Kantor PT Pramita nampak minimalis jika dilihat dari luar. Tapi jika dilihat dari dalam, kantornya sungguh memanfaatkan setiap detil ruangan dengan seksama. Misalnya saja rak buku di bawah tangga dan loker-loker para karyawan. Tertata rapi. Di setiap sudut ruangan juga ada tanaman hijau. Sedang di luar jendela, ditanam pohon cemara dan bambu.Taman yang berada di samping dan belakang kantor juga selalu dirawat dengan baik. Itulah juga yang membuat Nicho betah berlama-lama di kantornya. Kantor Bu Pramita yang sementara ditempatinya. Pukul 18.30. Kantor sudah sepi. Lampu di semua ruangan telah dimatikan, menyisakan lampu lorong.Tapi untuk malam ini, lagi-lagi ruangan Nicho masih terang-benderang."Ada pekerjaan yang kamu nggak ngerti?" Nicho bertanya. Gracia duduk di meja pertemuan di dalam kantor Nicho. Dua tumpuk kertas mengelilinginya."Bukannya nggak ngerti. Tapi ini loh, mengapa rata-rata semua ingin bertemu kamu di jadwal yang sama. Hari Rabu puku
"Kamu mau kemana?" Nicho bertanya pada Gracia. "Mau ambil motor. Kan mau pulang kan?" jawabnya polos. "Saya antar kamu pulang aja. Sudah malam.""Nanti motorku gimana?""Aman. Kan ada satpam yang bisa jaga. Bilang ke satpam nitip aja." Nicho menyarankan. Gracia memutar otaknya."Udah. Nggak usah banyak mikir. Nggak ada yang mau culik cewek galak kayak kamu.""Apa kamu bilang?" Gracia melotot, kedua punggung tangannya ditempel di pinggangnya. "Udah ah. Saya nggak mau debat sama kamu. Kamu nggak capek apa?"Nicho menggaruk-garuk kulit kepalanya yang nggak gatal sama sekali.Gracia termangu. Awalnya, ia tak menyadari kalau ternyata kancing kemeja Nicho belum ada satupun yang terkancing. Ditambah Nicho mengangkat tangannya ke atas. Membuat kemeja Nicho melambai, seakan menyapanya. Dada bidang Nicho menyelinap mengintip. Apalagi mata nakal Gracia tak bisa kompromi. Saking menikmatinya, matanya mulai menelusuri ke bawah, berhenti di pe
Malam ini Gracia dan Nicho pulang bersama."Pak, titip motornya Bu Gracia ya!""Baik pak! Hati-hati di jalan Pak Nicho, Bu Gracia." jawab salah seorang satpam. "Terima kasih pak." Gracia menjawab. Mobil Nicho keluar dari parkiran. Menuju jalanan aspal. "Keren juga bos baru kita. Baru beberapa hari menjabat. Udah dua gadis yang diantar pulang!" Satpam yang lebih muda berkomentar. "Sst.. jangan gosip. Mau dipecat sama Pak Nicho?""Amit-amit pak!"Mobil terus maju di jalanan. Sunyi meliputi mereka. Gracia terasa panas. Derap jantungnya sudah mereda, tapi kenapa dia masih belum terasa tenang. Pipinya masih terasa panas."Mobilmu kok panas banget sih?""Nggak panas seharusnya. Ini pendingin nya sudah besar.""Besarkan lagi lah!""Nggak. Ini udah malam, entar beku. Jari kamu bukannya masih terasa beku?""Sok tahu! Kenapa kamu bisa tahu? Kamu pegang-pegang ya tadi?""Nggak. Tadi kan saya pegang pergelangan tanganmu. Tak sengaja menyentuh jarimu juga, jadi saya bisa tahu. Dan bukannya ka
Gracia berjalan lambat menuju kamar tamu. Kamar tamu terletak tidak jauh dari ruang tamu. Hanya perlu berbelok ke kiri sedikit.Pintu dibukanya. Lantas didorong nya ke belakang. Tapi tak sampai tertutup rapat. Masih ada celah. "Kenapa sih, dia pakai acara nginap segala. Kalau aku nanti kelepasan gimana? Tapi tunggu deh.. kayaknya nggak mungkin juga. Nggak. Nggak. Aku baik-baik aja. Kan Nicho bukan hanya sekali pernah nginap disini. Dari kecil juga dia udah pernah nginap disini. Seharusnya nggak apa-apa. Kalau sekarang aku keluar dan menolak lagi. Yang lain bisa aja curiga. Apalagi Eric. Si kurus itu.""Memang curiga apaan?" Terdengar suara dari belakang. 'Mampus!'"Aku tanya kok malah diam. Curiga apaan?"Nicho berjalan masuk. Klik. Pintu tertutup. "Eh, ngapain kamu masuk? Keluar sana." Gracia berputar ke belakang. Kini mereka berhadapan. Cukup dekat. "Ini kan kamar aku untuk malam ini." Nicho menatap Gracia. Lebih tepatnya agak menunduk, karena lawan bicaranya ini lebih rendah d
Ananta tak menyangka, saat ia keluar dari kamar, ada aroma kue yang disukainya. Ananta mencium aroma kue lapis legit. Kue yang suka disantap nya saat ia ingin makan kue yang manis-manis. "Ma, mama bikin kue lapis?" Ana bertanya dengan suara lantang. Padahal dirinya masih berjalan ke arah dapur.Kakinya saja belum sampai, tapi hidungnya sudah sampai duluan.Ia berjingkrak-jingkrak, senangnya minta ampun."Astaga. Kenapa kamu disini?" Stanley berada di dapur. Ia baru saja membantu Ibu Ana mengeluarkan kue lapis legit dari loyang. "Aku ingin bantu Tante. Biar pekerjaan cepat selesai. Lagian ini kue untukmu loh,""Ya udah. Bantu lagi sana. Aku nggak mau ganggu."Gracia keluar dari dapur. Menuju ruang tengah. Dipencet nya remot TV. Membuka saluran dengan asal. Yang penting bersuara."Tante, aku ke tempat Gracia dulu ya. Saya tinggal sebentar," Stanley melepas sarung tangan tebal yang dipakainya. "Ini juga sudah selesai," Ibu Ana berkomenta
Ana mengurung diri di kamarnya. Ia tak punya teman cerita untuk saat ini. Ia nggak mungkin terus-menerus merecoki kakak perempuannya. Kakaknya telah menikah. Ia telah memiliki keluarga baru, keluarga kecil yang juga menyimpan kebahagiaan dan masalahnya sendiri."Inilah yang aku takutkan. Jika suatu hari nanti, aku dan Stanley bertengkar seperti ini. Dan saat itu aku dan dia telah menjadi suami-istri, apakah aku juga akan seperti ini? Aku takut akan terus menyakiti dan mengecewakannya. Terlebih lagi aku memaksanya untuk dewasa sebelum umurnya."Ana membenamkan wajahnya di antara lengannya. Ia duduk di atas tempat tidurnya. Tok! Tok! Tok! Pintu kamarnya diketuk dari luar."Ini mama, Ana. Mama boleh masuk?"Ana mendongakkan kepalanya. Mengusap air mata di pipinya dengan jarinya. Tidak lupa ia juga menarik kembali ingusnya. Jangan sampai ingusnya bisa keluar dengan leluasa. Ia merapikan rambutnya dengan menyapu nya dengan kedua telapak tangannya. "Mas
Kedai Koopi.Itulah nama kedai yang dibangun Stanley dengan sekuat tenaga yang ia miliki. Terkesan berlebihan ya. Tapi memang itu kenyataannya. Dari yang awalnya sepi, sampai sekarang ramainya minta ampun."Ley, kenapa sih lesuh amat?" Gio, temannya mengomentari. Gio berada di kedai Koopi dari setengah jam yang lalu. Namun, kali ini Bella tidak ikut. Alasannya karena Bella sedang ada hal yang harus dilakukan. Stanley dan Gio duduk di tempat biasa, sofa untuk dua orang dengan di depannya ada meja rendah selutut. Sofa di depannya tak diisi orang, padahal biasanya ada Bella dan Ana."Tadi aku habis dari rumah Ana,""Bagus dong. Seharusnya kamu bahagia. Kan ketemu pacar, kecuali kalau kamu...." Gio memutar lehernya, memandang ke arah Stanley. "Nggak kan?""Yah, nggak lah. Amit-amit deh kalau gitu,""Syukurlah. Aku kira kalian putus. Jadi, masalahnya apa? Ana masih marah sama kamu?""Yah, nggak dibilang marah juga. Kami udah baikan,""Lalu?"
Jam menunjukkan pukul delapan malam. Kedai Koopi terus dibanjiri konsumen. Ada yang sengaja membawa laptop, ada yang berkumpul untuk bermain permainan, ada yang bersenda gurau, sampai ada yang datang bersama pasangannya. Kedai Koopi ini masih satu lantai. Lantai dua belum difungsikan. Mungkin akan segera diurus, setelah keuangannya mulai stabil. Stanley bersama seorang barista menuju ke arah seorang konsumen yang mengajukan komplain. Sebelum ia sampai ke konsumen tersebut, ia sempat mengecek gawainya.Ternyata ada sebuah notifikasi masuk ke gawainya. Dari Ananta. (Boleh, tapi seperi biasa. Jangan seharian. Aku habis terjebak dalam toilet juga. Dan ingat kita baru aja selesai berantem. Pokoknya, besok di rumah kamu harus banyak makanan. Titik.) Karena pesan dari Ana, membuatnya tersenyum. Ia senang sekali. Jarang-jarang Ana merespon dirinya se-positif ini. "Ini siapa? Yang lagi senyam-senyum ini?" Konsumen itu menunjuk Stanley dengan jari telunjuknya
"Saya mencintai Ananta. Tetapi, saya juga ada etikanya Stanley. Saya tidak akan merebut pacar orang." Nicho melepaskan genggaman eratnya. Menatap Ananta lamat-lamat."Namun, saya bisa pastikan, saya yang akan jadi orang pertama yang akan merebutnya jika kamu menyiakan-nyiakannya,"Nicho berbicara dengan lantang.Dari jauh, Violla mengintip. Ia tak mungkin akan melewatkan kejadian seru ini. Walaupun kehadirannya memang tidak berarti jika dia ada disana.Tentu saja Nicho akan mengusirnya."Apakah aku memang sudah tidak bisa kembali dengan Nicho?"Drrt. Gawainya bergetar."Hallo, baby! Kamu jadi datang ke pestaku?" Seorang pria meneleponnya."Iya. Aku datang." Violla dengan cepat menjawab. "Aku akan mencoba untuk mencintai pria lain. Selamat tinggal Nicho!""Ana, kamu tidak marah sama atasanmu ini? Lancang sekali dia ngomong begitu." cerca Stanley. Ia mendengus. Kakinya menendang sebuah kursi plastik sampa
Malam ini angin tak berhembus sama sekali. Walaupun Nicho, Stanley, Ananta, dan Gracia berada di tempat terbuka.Ananta masih menahan marah atas tuduhan Stanley yang tidak jelas. Yah, memang dia juga merasa bersalah. Ia mulai ragu dengan dirinya sendiri. Apakah memang harus putus?Stanley tak terima jika ia yang harus terus mengalah. Apalagi ia butuh dukungan emosi karena masih merintis usahanya. Usaha kedai kopi impiannya. Ia ingin segera mendapatkan uang yang banyak supaya bisa menghalalkan Ananta. Tapi, kenapa semakin hari hubungannya dengan Ananta semakin memburuk?Gracia gemas dengan dirinya sendiri. Kenapa tak seorang pun yang mengerti keadaannya. Semua terasa menjauh dan selalu saja membela Ananta. Padahal bukannya dia korban atas kejahatan Ananta?Nicho tak habis pikir, kenapa masalah simpel yang muncul ini bisa seruwet ini. Dari Gracia dan Ananta yang salah paham. Stanley yang protektif dengan Ananta.Padahal semua itu terjadi hanya karena kurang komunikasi. That's it."Nicho
Kantor sudah sepi. Ananta melirik jam tangan yang dikenakannya. Pukul 20.31.Sepanjang jalan ia hanya menemui rumput hijau taman kantor dan lampu kantor di sisi taman."Sepertinya aku tunggu di pos satpam saja." gumamnya.Ia merapatkan jaket yang ia kenakan. Menuju pos satpam yang hanya memerlukan sekitar sepuluh langkah.Sesampainya ia disana, ia tak menemukan seorang pun."Televisi masih nyala. Lampu di pos juga masih nyala. Kemana Bapak satpamnya? Apa mungkin pratoli?"Ananta adalah tipe orang yang positif. Bahkan dalam hal ini saja ia tidak berpikir negatif mengenai keberadaan satpam ada dimana.Ia tak ambil pusing. Menarik salah satu kursi bakso disana dan duduk."Apa Pak Nicho masih lama?" gumamnya."Ananta!" panggil seseorang dari belakang."Stanley? Kenapa kamu selalu muncul tiba-tiba?" Ia menoleh ke belakang. "Dan kamu mengagetkanku,""Yah, tentu saja bisa. Karena pesanku dari tadi saja belum dibaca. Kalau kamu nggak di hotel, yah pasti di kantor," lanjutnya sambil mengambil
Nicho kembali ke meja kerjanya. Setelah minum segelas air gula, ia merasa kondisinya mulai pulih kembali.Dengan langkah yang masih terasa berat dan kepalanya masih terasa sakit, ia bergerak. Berjalan beberapa sentimeter dan duduk dengan mantap di kursi kerjanya.Matanya langsung menangkap benda kecil berwarna merah yang diletakkan di atas laptopnya. Sebuah flashdisk."Ini bukannya flashdisk yang kupinjamkan kepada Ana? Apakah pekerjaannya sudah selesai?"Nicho membuka laptopnya dan memeriksa data yang berada di dalam flashdisk.Ia membaca dengan seksama setiap kata. Setiap kalimat. Setiap paragraf. Matanya berbinar.Ia menegakkan badannya."Ini baru naskah yang ingin kubaca. Tidak salah jika Ananta bisa dijadikan calon kepala divisi penulis. Tetapi sepertinya aku harus mempertimbangkannya lagi. Hubungan dia dan Gracia telah usai. Hal ini pasti akan menjadi hambatan dalam kinerja kerja. Apalagi gosip tidak sedap yang ter
"Aku tanya dan kalian malah bengong disini. Nicho yang kalian maksud itu Nicholas Alexus bukan?" Violla bertanya memastikan. Kini ia menggebu-gebu. Ia harus segera tahu jawabannya.Kali ini siapa lagi yang bisa ambil hati selain Gracia. Tetapi itu nggak mungkin. Jika iya, apakah wanita itu lebih baik daripada Violla?"Kamu seharusnya jawab dulu pertanyaanku," Stanley nggak mau kalah. Jika ia harus menjawab, setidaknya lawan bicaranya dulu yang harus menjawab. Itu yang namanya baru adil."Aku rasa, pertanyaanmu tidak penting. Aku itu punya kaki dan punya uang. Aku bisa kemana aja yang aku mau. Bahkan kalian bisa disini saja, aku tidak perlu harus bertanya panjang lebar, kenapa kalian ada di Jakarta,""Kamu membuntutiku ya? Dan kenapa kamu bisa kenal sama Nicho?" Stanley bertanya lagi. Otaknya kini haus akan jawaban."Jangan menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan yang tidak penting," geramnya.Ia menggeser pandangannya ke arah Gra
"Ini soal apaan sih? Matematika kok malah buat kepala jadi mumet. Nah gini nih, catatan diajarin gimana. Tugasnya kayak gimana. Ini sih Nicho harus kesini. Nggak mau tahu. Masa dia bisa tidur nyenyak dan aku begadang kayak gini,"Eric beranjak duduk ke tempat tidurnya. Duduk disana dan menyentuh layar gawainya. Mencari kontak Nicho."Apaan?" Nicho menjawab dari seberang."Eh, orang kalau angkat telepon itu bilang hallo. Bukan apaan?""Itu untuk orang lain bukan untukmu. Karena kalau kau telepon malam-malam pasti ada maunya,""Tahu aja,""Iya, adanya tahu aja, tempe lagi habis,""Sekarang ke rumah aku!""Nggak,""Cepat banget jawabnya. Sat set tanpa mikir. Mikir dulu kek. Yakin? Nggak mau pikir dua kali?""Kenapa harus pikir 2 kali?""Gracia belum tidur loh!"Nicho tersontak. Yang tadi posisi tidur di atas ranjangnya. Ia bangkit duduk."Lalu, apa. Kenapa. Apa hubungann
Restoran makanan penutup sedang tidak ramai. Selain Gracia dan Stanley. Hanya ada 2 meja yang terisi.Mungkin sekarang kebanyakan orang mencari makanan berat setelah lelahnya bekerja seharian. Mencari rezeki untuk menikmati makanan enak setiap hari.Gracia menatap tajam ke arah Stanley. Tentu saja ia tak bisa menerima pria bucin di depannya ini menghina Nicho. Nicho yang adalah sahabatnya dari kecil dan sebenarnya juga cinta pertamanya.Cinta pertama yang ia sendiri kandaskan begitu saja.Masih ingat dengan kejadian bab 99?Inilah sambungannya.Setelah Eric meninggalkan Nicho dan Gracia di sekolah. Nicho tak langsung mengantar Gracia pulang. Ia mengajak Gracia untuk makan sore terlebih dahulu."Kamu ajak aku makan bakso? Aku nggak ada selera,""Hei, makan selagi kamu masih bisa makan. Kita hidupnya masih enak. Masih bisa makan apa yang kita mau,""Bukan itu maksudnya,""Atau kita makan es krim
"Ananta itu keterlaluan. Sok jodohin aku sama Nicho. Tanya-tanya ke aku, masa nggak cinta sama Nicho. Pret. Busuk itu semua," Gracia mengomel. Ia tak mau lebih lama disana. Sudah 10 menit yang lalu ia pergi dari kantor Nicho.Sekarang ia duduk di sebuah kedai kopi. Seperti biasa ia memilih kopi sebagai pendampingnya."Eh, ada Gracia disini. Aku boleh duduk disini?" Seorang pria mendekat."Stanley? Kok kamu bisa disini?" Gracia bertanya dengan bingung."Pertanyaanku dijawab dulu dong!""Nggak boleh. Duduk di kursi lain aja. Aku lagi pengen sendiri,""Tapi aku lagi mau ngobrol sama kamu. Gimana?""Kalau kamu nggak pergi. Aku yang pergi. Bye." Gracia turun dari kursi tinggi kedai. Mengambil gelas strerofoam yang masih berisikan dengan kopi panas."Hei!" panggil Stanley. Ia menyusul sampai ke luar kedai dan terus membuntuti Gracia.Gracia terus berjalan. Menyeberang di penyeberangan jalan, melewati taman ke
Ananta melihat ke kiri dan ke kanan. Sepi. Di ruangan kerja sebesar itu hanya dia seorang."Kalau aku turun ke bawah, mungkin tidak apa-apa kali ya? Tapi kalau Pak Nicho memang butuh bantuan cepat gimana? Aku cek dulu aja deh."Ia berjongkok. Ini pertama kalinya ia melihat wajah Nicho sedekat itu. Wajahnya kalem dan tenang. Alisnya tebal dengan bulu mata yang melengkung indah di kedua mata. Bibir semerah buah delima dengan kulit berwarna kulit langsat."Ternyata jika dipandang dekat dan saat tidak sedang berekpresi, muka Pak Nicho lebih bersinar. Apa yang membuatnya memiliki beban sebesar ini?""Pak Nicho!" Ia memanggil dan mengguncangkan tubuh Nicho dengan pelan. Namun, Nicho tak ada pergerakan sama sekali."Maaf pak. Saya izin sentuh kening Bapak ya! Astaga, panas sekali. Ini sih demam. Sebentar pak! Saya panggil satpam untuk bantu ya!" pekiknya.Saat Ananta sudah akan berdiri, Nicho menarik pergelangan tangannya. "Jangan tinggalkan aku! Jangan! Saya mohon, Gracia."Ananta kembali b