"Bukan hanya itu, tadi pagi Om juga dengar kalau Ana teriak dan nangis sama kamu. Pria macam apaan kamu? Bahkan membiarkan pacarnya sendiri diantar pulang sama bosnya. Untung bosnya baik dan masih muda. Kalau udah tua dan genit, bagaimana?" Pria paruh baya itu berbicara frontal. Ia adalah papanya Ananta. Calon papa mertua untuk Stanley. "Maaf, Om. Saya tidak bermaksud menyakiti Ana. Tadi kami hanya ada sedikit salah paham.""Ley, lebih baik kamu ngobrol sama Om di luar aja ya. Tante mau lanjut panggang kuenya."Ibunya mengambil alih. Mengambil spatula dan sendok besar dari tangannya Stanley.Stanley mengikuti saran Tante. Mengikuti Om yang sudah berjalan terlebih dahulu ke ruang tamu. Sebelum ia benar-benar pergi, ia menatap sekilas mata tante, berkaca-kaca dan nampak tidak memendam kebohongan di matanya. Sama sekali. Hanya ada mata yang penuh dengan kasih sayang. Om lebih dulu duduk di sofa. Menghela napas berat. Matanya menerawang ke luar jendela, ke luar rumah, memandang daun-dau
Hari ini kantor nampak sangat sibuk sekali. Dari tadi pagi, karyawan bolak-balik keluar-masuk dari ruangan Nicho. Banyak karyawan yang masuknya santai, tapi sekali keluar seperti cacing kepanasan.Ada yang masuk dengan energi yang luar biasa, sekali keluar langsung lemas.Tapi ada juga yang masuknya gugup, setelah keluar mereka nampak lega dan bahkan nampak santai. Melihat hal ganjil yang terjadi di kantornya seperti itu, Gracia penasaran. Gracia bisa melihat dengan jelas antrian para karyawan di depannya. Satu per satu masuk ke dalam ruangan Pak Nicho.Sekarang ia sudah mendapat meja kerja baru. Mejanya tepat di luar ruangan Nicho. Persis di samping kanannya. Di sana ada dua meja. Satu untuknya dan satu untuk Aini, sekretaris pribadi Bu Pramita."Aini, ini kenapa sih orang-orang pada antre gini. Pak Nicho lagi bagi-bagi sembako?"Aini menoleh ke barisan antrean. Lalu, kembali menatap angka-angka yang tertulis di dokumen yang sedang dikerjakannya.
Daripada ia harus berdebat lebih jauh lagi. Nicho memilih untuk mengalah. Sebenarnya, ia agak kelewatan memberikan pekerjaan yang banyak. Tapi, jika mau sukses, Gracia harus cepat belajar untuk melakukan pekerjaan ini semua, supaya kelak ia bisa menjadi pendamping hidup sekaligus partner kerjanya. Apalagi, ia masih mengingat dengan jelas cita-cita Gracia kecil.Panas kian terik saat jam menunjukkan pukul 13.00. Gracia kecil yang saat itu duduk di bangku kelas 6 SD menunggu papanya untuk dijemput pulang. Ia menunggu di pos satpam. Semua teman sekelasnya sudah pulang semuanya. Tinggal kakak kelas yang masih belajar dan akan selesai setengah jam kemudian.Nicho masih belajar di kelas. Pelajaran bahasa Indonesia. Pelajaran yang membosankan baginya. Kita sudah bisa berbicara lancar dengan bahasa Indonesia, untuk apa lagi belajar? Nicho uring-uringan. Walaupun, ia duduk di pojokan paling belakang. Sesaat aja ia membenamkan wajahnya ke tangan yang ia lipat di atas me
Kantor PT Pramita nampak minimalis jika dilihat dari luar. Tapi jika dilihat dari dalam, kantornya sungguh memanfaatkan setiap detil ruangan dengan seksama. Misalnya saja rak buku di bawah tangga dan loker-loker para karyawan. Tertata rapi. Di setiap sudut ruangan juga ada tanaman hijau. Sedang di luar jendela, ditanam pohon cemara dan bambu.Taman yang berada di samping dan belakang kantor juga selalu dirawat dengan baik. Itulah juga yang membuat Nicho betah berlama-lama di kantornya. Kantor Bu Pramita yang sementara ditempatinya. Pukul 18.30. Kantor sudah sepi. Lampu di semua ruangan telah dimatikan, menyisakan lampu lorong.Tapi untuk malam ini, lagi-lagi ruangan Nicho masih terang-benderang."Ada pekerjaan yang kamu nggak ngerti?" Nicho bertanya. Gracia duduk di meja pertemuan di dalam kantor Nicho. Dua tumpuk kertas mengelilinginya."Bukannya nggak ngerti. Tapi ini loh, mengapa rata-rata semua ingin bertemu kamu di jadwal yang sama. Hari Rabu puku
"Kamu mau kemana?" Nicho bertanya pada Gracia. "Mau ambil motor. Kan mau pulang kan?" jawabnya polos. "Saya antar kamu pulang aja. Sudah malam.""Nanti motorku gimana?""Aman. Kan ada satpam yang bisa jaga. Bilang ke satpam nitip aja." Nicho menyarankan. Gracia memutar otaknya."Udah. Nggak usah banyak mikir. Nggak ada yang mau culik cewek galak kayak kamu.""Apa kamu bilang?" Gracia melotot, kedua punggung tangannya ditempel di pinggangnya. "Udah ah. Saya nggak mau debat sama kamu. Kamu nggak capek apa?"Nicho menggaruk-garuk kulit kepalanya yang nggak gatal sama sekali.Gracia termangu. Awalnya, ia tak menyadari kalau ternyata kancing kemeja Nicho belum ada satupun yang terkancing. Ditambah Nicho mengangkat tangannya ke atas. Membuat kemeja Nicho melambai, seakan menyapanya. Dada bidang Nicho menyelinap mengintip. Apalagi mata nakal Gracia tak bisa kompromi. Saking menikmatinya, matanya mulai menelusuri ke bawah, berhenti di pe
Malam ini Gracia dan Nicho pulang bersama."Pak, titip motornya Bu Gracia ya!""Baik pak! Hati-hati di jalan Pak Nicho, Bu Gracia." jawab salah seorang satpam. "Terima kasih pak." Gracia menjawab. Mobil Nicho keluar dari parkiran. Menuju jalanan aspal. "Keren juga bos baru kita. Baru beberapa hari menjabat. Udah dua gadis yang diantar pulang!" Satpam yang lebih muda berkomentar. "Sst.. jangan gosip. Mau dipecat sama Pak Nicho?""Amit-amit pak!"Mobil terus maju di jalanan. Sunyi meliputi mereka. Gracia terasa panas. Derap jantungnya sudah mereda, tapi kenapa dia masih belum terasa tenang. Pipinya masih terasa panas."Mobilmu kok panas banget sih?""Nggak panas seharusnya. Ini pendingin nya sudah besar.""Besarkan lagi lah!""Nggak. Ini udah malam, entar beku. Jari kamu bukannya masih terasa beku?""Sok tahu! Kenapa kamu bisa tahu? Kamu pegang-pegang ya tadi?""Nggak. Tadi kan saya pegang pergelangan tanganmu. Tak sengaja menyentuh jarimu juga, jadi saya bisa tahu. Dan bukannya ka
Gracia berjalan lambat menuju kamar tamu. Kamar tamu terletak tidak jauh dari ruang tamu. Hanya perlu berbelok ke kiri sedikit.Pintu dibukanya. Lantas didorong nya ke belakang. Tapi tak sampai tertutup rapat. Masih ada celah. "Kenapa sih, dia pakai acara nginap segala. Kalau aku nanti kelepasan gimana? Tapi tunggu deh.. kayaknya nggak mungkin juga. Nggak. Nggak. Aku baik-baik aja. Kan Nicho bukan hanya sekali pernah nginap disini. Dari kecil juga dia udah pernah nginap disini. Seharusnya nggak apa-apa. Kalau sekarang aku keluar dan menolak lagi. Yang lain bisa aja curiga. Apalagi Eric. Si kurus itu.""Memang curiga apaan?" Terdengar suara dari belakang. 'Mampus!'"Aku tanya kok malah diam. Curiga apaan?"Nicho berjalan masuk. Klik. Pintu tertutup. "Eh, ngapain kamu masuk? Keluar sana." Gracia berputar ke belakang. Kini mereka berhadapan. Cukup dekat. "Ini kan kamar aku untuk malam ini." Nicho menatap Gracia. Lebih tepatnya agak menunduk, karena lawan bicaranya ini lebih rendah d
Ananta tak menyangka, saat ia keluar dari kamar, ada aroma kue yang disukainya. Ananta mencium aroma kue lapis legit. Kue yang suka disantap nya saat ia ingin makan kue yang manis-manis. "Ma, mama bikin kue lapis?" Ana bertanya dengan suara lantang. Padahal dirinya masih berjalan ke arah dapur.Kakinya saja belum sampai, tapi hidungnya sudah sampai duluan.Ia berjingkrak-jingkrak, senangnya minta ampun."Astaga. Kenapa kamu disini?" Stanley berada di dapur. Ia baru saja membantu Ibu Ana mengeluarkan kue lapis legit dari loyang. "Aku ingin bantu Tante. Biar pekerjaan cepat selesai. Lagian ini kue untukmu loh,""Ya udah. Bantu lagi sana. Aku nggak mau ganggu."Gracia keluar dari dapur. Menuju ruang tengah. Dipencet nya remot TV. Membuka saluran dengan asal. Yang penting bersuara."Tante, aku ke tempat Gracia dulu ya. Saya tinggal sebentar," Stanley melepas sarung tangan tebal yang dipakainya. "Ini juga sudah selesai," Ibu Ana berkomenta