Keesokan paginya, Celin terbangun tanpa Evan di sampingnya. Ia gegas menuju kamar mandi lalu bersiap-siap untuk bekerja. Ia keluar setelah rapi dengan penampilannya, ternyata ada Evan di ruang makan sedang bersama Jeni, sepertinya paginya akan sering disuguhi pemandangan yang tidak menyenangkan ini, Evan tengah menyuapi Jeni ketika Celin lewat, Evan juga mengecup kening Jeni dengan penuh cinta, hal yang tidak pernah ia dapatkan di sepanjang pernikahannya. Celin hanya bisa pura-pura tidak melihat. Tapi Evan sudah terlanjur menyadarinya dan merasa sangat tidak nyaman dengan itu, ia pun berinisiatif mendekati Celin.
"Ada apa? Aku harus pergi kerja," ucap Celin dengan acuh tak acuh, dulu Celin tidak seperti ini, dulu ia selalu bersemangat menanggapi Evan. Matanya selalu berbinar saat Evan melakukan hal sekecil apapun untuknya, walaupun hanya pertanyaan 'mau kemana?' karena bahkan pernyataan sesimpel itu pun sangat jarang didengarnya dari seorang Evan. "Tunggu sebentar saja," ucap Evan santai. "Ya sudah cepat katakan kamu mau apa? Aku tidak punya banyak waktu, " Celin terdengar tidak sabar. "Tetap di tempatmu," pinta Evan. "Katakan saja, cep..." Celin berhenti begitu kecupan Evan mendarat di keningnya, hal yang belum pernah ia dapatkan selama pernikahannya, mengecup atau dikecup sebelum bepergian. Hati Celin menghangat untuk sesaat, tapi ia tahu, Evan melakukan itu untuk menyenangkannya saja atau mungkin agar melepaskan rasa bersalah karena ia memergokinya mencium Jeni ataukah agar ia tidak lari dari sisi Evan yang masih membutuhkan peran dan tubuhnya. "Kau sungguh sangat berusaha, Pak Evan. Tapi aku benar-benar tidak mengharapkannya," Celin terdengar ketus. Ia sudah terlalu kecewa sampai hal yang seistimewa ini pun sudah tidak membuatnya senang. "Aku hanya belajar memperlakukanmu seperti aku memperlakukan Jeni, aku sedang berusaha berbuat adil," "Aku benar-benar tidak membutuhkannya, tidak apa-apa kalau seluruh perhatianmu tetap fokus untuk Jeni seperti biasanya, lagi pula perlakuanmu padaku tidak akan pernah sama, kau pasti sangat berusaha untukku karena aku bukan orang yang kamu cintai, berbeda dengan Jeni, semua akan terjadi begitu saja untuknya, berhenti saja! Jangan khawatir, kalau kamu butuh peran dan tubuhku aku akan memberikannya," "Apa maksudmu?" Evan mengerutkan kening. Ia tidak suka mendengar ucapan Celin. "Kau cukup paham, aku akan melakukan semua yang dia tidak bisa lakukan, bukankah karena itu kau menikahiku sebagai laki-laki normal, kau butuh peranku sebagai istri dan kau butuh tububku sebagai pelampiasan nafsumu," "Kau keterlaluan, Celin." Evan ingin mengatakan sesuatu tapi dipotong oleh Celin dengan cepat. "Aku pergi dulu," Celin langsung pergi begitu saja. "Argh... Kenapa semua yang aku lakukan menjadi sebuah kesalahan?" Evan benar-benar merasa frustasi. Ia juga sangat bingung dengan perubahan drastis Celin. Dulu Celin selalu ramah dan memperlakukannya sangat baik, selalu menerima apapun yang dia lakukan, Celin juga selalu melakukan hal-hal yang tidak perlu sebelum meninggalkannya, seperti merapikan lagi dasi dan jas yang sudah sangat rapi, misalnya atau menyiapkan sepatu yang disiapkan pelayan. Di tempat lain, Celin justru berpikir, seandainya Evan memperlakukannya seperti itu sebelum ada Jeni, ia pasti akan menjadi wanita paling bahagia di dunia ini. Apa harus ada Jeni dulu baru hal-hal itu bisa datang, lebih baik tidak usah untuk selamanya. **** Di kantor, para karyawan tampak semangat bekerja, ada yang bertanggung jawab di bagian menata ruangan, mengatur penjualan, dan sebagainya, sementara Celin tetap dengan tanggung jawabnya sebagai desainer dan sewaktu-waktu akan diberi tambahan pekerjaan sebagai pembicara juga. "Celin! Kurasa Pak Dev menyukaimu, " ucap salah seorang rekan kerja Celin, namanya Piya. Sungguh aneh kalau dia tidak bergosip saat bekerja. "Apaan sih Piya? Pikirannya mulai mengacau lagi 'kan?" "kemarin saat kau tidak ada dia tampak gelisah, mungkin berpikir kau akan pergi tanpa berkenalan terlebih dahulu, waktu kamu muncul dia tampak sangat lega," jelas Piya dengan tampang iri yang dibuat-buat. "Piya, kau harus tau ini," Celin menyuruh Piya mendekatkan telinganya lalu berkata, "Aku sudah menikah," "Masa sih," Piya kaget, ia tidak bisa percaya, namaun sedetik kemudian ia kembali seperti sedia kala. "Kenapa aku baru tahu? Wah, sayang sekali, padahal selain Pak Dev sepertinya Pak Evan juga cukup memperhatikanmu, ia terus menatapmu dari awal tampil sampai selesai, tapi ku akui kamu memang keren, sebenarnya Pak Yanto kalah telak olehmu," "Bukan memperhatikan aku, Piya. Tapi pidatoku," protes Celin. Sementara itu Pak Yanto melototi Piya disertai suara deheman keras. "Ekhem!!!" Suara Pak Yanto membuat Piya berhenti bicara. Celin tertawa melihatnya. Bersamaan dengan itu suara telepon Pak Yanto Berdering. Ia menjawab teleponnya lalu meminta Celin untuk ikut dengannya. "Kalau boleh tahu ada apa, Pak? " Celin merasa tidak siap sekaligus penasaran. "Ada rapat mendadak, harus ada perwakilan dari setiap departemen," "Yang lain saja, Pak." Tolak Celin. "Tidak, kemarin kau yang mempresentasikan, jadi sepatutnya kamu yang harus mewakili," "Bapak tau siapa saja yang akan menghadiri rapat?" "Beberapa CEO perusahaan dan beberapa investor, " "Siapa saja orangnya, Pak?" "Mana saya tau, ayo segera pergi dan lihatlah sendiri," "Baik, Pak! " Celin cepat-cepat mengikuti langkah besar Pak Yanto, meski lelaki itu sudah paruh baya, ia masih tampak segar dan tampan ditambah lagi tubuh atletisnya yang tampak menawan, beruntungnya dia tipe pria yang bucin pada istriinya. Celin merasa memiliki seorang kakak laki-laki sejak bertemu dengannya. Celin dan Pak Yanto masuk ke ruang rapat, mereka duduk paling pinggir di deretan kursi para karyawan, tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya dengan pelan. "Senang bertemu denganmu lagi, Nona Celin," "Pak Dev? Senang bertemu dengan anda juga," balas Celin dengan senyum. Beberapa saat kemudian, seorang pria tampan juga masuk, Celin mendongak untuk melihatnya dan pandangan mereka bertemu, Evan ternyata hadir juga. Tapi langsung berlalu ke deretan kursi para VIP. "Celin, cukup panggil aku Dev," "Mana bisa begitu?" "Kalau begitu saat di luar kantor, aku berharap kita akan sering bertemu, Oke!" Dev langsung pergi setelah mengatakan itu. Celin belum sempat menolak. "Kau dengar itu, dia pasti tertarik padamu, Celin," goda Pak Yanto yang duduk di samping Celin. "Aku sudah bersuami, Pak." "Oh yah? Kenapa aku baru tau? Siapa namanya? Apa pekerjaannya? Apa aku mengenalnya?" Rentetan pertanyaan Pak Yanto membuat Celin kewalahan. Celin memilih tidak menjawab dan malah mengalihkan pembicaraan, "Sepertinya rapat akan dimulia, Pak. CEO kita sudah datang," "Oh iya, kamu benar,"Di rapat kali ini, Evan selaku investor utama yang memimpin. Rapat tiba-tiba diadakan karena ada perubahan besar-besaran. Evan menjelaskan, letak bangunan itu sangat strategis jika dijadikan sebagai hotel bintang lima, alih-alih menjadi pusat perbelanjaan dan sebagainya. Ia berbicara hingga akhir, setelah itu semua orang diminta mengeluarkan pendapatnya. Celin mengacungkan tangannya, "Ya, silahkan, Nona Celin!" Panitia rapat memberinya kesempatan. "Terima kasih atas waktunya," ucap Celin berbasa-basi. "Lahan di sekitar lokasi gedung masih sangat luas, bagaimana kalau rencana awal tetap diadakan dan mendirikan lagi sebuah bangunan, sepertinya hotel dan pusat perbelanjaan cukup baik jika disandingkan," "Ide yang bagus," sambut Evan, sepertinya ia cukup puas dengan ide Celin. Tampak Dev sangat tertarik dengan celin, ia tidak lepas memperhatikannya. "Ada lagi?" Ucap panitia rapat. Selain Celin ada beberapa orang lagi yang bersuara, poin akhirnya, semua setuju untuk meng
Dua minggu telah berlalu. Hari spesial Celin masih sama seperti tahun sebelumnya, ia menginap di kantor untuk menyelesaikan pekerjaannya yang tersisa sambil menunggu jam dua belas malam untuk merayakan hari ulang tahunnya sendiri, ia sudah menyiapkan cupcake dan lilin, sama seperti yang ia lakukan tahun lalu. Ia berdoa yang terbaik untuk dirinya sendiri, ia juga akan memberikan hadiah untuk dirinya sendiri. Tepat sepuluh menit sebelum jam dua belas, Celin sudah mempersiapkan semuanya, ia sudah menyalakan lilin di atas cup cake kecil yang tadi dibelinya. Ia sangat fokus memperhatikan api lilin yang sedang meliuk-liuk seolah menertawakan kesendiriannya, saat tinggal hitungan detik, air matanya tidak terasa luruh begitu saja, ada banyak hal yang berseliweran di kepalanya, ia mengasihani dirinya yang mampu bertahan di pernikahannya selama dua tahun, ia juga mengingat bagaiman Evan menanyakan hadiah untuk Jeni yang berulang tahun dua minggu yang lalu ia tidak pernah merasa sesedih ini s
sepulang kerja, Celin mendapati mertuanya sedang berada di rumah, ia dan mertuanya cukup akur, mertuanya tipe orang yang tidak perduli dengan kehidupan putranya tapi kali ini ia datang, pasti karena ada sesuatu. "Hai, Celin!" Sapa Bu Veron. Tidak heran kalau Evan sangat tampan jika terlahir dari rahim Bu Veron yang sangat cantik dan menawan meski usianya sudah tidak muda lagi. "Mamah, apa kabar? Kenapa tidak mengabari Celin?" Tanya Celin sambil menyalami mertuanya. "Mamah baik, Mamah baru saja tiba, mamah takut kalian sibuk," Bu Veron tersenyum hangat pada menantunya. "Kudengar kamu dan Evan menangani proyek yang sama," lanjutnya "Celin hanya mengurus bagian desain grafisnya saja, Mah. Bos saya dan Evan yang bertanggung jawab secara keseluruhan," "Begitu juga sudah bagus. Bagaimana kabar kalian?" "Kami baik, Mah." "Kalau cucu Mamah?" "Cucu?" Celin tidak pernah memikirkan tentang anak, ia sendiri tidak tau kenapa sudah dua tahun pernikahan tapi belum hamil, pad
Beberapa waktu terlewati, para pekerja sedang mendirikan tiang untuk pijakan, semua tampak baik-baik saja sampai ada satu tiang yang berukuran besar dan panjang sepertinya akan jatuh, para pekerja tidak bisa mengendalikan tiang itu dan akhirnya roboh. "Awas... Awas...!" Teriak para pekerja serempak, Celin menjadi sasaran paling empuk, walaupun posisinya agak jauh, tiang panjang itu masih akan menjangkaunya. Celin yang kaget spontan memegangi kepalanya sambil berdiri untuk kabur. Semua orang juga kaget dan panik, tapi lebih kaget lagi saat melihat Evan berlari untuk menyelamatkan Celin sambil meneriakkan namanya, "Celin...! Awas....!" Teriakan Evan dan dorongannya pada Celin serta jatuhnya tiang terjadi secara bersamaan dan sangat cepat. Semua orang segera berlari mendekatinya. "Evan, kau baik-baik saja?" Tanya Celin, sangat khawatir tanpa memperhatikan sekitar, ia memeriksa tubuh Evan. "Pipimu berdarah, Evan!" "Aku tak apa, orang-orang sedang melihat kita," bisik Evan,
Ternyata setelah kejadian di taman waktu itu, hari-hari Celin menjadi berat, di kantornya ia sering mendengar perkataan tidak menyenangkan dari karyawan, bukan hanya tentang Evan, mereka juga membawa-bawa nama menejernya. "Hei, kau Celin 'kan?" Gadis centil itu tiba-tiba duduk di hadapan Celin sambil berkata dengan arogan. "Iya, kenapa?" Tantang Celin. "Ku dengar kau menggoda Pak Evan, kasi tau tipsnya dong!" "Aku tidak melakukan apa-apa," "Tampangnya saja yang polos, apa Pak Evan masih merasa kesepian setelah kamu menemaninya? Aku mau kok gantian sama kamu, " "Kalian ngomongin apa sih? Udah sok kenal, ngomongnya sembarangan lagi, kalau kamu memang ingin sekali menjual diri, sana cari gigolo, jangan mencemari nama baik Pak Evan," "Kurang ajar sekali," ucap gadis centil itu, ia sangat emosi dan ingin menampar Celin, untungnya ada Pak Yanto. "Apa-apaan kalian ini? Kalau mau melacurkan diri bukan di sini tempatnya," Ternyata Pak Yanto tidak kalah sengitnya. "Apa Pak
Celin terbangun tengah malam, Evan tidak ada di sampingnya, mungkin sedang menemani Jeni lagi, Celin berpikir, 'Memangnya untuk apa Evan tidur di sini dengannya? paling kalau ada maunya saja baru dia di sini." Dari pada pusing dengan pikirannya sendiri, ia segera membawa dirinya ke kamar mandi untuk membersihkan diri, lalu kembali tidur. keesokannya, ia terbangun lagi dan langsung ditodong oleh Evan. "Pagi ini ikut aku ke perusahaan Mahendra, ada pekerjaan yang harus kamu lakukan," Suara Evan memembuat Celin yang baru saja keluar dari kamar mandi, kaget. "Aku bukan karyawan Mahendra, Pak Evan." Celin terdengar malas. "Ingat tentang kerja sama kita? " "Aku belum mendapat perintah dari atasan." "Saya adalah atasan dari atasanmu, jadi menurutmu siapa yang paling berhak kamu taati." "Iya, baiklah," Celin lebih baik mengalah dari pada harus mendengar kesombongannya. Mereka tiba di kantor perusahaan Mahendra, Celin dibuat terkagum-kagum, gedung milik Mahendra berkali-kali li
Evan benar-benar menepati janjinya, setelah ia menyelesaikan pekerjaannya, ia datang ke kantor Celin. Malah Celin yang menjadi ragu dan ingin membatalkannya, tapi Evan tidak akan pernah menarik kembali perkataannya. Ketika mereka tiba di kantor Celin, mereka menjadi pusat perhatian, dari pintu masuk bangunan tujuh tingkat itu orang-orang sudah langsung sigap berdiri menghentikan aktifitasnya demi memberi sambutan penghormatan begitu melihat Evan. Mereka tetap melakukannya walaupun dengan ekspresi terheran-heran, ada apa sampai Pak Evan Mahendra datang ke kantornya, ditambah lagi ada Celin yang sedang mengekor seperti anak kucing yang berlindung di belakang induknya. Celin buru-buru menyeimbangkan langkahnya dengan Evan lalu berbisik "Evan, sebaiknya kita hentikan ini. Sebenarnya aku tidak terlalu serius." "Tidak apa-apa, aku harus bertanggung jawab atas janji yang sudah kubuat," ucap Evan tidak ingin dibantah. Celin membawa Evan ke lobi kantor yang disiapkan untuk VIP. Evan
Ketika Celin kembali dari bekerja, ia menemukan Evan di ruang tamu sedang bersandar di sofa tampak memikirkan sesuatu. Sepertinya ia pun baru tiba. Ia tidak peduli dengan kehadiran Celin, Celin pun tidak berminat mau tahu, jadi Celin langsung berlalu ke kamarnya. Ternyata Evan mengikutinya. "Ada apa? Apa kau menyesal dengan apa yang yang kamu lakukan hari ini? Sepertinya kamu memikirkannya." Celin asal menebak. Evan tampaknya tidak tertarik. Ia malah mendekati Celin dan memeluknya dari belakang. "Layani aku, buat aku jatuh cinta," "Aku sudah dua tahun melayanimu, tapi kau tidak jatuh cinta sama sekali, apa kali ini akan berbeda hanya karena kamu berkata seperti itu? Kalau kamu menginginkan tubuhku lagi katakan saja tidak perlu berbelit-belit," "Aku akan mencoba, alasan aku mengatakan hubungan kita hari ini, karena aku ingin tahu seberapa ikhlas aku menerimamu sebagai istriku, ternyata tidak sesulit itu, hanya saja menumbuhkan cinta, kenapa begitu sulit." "Jadi selama dua t
Evan sangat senang bisa mendampingi Celine pergi ke rumah sakit, berbanding terbalik dengan sebelumnya, kali ini ia tidak ingin melewatkan waktu sedetik pun, ia menanti di depan pintu kamar rumah sakit karena Celin melarangnya ikut masuk, reflek mendekati Celine saat melihatnya keluar bersama seorang dokter obgyn. "Bagaimana hasilnya?" Evan bertanya penuh harap. Celine diam saja dengan wajah tanpa ekspresi. "Bu Celine hanya masuk angin, Pak Evan." Evan tampak kecewa, ia lalu berkata, "Yakin sudah memeriksanya dengan baik, Dok?" "Sudah, Pak. Yang sabar ya, Pak. Masih banyak kesempatan kok, kebetulan Bu Celine sedang di masa suburnya, semangat Pak Evan!" ucap dokter. Celine tampak santai sementara Evan diam saja, ia tahu kesempatan itu pasti akan sulit ia dapatkan. "Mohon maaf masih ada pasien, saya lanjut bekerja dulu," "Silahkan, Bu." ucap Celine lalu pergi mendahului Evan. Evan hanya memandangi punggung Celine yang semakin menjauh tapi ia segera menyusul dengan lang
Evan terbangun karena merasakan pegal di punggungnya, ia mencoba membuka pintu kamar Celine yang ternyata tidak di kunci, ia memandang punggung istrinya beberapa saat, ia melangkah begitu saja seolah suasana di dalam kamar itu mengundangnya untuk masuk. Ia naik ke tempat tidur lalu meringkuk di atasnya tanpa berani menyentuh Celine. Ia selalu berhati-hati semenjak menyukai Celine, tapi Celine bergerak dan membalikkan badan ke arahnya, Evan secara tiba-tiba meluruskan tubuhnya untuk menyambut uluran tangan Celine yang akan memeluknya, selain tangan, kakinya juga bertengger nyaman di atas paha Evan, seluruh tubuh mereka menempel satu sama lain. Celine membuka mata sambil mengigau, "Kamu tampan sekali, Evan," ia menatap wajah Evan sebentar lalu menutup matanya kembali. "Kalau kamu begini, aku bisa memangsamu kapan saja," gumam Evan yang merasakan sensasi aneh di tubuhnya dan ia sangat mengerti apa itu. Ia mencoba menarik tubuhnya untuk melepaskan diri, untungnya ia berhasil. Ia m
Evan menghampiri Celine setelah semua tamu penting itu pergi, dari tadi ia mengawasi Celine, seandainya istrinya itu meninggalkan acara, ia tidak segang meninggalkan semua tamu pentingnya untuk mengejar Celine, untungnya saat ia melihat gerak-gerik Celine akan kabur, ibunya datang. Ia benar-benar bernafas lega. "Ayo pulang bersama," ucap Evan setelah bergabung dengan ibu dan istrinya. "Iya, sebaiknya begitu," sahut Bu Mery tampak bersemangat. Celine mau tidak mau harus ikut dengan Evan, ia tidak tega merusak wajah bahagia ibu mertuanya. "Sampaikan salam Evan pada papah, papah masih sibuk dengan koleganya," ucap Evan. "Siap," sambut Bu Mery. "Kami pergi dulu, Mah," ucap Celine. "Iya, Sayang," Saat berada di dalam mobil, Evan tidak berani bersuara, Celine juga tampak sangat tenang. "Antarkan aku ke kosan," ucap Celine seadanya. "Baik," Evan hanya bisa menurutinya untuk sementara, tadinya ia sudah membayangkan kehidupan bahagia di rumahnya, tapi karena masalah dengan M
Evan benar-benar hebat, ia sangat mendominasi, Celine masih belum terlalu yakin bahwa ia menikahi laki-laki tampan yang sedang berbicara dan dikagumi oleh semua orang saat ini, ia belum percaya bahwa ia telah dicintai oleh orang yang tidak pernah membalas perasaannya saat kuliah dulu, ia tidak percaya diri bahwa laki-laki itu sudah mengatakan 'aku mencintaimu' beberapa hari terakhir ini, ia masih ingin percaya kalau tadi pagi laki-laki itu mengatakan dirinya cantik untuk pertama kalinya, ia menangis dengan bingung, Evan melihatnya dari atas podium, membuat suaranya sedikit merendah. "Istriku, Celine!" suaranya menggema di seluruh ruangan. Celine dibuat kaget, ia pun buru-buru menyeka air matanya lalu menatap Evan sambil berbisik di dalam hati, 'Kamu belum berhenti juga, Evan, mau sejauh apa kamu membuatku terjebak dalam hidupmu?' "Dia wanita yang tidak pernah sekalipun kusadari ternyata ikut andil dalam berjuang membangun perusahaan ini, saat aku lelah dengan semua keadaan yang
Evan baru saja keluar dari toilet, ia melambat saat melihat Mita tampak menunggunya. Keduanya terlibat saling menatap satu sama lain, Evan menatap dingin sementara Mita tampak menantang untuk berperang. "Aku ingin bicara," ucap Mita. "Silahkan," "Ayo cari tempat sepi," "Baik," Evan berjalan mendahului Mita, karena ia tahu Mita tidak tau tempat itu, ia membawa Mita ke sebuah taman sepi yang baru saja ditanami pohon. "Ada apa?" tanya Evan santai. Mita tidak langsung menjawab, ia mengamati wajah Evan yang tampak datar. "Ternyata semua memang sudah berubah, aku datang terlambat," ujar Mita. "Maksudnya," "Aku datang karenamu, Evan, Maafkan aku karena pergi seperti itu," "Kau memang sangat terlambat, aku sudah menikahi dan mencintai dua wanita di belakangmu, apa kamu pikir masih ada rasa yang tersisa untukmu?" "Evan, aku rela menjadi yang kedua bahkan ketiga, aku masih seperti dulu, aku masih mencintaimu," "Maaf, buang saja rasa cintamu itu, aku sudah melalui bany
Acara ulang tahun Evan dimulai saat malam hari tiba, tamu-tamu penting sudah berdatangan, acara ini dibuat bukan semata-mata untuk ulang tahun, ada maksud tertentu yang dapat menguntungkan dunia bisnis keluarga mereka, selain itu, Evan ingin memperkenalkan Celine kepada dunia. Melihat suasana itu membuat Celine menjadi gugup. Evan dapat merasakannya. "Kenapa? Apa kamu gugup?" "Sedikit," "Santai saja, status mereka semua berada di bawah suamimu ini," ucap Evan berlagak angkuh sambil tersenyum manis pada Celine. Jantung Celine dibuat begitu berdebar, seperti saat pertama kali jatuh cinta pada Evan. Ia bahkan merasa apakah ini mimpi? "Aku takut mengacaukan semuanya," "Selama ada aku semua aman," "Ngomong-ngomong, aku ingin memberimu hadiah tapi aku lupa membawanya masuk, masih tertinggal di dalam mobil," "Tidak apa-apa, kamu adalah hadiah untukku," ucap Evan. 'Kenapa semudah ini jantungku berdebar," sesal Celine di dalam hatinya, ia merasa kesal karena tidak bisa mengend
Evan keluar dari kamar mandi dan mendapati Celine yang sudah rapi dengan penampilannya, Evan terkesima untuk ke sekian kalinya, Celine benar-benar cantik, tapi ia masih canggung untuk memujinya secara terang-terangan, ternyata Celine juga sedang terpesona pada Evan untuk yang kesekian kalinya, dulu ia selalu menantikan penampilan Evan saat keluar dari kamar mandi dengan dada telanjang dan rambut basah yang meneteskan air ke bahunya yang kokoh, pesona Evan tidak pernah pudar dan selalu membuatnya melongo. Mereka menjadi canggung satu sama lain saat menyadari keheningan masing-masing, layaknya remaja yang saling jatuh cinta. "Aku sudah selesai," ucap Celine memecah keheningan. "Oh, oke," balas Evan sambil mengusap tengkuknya karena canggung. "Ini milikmu," Celine menyerahkan paper bag milik Evan. "Terimakasih," ucap Evan. Baru kali ini Celine melihat Evan tampak malu-malu, dahulu Evan adalah manusia egois dan dingin. "Aku akan menunggu di ruang tamu," Celine gegas meninggalkan
Evan menatap Celine sangat dalam dan hangat, Celine begitu salah tingkah karenanya, apa begini rasanya dicintai? Meski cukup terlambat ia menghargainya, ia bahagia, kesalahan selama dua tahun dan perjuangan semasa kuliah terbayarkan tapi ia masih bersikap hati-hati. "Sekarang apa?" ucap Celine tiba-tiba saking gugupnya. Alis Evan terangkat sambil tersenyum penuh makna lalu berkata, "Aku bisa salah paham kalau kamu bertanya seperti itu," goda Evan, biasanya ia akan langsung mengerjai Celine tanpa rasa canggung, sekarang ia begitu berhati-hati dan menghargai perasaan Celine. "Tidak, bukan itu maksudku. Ah, kenapa jadi gugup begini?" Celine menjadi sangat bingung. "Nggak usah khawatir, aku tidak akan melakukan apa-apa tanpa persetujuan kamu, tapi izinkan aku melakukan sesuatu," ucap Evan. "Ah iya," Celine menjawab secara asal membuat Evan tersenyum dan mendekatinya. Ia mengecup kening Celine cukup lama, membuat aliran darah di tubuh Celine bekerja lebih cepat. "Anggap saja in
Tiga jam kemudian Celine kembali ke ruang tamu untuk mengecek keberadaan Evan, ternyata Evan masih ada dan sedang tidur di atas sofa. Celine mendekat dengan hati-hati, ia berlutut di depan Evan lalu berbisik, "Selamat ulang tahun, Evan!" Evan tiba-tiba membuka matanya, ia memandang tepat ke dalam mata Celine lalu bergumam, "Terimakasih, Celine." Celine sedikit terhenyak karena merasa terpergok mengamati Evan yang sedang tidur. "Akhirnya aku mendengar ucapan yang paling ingin ku dengar, meskipun terlambat dari perkiraanku," Evan berusaha bangun sambil tersenyum simpul. Celine sedikit bingung mendengarnya. "Apakah itu penting?" "Sangat penting, aku belum pernah seantusias ini di hari ulang tahunku, semua berkat kamu, ini sedikit melukai harga diriku tapi kamu harus tau agar kamu sedikit menghargai perasaanku, aku sengaja datang lebih pagi agar mendengar itu pertama kali dari mulutmu," "Terus kalau aku mengatakan itu sejak awal apa manfaatnya untukku, sekarang saja aku s