Selena, kamu pantas mati.Perkataan ini terngiang dalam benak Selena. Dia kembali teringat akan dirinya yang dulu sangat rendah di hadapan Harvey yang angkuh seperti seorang raja.Tidak ada sedikit pun jejak kepercayaan di wajah pria itu.Dia selalu melihat Selena seperti seonggok sampah.Sebenarnya kesalahan apa yang sudah dilakukan Selena sampai pria itu begitu membencinya?Setiap kali Selena memikirkan hal-hal ini, kepalanya langsung terasa sangat sakit dan membuatnya sangat menderita."Seli, kamu kenapa? Apa perutmu sakit lagi?"Harvey buru-buru meraih tangan Selena dan bertanya dengan khawatir.Selena bersusah payah mengangkat kepalanya untuk menatap Harvey. Selena menepis tangan Harvey dengan tangannya yang lain dan menatap pria itu dengan dingin. "Harvey, kamu ini memang pantas mati."Harvey mematung. Detik berikutnya Selena berkata, "Bukannya kamu mau aku mati? Baguslah, dengan nggak berobat aku jadi bisa mengabulkan permintaanmu."Jelas Selena ingat sesuatu. Harvey jadi merasa
Selena ingin melepaskan diri ketika Harvey lengah, tetapi efek obat membuatnya pusing dan mual. Tubuhnya terasa lemas karena kekuatannya seperti hilang begitu saja.Harvey langsung membantunya berbaring, "Seli, jangan banyak bergerak."Selena juga tidak berniat bergerak karena setiap kali bergerak sedikit saja, dunia terasa berputar. Selena pun hanya bisa menutup mata untuk meredakan ketidaknyamanan tubuhnya.Waktu kemoterapi jauh lebih lama daripada waktu infus biasa. Malam mulai menjelang saat botol terakhir akan habis.Harvey menemaninya dengan sabar sepanjang proses. Dia juga merasa gelisah dan takut Selena tidak tahan dengan efek obat kemo sebelum proses selesai.Untungnya, meski kondisi tubuh Selena sangat lemah, dia bisa bertahan dan menyelesaikan infus botol terakhir.Saat ini Selena sama sekali tidak berani bergerak, sebuah rasa yang familiar pun muncul di hatinya.Selena bahkan tidak bisa membuka mata karena kepalanya terasa sangat pusing.Harvey bertanya pada Lewis, "Apa ini
Harvey belum lama terlelap saat dia terbangun oleh sebuah suara. Begitu membuka mata, dia melihat Selena jatuh di lantai dan buru-buru memeluknya."Kamu nggak apa-apa?" Meski Selena sudah berada dalam pelukannya, Harvey masih merasa punggungnya berkeringat dingin.Selena tidak bisa diperlakukan seperti orang biasa. Saat ini tubuhnya sangat rentan, tergores sedikit saja bisa membuatnya cidera seumur hidup.Wajah Selena pucat pasi seputih kertas, dia menjawab, "Aku ..."Jangan harap dia bisa marah pada Harvey, mengucapkan sepatah kata saja sangat sulit bagi Selena.“Kenapa? Kamu haus atau lapar? Kamu perlu apa, kasih tahu aku aja."Selena menjawab dengan susah payah, "Tolong panggil suster."Harvey langsung mengerti dan mengantar Selena ke toilet. Selena yang malu pun langsung mengusirnya keluar.Harvey tetap berdiri di dekat pintu, lalu meminta Bibi Eri untuk datang, kemudian menyiapkan sarapan.Dengan tenaga yang tersisa, Selena pun akhirnya selesai mandi. Setelah itu, Harvey membantun
Ketika melihat Harvey berhenti sejenak, Selena pun spontan bertanya, "Ada apa?""Nggak." Harvey menyisir dengan sangat lembut, bahkan hampir tidak menggunakan tenaga.Meski begitu, rambut Selena tetap rontok.Harvey akhirnya tahu mengapa Selena memotong rambutnya dua tahun yang lalu.Dulu dia tidak bisa menemani Selena di saat terlemah, kali ini Harvey bertekad untuk selalu disampingnya.Harvey merapihkan rambut Selena, lalu memakaikannya jaket. Setelah itu dia menggendongnya ke kursi roda dan menyuruh seseorang untuk mengganti seprai kasur.Setiap gadis pasti ingin tampil cantik, Harvey ingat ketika hubungan mereka berdua masih baik-baik saja, Selena sangat menyukai rambut panjangnya.Waktu itu Selena mengenakan gaun sederhana yang elegan dan rambutnya panjangnya diikat dengan manik-manik.Harvey masih ingat jelas saat Selena membanggakan diri karena dia bisa mengucir rambut dengan satu tangan.Selena dulu suka bicara, tapi sekarang dia tidak mengatakan sepatah kata pun. Dia hanya men
Bibi Eri kebetulan tidak berada jauh dari mereka. Begitu melihat situasi ini, dia langsung datang dan mendorong Selena pergi.Sebelum pergi, dia menatap Harvey dengan penuh kekecewaan. Permainan apalagi yang dimainkan pria bajingan ini.Sudah bagus hubungan mereka berdua akhirnya sedikit membaik, sekarang Harvey malah kembali berbuat ulah dan membuat suasana jadi tegang.Chandra mendekati dan berkata, "Tuan Harvey, jangan gegabah. Nanti malah Tuan sendiri yang rugi."Harvey menghela napas, "Aku khawatir Seli kehilangan tekad untuk bertahan hidup. Aku cuma berharap dia punya alasan untuk bertahan. Kupikir dengan bertemu Harvest akan membangkitkan naluri keibuannya yang terpendam. Ternyata aku salah.""Tuan Harvey, sebaiknya urusan ini kita tunda dulu. Kondisi Nyonya sudah sangat parah, dia tidak bisa lagi menerima pukulan apapun. Urusan Tuan Muda Harvest kita bicarakan nanti aja.""Mau bagaimana lagi."Harvey membungkuk dan menggendong Shearly. Meski sangat membenci Agatha, Shearly adal
Bibi Eri membuka mulutnya untuk membujuk Selena, tetapi Selena malah melambaikan tangan dan berkata, "Aku mau tidur dulu. Dia nggak boleh sampai masuk, aku nggak mau lihat orang itu.""Baik."Bibi Eri menyelimuti Selena, lalu keluar kamar. Di sana dia melihat Harvey sedang memeluk Harvest yang masih menangis. Wajah anak kecil itu terlihat sangat lucu."Ayah, aku mau ketemu Ibu." Harvey menggenggam kerah Harvey dengan tatapan memelas.Harvest yang sudah berusia tiga tahun sudah bisa mengungkapkan pikirannya dengan baik.Dia sudah lama tidak bertemu dengan ibu dan tidak mengerti kenapa ibu yang dulu mau memeluknya sekarang bersikap dingin. Padahal dia hanya ingin dipeluk.Harvey menggendongnya dengan satu tangan dan ikut terlihat pilu. "Ibu sedang sakit, nanti aja ya.""Sakit?" Harvest memutar bola matanya, "Ibu sakit?"Sambil bicara, Harvest pura-pura batuk sedangkan Harvey mengusap ujung hidungnya. "Ibu lagi sakit parah.""Ibu harus minum obat dan disuntik.""Iya, ayo beri obat pada ib
Selena menjawab dengan acuh tak acuh, "Mungkin memang dia nggak punya pilihan lain selain mencuri bunga di rumah sakit.""Orang aneh semakin banyak, bahkan nggak punya tata krama. Ya sudah, Nona Selena istirahat ya."Setelah suster kepala pergi, Selena mulai merasa mengantuk dan tidak lama pintu kamarnya kembali terbuka.Karena mengantuk, Selena tidak begitu peduli.Namun, bukannya mendengar suara langkah kaki, dia malah mendengar decitan seperti suara tikus kecil mengendap-endap.Eh? Ada sesuatu di atas kepalanya? Yang masuk bukan dokter?Selena membuka matanya dan bertatap muka dengan sepasang mata besar yang bulat.Wajah mungil seorang anak terlihat di hadapannya dan anak kecil itu terlihat malu-malu."Ibu, mahkota bunga."Harvest berusaha keras untuk merapikan mahkota bunga itu."Ternyata kamu." Selena berbisik, matanya terpaku pada mahkota bunga di tangan si kecil, Selena terdiam sejenak.Jadi ... pencuri bunga yang tadi diceritakan suster kepala itu adalah Harvey dan anaknya?Sel
Begitu tersadar dari keterkejutannya, reaksi pertama Harvest bukanlah menangis. Dia justru terlihat kebingungan.Kenapa Agatha menamparnya? Apa salahnya?Bekas tamparan pun langsung tercetak di wajah Harvest yang mungil, membuat pipi kanannya memerah dan membengkak.Agatha yang sontak merasa bersalah karena terbawa emosi pun langsung memeluk anaknya. "Maaf, Nak, nggak sakit 'kan ya? Ibu nggak bermaksud begitu."Agatha sangat membenci Selena, tetapi begitu teringat bahwa Selena sebentar lagi akan mati, suasana hati Agatha pun membaik."Syukurlah, orang jahat itu akan segera mati! Kamu yang nurut ya, sekarang Ayah jadi bersama kita lagi. Kamu 'kan mirip banget dengan Ayah, jadi kamu harus selalu menyenangkan hati Ayah supaya Ayah juga memperlakukan kita dengan baik," kata Agatha dengan sorot mata yang tampak berbinar-binar.Tekanan mental yang selama ini Agatha alami membuat kondisi psikisnya benar-benar tidak stabil. Kadang tertawa, kadang menangis dan kadang seperti orang kesetanan. Ha