Selena tidak tahu apa yang akan terjadi. Dia hanya berbaring di kasur rumah sakit saat Lewis masuk membawakan sekotak makanan."Kak Lewis, aku nggak bisa makan.""Tetap harus makan meski cuma sedikit. Tubuhmu sekarang sangat lemah, kamu harus memperkuat daya tahan tubuhmu untuk melawan sel kanker. Ini, ayo minum sedikit sup tim ayam."Lewis tidak memberitahu Selena bahwa ini adalah masakan yang sengaja Harvey masak untuknya, karena kalau Selena tahu, dia pasti tidak akan memakannya.Selena tidak menolak niat baik Lewis dan berkata, "Kak, aku 'kan lupa ingatan, coba kakak cerita tentang masa lalu."Lewis belum pulih dari kabar tentang Selena yang amnesia, pantas saja Selena bersikap aneh dalam dua pertemuan terakhir."Kok bisa lupa ingatan?"Di mata Selena, semua perkataan Harvey adalah kebohongan semata. Tidak ada sepatah kata pun dari perkataannya yang bisa dipercaya."Nggak penting. Apa Kak Lewis bisa kasih tahu, dulu aku orang yang seperti apa?"Lewis juga tidak banyak bertanya dan
Selena melotot dengan tatapan dingin, "Ini ide dia, 'kan?""Ya, dia nggak mau berdiam diri begitu aja. Sel-sel kanker di tubuhmu menyebar dengan cepat, jadi ini adalah cara satu-satunya supaya kondisimu nggak semakin parah."Kemoterapi itu seperti judi. Kalau menang maka tumor akan terhambat perkembangannya dan kalau kalah artinya dia bisa mati lebih cepat.Yang paling menakutkan adalah pasien akan menderita efek samping yang parah sebelum mati.Lewis menjilat bibirnya dan menjelaskan dengan hati-hati, "Dia mau kamu bisa sehat lagi, Selena. Aku juga berharap terjadi keajaiban seperti dua tahun yang lalu. Waktu itu aku juga yakin sekali kamu hanya bisa bertahan selama tiga-enam bulan, tetapi ternyata hasil dari kemoterapi sangat baik dan kondisimu bisa stabil. Mungkin kali ini ...""Kak Lewis, aku tahu niatmu baik, tapi ... aku mau mati saja."Dua tahun yang lalu Selena juga pernah mengatakan hal seperti ini dengan wajah penuh kesedihan. Dia terlihat sangat tertindas dan tidak ada sinar
Selena, kamu pantas mati.Perkataan ini terngiang dalam benak Selena. Dia kembali teringat akan dirinya yang dulu sangat rendah di hadapan Harvey yang angkuh seperti seorang raja.Tidak ada sedikit pun jejak kepercayaan di wajah pria itu.Dia selalu melihat Selena seperti seonggok sampah.Sebenarnya kesalahan apa yang sudah dilakukan Selena sampai pria itu begitu membencinya?Setiap kali Selena memikirkan hal-hal ini, kepalanya langsung terasa sangat sakit dan membuatnya sangat menderita."Seli, kamu kenapa? Apa perutmu sakit lagi?"Harvey buru-buru meraih tangan Selena dan bertanya dengan khawatir.Selena bersusah payah mengangkat kepalanya untuk menatap Harvey. Selena menepis tangan Harvey dengan tangannya yang lain dan menatap pria itu dengan dingin. "Harvey, kamu ini memang pantas mati."Harvey mematung. Detik berikutnya Selena berkata, "Bukannya kamu mau aku mati? Baguslah, dengan nggak berobat aku jadi bisa mengabulkan permintaanmu."Jelas Selena ingat sesuatu. Harvey jadi merasa
Selena ingin melepaskan diri ketika Harvey lengah, tetapi efek obat membuatnya pusing dan mual. Tubuhnya terasa lemas karena kekuatannya seperti hilang begitu saja.Harvey langsung membantunya berbaring, "Seli, jangan banyak bergerak."Selena juga tidak berniat bergerak karena setiap kali bergerak sedikit saja, dunia terasa berputar. Selena pun hanya bisa menutup mata untuk meredakan ketidaknyamanan tubuhnya.Waktu kemoterapi jauh lebih lama daripada waktu infus biasa. Malam mulai menjelang saat botol terakhir akan habis.Harvey menemaninya dengan sabar sepanjang proses. Dia juga merasa gelisah dan takut Selena tidak tahan dengan efek obat kemo sebelum proses selesai.Untungnya, meski kondisi tubuh Selena sangat lemah, dia bisa bertahan dan menyelesaikan infus botol terakhir.Saat ini Selena sama sekali tidak berani bergerak, sebuah rasa yang familiar pun muncul di hatinya.Selena bahkan tidak bisa membuka mata karena kepalanya terasa sangat pusing.Harvey bertanya pada Lewis, "Apa ini
Harvey belum lama terlelap saat dia terbangun oleh sebuah suara. Begitu membuka mata, dia melihat Selena jatuh di lantai dan buru-buru memeluknya."Kamu nggak apa-apa?" Meski Selena sudah berada dalam pelukannya, Harvey masih merasa punggungnya berkeringat dingin.Selena tidak bisa diperlakukan seperti orang biasa. Saat ini tubuhnya sangat rentan, tergores sedikit saja bisa membuatnya cidera seumur hidup.Wajah Selena pucat pasi seputih kertas, dia menjawab, "Aku ..."Jangan harap dia bisa marah pada Harvey, mengucapkan sepatah kata saja sangat sulit bagi Selena.“Kenapa? Kamu haus atau lapar? Kamu perlu apa, kasih tahu aku aja."Selena menjawab dengan susah payah, "Tolong panggil suster."Harvey langsung mengerti dan mengantar Selena ke toilet. Selena yang malu pun langsung mengusirnya keluar.Harvey tetap berdiri di dekat pintu, lalu meminta Bibi Eri untuk datang, kemudian menyiapkan sarapan.Dengan tenaga yang tersisa, Selena pun akhirnya selesai mandi. Setelah itu, Harvey membantun
Ketika melihat Harvey berhenti sejenak, Selena pun spontan bertanya, "Ada apa?""Nggak." Harvey menyisir dengan sangat lembut, bahkan hampir tidak menggunakan tenaga.Meski begitu, rambut Selena tetap rontok.Harvey akhirnya tahu mengapa Selena memotong rambutnya dua tahun yang lalu.Dulu dia tidak bisa menemani Selena di saat terlemah, kali ini Harvey bertekad untuk selalu disampingnya.Harvey merapihkan rambut Selena, lalu memakaikannya jaket. Setelah itu dia menggendongnya ke kursi roda dan menyuruh seseorang untuk mengganti seprai kasur.Setiap gadis pasti ingin tampil cantik, Harvey ingat ketika hubungan mereka berdua masih baik-baik saja, Selena sangat menyukai rambut panjangnya.Waktu itu Selena mengenakan gaun sederhana yang elegan dan rambutnya panjangnya diikat dengan manik-manik.Harvey masih ingat jelas saat Selena membanggakan diri karena dia bisa mengucir rambut dengan satu tangan.Selena dulu suka bicara, tapi sekarang dia tidak mengatakan sepatah kata pun. Dia hanya men
Bibi Eri kebetulan tidak berada jauh dari mereka. Begitu melihat situasi ini, dia langsung datang dan mendorong Selena pergi.Sebelum pergi, dia menatap Harvey dengan penuh kekecewaan. Permainan apalagi yang dimainkan pria bajingan ini.Sudah bagus hubungan mereka berdua akhirnya sedikit membaik, sekarang Harvey malah kembali berbuat ulah dan membuat suasana jadi tegang.Chandra mendekati dan berkata, "Tuan Harvey, jangan gegabah. Nanti malah Tuan sendiri yang rugi."Harvey menghela napas, "Aku khawatir Seli kehilangan tekad untuk bertahan hidup. Aku cuma berharap dia punya alasan untuk bertahan. Kupikir dengan bertemu Harvest akan membangkitkan naluri keibuannya yang terpendam. Ternyata aku salah.""Tuan Harvey, sebaiknya urusan ini kita tunda dulu. Kondisi Nyonya sudah sangat parah, dia tidak bisa lagi menerima pukulan apapun. Urusan Tuan Muda Harvest kita bicarakan nanti aja.""Mau bagaimana lagi."Harvey membungkuk dan menggendong Shearly. Meski sangat membenci Agatha, Shearly adal
Bibi Eri membuka mulutnya untuk membujuk Selena, tetapi Selena malah melambaikan tangan dan berkata, "Aku mau tidur dulu. Dia nggak boleh sampai masuk, aku nggak mau lihat orang itu.""Baik."Bibi Eri menyelimuti Selena, lalu keluar kamar. Di sana dia melihat Harvey sedang memeluk Harvest yang masih menangis. Wajah anak kecil itu terlihat sangat lucu."Ayah, aku mau ketemu Ibu." Harvey menggenggam kerah Harvey dengan tatapan memelas.Harvest yang sudah berusia tiga tahun sudah bisa mengungkapkan pikirannya dengan baik.Dia sudah lama tidak bertemu dengan ibu dan tidak mengerti kenapa ibu yang dulu mau memeluknya sekarang bersikap dingin. Padahal dia hanya ingin dipeluk.Harvey menggendongnya dengan satu tangan dan ikut terlihat pilu. "Ibu sedang sakit, nanti aja ya.""Sakit?" Harvest memutar bola matanya, "Ibu sakit?"Sambil bicara, Harvest pura-pura batuk sedangkan Harvey mengusap ujung hidungnya. "Ibu lagi sakit parah.""Ibu harus minum obat dan disuntik.""Iya, ayo beri obat pada ib