"Iih kok banyak nyamuk sih disini?" gerutu Gracia. "Bukannya menenangkan jiwa malah lama-lama aku bisa kehabisan darah disini."Taman di rumahnya tidak terlalu besar. Hanya ada sebuah kursi taman panjang, ada kolam batu kecil di tengah-tengah taman itu. Selebihnya ada tanaman seperti kamboja, cabe, bunga telang, daun pandan, dan rumput-rumput yang selalu tumbuh. Semua itu tertata rapi di tangan tukang kebunnya. Sedangkan di pinggir taman, ada sebuah pohon jambu yang cukup tinggi dan rindang."Ya iyalah banyak. Kamu kan nggak hidupin lampu," Nicho berseru dari belakang. Ia menyalakan sebuah lampu taman. Tepat berada di samping Gracia."Silau tahu?""Geser aja duduknya. Saya duduk di sini,"Gracia menurut. "Kamu kenapa kesini?""Saya hanya sedang kebetulan lewat tadi. Cari makanan pencuci mulut,""Jauh amat sampai cari kesini?""Kan saya sudah lama nggak pulang Pontianak. Jadi, saya agak lupa. Kenapa kamu duduk disini? Udah tahu banyak nyamuk,""Mau tahu aja! Sana-sana, nanti kalau dili
Ana membuka matanya perlahan. Pelan-pelan ia tersadar dari tidurnya."Aku ternyata benar-benar ketiduran ya. Sekarang jam berapa ya?" Ana memutuskan untuk duduk di pinggir tempat tidurnya. Kakinya dibiarkan tergantung ke bawah."Sudah pukul tujuh malam ya!" Ana kembali membuka pesan di gawainya. "Tidak ada balasan dari Gracia. Apa aku besok langsung ke rumahnya aja?"Dengan sekuat tenaganya, ia turun dari tempat tidurnya. Energinya seperti terkuras habis. Masalah hati dengan Stanley saja belum ada jawabannya, sekarang ditambah Gracia."Ini adalah sakit hati paling parah, Cia. Aku masih memilih untuk diam dengan partner kerja lainnya dibandingkan sama kamu, Cia. Kamu yang paling ngerti aku. Kamu yang selalu ada untuk aku. Kamu satu-satunya partner kerja dan sahabat yang paling mengenal aku. Kenapa bisa gini sih?" Ana berjalan mondar-mandir di kamarnya yang masih gelap. "Kamu ada ngomong apaan ke Bu Lina sih Ana? Ingat-ingat dong!"Ia mengacak-acak rambutnya. Ia mencoba untuk menerka-ne
Ana lebih memilih tak menggubris pernyataan Stanley saat makan malam. Sebenarnya, ia sedang malas berbicara. Biarlah Stanley berpikir bahwa ia murung karena uangnya dipinjam.Sebenarnya, normal juga kalau ceweknya akan merasa sedih karena harus mengeluarkan uang tabungannya untuk usaha pacarnya. Iya kan?"Ana, aku janji. Aku akan mengembalikan uangmu seutuhnya. Tapi, apakah karena hal ini posisiku sebagai calon menantuku bisa terancam?""Mungkin sebelum kamu dicoret sebagai calon menantu, kamu sudah akan kucoret sebagai calon suamiku terlebih dahulu,""Yah. Aku kecewa nih. Kamu ah, suka ngomong gitu,""Yah iya, aku realistis aja. Kamu harus mulai bisa belajar mandiri. Aku yakin kamu bisa berjuang di dunia yang serba rumit ini," Ana mencoba untuk menenangkan dirinya atau mungkin malah mengacaukan pikiran Stanley."Iya dong. Aku mandiri. Buktinya aku mampu mendirikan Kedai Koopi. Aku bisa menjadi pengusaha di usia muda," katanya menyombongkan diri. Sombong sedikit bisa menyelamatkan har
"Hai, My name is Violla. Teruntuk bab ini aku akan mengambil alih. Dari awal sampai akhir bab ke-61 ini sudah kubajak. Semoga kalian tidak keberatan ya," Salam damai dari Violla.***Musim salju tengah melanda kota Paris saat ini. Orang-orang sudah mulai mengenakan mantel musim dingin. Untungnya, ini baru hari pertama masuknya musim salju, jadi jalanan belum nampak adanya tumpukan salju yang menggunung.Dari dalam kedai kopi, Violla menghangatkan dirinya. Pemanas di dalam kedai juga sudah dinyalakan oleh pemiliknya. Sebenarnya ia tidak berencana untuk keluar di tengah salju seperti ini, tapi daripada hanya duduk di hotel, terasa membosankan.Dari ekor matanya, ia kadang mendapati beberapa pria asing melirik dirinya. Malas untuk diajak mengobrol, ia memilih untuk memainkan gawainya. Melihat obrolan dengan orang yang sedang ditunggunya saat ini, selama ini, lebih tepatnya."Nicho, kamu tidak lupa dengan janji kita esok hari kan? Jangan lupa pakai pakaian yang aku rekomendasikan kemarin
Gracia menghabiskan semangkuk besar salad buah. Jika perutnya tidak memberikan peringatan full tank, mungkin saja ia akan habiskan semangkok besar lagi."Badan kecil tapi perutnya besar," goda Nicho."Hei, ini kan nggak buat gendut,""Iya. Pasti dong. Emang apa sih yang bisa buat kamu gendut? Badan kamu kecil gini kok. Makan yang banyak saja. Jangan buang energi kamu untuk menyerap hal-hal negatif. Lebih baik isi dengan hal-hal positif,""Masa iya?""Ya, iya. Buktinya saya bisa sukses gini kan? Olah hal negatif itu jadi hal yang positif. Ambil hikmahnya. Lagian, ibu-ibu tetangga itu tidak tahu kejadian sebenarnya. Saya yakin mulai besok pagi mereka sudah akan lupa,""Bukan itu masalahnya. Kalau hal itu sih bodoh amat. Mau mereka jungkir balik, ngegosip sana-sini. Asalkan tak menganggu hidupku masih oke,""Ya elah...tapi tadi pagi ngurung diri di kamar tuh," Eric menyeletuk saat ia ke dapur. Mengambil segelas air putih."Berisik!" Gracia protes. Ia mencari sesuatu untuk dilempar. Ketem
"Ana, kamu kenapa? Dari tadi diam aja," Ia menatapnya lamat-lamat. "Entahlah. Hanya berpikir mengenai hal random," "Tentang hubungan kita?" "Untuk kali ini bukan itu. Ada lah masalah kantor," "Kenapa? Cerita lah!" "Nggak dulu ya. Aku mau beresin masalah ini dulu. Kalau sekarang aku cerita pasti kamu akan bela aku juga, dan aku nggak mau itu. Mana tahu ternyata aku yang salah," "Iya, nggak apa-apa kalau kamu belum siap cerita. Tapi untungnya kamu nggak galaukan hubungan kita," "Hei, jangan gitulah!" Ana tersenyum sesaat. Tak sengaja matanya bertemu dengan jam dinding yang tergantung di samping televisi. Pukul 20.00. "Ini udah jam delapan malam. Kamu pulang ya," "Yah, aku diusir lagi," "Hei, besok kamu kerja lagi," "Iya. Iya, bos! Peluk dulu ya." Ananta menerima pelukannya. Nyaman, namun belum ada rasa. Ia kembali masuk ke dalam kamar setelah Stanley pulang dengan motor ninjanya. Hatinya kembali kalut. Ia semakin khawatir tentang hubungannya dengan Gracia. "Jika kamu juga
Pagi telah datang. Di pagi hari ini cuacanya lebih dingin dan lebih lembab. Sejak dari jam dua subuh, hujan terus mengguyur kota Pontianak. Hujannya awet."Pagi-pagi malah udah hujan salju," Ananta menamainya hujan salju. Gerimis yang turunnya tidak menimbulkan bunyi dan nampak halus seperti turunnya salju.Ia sudah sadar 100% namun kali ini bangun saja terasa berat baginya. Ia memilih untuk berbaring sejenak di atas tempat tidurnya.Kira-kira sepuluh menit ia gunakan untuk merenungi lewat batinnya."Ini saatnya aku bangun, aku harus siap-siap ke rumah Gracia. Bodoh amat, aku diterima atau nggak," Ananta bangkit dari tempat tidurnya. Keluar dari kamar tidurnya menuju ke kamar mandi.***Malamnya dipenuhi dengan tangisan, sehingga cara tidurnya juga tidak menenangkan. Tapi Gracia belum mau bangun. Ia masih memaksakan matanya tetap terpejam. Selimutnya yang agak berantakan, dinaikkannya sampai menutupi badannya."Toh, jam masih menunjukkan pukul enam pagi. Tidur saja lah."Ia berguling-
Hujan masih saja awet menghujam bumi. Namun, setidaknya tidak separah tadi pagi. Ananta tidak perlu mengenakan mantel."Pagi-pagi kok udah mandi? Tumben? Nggak lupa kalau hari ini akhir pekan kan?" Ibu Ana berseru dari dapur. Ia melihat Ananta sekilas saat Ana keluar dari kamar mandi."Aku ingat kalau hari ini hari minggu kok, ma. Aku mau ke rumah Gracia,""Tumben? Harus sepagi ini? Nanti kamu ganggu tidurnya. Kan kamu pernah bilang kalau hari minggu gini biasa Gracia bangun siang?""Iya. Ada sedikit kesalahpahaman. Jadi, aku harus benar-benar menuntaskannya. Oh ya ma, nanti nasi gorengku taruh aja di meja. Setelah aku ganti baju, aku langsung makan kok. Jadi, mama nggak perlu repot-repot taruh di lemari makanan,""Iya, baiklah."Berselang tiga puluh menit kemudian, Ananta telah siap. Ia sudah tampil rapi dan sudah sarapan. "Ayo, Ana. Kamu pasti bisa,"Drrt.Sebuah pesan masuk ke gawai Ananta. Ia sadar jika ada pesan masuk, tapi ia tidak menaruh minat siapa yang mengirimkan pesan. Ota
"Saya mencintai Ananta. Tetapi, saya juga ada etikanya Stanley. Saya tidak akan merebut pacar orang." Nicho melepaskan genggaman eratnya. Menatap Ananta lamat-lamat."Namun, saya bisa pastikan, saya yang akan jadi orang pertama yang akan merebutnya jika kamu menyiakan-nyiakannya,"Nicho berbicara dengan lantang.Dari jauh, Violla mengintip. Ia tak mungkin akan melewatkan kejadian seru ini. Walaupun kehadirannya memang tidak berarti jika dia ada disana.Tentu saja Nicho akan mengusirnya."Apakah aku memang sudah tidak bisa kembali dengan Nicho?"Drrt. Gawainya bergetar."Hallo, baby! Kamu jadi datang ke pestaku?" Seorang pria meneleponnya."Iya. Aku datang." Violla dengan cepat menjawab. "Aku akan mencoba untuk mencintai pria lain. Selamat tinggal Nicho!""Ana, kamu tidak marah sama atasanmu ini? Lancang sekali dia ngomong begitu." cerca Stanley. Ia mendengus. Kakinya menendang sebuah kursi plastik sampa
Malam ini angin tak berhembus sama sekali. Walaupun Nicho, Stanley, Ananta, dan Gracia berada di tempat terbuka.Ananta masih menahan marah atas tuduhan Stanley yang tidak jelas. Yah, memang dia juga merasa bersalah. Ia mulai ragu dengan dirinya sendiri. Apakah memang harus putus?Stanley tak terima jika ia yang harus terus mengalah. Apalagi ia butuh dukungan emosi karena masih merintis usahanya. Usaha kedai kopi impiannya. Ia ingin segera mendapatkan uang yang banyak supaya bisa menghalalkan Ananta. Tapi, kenapa semakin hari hubungannya dengan Ananta semakin memburuk?Gracia gemas dengan dirinya sendiri. Kenapa tak seorang pun yang mengerti keadaannya. Semua terasa menjauh dan selalu saja membela Ananta. Padahal bukannya dia korban atas kejahatan Ananta?Nicho tak habis pikir, kenapa masalah simpel yang muncul ini bisa seruwet ini. Dari Gracia dan Ananta yang salah paham. Stanley yang protektif dengan Ananta.Padahal semua itu terjadi hanya karena kurang komunikasi. That's it."Nicho
Kantor sudah sepi. Ananta melirik jam tangan yang dikenakannya. Pukul 20.31.Sepanjang jalan ia hanya menemui rumput hijau taman kantor dan lampu kantor di sisi taman."Sepertinya aku tunggu di pos satpam saja." gumamnya.Ia merapatkan jaket yang ia kenakan. Menuju pos satpam yang hanya memerlukan sekitar sepuluh langkah.Sesampainya ia disana, ia tak menemukan seorang pun."Televisi masih nyala. Lampu di pos juga masih nyala. Kemana Bapak satpamnya? Apa mungkin pratoli?"Ananta adalah tipe orang yang positif. Bahkan dalam hal ini saja ia tidak berpikir negatif mengenai keberadaan satpam ada dimana.Ia tak ambil pusing. Menarik salah satu kursi bakso disana dan duduk."Apa Pak Nicho masih lama?" gumamnya."Ananta!" panggil seseorang dari belakang."Stanley? Kenapa kamu selalu muncul tiba-tiba?" Ia menoleh ke belakang. "Dan kamu mengagetkanku,""Yah, tentu saja bisa. Karena pesanku dari tadi saja belum dibaca. Kalau kamu nggak di hotel, yah pasti di kantor," lanjutnya sambil mengambil
Nicho kembali ke meja kerjanya. Setelah minum segelas air gula, ia merasa kondisinya mulai pulih kembali.Dengan langkah yang masih terasa berat dan kepalanya masih terasa sakit, ia bergerak. Berjalan beberapa sentimeter dan duduk dengan mantap di kursi kerjanya.Matanya langsung menangkap benda kecil berwarna merah yang diletakkan di atas laptopnya. Sebuah flashdisk."Ini bukannya flashdisk yang kupinjamkan kepada Ana? Apakah pekerjaannya sudah selesai?"Nicho membuka laptopnya dan memeriksa data yang berada di dalam flashdisk.Ia membaca dengan seksama setiap kata. Setiap kalimat. Setiap paragraf. Matanya berbinar.Ia menegakkan badannya."Ini baru naskah yang ingin kubaca. Tidak salah jika Ananta bisa dijadikan calon kepala divisi penulis. Tetapi sepertinya aku harus mempertimbangkannya lagi. Hubungan dia dan Gracia telah usai. Hal ini pasti akan menjadi hambatan dalam kinerja kerja. Apalagi gosip tidak sedap yang ter
"Aku tanya dan kalian malah bengong disini. Nicho yang kalian maksud itu Nicholas Alexus bukan?" Violla bertanya memastikan. Kini ia menggebu-gebu. Ia harus segera tahu jawabannya.Kali ini siapa lagi yang bisa ambil hati selain Gracia. Tetapi itu nggak mungkin. Jika iya, apakah wanita itu lebih baik daripada Violla?"Kamu seharusnya jawab dulu pertanyaanku," Stanley nggak mau kalah. Jika ia harus menjawab, setidaknya lawan bicaranya dulu yang harus menjawab. Itu yang namanya baru adil."Aku rasa, pertanyaanmu tidak penting. Aku itu punya kaki dan punya uang. Aku bisa kemana aja yang aku mau. Bahkan kalian bisa disini saja, aku tidak perlu harus bertanya panjang lebar, kenapa kalian ada di Jakarta,""Kamu membuntutiku ya? Dan kenapa kamu bisa kenal sama Nicho?" Stanley bertanya lagi. Otaknya kini haus akan jawaban."Jangan menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan yang tidak penting," geramnya.Ia menggeser pandangannya ke arah Gra
"Ini soal apaan sih? Matematika kok malah buat kepala jadi mumet. Nah gini nih, catatan diajarin gimana. Tugasnya kayak gimana. Ini sih Nicho harus kesini. Nggak mau tahu. Masa dia bisa tidur nyenyak dan aku begadang kayak gini,"Eric beranjak duduk ke tempat tidurnya. Duduk disana dan menyentuh layar gawainya. Mencari kontak Nicho."Apaan?" Nicho menjawab dari seberang."Eh, orang kalau angkat telepon itu bilang hallo. Bukan apaan?""Itu untuk orang lain bukan untukmu. Karena kalau kau telepon malam-malam pasti ada maunya,""Tahu aja,""Iya, adanya tahu aja, tempe lagi habis,""Sekarang ke rumah aku!""Nggak,""Cepat banget jawabnya. Sat set tanpa mikir. Mikir dulu kek. Yakin? Nggak mau pikir dua kali?""Kenapa harus pikir 2 kali?""Gracia belum tidur loh!"Nicho tersontak. Yang tadi posisi tidur di atas ranjangnya. Ia bangkit duduk."Lalu, apa. Kenapa. Apa hubungann
Restoran makanan penutup sedang tidak ramai. Selain Gracia dan Stanley. Hanya ada 2 meja yang terisi.Mungkin sekarang kebanyakan orang mencari makanan berat setelah lelahnya bekerja seharian. Mencari rezeki untuk menikmati makanan enak setiap hari.Gracia menatap tajam ke arah Stanley. Tentu saja ia tak bisa menerima pria bucin di depannya ini menghina Nicho. Nicho yang adalah sahabatnya dari kecil dan sebenarnya juga cinta pertamanya.Cinta pertama yang ia sendiri kandaskan begitu saja.Masih ingat dengan kejadian bab 99?Inilah sambungannya.Setelah Eric meninggalkan Nicho dan Gracia di sekolah. Nicho tak langsung mengantar Gracia pulang. Ia mengajak Gracia untuk makan sore terlebih dahulu."Kamu ajak aku makan bakso? Aku nggak ada selera,""Hei, makan selagi kamu masih bisa makan. Kita hidupnya masih enak. Masih bisa makan apa yang kita mau,""Bukan itu maksudnya,""Atau kita makan es krim
"Ananta itu keterlaluan. Sok jodohin aku sama Nicho. Tanya-tanya ke aku, masa nggak cinta sama Nicho. Pret. Busuk itu semua," Gracia mengomel. Ia tak mau lebih lama disana. Sudah 10 menit yang lalu ia pergi dari kantor Nicho.Sekarang ia duduk di sebuah kedai kopi. Seperti biasa ia memilih kopi sebagai pendampingnya."Eh, ada Gracia disini. Aku boleh duduk disini?" Seorang pria mendekat."Stanley? Kok kamu bisa disini?" Gracia bertanya dengan bingung."Pertanyaanku dijawab dulu dong!""Nggak boleh. Duduk di kursi lain aja. Aku lagi pengen sendiri,""Tapi aku lagi mau ngobrol sama kamu. Gimana?""Kalau kamu nggak pergi. Aku yang pergi. Bye." Gracia turun dari kursi tinggi kedai. Mengambil gelas strerofoam yang masih berisikan dengan kopi panas."Hei!" panggil Stanley. Ia menyusul sampai ke luar kedai dan terus membuntuti Gracia.Gracia terus berjalan. Menyeberang di penyeberangan jalan, melewati taman ke
Ananta melihat ke kiri dan ke kanan. Sepi. Di ruangan kerja sebesar itu hanya dia seorang."Kalau aku turun ke bawah, mungkin tidak apa-apa kali ya? Tapi kalau Pak Nicho memang butuh bantuan cepat gimana? Aku cek dulu aja deh."Ia berjongkok. Ini pertama kalinya ia melihat wajah Nicho sedekat itu. Wajahnya kalem dan tenang. Alisnya tebal dengan bulu mata yang melengkung indah di kedua mata. Bibir semerah buah delima dengan kulit berwarna kulit langsat."Ternyata jika dipandang dekat dan saat tidak sedang berekpresi, muka Pak Nicho lebih bersinar. Apa yang membuatnya memiliki beban sebesar ini?""Pak Nicho!" Ia memanggil dan mengguncangkan tubuh Nicho dengan pelan. Namun, Nicho tak ada pergerakan sama sekali."Maaf pak. Saya izin sentuh kening Bapak ya! Astaga, panas sekali. Ini sih demam. Sebentar pak! Saya panggil satpam untuk bantu ya!" pekiknya.Saat Ananta sudah akan berdiri, Nicho menarik pergelangan tangannya. "Jangan tinggalkan aku! Jangan! Saya mohon, Gracia."Ananta kembali b