“Sky Evelyn …,” gumamku sambil menulis nama itu di kolom pencarian salah satu sosial media.
Sayang, dia mengunci akun miliknya. Jadi aku tak bisa mendapatakan banyak informasi dari sana. Aku coba membuka sosial media yang lain, berharap bisa menemukannya disana. Nihil, tak ada yang bisa ku temukan.
Sekarang pukul Delapan malam. Sejujurnya aku ingin sekali menghubunginya saat ini. Tapi aku belum punya cukup keberanian. Saat ini aku hanya menatap layar ponsel nanar sembari berbaring di atas kasur. Berharap dia duluan yang menghubungiku. Sampai akhirnya aku sadar, bagaimana dia bisa menghubungiku? Sementara dia tak punya nomerku kan?
TUT …, TUT …, TUT...,
Nada sambung itu terdengar berbeda dari biasanya. Ya, akhirnya ku putuskan untuk menelponnya menggunakan fasilitas telpon rumah, setelah memastikan sebelumnya kalau semua penghuni rumah ini tengah sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Aku membawa telepon tanpa kabel itu ke kamar.
“Ya? Hallo?” Suara dari sana. Jantungku mendadak berhenti sejenak tadi saat mendengar suara itu.
“Hallo, ini gue.” Kataku agak ragu. Berharap dia segera mengenali suaraku.
“Hah? Siapa?”
Ternyata tak sesuai harapan. Dia tak mengenali suaraku.
“Langit, aku Langit.”
“Oh, Langit!” Serunya. “Ini nomer lu?” Sambungnya, lalu terdiam sejenak. “Eh, nelpon pake nomer rumah yah?”
“Iya, lu lagi apa? Ngga sedang sibuk kan?”
“Ngga, lagi baca buku cerita aja. Kenapa? Koq telpon?”
Aku bisa membayangkan ekspresinya saat ini. Pasti dia sedang tersenyum manis, sama saat pertemuan pertama kami tadi. Bertanya dengan bawelnya,lengkap dengan wajah tersenyum itu.
“Emang ngga boleh kalau gue telpon?” Kataku sedikit kecewa atas pertanyaannya barusan. Aku tiba-tiba over thinking.
Yang ada di pikiranku saat ini adalah, dia sejak tadi sebenarnya sedang menunggu telpon dari pacarnya sambil membaca buku.
“Dih, ngga gitu. Sensi amat!” Dia terdengar tertawa kecil.
“Kamu baca buku cerita apa? Emang ngga belajar?” Aku mengalihkan pembicaraan.
“Belajar abis ini. Nanggung, ini aku lagi baca BAB terakhir. Hihihi!”
“Lusa jadi berangkat bareng kan?”
“Iya, boleh. Nomer lu mana? Biar aku kirimin alamatnya.”
“Iya, nanti gue chat. Lu udah makan?”
Pertanyaan macam apa itu yang keluar dari mulutku. Setelah mengeluarkan pertanyaan itu dari mulutku, aku reflek menutup mata karena malu.
“Udah dong. Lu udah makan?” Sepertinya dia tak risih dengan pertanyaan klise barusan.
“Ntar, abis ini. Lu mau lanjut baca yah? Ya, udah. Tutup aja telponnya. Abis baca langsung belajar yah?”
Lagi-lagi aku berucap tanpa di pikir dulu. Kalimat-kalimat klise itu mengalir begitu saja dari mulutku.
“Oke, iya, pasti belajar lah gue. Soalnya ada PR. Jangan lupa, chat gue, biar bisa gue kirimin alamatnya.”
“Iya, Ya udah, gue tutup yah?”
“Oke!”
Aku akhirnya terpaksa mengakhiri percakapan kami.
“Abis nelpon siapa?” Suara itu mengagetkanku. Serta merta aku melempar telpon yang aku genggam.
“Kakak sejak kapan disitu?” Tanyaku penuh penasaran.
“Baru aja koq!” Jawabnya sekenanya.
“Serius?” Tanyaku sekali lagi. Aku tak percaya padanya.
“Iya, gue kesini karena mau pake telpon. Mau nanya tugas ke temen. Emang bis nelpon siapa sih lu? Sampe segitunya kagetnya?” Gerutu Kak Hana sembari meraih telpon yang tergeletak di atas kasur.
“Hah? Bukan siapa-siapa.” Jawabku, lalu bangkit. Melangkah menuju meja belajar dan membuka asal buku apa saja yang ada di atas sini.
“Pacar ya?” Ucap kak Hana. Aku meliriknya, wajahnya terlihat penasaran.
“Bukan! Udah, sana! Katanya mau nelpon temen lu!” Aku mendorongnya keluar kamar. “Besok-besok ketuk pintu dulu kalo mau masuk sini!” Kataku lagi sambil menutup pintu kamar.
Setelahnya aku langsung meraih ponselku yang tergeletak di atas bantal. Mencari nama Sky di layar. Lalu segera mengetik sesuatu disana.
[Ini nomer gue]
tulisku.
Sedetik kemudian ada balasan darinya.
[Oke, gue save]
Balasnya.
[Mana alamatnya?]
Balasku lagi.
Dia mengirimku sebuah map via aplikasi. Tertulis di map itu sebuah nama tempat “TOKO TERATAI” aku mengklik tulisan itu. Terlihat sebuah foto toko yang tidak kecil, tapi juga tak terlalu besar.
[Jemput gue di toko itu, itu toko ortu gue. See u!]
Balasnya.
*****
Aku kembali menatap layar ponselku, tapi kali ini tak nanar. Karena kini aku bisa menatap wajah Sky dari sini. Walau hanya dari foto profilnya dari aplikasi What'sapp. Aku tak bisa berhenti memikirkan dia. Sedetikpun dia tak bisa hilang dari pikiranku. Apalagi saat aku menutup mata. Dia selalu muncul dengan senyum manis yang khas dengan lesung pipi.
Walau aku sadar akan satu hal. Perasaanku yang timbul saat ini seharusnya tidak ku pupuk sedemikian rupa, karena dia sekarang tidak sedang sendirian. Tapi ini juga kali pertama aku merasakan hal seperti ini. Aku tidak mau menepisnya. Aku bahkan tak peduli dia sedang dengan siapa sekarang.
Trrrrt-Trrrrt-Trrrrt
Ponselku bergetar, ada satu pesan masuk, itu dari Sky.
[Jangan lupa makan!”]
Tulisnya.
Bibirku sontak tersenyum. Dia ingat dengan percakapan kami tadi. Bahwa aku belum makan.
[Iya, gue makan sekarang]
Balasku.
*****
Kak Hana memutuskan untuk berangkat bersama temannya hari ini. Jadi aku memutuskan untuk ke sekolah menggunakan motor saja pagi ini. Aku memutuskan untuk melewati rute berbeda hari ini. Aku sengaja memilih jalan yang melewati Toko milik orang tua Sky. Berharap bisa bertemu dengannya juga.
Aku mengendarai motorku pelan saat melewati Toko itu. Tapi tak sesuai harapan, Sky tak terlihat berada disana. Pagi ini aku sedikit kecewa.
Aku tiba di Sekolah tepat pukul Tujuh pagi. Seperti biasa, menyusuri koridor dengan santai. Melirik ke kelas kak Hana sejenak. Seperti biasanya, tak ada yang bebeda. Kehidupan sekolahku masih terasa datar-datar saja.
“Eh, ini finalis PAS,” terdengar suara itu dari mulut salah satu siswa yang sedang berkerumun di depan Mading.
Membuatku akhirnya melirik ke arah poster yang baru saja tertempel di Mading Sekolah. Reflek aku berbalik, karena aku melihat foto seseorang yang aku kenal. Terpampang jelas wajah Sky disana. Di poster yang tertulis “Wajah Finalis PAS(Penyiar Anak Sekolah).
“Ini kan pacarnya si Kaze. Bener ngga sih?” Tunjuk anak lainnya ke foto Sky.
“Kaze?” Gumamku. Aku mengenal nama itu.
“Iya! Bener! Dia pacarnya Kaze. Cakep yah?” Saut yang lainnya.
Aku memutar otak, mencoba mengingat nama itu. Aku benar-benar familiar dengan nama itu. Aku bahkan sering mendengarnya sebelumnya.
“Kaze! Cewe lu masuk mading nih!” Teriak anak perempuan yang berdiri tepat di sampingku.
Aku serta merta menoleh, mencari keberadaaan orang yang di maksud. Seseorang dengan percaya diri dan senyum penuh arti melangkah menghampiriku. Bukan, bukan menghampiriku, dia melewatiku begitu saja. Lalu berhenti di depan mading, menatap poster yang tertempel disana. Dia Kaze, Kaze Haruto. Teman sekelas kakakku, Hana.
Dia teman sekelas kakakku. Cowok dengan postur proposional, berkulit putih bersih, dengan rambut tebal. Seperti namanya, sepertinya dia memang keturunan Jepang. Seperti Mamaku, yang keturunan Jepang juga.Kaze Haruto, dia berdiri di dekatku saat ini. Ku pandangi dia, dia tengah sibuk menatap poster yang terpajang di Mading itu. Tersenyum, jelas terlihat ada rasa bangga di tatapannya itu. Melihat pacarnya terpampang di poster dengan foto close up. Ya, Sky terlihat sempurna di poster itu.Dia, dia pacar Sky, cewek yang membuat jantungku berdegup tak menentu sejak kemarin. Pantas, dia terlihat sangat pantas berdiri di samping Sky. Tapi aku juga merasa sangat pantas berdiri di samping Sky juga. Mulai detik ini, aku memutuskan untuk bersaing dengan Kaze Haruto. Tanpa ku sadari, aku terus menatapnya saat ini. Ada perasaan membara di dalam dada. Yang tak bisa aku tepis sama sekali.“Hei? Lu adiknya Hana kan?” Pertanyaan itu membuat aku sedikit tersentak. Ka
[Gue jemput sekarang]Tulisku di layar ponsel, lalu mengirimkannya ke Sky. Seperti janji kami kemarin, kami akan berangkat kursus bersama.Dua puluh menit kemudian, aku tiba di depan Toko Teratai. Tampak Sky yang tengah duduk di depan Toko menungguku. Dia cantik dengan kaos berwarna lavender, rambutnya kali ini tidak di gerai begitu saja. Dia menata rambutnya dengan model ponytail. Dia melambai, lalu menghampiriku.Setengah perjalanan, kami hanya saling diam. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut kami. Aku juga bingung, harus membuka percakapan yang bagaimana. Lagipula kami pakai helm kan? Dia juga memberi jarak yang agak jauh, jadi aku tak yakin. Jika aku mengajaknya mengobrol, dia akan mendengar suaraku.Aku sengaja mengambil rute yang agak jauh, agar aku bisa sedikit mengulur waktu, untuk bisa lebih lama lagi dengannya. Aku merasakan sesuatu, Sky menggeser duduknya, lebih maju.“Koq lewat sini?” Dia tiba-ti
Aku tak bisa berhenti memikirkan Sky di luar sana, bertemu dengan kekasihnya. Membayangkan mereka berdua bersenda gurau saja, kepala ini rasanya ingin meledak. Raga ini disini, memeluk bass dan membetotnya dengan sekuat tenaga, tapi perasaan ini terus terbang entah kemana-mana. Terlintas di benakku, senyum Sky saat sedang berbicara, lalu pikiran ini berselancar hingga ke arah jurang kotor yang tak semestinya. Mereka melakukan hal di luar kendali. Hingga pada akhirnya, aku mulai tak berkonsentrasi dengan permainan bass ini.
Sesuai intruksi dari Kepala Sekolah, seluruh siswa berkumpul di Lapangan upacara. Walau sebenarnya pasti ada beberapa siswa yang tak taat pada instruksi, tetap tak bergerak diari tempat persembunyiannya di Kantin sekolah. Aku yang biasanya selalu memilih untuk berdiri di barisan paling belakang, hari ini memutuskan untuk berdiri di deretan paling depan. Alasannya karena, sepele sebenarnya, karena Kaze ku lihat berdiri di deretan paling depan tepat di seberang sana. Berdiri tegak, terkesan menantangku
Seperti pagi-pagi lainnya, aku terbangun tepat pada pukul 5 pagi. Membuka jendela kamar, lalu segera melakukan semua kewajibanku.Namaku Langit, Langit Bumantara. Yang berarti angin di langit yang luas. Aku tak mengerti, mengapa orang tuaku memberi aku nama itu. Tapi yang jelas aku suka dengan nama itu.Aku di lahirkan di tengah-tengah keluarga yang cukup berada. Mempunyai seorang kakak dan adik perempuan. Aku adalah anak lelaki satu-satunya. Jadi secara tidak langsung aku adalah anak yang paling di harapkan menjadi penerus keluarga ini.Kakakku hanya berbeda umur setahun denganku. Bernama Hana Rasina dan adikku yang berjarak lumayan jauh dariku dan kak Hana. Jarak kami berdua sekitar 7 tahun. Dia bernama Raline Sahila. Aku dan adikku tak cukup dekat. Karena jarak umur tadi.Setelah mandi dan mengenakan seragam sekolah, aku bergegas turun ke bawah untuk sarapan bersama keluargaku di lantai bawah.Papaku yang bekerja sebagai pemilik perusahaan kecil
“Gue Langit, Langit Bumantara.” Kataku.“Wah! Aku langit, kamu langit. Kebetulan banget yah?” Serunya.“Eh, Iya!” Ucapku canggung. Tapi dia malah tiba-tiba langsung duduk di sampingku.Aku menatapnya canggung. Lalu saat dia balas menatap, aku langsung tertunduk lesu.“Disini ngga pake formulir pendaftaran segala. Langsung ketemu sama gurunya yang keren. Udah deh, langsung belajar. Soal pembayaran, ngga ribet. Cuma seikhlasnya kita aja. Ngga di patokin.” Dia terus berceloteh dengan santai.Aku masih berusaha santai juga. Sesekali meliriknya, yang berbicara sambil melihat ke arahku.“Tapi lu bisa main gitar kan?” Tanyanya lagi.“Bisa,” Jawabku singkat.“Punya band?”“Belum, ini baru di ajakin. Makanya mau belajar dulu.” Aku mulai nyaman dengan gadis bawel ini.“Lu sekolah dimana?”“Hah? Oh, SMA Persada 5. Kamu?” Aku mulai bisa balas menatapnya.“Wah! Sekolah paling favorit, gue langsung minder. Gue di SMA Mutiara.
Sesuai intruksi dari Kepala Sekolah, seluruh siswa berkumpul di Lapangan upacara. Walau sebenarnya pasti ada beberapa siswa yang tak taat pada instruksi, tetap tak bergerak diari tempat persembunyiannya di Kantin sekolah. Aku yang biasanya selalu memilih untuk berdiri di barisan paling belakang, hari ini memutuskan untuk berdiri di deretan paling depan. Alasannya karena, sepele sebenarnya, karena Kaze ku lihat berdiri di deretan paling depan tepat di seberang sana. Berdiri tegak, terkesan menantangku
Aku tak bisa berhenti memikirkan Sky di luar sana, bertemu dengan kekasihnya. Membayangkan mereka berdua bersenda gurau saja, kepala ini rasanya ingin meledak. Raga ini disini, memeluk bass dan membetotnya dengan sekuat tenaga, tapi perasaan ini terus terbang entah kemana-mana. Terlintas di benakku, senyum Sky saat sedang berbicara, lalu pikiran ini berselancar hingga ke arah jurang kotor yang tak semestinya. Mereka melakukan hal di luar kendali. Hingga pada akhirnya, aku mulai tak berkonsentrasi dengan permainan bass ini.
[Gue jemput sekarang]Tulisku di layar ponsel, lalu mengirimkannya ke Sky. Seperti janji kami kemarin, kami akan berangkat kursus bersama.Dua puluh menit kemudian, aku tiba di depan Toko Teratai. Tampak Sky yang tengah duduk di depan Toko menungguku. Dia cantik dengan kaos berwarna lavender, rambutnya kali ini tidak di gerai begitu saja. Dia menata rambutnya dengan model ponytail. Dia melambai, lalu menghampiriku.Setengah perjalanan, kami hanya saling diam. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut kami. Aku juga bingung, harus membuka percakapan yang bagaimana. Lagipula kami pakai helm kan? Dia juga memberi jarak yang agak jauh, jadi aku tak yakin. Jika aku mengajaknya mengobrol, dia akan mendengar suaraku.Aku sengaja mengambil rute yang agak jauh, agar aku bisa sedikit mengulur waktu, untuk bisa lebih lama lagi dengannya. Aku merasakan sesuatu, Sky menggeser duduknya, lebih maju.“Koq lewat sini?” Dia tiba-ti
Dia teman sekelas kakakku. Cowok dengan postur proposional, berkulit putih bersih, dengan rambut tebal. Seperti namanya, sepertinya dia memang keturunan Jepang. Seperti Mamaku, yang keturunan Jepang juga.Kaze Haruto, dia berdiri di dekatku saat ini. Ku pandangi dia, dia tengah sibuk menatap poster yang terpajang di Mading itu. Tersenyum, jelas terlihat ada rasa bangga di tatapannya itu. Melihat pacarnya terpampang di poster dengan foto close up. Ya, Sky terlihat sempurna di poster itu.Dia, dia pacar Sky, cewek yang membuat jantungku berdegup tak menentu sejak kemarin. Pantas, dia terlihat sangat pantas berdiri di samping Sky. Tapi aku juga merasa sangat pantas berdiri di samping Sky juga. Mulai detik ini, aku memutuskan untuk bersaing dengan Kaze Haruto. Tanpa ku sadari, aku terus menatapnya saat ini. Ada perasaan membara di dalam dada. Yang tak bisa aku tepis sama sekali.“Hei? Lu adiknya Hana kan?” Pertanyaan itu membuat aku sedikit tersentak. Ka
“Sky Evelyn …,” gumamku sambil menulis nama itu di kolom pencarian salah satu sosial media. Sayang, dia mengunci akun miliknya. Jadi aku tak bisa mendapatakan banyak informasi dari sana. Aku coba membuka sosial media yang lain, berharap bisa menemukannya disana. Nihil, tak ada yang bisa ku temukan.
“Gue Langit, Langit Bumantara.” Kataku.“Wah! Aku langit, kamu langit. Kebetulan banget yah?” Serunya.“Eh, Iya!” Ucapku canggung. Tapi dia malah tiba-tiba langsung duduk di sampingku.Aku menatapnya canggung. Lalu saat dia balas menatap, aku langsung tertunduk lesu.“Disini ngga pake formulir pendaftaran segala. Langsung ketemu sama gurunya yang keren. Udah deh, langsung belajar. Soal pembayaran, ngga ribet. Cuma seikhlasnya kita aja. Ngga di patokin.” Dia terus berceloteh dengan santai.Aku masih berusaha santai juga. Sesekali meliriknya, yang berbicara sambil melihat ke arahku.“Tapi lu bisa main gitar kan?” Tanyanya lagi.“Bisa,” Jawabku singkat.“Punya band?”“Belum, ini baru di ajakin. Makanya mau belajar dulu.” Aku mulai nyaman dengan gadis bawel ini.“Lu sekolah dimana?”“Hah? Oh, SMA Persada 5. Kamu?” Aku mulai bisa balas menatapnya.“Wah! Sekolah paling favorit, gue langsung minder. Gue di SMA Mutiara.
Seperti pagi-pagi lainnya, aku terbangun tepat pada pukul 5 pagi. Membuka jendela kamar, lalu segera melakukan semua kewajibanku.Namaku Langit, Langit Bumantara. Yang berarti angin di langit yang luas. Aku tak mengerti, mengapa orang tuaku memberi aku nama itu. Tapi yang jelas aku suka dengan nama itu.Aku di lahirkan di tengah-tengah keluarga yang cukup berada. Mempunyai seorang kakak dan adik perempuan. Aku adalah anak lelaki satu-satunya. Jadi secara tidak langsung aku adalah anak yang paling di harapkan menjadi penerus keluarga ini.Kakakku hanya berbeda umur setahun denganku. Bernama Hana Rasina dan adikku yang berjarak lumayan jauh dariku dan kak Hana. Jarak kami berdua sekitar 7 tahun. Dia bernama Raline Sahila. Aku dan adikku tak cukup dekat. Karena jarak umur tadi.Setelah mandi dan mengenakan seragam sekolah, aku bergegas turun ke bawah untuk sarapan bersama keluargaku di lantai bawah.Papaku yang bekerja sebagai pemilik perusahaan kecil