Seperti pagi-pagi lainnya, aku terbangun tepat pada pukul 5 pagi. Membuka jendela kamar, lalu segera melakukan semua kewajibanku.
Namaku Langit, Langit Bumantara. Yang berarti angin di langit yang luas. Aku tak mengerti, mengapa orang tuaku memberi aku nama itu. Tapi yang jelas aku suka dengan nama itu.
Aku di lahirkan di tengah-tengah keluarga yang cukup berada. Mempunyai seorang kakak dan adik perempuan. Aku adalah anak lelaki satu-satunya. Jadi secara tidak langsung aku adalah anak yang paling di harapkan menjadi penerus keluarga ini.
Kakakku hanya berbeda umur setahun denganku. Bernama Hana Rasina dan adikku yang berjarak lumayan jauh dariku dan kak Hana. Jarak kami berdua sekitar 7 tahun. Dia bernama Raline Sahila. Aku dan adikku tak cukup dekat. Karena jarak umur tadi.
Setelah mandi dan mengenakan seragam sekolah, aku bergegas turun ke bawah untuk sarapan bersama keluargaku di lantai bawah.
Papaku yang bekerja sebagai pemilik perusahaan kecil yang bergerak di bidang Cargo atau pengiriman barang melalu darat, adalah orang yang lumayan tegas di dalam rumah ini. Itu sebabnya, tak satupun dari kami bisa bermalas-malasan di pagi hari. Papaku bernama Bima Prayoga, anak tertua dari keluarga Prayoga kakekku. Dia tak menyematkan nama keluarga itu ke dalam namaku. Aku juga tak tau apa sebabnya.
Sementara Mama, bekerja sebagai guru SD di salah satu Sekolah swasta di kota ini. Dia orang yang lembut dalam segala hal. Sesuai dengan namanya, Kireina Yuanita. Kirei itu berarti indah, di ambil dari bahasa Jepang, karena kakek dari Mama masih keturunan Jepang.
Mama selalu membuatkan kami sarapan yang enak setiap paginya. Bahkan kadang membekali kami makan siang. Tapi lebih sering aku menolaknya, karena aku lebih suka makan siang di kantin bersama teman-temanku.
Sejak duduk di bangku SMA beberapa bulan lalu, aku mengganti kebiasaan membawa bekal dari Mama. Aku tak ingin di juluki “anak Mama” oleh teman-temanku. Aku juga mulai merubah penampilan dari yang awalnya terkesan cupu, kini perlahan berubah menjadi agak keren. Ya, aku tidak cukup pede untuk menyebut diriku ini keren sebenarnya.
“Udah? Yuk?” Tanya kak Hana padaku yang tengah meneguk jus jeruk.
Kebetulan kami bersekolah di tempat yang sama. Jadi kami kadang berangkat bersama, kadang juga tidak. Karena kak Hana lebih sering di jemput oleh temannya.
“Hari ini lu berangkat sama gue?” Tanyaku.
“Iya, temen gue lagi ngga masuk. Sakit.” Jawabnya sembari meraih tas sandangnya di sisi kursi.
Aku meneguk tetesan terakhir dari jus jeruk milikku. Lalu bergegas menyusulnya. Dia menungguku di halaman, tepatnya di ayunan. Sementara aku masih memanaskan mesin mobil di garasi. Masih setengah 7 pagi. Kami masih punya banyak waktu.
*****
“Lu jadi ikut band-nya si Rey?” Tanya kak Hana di sela-sela perjalanan kami.
Dua hari lalu, seseorang bernama Rey mengajakku bergabung ke dalam band miliknya. Rey adalah seorang vokalis, aku belum cukup mengenal dia sebenarnya. Yang aku tau, dia anak kelas dua. Tak tau tepatnya di dua berapa. Karena waktu itu dia tiba-tiba datang bersama temannya, lalu mengajakku bergabung dengan band miliknya.
“Belum tau, gue kan Cuma bisa main gitar kak, dia butuhnya bassist.” Jawabku.
“Ngga ada salahnya di coba, bisa sambil belajar juga kan?” Dia memberiku saran.
“Iya, ntar gue cari tau. Dimana ada kursus untuk main bass. Gue mau belajar dulu lah. Seengganya gue tau dasar-dasarnya.”
“Ide bagus.” Ucap kakakku lugas.
Begitulah kami berdua, selalu mendukung satu sama lain. Walau kami tak terlihat seperti adik kakak kandung, karena perbedaan wajah yang sangat signifikan, tapi kami berdua sangat dekat.
Kami tiba di sekolah, kak Hana turun dari mobil lebih dulu di depan lapangan basket, sementara aku memarkirkan mobil sendirian. Di sekolah kami seperti sedikit menjaga jarak. Aku tak tau kenapa kak Hana bersikap seperti itu. Dia tak pernah mau memberi tahu apa alasannya.
Selesai memakirkan mobil, aku melangkah pelan, menyusuri koridor. Sesekali menatap kelas-kelas yang masih sepi, karena belum banyak murid yang datang. Melirik sekilas ke kelas kak Hana. Lalu buru-buru membuang muka saat kak Hana mendapatimu sedang melirik kelasnya.
“Lang! Langit!” Suara itu terdengar dari balik punggungku, aku menoleh pelan. Ternyata dia Rey.
Ku lirik nametag di bajunya. Ternyata nama panjangnya Reymond Hardadi. Cowok bertubuh lebih pendek dariku. Berkulit gelap dengan potongan rambut nyaris botak. Suaranya serak, tapi sangat enak di dengar. Gaya bicaranya sopan. Itulah kesan pertama yang ku dapat darinya kemarin.
“Rey?” Sapaku.
“Gimana? Mau kan?” Dia ternyata ingin memastikan tawarannya kemarin.
“Mau, tapi gue belajar dulu boleh ngga? Gue ngga punya basic soal bass.” Jawabku tak enak hati.
“Oh, boleh banget. Ntar balik sekolah gue anter ke tempat les bass yang bagus deh! Gimana?” Dia merangkul ku dengan susah payah, karena tinggi badannya yang cukup beda jauh dariku.
“O-oke!” Jawabku segan.
“Oke! Kalo gitu, sampe ketemu pulang sekolah ya?” Dia menepuk pundakku. Lalu berlalu begitu saja.
******
Pukul 1 siang. Kak Hana memberi kabar padaku akan pulang bersama temannya yang lain. Aku menunggu Rey di parkiran, katanya dia akan menyusulku kemari. Kira-kira sepuluh menit kemudian, Rey muncul dari dalam gedung sekolah. Setengah berlari menghampiriku.
“Lang, sorry banget yah, gue ngga bisa nganter elu. Tiba-tiba temen-temen ngajak tanding bola nih. Lu mau ngga kesana sendiri? Gue kasih alamatnya.” Ucapnya dengan wajah tak enak hati.
“Oh, ngga apa-apa, santai aja Rey. Alamatnya kirim aja ke nomer gue yah? Lu punya kan?”
“Belum sih, nih tolong!” Dia menyerahkan ponsel miliknya padaku. Aku langsung mengetik nomer ponselku ke dalam ponsel miliknya.
“Nih. Ntar kirim aja yah, biar gue sendiri aja kesana.” Rey mengangguk. “Oke, kalo gitu gue balik deh ya?” Aku pamit.
“Oke! Hati-hati Lang!” Dia melambai padaku.
*****
Pukul 3 sore. Aku sedang siap-siap ingin berangkat ke alamat yang di berikan Rey. Kaos putih dengan jeans agak belel, lalu flanel biru untuk luaran. Aku bercermin sekali lagi.
“Begini kah gaya anak band?” Gumamku pada diri sendiri. “Ah, sudahlah!” Aku meraih tas ranselku. Lalu turun ke bawah.
Aku berangkat dengan motor, karena sendirian. Kata Rey, aku harus ke studio musik bernama Memory. Disana di buka kursus bass, gurunya kompeten karena lulusan dari sekolah musik Farabi.
Setengah jam perjalan, aku akhirnya tiba di studio musik yang di maksud. Celingak-celinguk, aku bingung ingin bertanya pada siapa. Karena tempat ini sangat sepi. Lamat-lamat aku mendengar suara seseorang di dalam sebuah ruangan. Aku mengintip ruangan itu. Terlihat seorang cewek sedang berbicara di telepon.
Aku akhirnya memutuskan untuk duduk di kursi yang memang berada di depan ruangan itu. Aku duduk diam disana, dengan maksud menunggu hingga cewek di dalam tadi selesai menelepon. Lalu rencanaku, aku akan bertanya padanya soal studio ini.
“Hai! Cari siapa ya?” Suara itu mengagetkanku. Suara yang terdengar sangat ceria.
Cewek barusan mengeluarkan kepalanya dari balik palang pintu. Ya, hanya kepalanya. Rambutnya yang hitam terurai begitu saja. Mata bulat dengan iris berwarna hitam legam mirip tokoh-tokoh anime. Senyum lebar tapi sangat manis, dia menyapaku dengan ramahnya. Sampai-sampai aku tak mampu menjawab pertanyaannya barusan.
“Hallo!” akhirnya dia keluar dari ruangan itu, menghampiriku yang duduk sendirian tanpa kata. “Cari siapa?” Tanyanya lagi, masih dengan senyum manis itu.
Kini jelas sekali. Gadis ini sangat indah. Rambut hitam legam, dengan kulit yang tidak putih, tapi juga tidak gelap. Wajah chubby yang lucu, ada lesung pipi yang sangat lucu di sudut pipinya.
“Hei!” Dia menyadarkanku.
“Eh! Ya! Aku mau ikut kursus musik, katanya disini bisa belajar main bass, bisa daftar kemana ya?” Akhirnya aku mampu menjawab pertanyaan darinya.
“Oh! Mau kursus bass? Gurunya bentar lagi baru dateng, telat sejam. By the way, gue juga kursus bass disini. Kenalin nama gue Sky! Sky Evelyn!” Dia mengulurkan tangannya padaku.
Terdiam beberapa detik atas tindakannya. Tapi akhirnya aku membalas uluran tangan itu.
“Gue Langit, Langit Bumantara.” Kataku.
“Gue Langit, Langit Bumantara.” Kataku.“Wah! Aku langit, kamu langit. Kebetulan banget yah?” Serunya.“Eh, Iya!” Ucapku canggung. Tapi dia malah tiba-tiba langsung duduk di sampingku.Aku menatapnya canggung. Lalu saat dia balas menatap, aku langsung tertunduk lesu.“Disini ngga pake formulir pendaftaran segala. Langsung ketemu sama gurunya yang keren. Udah deh, langsung belajar. Soal pembayaran, ngga ribet. Cuma seikhlasnya kita aja. Ngga di patokin.” Dia terus berceloteh dengan santai.Aku masih berusaha santai juga. Sesekali meliriknya, yang berbicara sambil melihat ke arahku.“Tapi lu bisa main gitar kan?” Tanyanya lagi.“Bisa,” Jawabku singkat.“Punya band?”“Belum, ini baru di ajakin. Makanya mau belajar dulu.” Aku mulai nyaman dengan gadis bawel ini.“Lu sekolah dimana?”“Hah? Oh, SMA Persada 5. Kamu?” Aku mulai bisa balas menatapnya.“Wah! Sekolah paling favorit, gue langsung minder. Gue di SMA Mutiara.
“Sky Evelyn …,” gumamku sambil menulis nama itu di kolom pencarian salah satu sosial media. Sayang, dia mengunci akun miliknya. Jadi aku tak bisa mendapatakan banyak informasi dari sana. Aku coba membuka sosial media yang lain, berharap bisa menemukannya disana. Nihil, tak ada yang bisa ku temukan.
Dia teman sekelas kakakku. Cowok dengan postur proposional, berkulit putih bersih, dengan rambut tebal. Seperti namanya, sepertinya dia memang keturunan Jepang. Seperti Mamaku, yang keturunan Jepang juga.Kaze Haruto, dia berdiri di dekatku saat ini. Ku pandangi dia, dia tengah sibuk menatap poster yang terpajang di Mading itu. Tersenyum, jelas terlihat ada rasa bangga di tatapannya itu. Melihat pacarnya terpampang di poster dengan foto close up. Ya, Sky terlihat sempurna di poster itu.Dia, dia pacar Sky, cewek yang membuat jantungku berdegup tak menentu sejak kemarin. Pantas, dia terlihat sangat pantas berdiri di samping Sky. Tapi aku juga merasa sangat pantas berdiri di samping Sky juga. Mulai detik ini, aku memutuskan untuk bersaing dengan Kaze Haruto. Tanpa ku sadari, aku terus menatapnya saat ini. Ada perasaan membara di dalam dada. Yang tak bisa aku tepis sama sekali.“Hei? Lu adiknya Hana kan?” Pertanyaan itu membuat aku sedikit tersentak. Ka
[Gue jemput sekarang]Tulisku di layar ponsel, lalu mengirimkannya ke Sky. Seperti janji kami kemarin, kami akan berangkat kursus bersama.Dua puluh menit kemudian, aku tiba di depan Toko Teratai. Tampak Sky yang tengah duduk di depan Toko menungguku. Dia cantik dengan kaos berwarna lavender, rambutnya kali ini tidak di gerai begitu saja. Dia menata rambutnya dengan model ponytail. Dia melambai, lalu menghampiriku.Setengah perjalanan, kami hanya saling diam. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut kami. Aku juga bingung, harus membuka percakapan yang bagaimana. Lagipula kami pakai helm kan? Dia juga memberi jarak yang agak jauh, jadi aku tak yakin. Jika aku mengajaknya mengobrol, dia akan mendengar suaraku.Aku sengaja mengambil rute yang agak jauh, agar aku bisa sedikit mengulur waktu, untuk bisa lebih lama lagi dengannya. Aku merasakan sesuatu, Sky menggeser duduknya, lebih maju.“Koq lewat sini?” Dia tiba-ti
Aku tak bisa berhenti memikirkan Sky di luar sana, bertemu dengan kekasihnya. Membayangkan mereka berdua bersenda gurau saja, kepala ini rasanya ingin meledak. Raga ini disini, memeluk bass dan membetotnya dengan sekuat tenaga, tapi perasaan ini terus terbang entah kemana-mana. Terlintas di benakku, senyum Sky saat sedang berbicara, lalu pikiran ini berselancar hingga ke arah jurang kotor yang tak semestinya. Mereka melakukan hal di luar kendali. Hingga pada akhirnya, aku mulai tak berkonsentrasi dengan permainan bass ini.
Sesuai intruksi dari Kepala Sekolah, seluruh siswa berkumpul di Lapangan upacara. Walau sebenarnya pasti ada beberapa siswa yang tak taat pada instruksi, tetap tak bergerak diari tempat persembunyiannya di Kantin sekolah. Aku yang biasanya selalu memilih untuk berdiri di barisan paling belakang, hari ini memutuskan untuk berdiri di deretan paling depan. Alasannya karena, sepele sebenarnya, karena Kaze ku lihat berdiri di deretan paling depan tepat di seberang sana. Berdiri tegak, terkesan menantangku
Sesuai intruksi dari Kepala Sekolah, seluruh siswa berkumpul di Lapangan upacara. Walau sebenarnya pasti ada beberapa siswa yang tak taat pada instruksi, tetap tak bergerak diari tempat persembunyiannya di Kantin sekolah. Aku yang biasanya selalu memilih untuk berdiri di barisan paling belakang, hari ini memutuskan untuk berdiri di deretan paling depan. Alasannya karena, sepele sebenarnya, karena Kaze ku lihat berdiri di deretan paling depan tepat di seberang sana. Berdiri tegak, terkesan menantangku
Aku tak bisa berhenti memikirkan Sky di luar sana, bertemu dengan kekasihnya. Membayangkan mereka berdua bersenda gurau saja, kepala ini rasanya ingin meledak. Raga ini disini, memeluk bass dan membetotnya dengan sekuat tenaga, tapi perasaan ini terus terbang entah kemana-mana. Terlintas di benakku, senyum Sky saat sedang berbicara, lalu pikiran ini berselancar hingga ke arah jurang kotor yang tak semestinya. Mereka melakukan hal di luar kendali. Hingga pada akhirnya, aku mulai tak berkonsentrasi dengan permainan bass ini.
[Gue jemput sekarang]Tulisku di layar ponsel, lalu mengirimkannya ke Sky. Seperti janji kami kemarin, kami akan berangkat kursus bersama.Dua puluh menit kemudian, aku tiba di depan Toko Teratai. Tampak Sky yang tengah duduk di depan Toko menungguku. Dia cantik dengan kaos berwarna lavender, rambutnya kali ini tidak di gerai begitu saja. Dia menata rambutnya dengan model ponytail. Dia melambai, lalu menghampiriku.Setengah perjalanan, kami hanya saling diam. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut kami. Aku juga bingung, harus membuka percakapan yang bagaimana. Lagipula kami pakai helm kan? Dia juga memberi jarak yang agak jauh, jadi aku tak yakin. Jika aku mengajaknya mengobrol, dia akan mendengar suaraku.Aku sengaja mengambil rute yang agak jauh, agar aku bisa sedikit mengulur waktu, untuk bisa lebih lama lagi dengannya. Aku merasakan sesuatu, Sky menggeser duduknya, lebih maju.“Koq lewat sini?” Dia tiba-ti
Dia teman sekelas kakakku. Cowok dengan postur proposional, berkulit putih bersih, dengan rambut tebal. Seperti namanya, sepertinya dia memang keturunan Jepang. Seperti Mamaku, yang keturunan Jepang juga.Kaze Haruto, dia berdiri di dekatku saat ini. Ku pandangi dia, dia tengah sibuk menatap poster yang terpajang di Mading itu. Tersenyum, jelas terlihat ada rasa bangga di tatapannya itu. Melihat pacarnya terpampang di poster dengan foto close up. Ya, Sky terlihat sempurna di poster itu.Dia, dia pacar Sky, cewek yang membuat jantungku berdegup tak menentu sejak kemarin. Pantas, dia terlihat sangat pantas berdiri di samping Sky. Tapi aku juga merasa sangat pantas berdiri di samping Sky juga. Mulai detik ini, aku memutuskan untuk bersaing dengan Kaze Haruto. Tanpa ku sadari, aku terus menatapnya saat ini. Ada perasaan membara di dalam dada. Yang tak bisa aku tepis sama sekali.“Hei? Lu adiknya Hana kan?” Pertanyaan itu membuat aku sedikit tersentak. Ka
“Sky Evelyn …,” gumamku sambil menulis nama itu di kolom pencarian salah satu sosial media. Sayang, dia mengunci akun miliknya. Jadi aku tak bisa mendapatakan banyak informasi dari sana. Aku coba membuka sosial media yang lain, berharap bisa menemukannya disana. Nihil, tak ada yang bisa ku temukan.
“Gue Langit, Langit Bumantara.” Kataku.“Wah! Aku langit, kamu langit. Kebetulan banget yah?” Serunya.“Eh, Iya!” Ucapku canggung. Tapi dia malah tiba-tiba langsung duduk di sampingku.Aku menatapnya canggung. Lalu saat dia balas menatap, aku langsung tertunduk lesu.“Disini ngga pake formulir pendaftaran segala. Langsung ketemu sama gurunya yang keren. Udah deh, langsung belajar. Soal pembayaran, ngga ribet. Cuma seikhlasnya kita aja. Ngga di patokin.” Dia terus berceloteh dengan santai.Aku masih berusaha santai juga. Sesekali meliriknya, yang berbicara sambil melihat ke arahku.“Tapi lu bisa main gitar kan?” Tanyanya lagi.“Bisa,” Jawabku singkat.“Punya band?”“Belum, ini baru di ajakin. Makanya mau belajar dulu.” Aku mulai nyaman dengan gadis bawel ini.“Lu sekolah dimana?”“Hah? Oh, SMA Persada 5. Kamu?” Aku mulai bisa balas menatapnya.“Wah! Sekolah paling favorit, gue langsung minder. Gue di SMA Mutiara.
Seperti pagi-pagi lainnya, aku terbangun tepat pada pukul 5 pagi. Membuka jendela kamar, lalu segera melakukan semua kewajibanku.Namaku Langit, Langit Bumantara. Yang berarti angin di langit yang luas. Aku tak mengerti, mengapa orang tuaku memberi aku nama itu. Tapi yang jelas aku suka dengan nama itu.Aku di lahirkan di tengah-tengah keluarga yang cukup berada. Mempunyai seorang kakak dan adik perempuan. Aku adalah anak lelaki satu-satunya. Jadi secara tidak langsung aku adalah anak yang paling di harapkan menjadi penerus keluarga ini.Kakakku hanya berbeda umur setahun denganku. Bernama Hana Rasina dan adikku yang berjarak lumayan jauh dariku dan kak Hana. Jarak kami berdua sekitar 7 tahun. Dia bernama Raline Sahila. Aku dan adikku tak cukup dekat. Karena jarak umur tadi.Setelah mandi dan mengenakan seragam sekolah, aku bergegas turun ke bawah untuk sarapan bersama keluargaku di lantai bawah.Papaku yang bekerja sebagai pemilik perusahaan kecil