Gracia dan Nicho berlari cukup jauh. Mereka sudah keluar dari komplek sedari tadi. Mereka sekarang berada di jalan M.T.Haryono, lebih tepatnya di area GOR Pangsuma. Di hari minggu, memang biasanya ada Car Free Day. Dari pagi sampai siang, sepanjang jalan Ayani dan sekitarnya sengaja ditutup dari pengendara bermotor.Warga Pontianak cukup antusias dengan adanya Car Free Day. Banyak keluarga yang memilih family time dihabiskan untuk jalan-jalan sambil olahraga santai.Jika anak-anak senang berlari kesana kemari, bapaknya bisa mengawasi dari stand makanan, sembari menikmati segelas kopi panas. Kalau ibu-ibu bisa juga membeli keperluan rumah tangga sampai berbelanja baju dengan harga yang murah.Gracia dan Nicho masih menunggu pesanan makanan masing-masing. "Hei, kok melamun?" Nicho bertanya. Sedari tadi Gracia hanya diam. Hanya melihat ke depan. Gracia tak menggubris pertanyaan Nicho. Lebih tepatnya pura-pura tak mendengarnya. Ia baru saja teringat kali ini ia harus benar-benar bilang
Gracia sengaja meninggalkan Nicho di belakang. Ia malas, apalagi senin lusa lagi-lagi akan bertemu dengannya. Bahkan, ia akan terus-menerus bertemu dengannya.Jika semua ini kembali ke masa remaja, ia tidak akan merasa terbebani seperti ini. Ia bisa saja menghabiskan waktu bersama abang-abangnya. Eric dan Nicho. Tetapi, sekarang sudah berbeda.Sejak ciuman pertama itu, ia tak bisa melupakan Nicho. Nicho yang sekarang adalah pria yang disukai banyak wanita. Kini Nicho bukanlah abang baginya, tapi seiring waktu, Nicho adalah pria baginya."Gracia, tunggu!"Nicho mengejar Gracia. Gracia kini sudah sampai di tepi trotoar, hendak menyeberang kembali ke komplek. Ia terlalu terburu-buru, sampai ia lupa untuk melihat ke kiri dan ke kanan. "Awas!" Nicho melihat ada sebuah motor yang melaju dari arah samping kiri. Gracia sebentar lagi akan menyeberang. Saat sebelum motor itu akan menabraknya, Nicho menarik lengan kanan kiri Gracia.Gracia kehilangan keseimbangan,
Nicho berjalan di depan Gracia. Ia melihat ke kiri dan ke kanan. Sudah aturan dalam menyeberang. Tangannya menggenggam tangan Gracia dengan mantap. Kuat dan stabil. Sesekali ia mengecek ke belakang, takut jika ia berjalan terlalu cepat dan Gracia tidak bisa mengikutinya.Beberapa mata mulai melirik ke arah mereka. Bukan menikmati keromantisan mereka, tetapi mengagumi Nicho. Bagaimana tidak? Dari Ibu-Ibu, remaja, laki-laki dan wanita sebayanya memasang mata kepada Nicho. Mata mereka mengikuti setiap langkah laki Nicho. Tentu saja Nicho tidak sadar, ia terlalu fokus dengan wanita yang sedang ia tuntun. Wanita dinosaurus yang galak namun tetap ceroboh. Namun, Gracia sangat sadar. Ia bahkan sekarang merasa dirinya seperti satu-satunya wanita yang beruntung. Ia tidak perlu mengagumi pria tampan seperti yang orang-orang lakukan sekarang. Malah ia sangat mengenal pria tampan ini. "Eh, cowok itu ganteng banget deh! Siapa sih dia?""Iya nih, Jeng! Kalau aku m
Kedai Koopi sudah buka sejak jam enam pagi. Sepagi itu untuk memulai hari yang indah. Begitu juga dengan Stanley. Ia sudah tidak sabar untuk menghabiskan waktu dengan Gracia di akhir pekan ini. "Bro, excited banget hari ini. Kayak baru pacaran aja!""Baru atau pun lama harus tetap excited. Emang kalau kamu keluar sama istrimu nggak sesenang itu?""Yah, senang sih. Tapi jangan bandingkan istri dengan pacar dong! Entar kalau kamu udah nikah baru tahu,""Tahu apa?""Tahu kalau kamu tidak boleh lagi bersantai,""Bersantai saat kerjaan selesai boleh dong!""Anda belum tahu wahai anak muda! Yang namanya pekerjaan rumah tangga tidak ada habisnya,""Apaan sih? Udah ah... kerja.. kerja!"Tring! Bel dari atas pintu berbunyi. Tanda ada yang masuk ke kedainya. Stanley tak memandang ke arah pintu, ia duduk membelakangi. "Astaga, mereka belum datang?" Seorang wanita bersungut-sungut.Keadaan kedai masih sepi. Wanita itu mengenakan high heels. Setiap langkah kakinya berbunyi menggema di dalam ked
Jam baru menunjukkan pukul sembilan pagi saat Ana selesai sarapan dan mandi. Ia pergi ke kamarnya, mengecek gawai."Eh, Tumben Stanley bangun pagi!"(Jemput jam satu siang aja kali ya?) TringSebuah pesan masuk. (Nggak mau jam sepuluh atau sekarang kah? Biar agak lebih lama di rumahku) (Nggak ah. Nanti jadinya malah seharian aku disana. Kamu kan kebiasaan gitu!) (Yah, tak apa-apa lah sesekali.) (Cewek itu nggak boleh lama-lama di rumah cowok. Itu prinsipku.) (Iya-iya. Jam satu deh. Padahal aku udah belanja makanan ringan banyak banget loh.) (Paling nanti yang paling banyak makan adalah Anda.) (Nggak dong.) (Iya.) (Kamu lagi ngapain?) (Baru beres-beres. Kamu?) (Belanja makanan ringan. Sekarang mau balik ke kedai sekalian tunggu kamu siap) (Oke. Hati-hati di jalan ya) (Siap. Habis ini kamu ngapain?) (Istirahat di rumah sambil nikmatin kue lapis legit.) (Enaknya.) (Lebih enak bisa
(Gracia, maaf. Kedai lagi rame nih. Kamu boleh kesini nggak? Sekalian kamu makan juga disini.) Stanley mengetik dengan cepat. Semenjak Nicho ada disini dari tadi, kedai menjadi lebih ramai.(Mau nggak ya? Panas banget ini. Nanti agak lebih siang boleh kok!) Gracia membalas. Tak ada balasan lanjutan dari Nicho. "Biasa dia cepat balas deh. Ini benar-benar dia nggak bohong ya! Tumben siang-siang gini ramai. Nggak apa kali ya? Sesekali cewek yang samperin. Udah lama juga nggak kesana!"(Aku kesana ya.) Ana mengganti setelan pakaian rumahnya dengan setelan santai. Baju kaus oranye dan celana panjang berbahan kain hitam. Ia mengikat rambutnya model ekor kuda."Ok. Ini sudah rapi."Ia mengambil tas selempang. Memasukkan gawai, kunci rumah, beberapa lembar uang tunai, dan tidak lupa membawa kartu-kartu."Ma, aku keluar ya! Mau ke tempat Stanley. Nanti pulang mau sekalian nitip beli sesuatu nggak?" Ana keluar dari kamar. Mendapati mamanya sedang a
(Ana... Ana...Ana)Gracia mengetik nama Ana berulang kali di pesan. Ia sangat geram untuk memendam perasaannya kali ini. Ia harus curhat, benar-benar ia harus mencurahkan kegelisahannya."Iih, kenapa Ana nggak balas sih? Kebiasaan deh. Emang sibuk apaan sih di akhir pekan ini? Keluar sama pacarnya aja jarang. Sok sibuk sekali sih Ana. Sahabat apaan yang katanya siap kapanpun untuk sahabatnya?" Gracia menggerutu. Setelah selesai keluar jogging dengan Nicho. Ia bersembunyi di kamar. Mandi dan tetap di kamar. Bahkan ia sudah tak ada nafsu untuk makan gorengan kesukaannya."Nicho juga kemana lagi nih anak. Udah buat geger satu komplek. Sekarang yang katanya beli peralatan mandi aja lama banget. Bukannya malah luruskan masalah. Malah hilang,""Woi, dinosaurus. Ngambek mulu kerjaannya. Cepat tua loh entar!" seru Eric. Ia berdiri, menyenderkan badannya di depan pintu kamar Gracia. Pintu kamar Gracia memang sudah terbuka dari tadi. "Iih, bising. Semua itu gara
Ana dan Stanley sudah sampai di rumah Stanley. Rumahnya berlantai dua. Bergaya rumah lama yang sudah direkonstruksi ulang menjadi rumah semen berkeramik.Rumahnya nyaman, namun terasa hampa."Papa kamu memangnya kemana?""Biasa. Paling main ke rumah temannya,""Jadi jarang di rumah?""Sudahlah. Nggak perlu dibahas. Kan kita mau senang-senang,""Iih apa-apaan sih? Jangan aneh-aneh deh," Ana kaku. Stanley pergi dari ruang tamu. Masuk ke dalam rumahnya lebih dalam, masuk ke salah satu ruang."Hei, kamu mau kemana?" Ana berteriak cukup keras. Agak menggema. "Awas, kalau kamu aneh-aneh Stanley!""Katanya mau senang-senang? Kan kita mau nonton? Nggak jadi?" sahut Stanley. Kedua tangannya menggenggam remote TV dan sebuah kaset DVD."Ohh, iya jadi kok," Ana menjawab cepat."Atau ada yang mau kamu lakukan?""Nggak. Boleh kok. Nonton. Kan kita udah janji,""Let's go!"Stanley menarik lengan Ana dengan lembut. Menuju ke ruang tengah
"Saya mencintai Ananta. Tetapi, saya juga ada etikanya Stanley. Saya tidak akan merebut pacar orang." Nicho melepaskan genggaman eratnya. Menatap Ananta lamat-lamat."Namun, saya bisa pastikan, saya yang akan jadi orang pertama yang akan merebutnya jika kamu menyiakan-nyiakannya,"Nicho berbicara dengan lantang.Dari jauh, Violla mengintip. Ia tak mungkin akan melewatkan kejadian seru ini. Walaupun kehadirannya memang tidak berarti jika dia ada disana.Tentu saja Nicho akan mengusirnya."Apakah aku memang sudah tidak bisa kembali dengan Nicho?"Drrt. Gawainya bergetar."Hallo, baby! Kamu jadi datang ke pestaku?" Seorang pria meneleponnya."Iya. Aku datang." Violla dengan cepat menjawab. "Aku akan mencoba untuk mencintai pria lain. Selamat tinggal Nicho!""Ana, kamu tidak marah sama atasanmu ini? Lancang sekali dia ngomong begitu." cerca Stanley. Ia mendengus. Kakinya menendang sebuah kursi plastik sampa
Malam ini angin tak berhembus sama sekali. Walaupun Nicho, Stanley, Ananta, dan Gracia berada di tempat terbuka.Ananta masih menahan marah atas tuduhan Stanley yang tidak jelas. Yah, memang dia juga merasa bersalah. Ia mulai ragu dengan dirinya sendiri. Apakah memang harus putus?Stanley tak terima jika ia yang harus terus mengalah. Apalagi ia butuh dukungan emosi karena masih merintis usahanya. Usaha kedai kopi impiannya. Ia ingin segera mendapatkan uang yang banyak supaya bisa menghalalkan Ananta. Tapi, kenapa semakin hari hubungannya dengan Ananta semakin memburuk?Gracia gemas dengan dirinya sendiri. Kenapa tak seorang pun yang mengerti keadaannya. Semua terasa menjauh dan selalu saja membela Ananta. Padahal bukannya dia korban atas kejahatan Ananta?Nicho tak habis pikir, kenapa masalah simpel yang muncul ini bisa seruwet ini. Dari Gracia dan Ananta yang salah paham. Stanley yang protektif dengan Ananta.Padahal semua itu terjadi hanya karena kurang komunikasi. That's it."Nicho
Kantor sudah sepi. Ananta melirik jam tangan yang dikenakannya. Pukul 20.31.Sepanjang jalan ia hanya menemui rumput hijau taman kantor dan lampu kantor di sisi taman."Sepertinya aku tunggu di pos satpam saja." gumamnya.Ia merapatkan jaket yang ia kenakan. Menuju pos satpam yang hanya memerlukan sekitar sepuluh langkah.Sesampainya ia disana, ia tak menemukan seorang pun."Televisi masih nyala. Lampu di pos juga masih nyala. Kemana Bapak satpamnya? Apa mungkin pratoli?"Ananta adalah tipe orang yang positif. Bahkan dalam hal ini saja ia tidak berpikir negatif mengenai keberadaan satpam ada dimana.Ia tak ambil pusing. Menarik salah satu kursi bakso disana dan duduk."Apa Pak Nicho masih lama?" gumamnya."Ananta!" panggil seseorang dari belakang."Stanley? Kenapa kamu selalu muncul tiba-tiba?" Ia menoleh ke belakang. "Dan kamu mengagetkanku,""Yah, tentu saja bisa. Karena pesanku dari tadi saja belum dibaca. Kalau kamu nggak di hotel, yah pasti di kantor," lanjutnya sambil mengambil
Nicho kembali ke meja kerjanya. Setelah minum segelas air gula, ia merasa kondisinya mulai pulih kembali.Dengan langkah yang masih terasa berat dan kepalanya masih terasa sakit, ia bergerak. Berjalan beberapa sentimeter dan duduk dengan mantap di kursi kerjanya.Matanya langsung menangkap benda kecil berwarna merah yang diletakkan di atas laptopnya. Sebuah flashdisk."Ini bukannya flashdisk yang kupinjamkan kepada Ana? Apakah pekerjaannya sudah selesai?"Nicho membuka laptopnya dan memeriksa data yang berada di dalam flashdisk.Ia membaca dengan seksama setiap kata. Setiap kalimat. Setiap paragraf. Matanya berbinar.Ia menegakkan badannya."Ini baru naskah yang ingin kubaca. Tidak salah jika Ananta bisa dijadikan calon kepala divisi penulis. Tetapi sepertinya aku harus mempertimbangkannya lagi. Hubungan dia dan Gracia telah usai. Hal ini pasti akan menjadi hambatan dalam kinerja kerja. Apalagi gosip tidak sedap yang ter
"Aku tanya dan kalian malah bengong disini. Nicho yang kalian maksud itu Nicholas Alexus bukan?" Violla bertanya memastikan. Kini ia menggebu-gebu. Ia harus segera tahu jawabannya.Kali ini siapa lagi yang bisa ambil hati selain Gracia. Tetapi itu nggak mungkin. Jika iya, apakah wanita itu lebih baik daripada Violla?"Kamu seharusnya jawab dulu pertanyaanku," Stanley nggak mau kalah. Jika ia harus menjawab, setidaknya lawan bicaranya dulu yang harus menjawab. Itu yang namanya baru adil."Aku rasa, pertanyaanmu tidak penting. Aku itu punya kaki dan punya uang. Aku bisa kemana aja yang aku mau. Bahkan kalian bisa disini saja, aku tidak perlu harus bertanya panjang lebar, kenapa kalian ada di Jakarta,""Kamu membuntutiku ya? Dan kenapa kamu bisa kenal sama Nicho?" Stanley bertanya lagi. Otaknya kini haus akan jawaban."Jangan menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan yang tidak penting," geramnya.Ia menggeser pandangannya ke arah Gra
"Ini soal apaan sih? Matematika kok malah buat kepala jadi mumet. Nah gini nih, catatan diajarin gimana. Tugasnya kayak gimana. Ini sih Nicho harus kesini. Nggak mau tahu. Masa dia bisa tidur nyenyak dan aku begadang kayak gini,"Eric beranjak duduk ke tempat tidurnya. Duduk disana dan menyentuh layar gawainya. Mencari kontak Nicho."Apaan?" Nicho menjawab dari seberang."Eh, orang kalau angkat telepon itu bilang hallo. Bukan apaan?""Itu untuk orang lain bukan untukmu. Karena kalau kau telepon malam-malam pasti ada maunya,""Tahu aja,""Iya, adanya tahu aja, tempe lagi habis,""Sekarang ke rumah aku!""Nggak,""Cepat banget jawabnya. Sat set tanpa mikir. Mikir dulu kek. Yakin? Nggak mau pikir dua kali?""Kenapa harus pikir 2 kali?""Gracia belum tidur loh!"Nicho tersontak. Yang tadi posisi tidur di atas ranjangnya. Ia bangkit duduk."Lalu, apa. Kenapa. Apa hubungann
Restoran makanan penutup sedang tidak ramai. Selain Gracia dan Stanley. Hanya ada 2 meja yang terisi.Mungkin sekarang kebanyakan orang mencari makanan berat setelah lelahnya bekerja seharian. Mencari rezeki untuk menikmati makanan enak setiap hari.Gracia menatap tajam ke arah Stanley. Tentu saja ia tak bisa menerima pria bucin di depannya ini menghina Nicho. Nicho yang adalah sahabatnya dari kecil dan sebenarnya juga cinta pertamanya.Cinta pertama yang ia sendiri kandaskan begitu saja.Masih ingat dengan kejadian bab 99?Inilah sambungannya.Setelah Eric meninggalkan Nicho dan Gracia di sekolah. Nicho tak langsung mengantar Gracia pulang. Ia mengajak Gracia untuk makan sore terlebih dahulu."Kamu ajak aku makan bakso? Aku nggak ada selera,""Hei, makan selagi kamu masih bisa makan. Kita hidupnya masih enak. Masih bisa makan apa yang kita mau,""Bukan itu maksudnya,""Atau kita makan es krim
"Ananta itu keterlaluan. Sok jodohin aku sama Nicho. Tanya-tanya ke aku, masa nggak cinta sama Nicho. Pret. Busuk itu semua," Gracia mengomel. Ia tak mau lebih lama disana. Sudah 10 menit yang lalu ia pergi dari kantor Nicho.Sekarang ia duduk di sebuah kedai kopi. Seperti biasa ia memilih kopi sebagai pendampingnya."Eh, ada Gracia disini. Aku boleh duduk disini?" Seorang pria mendekat."Stanley? Kok kamu bisa disini?" Gracia bertanya dengan bingung."Pertanyaanku dijawab dulu dong!""Nggak boleh. Duduk di kursi lain aja. Aku lagi pengen sendiri,""Tapi aku lagi mau ngobrol sama kamu. Gimana?""Kalau kamu nggak pergi. Aku yang pergi. Bye." Gracia turun dari kursi tinggi kedai. Mengambil gelas strerofoam yang masih berisikan dengan kopi panas."Hei!" panggil Stanley. Ia menyusul sampai ke luar kedai dan terus membuntuti Gracia.Gracia terus berjalan. Menyeberang di penyeberangan jalan, melewati taman ke
Ananta melihat ke kiri dan ke kanan. Sepi. Di ruangan kerja sebesar itu hanya dia seorang."Kalau aku turun ke bawah, mungkin tidak apa-apa kali ya? Tapi kalau Pak Nicho memang butuh bantuan cepat gimana? Aku cek dulu aja deh."Ia berjongkok. Ini pertama kalinya ia melihat wajah Nicho sedekat itu. Wajahnya kalem dan tenang. Alisnya tebal dengan bulu mata yang melengkung indah di kedua mata. Bibir semerah buah delima dengan kulit berwarna kulit langsat."Ternyata jika dipandang dekat dan saat tidak sedang berekpresi, muka Pak Nicho lebih bersinar. Apa yang membuatnya memiliki beban sebesar ini?""Pak Nicho!" Ia memanggil dan mengguncangkan tubuh Nicho dengan pelan. Namun, Nicho tak ada pergerakan sama sekali."Maaf pak. Saya izin sentuh kening Bapak ya! Astaga, panas sekali. Ini sih demam. Sebentar pak! Saya panggil satpam untuk bantu ya!" pekiknya.Saat Ananta sudah akan berdiri, Nicho menarik pergelangan tangannya. "Jangan tinggalkan aku! Jangan! Saya mohon, Gracia."Ananta kembali b