(Gracia, maaf. Kedai lagi rame nih. Kamu boleh kesini nggak? Sekalian kamu makan juga disini.) Stanley mengetik dengan cepat. Semenjak Nicho ada disini dari tadi, kedai menjadi lebih ramai.(Mau nggak ya? Panas banget ini. Nanti agak lebih siang boleh kok!) Gracia membalas. Tak ada balasan lanjutan dari Nicho. "Biasa dia cepat balas deh. Ini benar-benar dia nggak bohong ya! Tumben siang-siang gini ramai. Nggak apa kali ya? Sesekali cewek yang samperin. Udah lama juga nggak kesana!"(Aku kesana ya.) Ana mengganti setelan pakaian rumahnya dengan setelan santai. Baju kaus oranye dan celana panjang berbahan kain hitam. Ia mengikat rambutnya model ekor kuda."Ok. Ini sudah rapi."Ia mengambil tas selempang. Memasukkan gawai, kunci rumah, beberapa lembar uang tunai, dan tidak lupa membawa kartu-kartu."Ma, aku keluar ya! Mau ke tempat Stanley. Nanti pulang mau sekalian nitip beli sesuatu nggak?" Ana keluar dari kamar. Mendapati mamanya sedang a
(Ana... Ana...Ana)Gracia mengetik nama Ana berulang kali di pesan. Ia sangat geram untuk memendam perasaannya kali ini. Ia harus curhat, benar-benar ia harus mencurahkan kegelisahannya."Iih, kenapa Ana nggak balas sih? Kebiasaan deh. Emang sibuk apaan sih di akhir pekan ini? Keluar sama pacarnya aja jarang. Sok sibuk sekali sih Ana. Sahabat apaan yang katanya siap kapanpun untuk sahabatnya?" Gracia menggerutu. Setelah selesai keluar jogging dengan Nicho. Ia bersembunyi di kamar. Mandi dan tetap di kamar. Bahkan ia sudah tak ada nafsu untuk makan gorengan kesukaannya."Nicho juga kemana lagi nih anak. Udah buat geger satu komplek. Sekarang yang katanya beli peralatan mandi aja lama banget. Bukannya malah luruskan masalah. Malah hilang,""Woi, dinosaurus. Ngambek mulu kerjaannya. Cepat tua loh entar!" seru Eric. Ia berdiri, menyenderkan badannya di depan pintu kamar Gracia. Pintu kamar Gracia memang sudah terbuka dari tadi. "Iih, bising. Semua itu gara
Ana dan Stanley sudah sampai di rumah Stanley. Rumahnya berlantai dua. Bergaya rumah lama yang sudah direkonstruksi ulang menjadi rumah semen berkeramik.Rumahnya nyaman, namun terasa hampa."Papa kamu memangnya kemana?""Biasa. Paling main ke rumah temannya,""Jadi jarang di rumah?""Sudahlah. Nggak perlu dibahas. Kan kita mau senang-senang,""Iih apa-apaan sih? Jangan aneh-aneh deh," Ana kaku. Stanley pergi dari ruang tamu. Masuk ke dalam rumahnya lebih dalam, masuk ke salah satu ruang."Hei, kamu mau kemana?" Ana berteriak cukup keras. Agak menggema. "Awas, kalau kamu aneh-aneh Stanley!""Katanya mau senang-senang? Kan kita mau nonton? Nggak jadi?" sahut Stanley. Kedua tangannya menggenggam remote TV dan sebuah kaset DVD."Ohh, iya jadi kok," Ana menjawab cepat."Atau ada yang mau kamu lakukan?""Nggak. Boleh kok. Nonton. Kan kita udah janji,""Let's go!"Stanley menarik lengan Ana dengan lembut. Menuju ke ruang tengah
Hening menyeliputi Stanley dan Ana. Stanley tidak menyangka jika masalah yang selama ini ia pendam sendiri akan terungkap dengan jalan seperti ini. Jika suatu saat hal itu akan terungkap, setidaknya itu harus dari pengakuan dari dirinya, bukan seperti ini."Memang tidak ada yang bisa aku sembunyikan dari kamu ya,""Hei, jangan ngomong gitu dong. Seharusnya, hal seperti ini kamu cerita sama aku. Kenapa kamu nggak tanya saran aku atau biasa kan kamu tanya saran papa kamu?""Sebenarnya aku nggak mau ini akan jadi beban pikiran kamu. Jika kedai ini nggak sukses, aku yang akan lebih malu sama kamu. Masa tiap kali rencana atau bisnis apapun, selalu berhenti di tengah jalan? Calon suami apaan aku?" Stanley menghempaskan napasnya berat. "Maaf, aku terlalu mendesak kamu ya? Kan aku udah bilang. Pelan-pelan saja. Kamu masih muda, umurmu masih dua puluh empat tahun,""Tuh kan, kamu selalu bilang hal itu. Kalau aku pelan-pelan memangnya kamu bisa nunggu aku sampai kapan?""Hal ini tentu saja ak
"Sekarang antarin aku pulang?""Eh, kok cepat banget pulangnya. Tinggal beberapa saat lagi ya!""Aku mau pulang, Ley!" Ana membalas dengan wajah tanpa ekspresi. "Oke. Oke. Kita pulang!"Stanley menurut saja. Ia tak mau memaksa lagi. "Kita ke kedai ya. Ambil motormu,""Iya."Selama perjalanan Ana tak banyak bicara. Begitu juga dengan Stanley. Ia bingung harus bilang apa. Dengan meminjam uang dari pacar sendiri saja sudah hal yang memalukan bagi dirinya. Dan kenapa Ana harus tahu tentang utang ini?Mereka telah sampai di kedai. Ana langsung berjalan menuju motornya. "Mau aku temani sampai rumah?""Nggak perlu. Aku bisa sendiri kok. Kamu urus kedai kamu aja. Sepertinya ramai sekali. Pegawaimu butuh bantuan,""Yakin?""Iya. Yakin kok. Semangat ya!""Iya. Kamu juga ya!""Selalu.""Oh ya, hari minggu besok kamu mau ngapain?""Mm, belum ada rencana sih,""Kalau boleh aku... ""Bro, untung kau udah sampai. Itu di dalam kami kewalahan banget. Tolong ya!" Temannya memanggil dari belakang. "Eh
"Akhirnya selesai mandi juga. Kalau gini kan segar." seru Ana pada dirinya sendiri. "Makan dulu kali ya!" Setelah berganti pakaian. Ia keluar dari kamar.Untuk beberapa saat kemudian, ia kembali. Saat ini tenaganya sudah pulih. Siap mendengar penjelasan dari Gracia yang pesan-pesannya tadi masih mengena di hati. "Aku harus segera tahu, kenapa Gracia ngambek kayak gini,"(Sekarang kamu baru hidup? Kemana aja dari tadi? Kamu sekarat?)Ana segera mencari kontak Gracia. Mengetuk sebuah gagang telepon berwarna hijau di layar."Halo!" Terdengar sapaan dari sana. "Hai, Cia! Kamu kenapa? Kamu kesal sama siapa? Sampai-sampai aku kena juga,""Jangan sok perhatian deh! Pertama aku cuman kesal sama satu orang. Sekarang malah nambah kesal sama satu orang lagi,""Siapa?""Jangan berlagak bodoh deh!""Aku?""Iya. Siapa lagi?""Hei, Cia. Keterlaluan kamu. Kenapa sih? Aku kan cuman nggak balas hanya dalam waktu beberapa jam. Bukan beberapa hari. Kalau kamu mau curhat, curhat aja. Aku dengar kok. Tap
"Udah salah. Sekarang malah dimatikan teleponnya. Emang ya, dasar serigala berbulu domba." Gracia melempar gawainya ke kasur. Sedangkan dirinya bangkit berdiri dari atas tempat tidurnya.Ia menengok ke belakang. Selimutnya berantakan. Bantal dan guling juga dalam kondisi berantakan. "Se kesal itu aku sama kamu, Ana. Bahkan masalah Nicho sampai tidak ada lebih parahnya dari masalah dengan kamu. Bahkan, tadi aku sampai keceplosan tentang Bu Lina. Tapi, itu lebih bagus daripada aku harus pura-pura tak mengetahuinya sama sekali."Tring.Sebuah pesan masuk. (Cia, maaf. Aku terlepas tadi. Seharusnya aku nggak bilang kamu gila. Aku nggak mau hubungan persahabatan kita jadi buruk. Aku mohon, Cia. Balas pesan ini.) Gracia mengintip dari notifikasi."Persetan dengan katamu. Sekarang malah aku bingung, aku harus ngapain saat senin depan dan minggu-minggu berikutnya. Di satu sisi ingin menghindar dari Nicho, di lain sisi menjauhi Bu Lina. Sekarang malah ditam
Jam sudah menunjukkan pukul enam sore. Lampu di dalam hotel sengaja dinyalakan semua. Nicho tak lagi ada di meja kerjanya sejak setengah jam yang lalu.Ia sudah mencoba untuk bekerja lagi, setelah ditelepon Eric. Namun, tetap saja konsentrasinya selalu buyar.Ia berdiri di dapur. Ia baru saja memasukkan roti ke mesing pemanggang."Saya nggak bisa tinggal diam aja disini. Bisa-bisa saya nggak bisa tidur dan akan terus kepikiran,"Nicho berlari pelan menuju kamarnya. Mengambil dompet dan kunci mobil. Roti bakar telah siap saat ia kembali ke dapur.Ia mengambilnya, lantas mengapit tepi roti itu dengan mulutnya. Dengan cepat ia mematikan lampu dapurnya. Segera keluar dari ruangan hotel, menuju ke rumah Gracia."Semoga kamu baik-baik aja Gracia!"Saat ia masuk ke dalam lift, bertepatan juga di lift sebelah ada segerombolan wanita tiba di lantai tersebut. Salah seorang dari mereka berseru, "Vio, terima kasih ya sudah diantar sampai kesini. Aku masuk ke kam
"Saya mencintai Ananta. Tetapi, saya juga ada etikanya Stanley. Saya tidak akan merebut pacar orang." Nicho melepaskan genggaman eratnya. Menatap Ananta lamat-lamat."Namun, saya bisa pastikan, saya yang akan jadi orang pertama yang akan merebutnya jika kamu menyiakan-nyiakannya,"Nicho berbicara dengan lantang.Dari jauh, Violla mengintip. Ia tak mungkin akan melewatkan kejadian seru ini. Walaupun kehadirannya memang tidak berarti jika dia ada disana.Tentu saja Nicho akan mengusirnya."Apakah aku memang sudah tidak bisa kembali dengan Nicho?"Drrt. Gawainya bergetar."Hallo, baby! Kamu jadi datang ke pestaku?" Seorang pria meneleponnya."Iya. Aku datang." Violla dengan cepat menjawab. "Aku akan mencoba untuk mencintai pria lain. Selamat tinggal Nicho!""Ana, kamu tidak marah sama atasanmu ini? Lancang sekali dia ngomong begitu." cerca Stanley. Ia mendengus. Kakinya menendang sebuah kursi plastik sampa
Malam ini angin tak berhembus sama sekali. Walaupun Nicho, Stanley, Ananta, dan Gracia berada di tempat terbuka.Ananta masih menahan marah atas tuduhan Stanley yang tidak jelas. Yah, memang dia juga merasa bersalah. Ia mulai ragu dengan dirinya sendiri. Apakah memang harus putus?Stanley tak terima jika ia yang harus terus mengalah. Apalagi ia butuh dukungan emosi karena masih merintis usahanya. Usaha kedai kopi impiannya. Ia ingin segera mendapatkan uang yang banyak supaya bisa menghalalkan Ananta. Tapi, kenapa semakin hari hubungannya dengan Ananta semakin memburuk?Gracia gemas dengan dirinya sendiri. Kenapa tak seorang pun yang mengerti keadaannya. Semua terasa menjauh dan selalu saja membela Ananta. Padahal bukannya dia korban atas kejahatan Ananta?Nicho tak habis pikir, kenapa masalah simpel yang muncul ini bisa seruwet ini. Dari Gracia dan Ananta yang salah paham. Stanley yang protektif dengan Ananta.Padahal semua itu terjadi hanya karena kurang komunikasi. That's it."Nicho
Kantor sudah sepi. Ananta melirik jam tangan yang dikenakannya. Pukul 20.31.Sepanjang jalan ia hanya menemui rumput hijau taman kantor dan lampu kantor di sisi taman."Sepertinya aku tunggu di pos satpam saja." gumamnya.Ia merapatkan jaket yang ia kenakan. Menuju pos satpam yang hanya memerlukan sekitar sepuluh langkah.Sesampainya ia disana, ia tak menemukan seorang pun."Televisi masih nyala. Lampu di pos juga masih nyala. Kemana Bapak satpamnya? Apa mungkin pratoli?"Ananta adalah tipe orang yang positif. Bahkan dalam hal ini saja ia tidak berpikir negatif mengenai keberadaan satpam ada dimana.Ia tak ambil pusing. Menarik salah satu kursi bakso disana dan duduk."Apa Pak Nicho masih lama?" gumamnya."Ananta!" panggil seseorang dari belakang."Stanley? Kenapa kamu selalu muncul tiba-tiba?" Ia menoleh ke belakang. "Dan kamu mengagetkanku,""Yah, tentu saja bisa. Karena pesanku dari tadi saja belum dibaca. Kalau kamu nggak di hotel, yah pasti di kantor," lanjutnya sambil mengambil
Nicho kembali ke meja kerjanya. Setelah minum segelas air gula, ia merasa kondisinya mulai pulih kembali.Dengan langkah yang masih terasa berat dan kepalanya masih terasa sakit, ia bergerak. Berjalan beberapa sentimeter dan duduk dengan mantap di kursi kerjanya.Matanya langsung menangkap benda kecil berwarna merah yang diletakkan di atas laptopnya. Sebuah flashdisk."Ini bukannya flashdisk yang kupinjamkan kepada Ana? Apakah pekerjaannya sudah selesai?"Nicho membuka laptopnya dan memeriksa data yang berada di dalam flashdisk.Ia membaca dengan seksama setiap kata. Setiap kalimat. Setiap paragraf. Matanya berbinar.Ia menegakkan badannya."Ini baru naskah yang ingin kubaca. Tidak salah jika Ananta bisa dijadikan calon kepala divisi penulis. Tetapi sepertinya aku harus mempertimbangkannya lagi. Hubungan dia dan Gracia telah usai. Hal ini pasti akan menjadi hambatan dalam kinerja kerja. Apalagi gosip tidak sedap yang ter
"Aku tanya dan kalian malah bengong disini. Nicho yang kalian maksud itu Nicholas Alexus bukan?" Violla bertanya memastikan. Kini ia menggebu-gebu. Ia harus segera tahu jawabannya.Kali ini siapa lagi yang bisa ambil hati selain Gracia. Tetapi itu nggak mungkin. Jika iya, apakah wanita itu lebih baik daripada Violla?"Kamu seharusnya jawab dulu pertanyaanku," Stanley nggak mau kalah. Jika ia harus menjawab, setidaknya lawan bicaranya dulu yang harus menjawab. Itu yang namanya baru adil."Aku rasa, pertanyaanmu tidak penting. Aku itu punya kaki dan punya uang. Aku bisa kemana aja yang aku mau. Bahkan kalian bisa disini saja, aku tidak perlu harus bertanya panjang lebar, kenapa kalian ada di Jakarta,""Kamu membuntutiku ya? Dan kenapa kamu bisa kenal sama Nicho?" Stanley bertanya lagi. Otaknya kini haus akan jawaban."Jangan menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan yang tidak penting," geramnya.Ia menggeser pandangannya ke arah Gra
"Ini soal apaan sih? Matematika kok malah buat kepala jadi mumet. Nah gini nih, catatan diajarin gimana. Tugasnya kayak gimana. Ini sih Nicho harus kesini. Nggak mau tahu. Masa dia bisa tidur nyenyak dan aku begadang kayak gini,"Eric beranjak duduk ke tempat tidurnya. Duduk disana dan menyentuh layar gawainya. Mencari kontak Nicho."Apaan?" Nicho menjawab dari seberang."Eh, orang kalau angkat telepon itu bilang hallo. Bukan apaan?""Itu untuk orang lain bukan untukmu. Karena kalau kau telepon malam-malam pasti ada maunya,""Tahu aja,""Iya, adanya tahu aja, tempe lagi habis,""Sekarang ke rumah aku!""Nggak,""Cepat banget jawabnya. Sat set tanpa mikir. Mikir dulu kek. Yakin? Nggak mau pikir dua kali?""Kenapa harus pikir 2 kali?""Gracia belum tidur loh!"Nicho tersontak. Yang tadi posisi tidur di atas ranjangnya. Ia bangkit duduk."Lalu, apa. Kenapa. Apa hubungann
Restoran makanan penutup sedang tidak ramai. Selain Gracia dan Stanley. Hanya ada 2 meja yang terisi.Mungkin sekarang kebanyakan orang mencari makanan berat setelah lelahnya bekerja seharian. Mencari rezeki untuk menikmati makanan enak setiap hari.Gracia menatap tajam ke arah Stanley. Tentu saja ia tak bisa menerima pria bucin di depannya ini menghina Nicho. Nicho yang adalah sahabatnya dari kecil dan sebenarnya juga cinta pertamanya.Cinta pertama yang ia sendiri kandaskan begitu saja.Masih ingat dengan kejadian bab 99?Inilah sambungannya.Setelah Eric meninggalkan Nicho dan Gracia di sekolah. Nicho tak langsung mengantar Gracia pulang. Ia mengajak Gracia untuk makan sore terlebih dahulu."Kamu ajak aku makan bakso? Aku nggak ada selera,""Hei, makan selagi kamu masih bisa makan. Kita hidupnya masih enak. Masih bisa makan apa yang kita mau,""Bukan itu maksudnya,""Atau kita makan es krim
"Ananta itu keterlaluan. Sok jodohin aku sama Nicho. Tanya-tanya ke aku, masa nggak cinta sama Nicho. Pret. Busuk itu semua," Gracia mengomel. Ia tak mau lebih lama disana. Sudah 10 menit yang lalu ia pergi dari kantor Nicho.Sekarang ia duduk di sebuah kedai kopi. Seperti biasa ia memilih kopi sebagai pendampingnya."Eh, ada Gracia disini. Aku boleh duduk disini?" Seorang pria mendekat."Stanley? Kok kamu bisa disini?" Gracia bertanya dengan bingung."Pertanyaanku dijawab dulu dong!""Nggak boleh. Duduk di kursi lain aja. Aku lagi pengen sendiri,""Tapi aku lagi mau ngobrol sama kamu. Gimana?""Kalau kamu nggak pergi. Aku yang pergi. Bye." Gracia turun dari kursi tinggi kedai. Mengambil gelas strerofoam yang masih berisikan dengan kopi panas."Hei!" panggil Stanley. Ia menyusul sampai ke luar kedai dan terus membuntuti Gracia.Gracia terus berjalan. Menyeberang di penyeberangan jalan, melewati taman ke
Ananta melihat ke kiri dan ke kanan. Sepi. Di ruangan kerja sebesar itu hanya dia seorang."Kalau aku turun ke bawah, mungkin tidak apa-apa kali ya? Tapi kalau Pak Nicho memang butuh bantuan cepat gimana? Aku cek dulu aja deh."Ia berjongkok. Ini pertama kalinya ia melihat wajah Nicho sedekat itu. Wajahnya kalem dan tenang. Alisnya tebal dengan bulu mata yang melengkung indah di kedua mata. Bibir semerah buah delima dengan kulit berwarna kulit langsat."Ternyata jika dipandang dekat dan saat tidak sedang berekpresi, muka Pak Nicho lebih bersinar. Apa yang membuatnya memiliki beban sebesar ini?""Pak Nicho!" Ia memanggil dan mengguncangkan tubuh Nicho dengan pelan. Namun, Nicho tak ada pergerakan sama sekali."Maaf pak. Saya izin sentuh kening Bapak ya! Astaga, panas sekali. Ini sih demam. Sebentar pak! Saya panggil satpam untuk bantu ya!" pekiknya.Saat Ananta sudah akan berdiri, Nicho menarik pergelangan tangannya. "Jangan tinggalkan aku! Jangan! Saya mohon, Gracia."Ananta kembali b