Dua minggu telah berlalu. Hari spesial Celin masih sama seperti tahun sebelumnya, ia menginap di kantor untuk menyelesaikan pekerjaannya yang tersisa sambil menunggu jam dua belas malam untuk merayakan hari ulang tahunnya sendiri, ia sudah menyiapkan cupcake dan lilin, sama seperti yang ia lakukan tahun lalu. Ia berdoa yang terbaik untuk dirinya sendiri, ia juga akan memberikan hadiah untuk dirinya sendiri.
Tepat sepuluh menit sebelum jam dua belas, Celin sudah mempersiapkan semuanya, ia sudah menyalakan lilin di atas cup cake kecil yang tadi dibelinya. Ia sangat fokus memperhatikan api lilin yang sedang meliuk-liuk seolah menertawakan kesendiriannya, saat tinggal hitungan detik, air matanya tidak terasa luruh begitu saja, ada banyak hal yang berseliweran di kepalanya, ia mengasihani dirinya yang mampu bertahan di pernikahannya selama dua tahun, ia juga mengingat bagaiman Evan menanyakan hadiah untuk Jeni yang berulang tahun dua minggu yang lalu ia tidak pernah merasa sesedih ini sebelumnya, setelah tau benar-benar ada nama orang lain di hati Evan, hatinya menjadi lebih cengeng dan matanya menjadi sangat sensitif. Ia menutup matanya yang masih terus mengeluarkan air mata sambil menghitung mundur angka sepuluh hingga satu, tepat di hitungan ke lima ia merasakan kehadiran seseorang tapi ia tidak menggubris karena ia berpikir itu pasti halusinasinya saja, begitu membuka mata di hitungan terakhir, sosok Evan berada tepat di hadapannya. Ia bengong tidak percaya. "Aku pasti sudah gila," lirihnya sambil memastikan apakah ia bermimpi? Evan bahkan membantunya menghapus air matanya. "Ini mustahil, aku mungkin benar-benar sudah gila," Ia malah menjadi bingung dan semakin menangis karena terlalu tidak percaya dengan imajinasinya sendiri. "Waktu terus berjalan, cepat tiup lilinnya, jangan lupa sebutkan harapanmu." Suara Evan benar-benar nyata di telinganya. Celin menutup matanya lalu berucap, "Aku berharap ini bukan mimpi," Celin kembali membuka mata kemudian meniup lilinnya. "Selamat ulang tahun, Celin," ucap Evan dengan tulus, tidak lupa mendaratkan ciuman hangat di bibir Celin. "Evan? Kau benar-benar ada di sini?" Semakin luruh air matanya, ia sangat terharu. *** Dua jam sebelumnya, Evan buru-buru pulang, ia sudah tahu tentang ulang tahun Celin, begitu tiba di rumah ia kelabakan mencari Celin, ia mengingat kemana Celin akan pergi di hari pentingnya, satu-satunya yang terbesit di pikirannya adalah kantor, ia bergegas menuju kantor dan menemukan Celin yang tampak kasihan merayakan ulang tahunnya sendirian, ia berjanji akan menebus kesalahannya kali ini. Ia benar-benar gemas melihat tingkah Celin yang tidak bisa mempercayai kehadirannya, karena itu ia inisiatif mencium Celin agar ia percaya bahwa dia benar-benar ada. "Kalau ini mimpi tolong jangan bangunkan aku, kalau ini nyata tolong hentikan waktu," ucapnya terdengar melantur. Rasa bersalah di hati Evan semakin besar, meskipun Celin berubah akhir-akhir ini, ia tahu Celin masih sangat mencintainya. "Kamu suka perhiasan 'kan? Coba lihat ini," Celin menggeleng lalu berkata, "Aku tidak butuh apa-apa, ada orang yang menemaniku malam ini saja sudah cukup," Ia ingin melanjutkan lagi tapi sedikit malu. "Apalagi itu adalah kamu,", "Terus harus kuapakan benda ini?" Ia mengayunkan kalung yang sangat cantik di hadapan Celin. "Akan sangat cocok kalau dipakai Jen... " Ucapan Celin terpotong karena Evan tiba-tiba meletakkan ujung jari telunjuknya di bibir Celin. "Di sini hanya ada aku dan kamu, tidak ada yang lain," "Kalau kau seperti ini, aku bisa salah paham bahwa kau mungkin mencintaiku," Evan tidak bisa membalas. Ia ada di sini hanya karena merasa bersalah, ia pun langsung berdiri dan memakaikan kalung itu ke leher Celin. "Sangat cantik... " Puji Evan, Celin hampir salah tingkah sampai Evan kembali bersuara. "Kalungnya," lanjutnya terdengar bercanda. Ingin sekali Celin menonjok mukanya. "Terima kasih, Evan. Kau harusnya tidak perlu memberiku benda yang sangat mewah, akan terlihat aneh di tubuhku, meski aku tidak kekurangan uang, aku masih belum cukup percaya diri untuk membeli ini, " Celin menyupi Evan sepotong cup cake, awalnya Evan menghindar tapi Celin memaksanya. Mereka lalu tertawa bersama untuk pertama kalinya di sepanjang pernikahannya. Beberapa saat kemudian Celin tertidur di atas meja di saat Evan sedang ke toilet. "Celin, bangun! Ayo pulang. " Evan menggoncang pelan tubuh Celin. "Aku sangat mengantuk, pulang duluan saja." Celin kembali terpejam. Evan malah duduk sambil memperhatikannya, ia benar-benar tidak mengenal Celin, ia berniat akan memperlakukan Celin lebih baik. Evan menunggu Celin hingga benar-benar lelap, ia lalu menggendongnya menuju mobil untuk membawanya pulang. Keesokan harinya, Celin terbangun dan menemukan dirinya di atas tempat tidur bersama Evan. "Bagaimana aku bisa berada di sini?" Ucapnya sedikit shok. Evan terbangun karena suaranya. "Semalam aku tidur di kantor, kau yang membawaku pulang?" Celin sangat berharap. "Jangan terlalu percaya diri, kau sendiri yang mengurus dirimu, kau berjalan seperti mayat hidup," Evan merasa gengsi untuk jujur. "Apa aku seperti itu? Kenapa Aku tidak mengingatnya sama sekali," ucap Celin memegangi kepalanya untuk mengingat-ingat. "Ayo tidur lagi, aku pun masih sangat mengantuk," Evan menarik selimutnya yang sedikit melorot. "Aku harus bekerja hari ini," Celin bersiap-siap turun dari tempat tidur. "Tidak perlu," Evan menarik Celin untuk kembali berbaring. "Tidur saja, kamu kurang tidur gara-gara semalam," ucap Evan. "Sejak kapan kamu seperhatian ini?" "Hari ini adalah hari spesial, jadi aku sedikit perhatian." Celin tersenyum mendengarnya. Ia berpikir untuk melakukan sesuatu pada Evan. Ia mendekatkan wajahnya ke depan wajah Evan yang matanya sedang tertutup lalu mengecup lembut bibirnya. Evan seketika membuka mata dan mengamati wajah Celin tanpa ekspresi. "Karena ini hari spesialku, maka aku bebas melakukan apapun," ucap Celin sambil tersenyum malu-malu. Evan langsung mengubah posisinya, ia merengkuh tubuh Celin dan menindih di bawah tubuhnya. "Kamu yang memancingku," Evan menyeringai penuh minat. "Aku sama sekali tidak bermaksud," Celin gelagapan, ia berusaha melepaskan diri, tapi Evan tampaknya sangat menikmati pemberontakannya. "Evan, aku harus bekerja," Celin belum menyerah. "Oke, aku akan melepaskanmu, silahkan pergi bekerja, tapi setelah aku mengerjaimu terlebih dahulu," Evan langsung beraksi di atas tubuh Celin. Ia selalu bisa membuat Celin menyerah begitu saja.sepulang kerja, Celin mendapati mertuanya sedang berada di rumah, ia dan mertuanya cukup akur, mertuanya tipe orang yang tidak perduli dengan kehidupan putranya tapi kali ini ia datang, pasti karena ada sesuatu. "Hai, Celin!" Sapa Bu Veron. Tidak heran kalau Evan sangat tampan jika terlahir dari rahim Bu Veron yang sangat cantik dan menawan meski usianya sudah tidak muda lagi. "Mamah, apa kabar? Kenapa tidak mengabari Celin?" Tanya Celin sambil menyalami mertuanya. "Mamah baik, Mamah baru saja tiba, mamah takut kalian sibuk," Bu Veron tersenyum hangat pada menantunya. "Kudengar kamu dan Evan menangani proyek yang sama," lanjutnya "Celin hanya mengurus bagian desain grafisnya saja, Mah. Bos saya dan Evan yang bertanggung jawab secara keseluruhan," "Begitu juga sudah bagus. Bagaimana kabar kalian?" "Kami baik, Mah." "Kalau cucu Mamah?" "Cucu?" Celin tidak pernah memikirkan tentang anak, ia sendiri tidak tau kenapa sudah dua tahun pernikahan tapi belum hamil, pad
Beberapa waktu terlewati, para pekerja sedang mendirikan tiang untuk pijakan, semua tampak baik-baik saja sampai ada satu tiang yang berukuran besar dan panjang sepertinya akan jatuh, para pekerja tidak bisa mengendalikan tiang itu dan akhirnya roboh. "Awas... Awas...!" Teriak para pekerja serempak, Celin menjadi sasaran paling empuk, walaupun posisinya agak jauh, tiang panjang itu masih akan menjangkaunya. Celin yang kaget spontan memegangi kepalanya sambil berdiri untuk kabur. Semua orang juga kaget dan panik, tapi lebih kaget lagi saat melihat Evan berlari untuk menyelamatkan Celin sambil meneriakkan namanya, "Celin...! Awas....!" Teriakan Evan dan dorongannya pada Celin serta jatuhnya tiang terjadi secara bersamaan dan sangat cepat. Semua orang segera berlari mendekatinya. "Evan, kau baik-baik saja?" Tanya Celin, sangat khawatir tanpa memperhatikan sekitar, ia memeriksa tubuh Evan. "Pipimu berdarah, Evan!" "Aku tak apa, orang-orang sedang melihat kita," bisik Evan,
Ternyata setelah kejadian di taman waktu itu, hari-hari Celin menjadi berat, di kantornya ia sering mendengar perkataan tidak menyenangkan dari karyawan, bukan hanya tentang Evan, mereka juga membawa-bawa nama menejernya. "Hei, kau Celin 'kan?" Gadis centil itu tiba-tiba duduk di hadapan Celin sambil berkata dengan arogan. "Iya, kenapa?" Tantang Celin. "Ku dengar kau menggoda Pak Evan, kasi tau tipsnya dong!" "Aku tidak melakukan apa-apa," "Tampangnya saja yang polos, apa Pak Evan masih merasa kesepian setelah kamu menemaninya? Aku mau kok gantian sama kamu, " "Kalian ngomongin apa sih? Udah sok kenal, ngomongnya sembarangan lagi, kalau kamu memang ingin sekali menjual diri, sana cari gigolo, jangan mencemari nama baik Pak Evan," "Kurang ajar sekali," ucap gadis centil itu, ia sangat emosi dan ingin menampar Celin, untungnya ada Pak Yanto. "Apa-apaan kalian ini? Kalau mau melacurkan diri bukan di sini tempatnya," Ternyata Pak Yanto tidak kalah sengitnya. "Apa Pak
Celin terbangun tengah malam, Evan tidak ada di sampingnya, mungkin sedang menemani Jeni lagi, Celin berpikir, 'Memangnya untuk apa Evan tidur di sini dengannya? paling kalau ada maunya saja baru dia di sini." Dari pada pusing dengan pikirannya sendiri, ia segera membawa dirinya ke kamar mandi untuk membersihkan diri, lalu kembali tidur. keesokannya, ia terbangun lagi dan langsung ditodong oleh Evan. "Pagi ini ikut aku ke perusahaan Mahendra, ada pekerjaan yang harus kamu lakukan," Suara Evan memembuat Celin yang baru saja keluar dari kamar mandi, kaget. "Aku bukan karyawan Mahendra, Pak Evan." Celin terdengar malas. "Ingat tentang kerja sama kita? " "Aku belum mendapat perintah dari atasan." "Saya adalah atasan dari atasanmu, jadi menurutmu siapa yang paling berhak kamu taati." "Iya, baiklah," Celin lebih baik mengalah dari pada harus mendengar kesombongannya. Mereka tiba di kantor perusahaan Mahendra, Celin dibuat terkagum-kagum, gedung milik Mahendra berkali-kali li
Evan benar-benar menepati janjinya, setelah ia menyelesaikan pekerjaannya, ia datang ke kantor Celin. Malah Celin yang menjadi ragu dan ingin membatalkannya, tapi Evan tidak akan pernah menarik kembali perkataannya. Ketika mereka tiba di kantor Celin, mereka menjadi pusat perhatian, dari pintu masuk bangunan tujuh tingkat itu orang-orang sudah langsung sigap berdiri menghentikan aktifitasnya demi memberi sambutan penghormatan begitu melihat Evan. Mereka tetap melakukannya walaupun dengan ekspresi terheran-heran, ada apa sampai Pak Evan Mahendra datang ke kantornya, ditambah lagi ada Celin yang sedang mengekor seperti anak kucing yang berlindung di belakang induknya. Celin buru-buru menyeimbangkan langkahnya dengan Evan lalu berbisik "Evan, sebaiknya kita hentikan ini. Sebenarnya aku tidak terlalu serius." "Tidak apa-apa, aku harus bertanggung jawab atas janji yang sudah kubuat," ucap Evan tidak ingin dibantah. Celin membawa Evan ke lobi kantor yang disiapkan untuk VIP. Evan
Ketika Celin kembali dari bekerja, ia menemukan Evan di ruang tamu sedang bersandar di sofa tampak memikirkan sesuatu. Sepertinya ia pun baru tiba. Ia tidak peduli dengan kehadiran Celin, Celin pun tidak berminat mau tahu, jadi Celin langsung berlalu ke kamarnya. Ternyata Evan mengikutinya. "Ada apa? Apa kau menyesal dengan apa yang yang kamu lakukan hari ini? Sepertinya kamu memikirkannya." Celin asal menebak. Evan tampaknya tidak tertarik. Ia malah mendekati Celin dan memeluknya dari belakang. "Layani aku, buat aku jatuh cinta," "Aku sudah dua tahun melayanimu, tapi kau tidak jatuh cinta sama sekali, apa kali ini akan berbeda hanya karena kamu berkata seperti itu? Kalau kamu menginginkan tubuhku lagi katakan saja tidak perlu berbelit-belit," "Aku akan mencoba, alasan aku mengatakan hubungan kita hari ini, karena aku ingin tahu seberapa ikhlas aku menerimamu sebagai istriku, ternyata tidak sesulit itu, hanya saja menumbuhkan cinta, kenapa begitu sulit." "Jadi selama dua t
Celin tidak berani bertemu Evan, ia berharap kesalahpahaman ini segera berakhir dan Jeni baik-baik saja. Jadi ia tinggal di mess perusahaan dekat kantornya, ia benar-benar wanita yang sangat rajin dan pekerja keras, ia masih bisa datang ke kantor untuk bekerja walapun keadaannya sedang carut marut, lehernya yang membiru akibat ulah Evan ia tutupi dengan syal. Orang-orang juga tidak memperhatikan, mereka pikir itu adalah bagian dari outfit yang dikenakan Celin. Di siang hari, Evan tiba-tiba hadir di kantor Celin, ia langsung ke ruangan CEO, Celin hanya menatap kepergiannya sambil menerka-nerka, ia berharap semoga bukan sesuatu yang buruk. "Itu suamimu 'kan? Samperin sana!" Ucap Piya. "Dia pasti ada urusan dengan bos, bukan denganku," "Meskipun begitu dia suamimu, Celin." "Aku tidak berpikir begitu, pekerjaan adalah pekerjaan, urusan pribadi adalah urusan pribadi, kalau dia datang untukku aku akan menyambutnya kalau dia datang untuk pekerjaan aku akan membiarkannya," "Per
Tempat acara mulai dipenuhi banyak orang, tapi tidak sesak karena acaranya dilaksanakan di taman, saat Celin mengitari taman, ia tidak sengaja melihat sosok yang sangat familiar, ia berpikir untuk pergi tapi ia masih menghormati Dev. Ia juga tidak menyangka kenapa Evan hadir di tempat seperti ini, Celin berusaha bersembunyi di tengah kerumunan. "Kamu mau makan apa? Biar kupesankan," ucap Dev, sejak tadi mereka hanya mengobrol. "Apa saja, semua tampak enak," jawab Celin, Dev tersenyum lalu berkata. "Kalau itu Miya, ia akan meminta makanan yang termahal yang ada di sini, dia sangat manja dan pemilih," "Oh ya? Ternyata perbedaan kami memang sangat jauh, aku wanita yang sangat mandiri, aku bisa memakan apapun selama itu adalah makanan," Celin hanya mencoba mengimbanginya, Dev tersenyum mendengarnya. Dev kemudian memanggil pelayan untuk menyiapkan makanan yang mereka inginkan. Celin kembali mengintip Evan, jika dilihat dari glagatnya sepertinya Evan sudah melihat kehadirannya
Evan terbangun karena merasakan pegal di punggungnya, ia mencoba membuka pintu kamar Celine yang ternyata tidak di kunci, ia memandang punggung istrinya beberapa saat, ia melangkah begitu saja seolah suasana di dalam kamar itu mengundangnya untuk masuk. Ia naik ke tempat tidur lalu meringkuk di atasnya tanpa berani menyentuh Celine. Ia selalu berhati-hati semenjak menyukai Celine, tapi Celine bergerak dan membalikkan badan ke arahnya, Evan secara tiba-tiba meluruskan tubuhnya untuk menyambut uluran tangan Celine yang akan memeluknya, selain tangan, kakinya juga bertengger nyaman di atas paha Evan, seluruh tubuh mereka menempel satu sama lain. Celine membuka mata sambil mengigau, "Kamu tampan sekali, Evan," ia menatap wajah Evan sebentar lalu menutup matanya kembali. "Kalau kamu begini, aku bisa memangsamu kapan saja," gumam Evan yang merasakan sensasi aneh di tubuhnya dan ia sangat mengerti apa itu. Ia mencoba menarik tubuhnya untuk melepaskan diri, untungnya ia berhasil. Ia m
Evan menghampiri Celine setelah semua tamu penting itu pergi, dari tadi ia mengawasi Celine, seandainya istrinya itu meninggalkan acara, ia tidak segang meninggalkan semua tamu pentingnya untuk mengejar Celine, untungnya saat ia melihat gerak-gerik Celine akan kabur, ibunya datang. Ia benar-benar bernafas lega. "Ayo pulang bersama," ucap Evan setelah bergabung dengan ibu dan istrinya. "Iya, sebaiknya begitu," sahut Bu Mery tampak bersemangat. Celine mau tidak mau harus ikut dengan Evan, ia tidak tega merusak wajah bahagia ibu mertuanya. "Sampaikan salam Evan pada papah, papah masih sibuk dengan koleganya," ucap Evan. "Siap," sambut Bu Mery. "Kami pergi dulu, Mah," ucap Celine. "Iya, Sayang," Saat berada di dalam mobil, Evan tidak berani bersuara, Celine juga tampak sangat tenang. "Antarkan aku ke kosan," ucap Celine seadanya. "Baik," Evan hanya bisa menurutinya untuk sementara, tadinya ia sudah membayangkan kehidupan bahagia di rumahnya, tapi karena masalah dengan M
Evan benar-benar hebat, ia sangat mendominasi, Celine masih belum terlalu yakin bahwa ia menikahi laki-laki tampan yang sedang berbicara dan dikagumi oleh semua orang saat ini, ia belum percaya bahwa ia telah dicintai oleh orang yang tidak pernah membalas perasaannya saat kuliah dulu, ia tidak percaya diri bahwa laki-laki itu sudah mengatakan 'aku mencintaimu' beberapa hari terakhir ini, ia masih ingin percaya kalau tadi pagi laki-laki itu mengatakan dirinya cantik untuk pertama kalinya, ia menangis dengan bingung, Evan melihatnya dari atas podium, membuat suaranya sedikit merendah. "Istriku, Celine!" suaranya menggema di seluruh ruangan. Celine dibuat kaget, ia pun buru-buru menyeka air matanya lalu menatap Evan sambil berbisik di dalam hati, 'Kamu belum berhenti juga, Evan, mau sejauh apa kamu membuatku terjebak dalam hidupmu?' "Dia wanita yang tidak pernah sekalipun kusadari ternyata ikut andil dalam berjuang membangun perusahaan ini, saat aku lelah dengan semua keadaan yang
Evan baru saja keluar dari toilet, ia melambat saat melihat Mita tampak menunggunya. Keduanya terlibat saling menatap satu sama lain, Evan menatap dingin sementara Mita tampak menantang untuk berperang. "Aku ingin bicara," ucap Mita. "Silahkan," "Ayo cari tempat sepi," "Baik," Evan berjalan mendahului Mita, karena ia tahu Mita tidak tau tempat itu, ia membawa Mita ke sebuah taman sepi yang baru saja ditanami pohon. "Ada apa?" tanya Evan santai. Mita tidak langsung menjawab, ia mengamati wajah Evan yang tampak datar. "Ternyata semua memang sudah berubah, aku datang terlambat," ujar Mita. "Maksudnya," "Aku datang karenamu, Evan, Maafkan aku karena pergi seperti itu," "Kau memang sangat terlambat, aku sudah menikahi dan mencintai dua wanita di belakangmu, apa kamu pikir masih ada rasa yang tersisa untukmu?" "Evan, aku rela menjadi yang kedua bahkan ketiga, aku masih seperti dulu, aku masih mencintaimu," "Maaf, buang saja rasa cintamu itu, aku sudah melalui bany
Acara ulang tahun Evan dimulai saat malam hari tiba, tamu-tamu penting sudah berdatangan, acara ini dibuat bukan semata-mata untuk ulang tahun, ada maksud tertentu yang dapat menguntungkan dunia bisnis keluarga mereka, selain itu, Evan ingin memperkenalkan Celine kepada dunia. Melihat suasana itu membuat Celine menjadi gugup. Evan dapat merasakannya. "Kenapa? Apa kamu gugup?" "Sedikit," "Santai saja, status mereka semua berada di bawah suamimu ini," ucap Evan berlagak angkuh sambil tersenyum manis pada Celine. Jantung Celine dibuat begitu berdebar, seperti saat pertama kali jatuh cinta pada Evan. Ia bahkan merasa apakah ini mimpi? "Aku takut mengacaukan semuanya," "Selama ada aku semua aman," "Ngomong-ngomong, aku ingin memberimu hadiah tapi aku lupa membawanya masuk, masih tertinggal di dalam mobil," "Tidak apa-apa, kamu adalah hadiah untukku," ucap Evan. 'Kenapa semudah ini jantungku berdebar," sesal Celine di dalam hatinya, ia merasa kesal karena tidak bisa mengend
Evan keluar dari kamar mandi dan mendapati Celine yang sudah rapi dengan penampilannya, Evan terkesima untuk ke sekian kalinya, Celine benar-benar cantik, tapi ia masih canggung untuk memujinya secara terang-terangan, ternyata Celine juga sedang terpesona pada Evan untuk yang kesekian kalinya, dulu ia selalu menantikan penampilan Evan saat keluar dari kamar mandi dengan dada telanjang dan rambut basah yang meneteskan air ke bahunya yang kokoh, pesona Evan tidak pernah pudar dan selalu membuatnya melongo. Mereka menjadi canggung satu sama lain saat menyadari keheningan masing-masing, layaknya remaja yang saling jatuh cinta. "Aku sudah selesai," ucap Celine memecah keheningan. "Oh, oke," balas Evan sambil mengusap tengkuknya karena canggung. "Ini milikmu," Celine menyerahkan paper bag milik Evan. "Terimakasih," ucap Evan. Baru kali ini Celine melihat Evan tampak malu-malu, dahulu Evan adalah manusia egois dan dingin. "Aku akan menunggu di ruang tamu," Celine gegas meninggalkan
Evan menatap Celine sangat dalam dan hangat, Celine begitu salah tingkah karenanya, apa begini rasanya dicintai? Meski cukup terlambat ia menghargainya, ia bahagia, kesalahan selama dua tahun dan perjuangan semasa kuliah terbayarkan tapi ia masih bersikap hati-hati. "Sekarang apa?" ucap Celine tiba-tiba saking gugupnya. Alis Evan terangkat sambil tersenyum penuh makna lalu berkata, "Aku bisa salah paham kalau kamu bertanya seperti itu," goda Evan, biasanya ia akan langsung mengerjai Celine tanpa rasa canggung, sekarang ia begitu berhati-hati dan menghargai perasaan Celine. "Tidak, bukan itu maksudku. Ah, kenapa jadi gugup begini?" Celine menjadi sangat bingung. "Nggak usah khawatir, aku tidak akan melakukan apa-apa tanpa persetujuan kamu, tapi izinkan aku melakukan sesuatu," ucap Evan. "Ah iya," Celine menjawab secara asal membuat Evan tersenyum dan mendekatinya. Ia mengecup kening Celine cukup lama, membuat aliran darah di tubuh Celine bekerja lebih cepat. "Anggap saja in
Tiga jam kemudian Celine kembali ke ruang tamu untuk mengecek keberadaan Evan, ternyata Evan masih ada dan sedang tidur di atas sofa. Celine mendekat dengan hati-hati, ia berlutut di depan Evan lalu berbisik, "Selamat ulang tahun, Evan!" Evan tiba-tiba membuka matanya, ia memandang tepat ke dalam mata Celine lalu bergumam, "Terimakasih, Celine." Celine sedikit terhenyak karena merasa terpergok mengamati Evan yang sedang tidur. "Akhirnya aku mendengar ucapan yang paling ingin ku dengar, meskipun terlambat dari perkiraanku," Evan berusaha bangun sambil tersenyum simpul. Celine sedikit bingung mendengarnya. "Apakah itu penting?" "Sangat penting, aku belum pernah seantusias ini di hari ulang tahunku, semua berkat kamu, ini sedikit melukai harga diriku tapi kamu harus tau agar kamu sedikit menghargai perasaanku, aku sengaja datang lebih pagi agar mendengar itu pertama kali dari mulutmu," "Terus kalau aku mengatakan itu sejak awal apa manfaatnya untukku, sekarang saja aku s
Celine sangat mengerti segalanya, ia tahu kenapa Evan menjadi diam, tapi ia harus mengungkit tentang Jenny agar Evan menyerah. Kini ia menangis, dulu ia tidak hanya menunggu setiap hari, ia dengan bodohnya memperhatikan setiap gerak gerik Evan barangkali Evan tiba-tiba memberinya kejutan seperti di film-film atau di novel-novel roman yang pernah ia baca, ia paling berharap saat melihat Evan merogoh saku jasnya untuk mengambil sesuatu tapi yang ia keluarkan hanya ponsel, nyatanya cincin yang ia inginkan itu tidak pernah ada. "Alangkah bodohnya kamu, Celine," ucapnya meratapi kebodohannya di masa lalu, apa yang dilakukan Evan hari ini hanya membuatnya mengingat luka lama. Setalah merasa tenang, ia menyalakan mesin mobilnya dan melesat pergi. Saat sedang melakukan rutinitas di malam hari, ia mendapat notifikasi dari grup perusahaan tentang ulang tahun CEO Grup Mahendra, sudah pasti itu adalah Evan Mahendra. Ia tidak ingat apakah Evan pernah merayakan ulang tahunnya saking sibuknya me