Selena tahu betul soal itu, tetapi bagaimana dia bisa tenang setelah mengalami kejadian seperti tadi?Dokter Mona menepuk-nepuk punggungnya untuk menenangkan, seraya berkata lembut, "Jangan khawatir, Tuan Arya sudah diamankan. Dia baik-baik saja, Anda juga. Kita sudah cukup beruntung."Beruntung?Dia baru saja kehilangan seorang teman baik.Mobil melaju kencang, mereka hanya butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk menuruni gunung dan memasuki jalan raya.Hujan turun deras. Penyeka kaca mobil bergerak cepat, tetapi masih tidak mampu menyapu bersih tetesan air hujan yang terus berjatuhan.Kabut tebal menyelimuti gunung, ditambah hujan deras dan angin kencang, sulit untuk mengemudi dalam keadaan seperti ini.Jantung semua orang berdegap kencang, bayi dalam kandungan Selena sudah rewel sejak beberapa saat lalu.Selena mengusap perutnya berulang kali untuk menenangkan kedua anaknya, dia berujar dengan suara serak, "Anak-anak, tenanglah, jangan rewel. Ibu di sini, Ibu akan melindungi kalian.
Mendengar kata-kata ini, Dokter Mona yang berada di belakangnya pun panik. "Nyonya, jangan buat saya takut.""Aku juga pernah melahirkan prematur di laut sebelumnya, rasanya sama seperti dulu.""Nyonya, pegangan yang erat."Jonathan tidak berani lengah sama sekali dan buru-buru membawa Selena berenang ke tepi pantai.Dia membawa naik Selena ke atas dengan susah payah dan mengeluarkan lampu darurat.Seluruh tubuh Selena basah kuyup, tidak bisa dibedakan apakah itu air laut atau air ketuban. "Biar saya periksa dulu," kata Dokter Mona dengan suara serius.Selain air ketuban, darah juga ikut keluar. Ekspresi di wajah Dokter Mona langsung berubah. "Gawat, ketuban Nyonya beneran pecah. Ada pendarahan juga."Hanya pecah ketuban saja menunjukkan bayinya lahir prematur, tetapi karena dibarengi pendarahan, situasinya menjadi rumit.Dia tidak bisa memastikan apakah darah ini berasal dari tepi selaput ketuban yang pecah sehingga pembuluh darah kapiler ikut pecah atau bukan. Jika darah itu berasal
Setelah Selena mengucapkan kalimat itu, dia melempar ponselnya ke samping dan mengikuti arahan Dokter Mona."Nyonya, aku nggak mungkin melakukan operasi dalam kondisi seperti ini, jadi kamu harus melakukannya sendiri. Kamu harus segera melahirkan bayinya. Kalau nggak, mereka berdua bisa meninggal karena kurang oksigen. Dorong sekuat tenaga, mulut rahimnya sudah terbuka."Selena merasakan kepala bayinya turun. Mungkin karena kehilangan cairan ketuban yang membungkus tubuh mereka, kedua bayi itu bergerak tidak teratur dalam perutnya.Mereka bergerak bagai ikan terdampar di pantai dan meronta-ronta di ambang kematian, serupa dirinya."Sayang, kalian harus bertahan. Ayah akan segera datang menjemput kalian. Kalian baik-baik saja. Semua pasti baik-baik saja. Ada Ibu di sini, Ibu nggak akan menyerah. Kalian juga nggak boleh menyerah."Walaupun dia sudah pernah melalui hal ini, saat mengalaminya kembali, dia hanya ketakutan jika penderitaannya ini akan lebih besar dari sebelumnya.Seluruh tub
"A-apa?""Mungkin mereka kehabisan napas saat keluar. Nyonya, jangan terlalu sedih. Bayi yang baru enam bulan di kandungan akan sulit bertahan hidup meski lahir dengan selamat. Sekarang, yang terpenting tetap kesehatanmu. Kamu masih muda, masih punya kesempatan punya anak lagi," jelas Dokter Mona perlahan."Nggak. Aku nggak percaya anakku pergi begitu saja. Aku sudah susah payah mengandung mereka. Aku ...""Nyonya, pembunuhnya akan segera datang, kita harus segera pergi dari sini.""Nggak, nggak bisa! Aku nggak bisa meninggalkan anak-anakku begitu saja."Dokter Mona tidak bisa mengurus lebih jauh dari itu. Perintah yang diterimanya hanyalah melindungi Selena, kemudian anak-anaknya.Ketika Selena dan anaknya berada dalam bahaya pada saat yang bersamaan, prioritas pertamanya adalah Selena."Nyonya, maafkan aku."Dokter Mona segera menggendong Selena di punggungnya. Selena melihat dua orang bayi tanpa suara yang ditinggal di atas pakaian. Air mata bercampur air hujan pun mengalir deras di
"Nyonya, jangan berpikir macam-macam. Tuan Harvey akan segera tiba. Toh, semua ini sudah tugas kami. Entah apa pun yang terjadi, kami harus melindungimu!""Terima kasih, Dokter Mona. Aku sangat berterima kasih kamu telah merawatku beberapa bulan ini."Ucapan Selena yang terdengar di saat-saat seperti ini membuat Dokter Mona merasa sangat tidak tenang."Nyonya, jangan menyerah. Kita pasti bisa kabur, aku yakin.""Kabur? Mau kabur ke mana lagi?"Selena menatap ke arah langit yang gelap. Dinginnya air hujan memukuli wajahnya tanpa belas kasihan."Sebenarnya, aku tahu kalau hidup ayahku sudah nggak lama lagi. Dia bisa bertahan hidup hingga saat ini hanya berkat alat dan obat-obatan. Lagi pula, keinginannya supaya tetap hidup sudah hilang sejak lama," jelas Selena dengan perasaan putus asa."Nyonya ...""Dokter Mona, temanku pernah berkata, aku seperti mentari kecil yang terang sinarnya, tapi cahaya di tubuhku perlahan padam dan cuma kegelapan yang menyelimutiku. Aku pernah lama sekali berj
Selena berlari seorang diri, terjebak dalam kegelapan.Anak-anaknya, di mana anak-anaknya?Selena hanya meremat satu tujuan di kepalanya, segera temukan anaknya dan jangan biarkan mereka ketakutan sendirian.Selena terus berlari tanpa henti dalam waktu yang sangat lama, hingga secercah cahaya seketika hadir di depan matanya. Lantas, dia berdiri di atas padang rumput.Di ujung padang rumput, ada sebuah jembatan dari pelangi. Di seberangnya, kabut tengah menyelimuti.Mungkinkah anak-anaknya ada di sana?Perlahan, di seberang jembatan pelangi, sosok Lian pun hadir.Lian tampak cantik mengenakan gaun yang hari itu dipakai untuk pergi menjemputnya di bandara. Seperti biasa, dia melambaikan tangannya pada Selena."Lian!" panggil Selena.Rasa bahagia menyelimuti hati Selena. Tanpa ragu, dia berlari menuju jembatan pelangi. Ketika kakinya hampir menginjak jembatan itu, tiba-tiba terdengar dua suara anak kecil."Ibu!"Selena pun berbalik dan melihat dua bayi yang lucu. Seorang anak lelaki yang
Jiwa Selena telah runtuh total. Anak-anaknya menjadi pukulan terakhir yang merobohkan batinnya.Betapa Selena sangat menanti-nantikan kelahiran sang anak, sebesar itulah rasa sedih dan putus asanya sekarang.Air mata dan darah pun jatuh bersamaan. Selena berlutut di atas tempat tidur, mencengkeram rambutnya keras-keras. "Harvey, kamu harusnya biarkan aku mati saja. Hidup ini terlalu pahit!" teriaknya.Selena tidak bisa berpikir. Dia kehabisan alasan untuk hidup.Selena merasa, dirinya adalah pembawa sial. Dia hanya menyeret kesialan untuk orang-orang di sekitarnya.Sekali lagi, Harvey memeluk tubuh Selena. "Mau tahu alasanku menyelamatkanmu? Baiklah, sekarang akan kuberi tahu kenapa."Sambil berbicara, Harvey berlutut, memasangkan sepatu dan kaus kaki untuk Selena, kemudian dia mendekap dan menggendong tubuhnya."Kamu mau membawaku ke mana?" tanya Selena keheranan."Sebentar lagi kamu tahu," jawab Harvey singkat.Harvey membawanya ke salah satu ruang rawat inap, diperuntukkan sebagai k
Di lantai tiga bawah tanah.Pintu lift terbuka, seketika disergap udara dingin.Harvey melepas jaket dan memakaikannya di atas tubuh Selena. Di sini tidak sehangat di atas.Selena baru pertama kali pergi ke tempat seperti ini. Rasanya berbeda dari yang tersaji di film dan acara televisi.Lampu di lorong sangat terang, tetapi cahaya putih menyilaukan yang memantul di dinding itu membuat suasana makin suram.Di depan pintu ruang mayat, seorang pria tua berdiri seraya menunggu kedatangan Selena usai mendapat perintah dari atasan."Tuan Harvey, Nyonya, meskipun jenazahnya sudah dihias, tapi namanya juga jenazah, pasti nggak terlalu bagus untuk dilihat. Kalian harus siap secara mental."Selena dengan suara tercekat berkata, "Buka pintunya."Pintu terbuka, Selena melihat jenazah yang ditutupi kain putih.Harvey menjelaskan, "Aku masih menutupi beritanya untuk saat ini. Keluarganya belum diberi tahu."Selena berjalan menuju jenazah itu langkah demi langkah. Dia tak sadarkan diri selama tiga h