"Jadi pacar bohongan aku!""Nggak. Maaf Violla. Aku sudah punya pacar. Mohon maaf aku tidak bisa bantu kamu dalam hal ini. Dan dengan tidak mengurangi rasa hormat, ini tidak sangkut pautnya dengan kejadian ini. Jika ingin minta uang kamu dikembalikan dua kali lipat, aku bisa menyanggupinya sekarang," Stanley berkata tegas untuk ini. Tanpa perlu berpikir untuk kedua kalinya."Oke, kalau nggak mau. Aku viralkan kafe kamu,""Silakan saja. Saya tidak takut. Dan perlu kamu ketahui, kerikil itu tidak seberapa adanya dibandingkan kesetiaan saya pada pacar saya,""Dasar bocil!""Apa kamu bilang?""Nggak. Aku cuman bilang kamu bocil. Jangan mentang-mentang kamu udah jadi pengusaha muda, lalu kamu bisa sombong seperti ini. Lihatlah suatu saat nanti kamu akan membutuhkan aku,""Aku nggak salah dengar? Siapa yang bocil disini? Cuman karena kerikil aja, buat heboh satu kafe. Itu apa namanya? Pengunjung saya itu sudah tahu kafe ini seperti apa dan bagaimana. Dan perlu kamu tahu, dari awal dibukanya
Tok! Tok! Tok! "Masuk!""Kamu belum tidur, bro?" Eric mengetuk pintu Nicho. Awalnya hanya iseng. Ternyata Nicho benar-benar belum tidur. "Belum. Oh ya, tadi saya nyeduh teh hangat dari dapur. Besok saya ganti ya!"Nicho masih di balkon. Secangkir teh panas masih mengepul di genggamannya. Ia membuka pintu kaca yang memisahkan balkon dan kamar tidur. "Santai aja. Anggap aja rumah sendiri," Eric masuk, berjalan menuju balkon. Menutup pintu kaca. "Kenapa belum tidur?""Kamu kayak nanya pacar aja. Perhatian sekali,""Eh, jangan ge-er deh. Ini aku serius tanyanya,""Iya-iya. Saya baru aja beresin beberapa pekerjaan. Biar besok saya bisa istirahat seharian,""Formal banget omongannya,""Udah kebiasaan, Ric. Aneh, kalau harus menggantinya dengan informal. Nanti malah pas ngomong ke para bos jadinya informal,""Benar juga sih,""Kamu mau teh juga? Saya bisa buatin,""Nggak. Santai aja. Aku penyuka kopi, teh mah lewat,""Ampun de
"Gracia....Gracia...Gracia!" Nicho berteriak. Ia berdiri di depan pintu kamar Gracia. Ia sudah siap dari satu jam yang lalu.Pukul empat dini hari, Nicho sudah bangun. Ia melakukan pemanasan sebentar di kamarnya. Lalu, mencuci mukanya. Mengganti bajunya dengan kaos tak berlengan dan celana pendek selutut. Kaos yang dipilihnya bukan main-main, setiap lekuk otot bisepnya nampak jelas. "Woi, subuh-subuh gini ganggu orang tidur aja! Kenapa sih Co?" Eric membuka pintu kamarnya. Rambutnya masih berantakan. Sesekali ia menguap."Panggil Gracia. Takut dia lupa. Kan mau olahraga pagi,""Ya elah, bukan gitu cara panggil Gracia. Sini. Sini," Eric berjalan keluar kamarnya.Tak terbendung, Nicho langsung bisa melihat dengan jelas setelan baju tidur yang dikenakan Eric. Sebenarnya, nggak ada salah dengan mengenakan kaos dan bercelana pendek. Warna kaosnya masih aman, warna merah muda. Nggak apa-apa cowok pakai warna itu. Toh, warna bukan identik dengan jenis kelamin. Tapi, celana pendek yang diken
Sekali lagi Nicho mengecek keadaan pipa di bawah wastafel. Seperti dugaannya ternyata memang ada baut yang longgar. Ia mencoba untuk membuka keran sekali lagi. Sekarang sudah aman. "Siap. Selesai." Ia menaruh sebuah kunci linggis yang digenggamnya di sebuah kotak perkakas."Bentar. Kok kamu tahu letak posisi kotak perkakas itu?""Tadi aku iseng ngecek ke gudang belakang. Eh, ketemu. Ternyata memang masih ada disana,"'Astaga, aku hampir lupa kalau dulu dia pernah nginap disini.' pikirnya."Kamu udah siap?""Udah.""Ayo, kita berangkat. Keburu panas entar,""Iya.""Tumben kalem?""Iih, marah salah, kalem salah. Aku harus gimana sih?""Iya. Iya. Tuan Putri.""Sekarang ngapain? Katanya jalan! Kok malah berdiri aja,""Ladies first." Nicho sengaja berdiri saja. Menunggu Gracia berjalan terlebih dahulu. "Ooh!" Gracia sedikit berkomentar. Lalu, ia berjalan ke luar. Berjalan menuju pintu depan. Mereka jalan berdampingan. Sesekali Gracia berjalan di depan Nicho. Rambut ikat kudanya melambai
Perlahan matahari mulai naik. Dari pemandangan yang terasa masih agak abu-abu. Kini mulai nampak lebih jelas. Daun nampak lebih hijau. Langit nampak lebih biru. Wajah-wajah orang nampak lebih jelas.Termasuk wajah ganteng Nicho saat dipandangi Gracia. Begitupun sebaliknya, wajah cantik Gracia saat dipandang Nicho. Sungguh semakin jelas.Namun, cinta mereka masih belum jelas. Gracia masih mengganggap Nicho sebagai teman. Belum lebih. Seperti keinginan Nicho."Gracia!" Seorang wanita paruh baya itu mendekat. Memanggilnya dari arah samping. Gracia menoleh. Ia tersenyum. "Tante! Olahraga pagi-pagi juga?""Tante mah biasa. Memang suka keliling komplek. Kamu tumben jogging-jogging gini? Sekali jogging malah bawa pria ganteng. Calon kamu ya?" Ia melirik ke arah Nicho. Nicho membalasnya dengan tersenyum. "Bukan Tante. Itu loh Nicho. Nicholas. Tante masih ingat nggak?""Nicholas?""Teman sekelas Eric. Dia yang sering nginap di rumah aku. Yang gendut dan cengeng itu loh!""Oo... Nicho yang wa
Gracia dan Nicho berlari cukup jauh. Mereka sudah keluar dari komplek sedari tadi. Mereka sekarang berada di jalan M.T.Haryono, lebih tepatnya di area GOR Pangsuma. Di hari minggu, memang biasanya ada Car Free Day. Dari pagi sampai siang, sepanjang jalan Ayani dan sekitarnya sengaja ditutup dari pengendara bermotor.Warga Pontianak cukup antusias dengan adanya Car Free Day. Banyak keluarga yang memilih family time dihabiskan untuk jalan-jalan sambil olahraga santai.Jika anak-anak senang berlari kesana kemari, bapaknya bisa mengawasi dari stand makanan, sembari menikmati segelas kopi panas. Kalau ibu-ibu bisa juga membeli keperluan rumah tangga sampai berbelanja baju dengan harga yang murah.Gracia dan Nicho masih menunggu pesanan makanan masing-masing. "Hei, kok melamun?" Nicho bertanya. Sedari tadi Gracia hanya diam. Hanya melihat ke depan. Gracia tak menggubris pertanyaan Nicho. Lebih tepatnya pura-pura tak mendengarnya. Ia baru saja teringat kali ini ia harus benar-benar bilang
Gracia sengaja meninggalkan Nicho di belakang. Ia malas, apalagi senin lusa lagi-lagi akan bertemu dengannya. Bahkan, ia akan terus-menerus bertemu dengannya.Jika semua ini kembali ke masa remaja, ia tidak akan merasa terbebani seperti ini. Ia bisa saja menghabiskan waktu bersama abang-abangnya. Eric dan Nicho. Tetapi, sekarang sudah berbeda.Sejak ciuman pertama itu, ia tak bisa melupakan Nicho. Nicho yang sekarang adalah pria yang disukai banyak wanita. Kini Nicho bukanlah abang baginya, tapi seiring waktu, Nicho adalah pria baginya."Gracia, tunggu!"Nicho mengejar Gracia. Gracia kini sudah sampai di tepi trotoar, hendak menyeberang kembali ke komplek. Ia terlalu terburu-buru, sampai ia lupa untuk melihat ke kiri dan ke kanan. "Awas!" Nicho melihat ada sebuah motor yang melaju dari arah samping kiri. Gracia sebentar lagi akan menyeberang. Saat sebelum motor itu akan menabraknya, Nicho menarik lengan kanan kiri Gracia.Gracia kehilangan keseimbangan,
Nicho berjalan di depan Gracia. Ia melihat ke kiri dan ke kanan. Sudah aturan dalam menyeberang. Tangannya menggenggam tangan Gracia dengan mantap. Kuat dan stabil. Sesekali ia mengecek ke belakang, takut jika ia berjalan terlalu cepat dan Gracia tidak bisa mengikutinya.Beberapa mata mulai melirik ke arah mereka. Bukan menikmati keromantisan mereka, tetapi mengagumi Nicho. Bagaimana tidak? Dari Ibu-Ibu, remaja, laki-laki dan wanita sebayanya memasang mata kepada Nicho. Mata mereka mengikuti setiap langkah laki Nicho. Tentu saja Nicho tidak sadar, ia terlalu fokus dengan wanita yang sedang ia tuntun. Wanita dinosaurus yang galak namun tetap ceroboh. Namun, Gracia sangat sadar. Ia bahkan sekarang merasa dirinya seperti satu-satunya wanita yang beruntung. Ia tidak perlu mengagumi pria tampan seperti yang orang-orang lakukan sekarang. Malah ia sangat mengenal pria tampan ini. "Eh, cowok itu ganteng banget deh! Siapa sih dia?""Iya nih, Jeng! Kalau aku m