lalu bersiap-siap untuk bekerja. Ia keluar setelah rapi dengan penampilannya, ternyata ada Evan di ruang makan sedang bersama Jeni, sepertinya paginya akan sering disuguhi pemandangan yang tidak menyenangkan ini, Evan tengah menyuapi Jeni ketika Celin lewat, Evan juga mengecup kening Jeni dengan penuh cinta, hal yang tidak pernah ia dapatkan di sepanjang pernikahannya. Celin hanya bisa pura-pura tidak melihat. Tapi Evan sudah terlanjur menyadarinya dan merasa sangat tidak nyaman dengan itu, ia pun berinisiatif mendekati Celin. "Ada apa? Aku harus pergi kerja," ucap Celin dengan acuh tak acuh, dulu Celin tidak seperti ini, dulu ia selalu bersemangat menanggapi Evan. Matanya selalu berbinar saat Evan melakukan hal sekecil apapun untuknya, walaupun hanya pertanyaan 'mau kemana?' karena bahkan pernyataan sesimpel itu pun sangat jarang didengarnya dari seorang Evan. "Tunggu sebentar saja," ucap E
Di rapat kali ini, Evan selaku investor utama yang memimpin. Rapat tiba-tiba diadakan karena ada perubahan besar-besaran. Evan menjelaskan, letak bangunan itu sangat strategis jika dijadikan sebagai hotel bintang lima, alih-alih menjadi pusat perbelanjaan dan sebagainya. Ia berbicara hingga akhir, setelah itu semua orang diminta mengeluarkan pendapatnya. Celin mengacungkan tangannya, "Ya, silahkan, Nona Celin!" Panitia rapat memberinya kesempatan. "Terima kasih atas waktunya," ucap Celin berbasa-basi. "Lahan di sekitar lokasi gedung masih sangat luas, bagaimana kalau rencana awal tetap diadakan dan mendirikan lagi sebuah bangunan, sepertinya hotel dan pusat perbelanjaan cukup baik jika disandingkan," "Ide yang bagus," sambut Evan, sepertinya ia cukup puas dengan ide Celin. Tampak Dev sangat tertarik dengan celin, ia tidak lepas memperhatikannya. "Ada lagi?" Ucap panitia rapat. Selain Celin ada beberapa orang lagi yang bersuara, poin akhirnya, semua setuju untuk meng
Dua minggu telah berlalu. Hari spesial Celin masih sama seperti tahun sebelumnya, ia menginap di kantor untuk menyelesaikan pekerjaannya yang tersisa sambil menunggu jam dua belas malam untuk merayakan hari ulang tahunnya sendiri, ia sudah menyiapkan cupcake dan lilin, sama seperti yang ia lakukan tahun lalu. Ia berdoa yang terbaik untuk dirinya sendiri, ia juga akan memberikan hadiah untuk dirinya sendiri. Tepat sepuluh menit sebelum jam dua belas, Celin sudah mempersiapkan semuanya, ia sudah menyalakan lilin di atas cup cake kecil yang tadi dibelinya. Ia sangat fokus memperhatikan api lilin yang sedang meliuk-liuk seolah menertawakan kesendiriannya, saat tinggal hitungan detik, air matanya tidak terasa luruh begitu saja, ada banyak hal yang berseliweran di kepalanya, ia mengasihani dirinya yang mampu bertahan di pernikahannya selama dua tahun, ia juga mengingat bagaiman Evan menanyakan hadiah untuk Jeni yang berulang tahun dua minggu yang lalu ia tidak pernah merasa sesedih ini s
sepulang kerja, Celin mendapati mertuanya sedang berada di rumah, ia dan mertuanya cukup akur, mertuanya tipe orang yang tidak perduli dengan kehidupan putranya tapi kali ini ia datang, pasti karena ada sesuatu. "Hai, Celin!" Sapa Bu Veron. Tidak heran kalau Evan sangat tampan jika terlahir dari rahim Bu Veron yang sangat cantik dan menawan meski usianya sudah tidak muda lagi. "Mamah, apa kabar? Kenapa tidak mengabari Celin?" Tanya Celin sambil menyalami mertuanya. "Mamah baik, Mamah baru saja tiba, mamah takut kalian sibuk," Bu Veron tersenyum hangat pada menantunya. "Kudengar kamu dan Evan menangani proyek yang sama," lanjutnya "Celin hanya mengurus bagian desain grafisnya saja, Mah. Bos saya dan Evan yang bertanggung jawab secara keseluruhan," "Begitu juga sudah bagus. Bagaimana kabar kalian?" "Kami baik, Mah." "Kalau cucu Mamah?" "Cucu?" Celin tidak pernah memikirkan tentang anak, ia sendiri tidak tau kenapa sudah dua tahun pernikahan tapi belum hamil, pad
Beberapa waktu terlewati, para pekerja sedang mendirikan tiang untuk pijakan, semua tampak baik-baik saja sampai ada satu tiang yang berukuran besar dan panjang sepertinya akan jatuh, para pekerja tidak bisa mengendalikan tiang itu dan akhirnya roboh. "Awas... Awas...!" Teriak para pekerja serempak, Celin menjadi sasaran paling empuk, walaupun posisinya agak jauh, tiang panjang itu masih akan menjangkaunya. Celin yang kaget spontan memegangi kepalanya sambil berdiri untuk kabur. Semua orang juga kaget dan panik, tapi lebih kaget lagi saat melihat Evan berlari untuk menyelamatkan Celin sambil meneriakkan namanya, "Celin...! Awas....!" Teriakan Evan dan dorongannya pada Celin serta jatuhnya tiang terjadi secara bersamaan dan sangat cepat. Semua orang segera berlari mendekatinya. "Evan, kau baik-baik saja?" Tanya Celin, sangat khawatir tanpa memperhatikan sekitar, ia memeriksa tubuh Evan. "Pipimu berdarah, Evan!" "Aku tak apa, orang-orang sedang melihat kita," bisik Evan,
Ternyata setelah kejadian di taman waktu itu, hari-hari Celin menjadi berat, di kantornya ia sering mendengar perkataan tidak menyenangkan dari karyawan, bukan hanya tentang Evan, mereka juga membawa-bawa nama menejernya. "Hei, kau Celin 'kan?" Gadis centil itu tiba-tiba duduk di hadapan Celin sambil berkata dengan arogan. "Iya, kenapa?" Tantang Celin. "Ku dengar kau menggoda Pak Evan, kasi tau tipsnya dong!" "Aku tidak melakukan apa-apa," "Tampangnya saja yang polos, apa Pak Evan masih merasa kesepian setelah kamu menemaninya? Aku mau kok gantian sama kamu, " "Kalian ngomongin apa sih? Udah sok kenal, ngomongnya sembarangan lagi, kalau kamu memang ingin sekali menjual diri, sana cari gigolo, jangan mencemari nama baik Pak Evan," "Kurang ajar sekali," ucap gadis centil itu, ia sangat emosi dan ingin menampar Celin, untungnya ada Pak Yanto. "Apa-apaan kalian ini? Kalau mau melacurkan diri bukan di sini tempatnya," Ternyata Pak Yanto tidak kalah sengitnya. "Apa Pak